24/08/11

Melayani Dengan Diam




MELAYANI DENGAN DIAM

Pada hari satu hari, saya datang berkunjung ke rumah duka. Seorang orang tua dari teman sepelayanan di kategori remaja Gereja kami, meninggal dunia. Aku mengenal semua anggota keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, beserta tiga orang anak! Satu laki-laki, sudah menikah, sementara dua orang lain, wanita. Mereka belum menikah. Aku hadir di sana bersama teman-teman sepelayanan di kategori remaja. Kami akan mengadakan kebaktian penghiburan di rumah duka tersebut. Tatkala ibu yang kehilangan suami itu melihat saya, ia langsung menangis tersedu-sedu! Aku pernah mengunjungi almarhum di rumah sakit, serta membagi pengalaman dengan beliau dan ibu itu, tentang bagaimana Tuhan menghibur aku, tatkala kehilangan sang kekasih yang telah menyertai aku puluhan tahun lamanya. Mereka tahu persis akan hal tersebut. Tangisan ibu itu membuat saya teringat kembali akan dukacita yang sangat dalam, tatkala Tuhan memisahkan saya dengan kekasihku itu. Aku pun turut menangis di dalam hati.
Tatkala menyampaikan firman Tuhan di dalam kebaktian penghiburan yang kami lakukan, aku berkata kepada ibu yang berduka, bahwa apa yang aku katakan itu bukan hanya omongan yang ditiru dari orang lain. Apa yang kukatakan adalah berdasarkan pengalaman kongkrit, bagaimana Tuhan menghibur orang yang berduka! Setelah kebaktian duka selesai, aku kembali diingatkan Tuhan akan peristiwa yang sangat berkesan, tatkala aku dihibur-Nya melalui seorang teman, di masa duka yang sangat dalam mendera hati yang rapuh dan menantikan air jernih yang menyegarkan hati.
Tiur, kekasihku itu disemayamkan di rumah duka RS Cikini. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pukul 21.55 pada hari Senin tanggal 10 Desember 2007. Lalu ia dipersiapkan dengan jalan di dandani setelah lebih dahulu di kasih formalin. Seluruh persiapan itu selesai pukul 02.00. Aku meminta agar anak muda menjaga kekasihku itu di ruang rumah duka, supaya ia tidak sendirian, karena kami mau beristirahan di kamar yang disediakan rumah sakit. Pukul 5 pagi aku sudah bangun dan masuk ke dalam ruang duka. Setelah para anak muda itu melihat saya, mereka minta izin agar diberi kesempatan untuk beristirahat, karena mereka pun sudah ngantuk. Aku pun mengiyakannya.
Pada waktu itu, aku sendirian duduk di sisi kekasihku yang terbujur kaku di tempat tidur yang disediakan. Dalam keadaan seperti itu, datanglah malapetaka bagi saya. Seorang ibu yang anggota keluarganya juga meninggal di sana, dan sedang diformalin, melihat saya sendirian dengan sang kekasih yang terbujur kaku. Lalu sang ibu itu berkata kepada temannya, namun aku mendenarnya: “Wah kasihan amat ya bapak ini. Ia sendirian dengan isterinya yang sudah meninggal. Dimana saudara-saudaranya? Mungkin dia tidak punya anak dan sanak saudara yang dekat! Kasihan ya!” mendengar perkataannya itu, aku sungguh sangat terpukul. Karena memang, Tuhan tidak memberikan kepada kami seorang anak pun. Saudara-saudara ku memang ada banyak, tetapi mereka sedang tidur di kamar yang disediakan rumah sakit. Hati saya sangat terpukul mendengar perkataan orang tadi.
Setelah itu, aku berkata kepada Tuhan: “Tuhan, dari dulu hingga sekarang, saya hanya sendirian dengan Tiur. Sekarang ia tidak ada lagi. Aku minta, bawalah aku juga pada hari ini pulang bersama dengan Tiur”. Lalu aku mengangis tersedu-sedu. Memang suaraku tidak terdengar, tetapi hatiku hancur berantakan karena kesedihan yang amat dalam. Tatkala berada di dalam kesedihan seperti itu, aku melihat seorang teman turun dari mobilnya. Waktu itu jam menunjukkan pukul 6.00 pagi.
Ia datang ke arah saya dan melihat saya sedang sesungguhan di dalam kesedihan. Ia datang dan terus memeluk saya erat-erat, sehingga saya tidak berguncang lagi. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia mengajak saya duduk dengan jalan menekan bahu saya agar duduk. Setelah duduk ia mengambil sapu tangannya untuk menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Aku lihat itu. Ia memegang tangan saya begitu erat. Apa yang dia perbuat, sangat berarti bagi saya pada waktu itu. Aku tidak butuh kata-kata penghiburan. Aku butuh orang yang turut merasakan apa yang aku rasakan dan turut menangis bersama dengan aku. Itu yang aku butuhkan. Orang itu memberikan apa yang aku butuhkan, lalu aku terhibur.
Tatkala orang pada datang satu persatu dan duduk di sisiku! Ia menggeser tempat duduknya agak menjauh dari saya! Tetapi ia masih di situ. Semakin banyak orang datang, mereka pun buat acara penghiburan, ia pun semakin jauh dari saya. Namun satu hal, aku lihat dia masih ada. Kehadirannya sangat menghibur saya. Ada orang yang duduk menyertai saya di dalam duka ini. Tempat duduk yang jauh dari saya, tidak menjadi halangan bagi dia untuk melayani saya dengan kehadirannya. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun kepada saya. Ia hanya tunjukkan kepada saya, bahwa ia duduk bersama dengan saya menghadapi masalah yang saya hadapi.
Setelah waktu menunjukkan pukul 12.00, ia datang kepada saya. Barulah dia berbicara dengan mengatakan: “Lae, aku permisi dulu, sebab aku masih masuk kantor”. Itulah kalimat yang dia katakan kepada saya, dari jam 6.00 s/d 12.00. Ia pun pergi. Tetapi ia hadir di waktu yang tepat, dan memberikan kepadaku apa yang kuperlukan. Karena kehadirannya, aku dapat tegar menghadapi hari itu, dan menghadapi orang banyak dengan penuh penghiburan dari Tuhan.
Dua minggu setelah Tiur pergi, aku mendapat telepon dari seorang ibu muda. Ia dan suaminya adalah murid saya di dalam pembinaan iman. Aku berteman dengan mereka berdua dari sejak mereka masih muda. Pada waktu itu, mereka sudah punya anak dan berusia tiga tahun. Kami bergumul bersama agar mereka menemukan kasih karunia Allah di dalam pernikahannya, dengan jalan menerima kesempatan menjadi ayah dan ibu bagi seorang anak.
Sang ibu muda bertanya melalui telepon: “Bang bagaimana keadaannya sekarang?” aku jawab: masih berduka, tetapi tetap punya pengharapan! Ia menangis sendu di telepon itu. Lalu aku berkata: “jangan sedih, aku tidak akan sesat dengan kehilangan kakakmu!” Aku pikir ia menangis karena mengingat keadaanku. Rupa-rupanya tidak! Ia mengungkapkan isi hatinya yang sedang hancur! Aku tidak bisa ceritera di sini apa yang membuat hatinya hancur. Mendegar ceriteranya itu, aku pun menangis tersedu-sedu. Aku mengasihi mereka berdua. Di latarbelakangi dukacitaku, ditambah dengan dukacitanya, maka aku menangis tersedu-sedu. Lalu aku berkata kepadanya: “Sekarang, aku tidak dapat berkata apa-apa kepadamu tentang hal itu. Kesedihan melanda hati saya. Nanti setelah beberapa hari, aku akan berbicara kepadamu tentang yang kau hadapi”. Akupun menutup telepon.
Setelah beberapa hari, aku kembali menelepon dia, dan bertanya bagaimana keadaannya. Dengan penuh rasa kaget, aku mendengar dia mengatakan: “Bang, aku telah menyelesaikan masalahnya dengan damai”. Sayang, saya tidak dapat mengutarakan di sini masalah yang dia hadapi. Sangat menyakitkan hati. Oleh karena itu aku sedih mendengar berita itu dari dia. Tetapi sekarang, orang yang telah disakiti ini mengatakan kepadaku, bahwa ia telah menyelesaikan masalahnya. Hanya beberapa hari saja, ia telah dapat menyelesaikan masalah yang begitu besar dan berat.
Lalu aku bertanya: “apa rahasianya sehingga engkau dapat dengan begitu cepat bisa menyelesaikannya!” Dia mengatakan perkataaan ini: “Tatkala abang menangis tersedu-sedu mendengar pengaduanku, aku merasakan bebanku itu abang angkat dari pundakku. Aku merasa lega, lalu aku menyelesaikan masalah yang aku hadapi dan berdamai dengan masalah itu”. Aku memuji Tuhan!
Lalu aku teringat dengan apa yang kualami di rumah duka, sebagaimana dikisahkan di atas. Tatkala temanku itu memeluk aku, beban yang di pundak itu pun terangkat, seperti yang dialami ibu muda tadi. Temanku itu tidak bicara. Aku pun hanya nangis tersedu-sedu. Tidak ada sepatah kata pun tentang masalah yang dihadapinya. Tetapi temanku itu telah melayani aku dengan jalan menangis bersama. Aku pun telah menangis bersama dengan ibu muda itu. Ternyata pelayanan seperti itu sangat bermanfaat bagi orang yang berduka.
Aku jadi ingat akan apa yang disuarakan Rasul Paulus, “Mengangislah dengan orang yang mengangis, tertawalah dengan orang yang tertawa”. Kita semua dapat melakukan pelayanan seperti itu. Sayang seribu kali sayang!  Para pendeta yang saya kenal, tidak ada yang mau datang duluan ke rumah duka. Mereka datang bukan untuk duduk bersama dengan orang yang berduka. Mereka hanya melakukan tugasnya untuk berkhotbah dan melakukan ibadah penguburan. Setelah itu, mereka meninggalkan orang yang berduka itu. Bahkan mereka menerima amplop tatkala mereka melakukan upacara penghiburan. Bagi mereka uang semuanya. Di dalam kebaktian wiyk mereka menerima uang. Pada waktu babtisan mereka terima uang. Tatkala mengadakan perjamuan kudus di rumah sakit, mereka menerima uang. Pun di Gereja, tatkala perjamuan kudus, dan sidi, mereka menerima uang. Pada hal mereka telah menerima uang sebagai gaji tiap bulan.
Kapankah pendeta kita duduk bersama dengan orang berduka bukan untuk berkhotbah tetapi untuk mendengar apa yang menjadi keluhan dan tangisan mereka? Jika para pendeta kita tidak sempat untuk melakukan itu, marilah kita melakukannya, agar orang lain terhibur. Jika Tuhan tidak memberikan kepada kita kecakapan untuk berkhotbah, kepada kita diberi juga kesempatan untuk melayani sesama dengan jalan duduk bersama dengan mereka, terlebih di dalam duka. Tanpa kata, tetapi sudah melayani mereka dengan pelayanan yang sangat berarti.
Belum tentu khotbah yang diberitakan pendeta itu tinggal di dalam hati saudara yang berduka! Tetapi kehadiran kita dan duduk bersama dengan mereka, menangis dengan mereka, itu sangat bermakna dan akan diingat terus di sepanjang hidup ini. Mana yang lebih berarti? Bukankah yang kita lakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...