29/03/11

HUKUM KELIMA



HUKUM KELIMA

Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.

Perintah untuk menghormati orang tua bukan datang dari orang tua itu sendiri. Perintah itu datang dari Allah. Jadi, tatkala kita tidak menghormati orang tua kita, maka pada hakekatnya kita pertama-tama berdosa kepada Allah yang telah memerintahkan agar kita menghormati orang tua kita.  Barulah kemudian kita berdosa kepada orang tua itu sendiri. Sekarang ini, kita melihat yang namanya orang tua itu adalah bapa dan ibu kita secara biologis. Tentunya hal ini sangat berbeda dengan pemahaman Musa dan orang Israel pada zamannya. Paulus di dalam suratnya kepada jemaat Roma menyuarakan kembali hukum yang kelima ini dengan nuansa baru. Dia berkata: “Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat” Rom 13:7. Paulus di dalam ayat itu berbicara tentang membayar rasa hormat. Ia berbicara dalam konteks hukum. Rasa hormat tidak hanya dibayarkan kepada orang tua kita secara biologis. Bagi orang Israel kuno, yang namanya ‘bapa’ itu bukanlah orang tua secara biologis. Kepala suku juga disebut sebagai bapa. Jadi kita dapat mengelaborasi hukum yang kelima ini dengan melihat siapa saja mereka yang dapat disebut sebagai bapa di dalam kehidupan kita.
Nabi Yesaya berbicara tentang raja dan permaisuri yang menjadi inang pengasuh. Yes 49:23a. Nas ini memberikan indikasi kepada kita bahwa para pemimpin kita di tengah-tengah masyarakat adalah juga orang tua yang harus diberi hormat. Bukankah penulis surat Ibrani mengajak kita untuk menghormati para pemimpin kita? Memang dia tidak menunjuk kepada pemimpin di tengah-tengah jemaat. Namun karena pemerintah adalah hamba Allah, maka mereka yang menyelenggarakan pemerintahan pun adalah dia yang layak dihormati, karena itu adalah kehendak Allah bagi kita.
Musa juga mengajarkan kepada bangsa Israel agar memberi hormat kepada orang tua. Ada orang yang berceritera tentang kereta api di Jepang. Di sana katanya ada kursi yang berwarna biru. Kursi itu hanya diperuntukkan bagi anak-anak dan orang tua. Orang Jepang menghormati para orang tua yang ada di masyarakat mereka. Rasanya orang Jepang lebih mematuhi firman yang disuarakan Musa ini dari pada orang Kristen, sekalipun mereka tidak mengenal firman yang disurakan Musa di dalam kitab Keluaran. Alasan yang menjadi dasar dari firman yang disuarakan Musa di dalam kitab Imamat itu ialah: “Akulah TUHAN” Sering kita memberi penghormatan kepada orang oleh karena prestasi yang telah mereka capai. Jika ada orang tua yang tua renta, tetapi tidak ada apa-apanya di dalam hidupnya, maka kita acap kali mengabaikan mereka. Manusia memang hanya memberi penghargaan dan penghormatan kepada mereka yang berprestasi. Namun firman Tuhan yang disuarakan oleh Musa tentang menghormati orang tua alasannya ialah: Tuhan semata-mata. Kita memberi hormat kepada orang lain bukan karena prestasi mereka, melainkan karena Tuhan semata-mata.
Kita juga diminta Tuhan untuk menghormati para pemimpin rohani kita. Hal itu disuarakan oleh penulis surat Ibrani (Ibr 13:17). Bahkan Paulus mengatakan bahwa penatua yang baik pekerjaannya harus dihormati dua kali lipat (I Tim 5:17). Kelipatan dua menempati sesuatu yang signifikan di dalam budaya Yahudi. Itu berarti kehormatan yang diberikan kepada para  pemimpin yang bekerja dengan baik, haruslah sungguh sangat signifikan. Jadi, mereka yang dimaksud sebagai orang tua bukanlah hanya mereka yang disebut sebagai orang tua jasmani kita.
Sungguh menarik untuk disimak, hukum kelima ini mengandung janji. Allah berjanji, jika kita menghormati orang tua yang kita sebut di atas, maka kita akan menikmati umur yang panjang di tanah yang dikaruniakan Tuhan untuk kita tempati. Memberi hormat kepada mereka yang layak dihormati, membawa berkat. Itu janji Allah. Namun satu hal harus kita pastikan ialah: kita melakukan hukum itu bukan supaya kita mendapat berkat. Kita melakukannya karena sudah dapat berkat. Di sinilah letak keluarbiasaannya. Setelah diberkati, kita melakukan firman Tuhan. Setelah kita lakukan, kita semakin diberkati. Jadi, melakukan firman Tuhan itu pada dasarnya untung!

28/03/11

HUKUM KEEMPAT

HUKUM KEEMPAT
Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya.

Sabat artinya istirahat. Allah kita itu adalah Allah yang berkarya. Ia memberikan contoh kepada manusia untuk berkarya juga di dalam hidupnya. Namun Allah yang berkarya itu memberikan contoh kepada kita, bahwa manusia membutuhkan saat untuk istiharat. Salah satu ayat yang sangat bermakna bagi kita di dalam merenungkan Sabat, ialah: manusia diciptakan Allah pada hari yang keenam. Setelah manusia itu diciptakan, maka Alkitab mengatakan: itulah hari keenam. Setelah itu, tibalah hari ketujuh. Angka tujuh adalah angka genap dalam pemahaman budaya purba. Bagi bangsa Israel, itu adalah angka yang melambangkan persekutuan antara manusia dengan Allah.
Angka tujuh adalah penjumlahan angka 3 dan angka 4. Angka 3 adalah angkanya Tuhan. Ingat, Allah kita adalah Trinitatis. Dalam pengakuan iman orang Yahudi, kita menemukan kata Tuhan sebanyak tiga kali, sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam kitab Ulangan pasal 6. Karena itu, orang Yahudi memahami angka tiga adalah angka Tuhan. Sementara angka empat adalah angka manusia. Hal itu dilatarbelakangi pemahaman mata angin adalah empat, yakni Timur, Barat, Utara dan Selatan. Jadi angka tujuh adalah persekutuan antara manusia dan Tuhan. Sabat difirmankan agar manusia itu mendapat peristirahatan bersama dengan Allah. Pada hari pertama bagi manusia, di mata Allah itu adalah hari ketujuh bagi Dia. Dari sudut pandang itu kita dapat memahami bahwa hari sabat adalah hari sukacita bagi manusia. Segala sesuatu di dalam hidupnya dimulai dari hadirat Allah. Hal yang pertama di dalam hidupnya ialah persekutuan dengan Allah.
Orang Yahudi menyalakan lilin pada hari sabat. Suatu tindakan yang menggambarkan sukacita. Terang di dalam pemahaman Alkitab menunjuk kepada sukacita. Oleh karena itu kita harus melihat hari sabat dalam konteks sukacita. Hari itu adalah hari yang diberkati Tuhan. Jadi, tatkala kita menikmati perjumpaan dengan Tuhan di dalam hari sabat, itu berarti kita menerima berkat dari Tuhan. Setiap orang Yahudi yang datang ke Sinagoge pada hari sabat, mereka pulang ke rumahnya masing masing, lalu memberkati setiap anggota keluarga mereka dengan berkat imam yang mereka terima di sinagoge. Setiap pria di dalam komunitas Yahudi adalah imam di dalam keluarganya. Menurut hemat saya secara pribadi, hal yang sama juga berlaku bagi orang Kristen. Martin Luther mengajarkan hal itu. Menurut Luther, seorang bapa berfungsi sebagai imam, hakim dan pendidik di dalam keluarganya. Sebagai imam, ia memberkati anggota keluarganya di dalam nama Tuhan. Itu sebabnya setiap kepala keluarga diharuskan datang menghadap Allah di dalam hari sabat. Di sana ia akan menerima berkat Allah. Lalu meneruskan berkat Allah itu kepada keluarganya. Alur pemahaman seperti itu seharusnya menjadi panutan yang harus dilakukan setiap orang Kristen di dalam hidupnya.
Di samping sabat adalah hari sukacita, maka sabat pun adalah hari istirahat. Saya memandang hukum taurat dari sudut pandang hukum roh. Karena itu hari sabat pun di lihat sebagaimana penulis Surat Ibrabi melihatnya. Menurut dia, ada sabat yang sesungguhnya tersedia bagi orang percaya. Cf Ibr 4:9 “Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah”. Oleh karena itu, sabat yang sesungguhnya yang disediakan Allah bagi umat-Nya ialah: di masa mendatang. Namun satu hal yang sangat indah bagi kita yang percaya ialah: di dunia ini saja, Allah telah menikmati persekutuan dengan kita dalam sabat yang hanya bayangan dari sabat yang sesungguhnya nanti akan kita nikmati. Jika di sini saya telah menikmatinya, bagaimana mungkin saya tidak diundang di dalam menikmati persekutuan di sabat yang akan datang itu?
Hari sabat juga diberikan sebagai peringatan akan penciptaan Allah akan dunia semesta ini. Penulis kitab Kejadian mengatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi enam hari lamanya. Lalu ia beristirahat pada hari yang ketujuh. Dengan mengingat hari sabat dan menguduskannya di dalam konteks mengingat penciptaan Allah, kita diingatkan kembali untuk merenungkan bahwa segala sesuatu itu ada karena Allah yang bekerja di dalamnya. Tatkala kita beristirahat, kita menengok kembali ke belakang, melihat segala sesuatu yang telah kita kerjakan di masa yang silam. Apakah kita melihat bahwa segala sesuatunya itu baik adanya? Tatkala Allah menyelesaikan pekerjaan-Nya, Ia mengadakan evaluasi. Hasilnya ialah: semuanya itu amat baik. Sabat pun menjadi saat dimana kita mengadakan sebuah evaluasi tentang apa yang sudah kita kerjakan di dalam minggu ini?
Jemaat HKBP mengadakan evaluasi secara liturgis pada malam tahun baru. Biasanya nyanyian yang disuarakan di dalam acara itu ialah: Buku Ende Nomor 64:2

Aut alusanku Debatangku
Jika aku harus menjawab Allahku
ra tung maila au di si,
mungkin aku akan malu
marningot salpu ni rohangku
mengingat segala kesalahanku
ro di sude ulaonki.
juga segala perbuatanku
Ai dosa do binaen ni tangan,
dosa yang dikerjakan tangan
gok dosa nang rohangku pe;
hatiku pun penuh dengan dosa
Nang pat nang mata nang pamangan
Juga kaki, mata dan mulut
luhut marsala do hape”.
seluruhnya melakukan dosa.

Pada hakekatnya, bukan hanya pada akhir tahun kita mengadakan evaluasi. Sebagaimana disuarakan hukum yang keempat ini, kita mengadakan evaluasi itu tiap minggu. Itulah sebabnya gereja di sepanjang zaman mengadakan acara pengakuan dosa di dalam ibadah minggu kita, karena kita sadar bahwa dosa senantiasa mengintip di depan pintu. Ia sangat menggoda kita. Namun oleh karena kasih karunia Allah kita dapat mengalahkannya dengan darah Tuhan Yesus Kristus yang menyucikan kita dari segala dosa.
Kita akan melihat perintah ini dari sudut lain sebagaimana kita lakukan juga dengan hukum yang lainnya. Perintah itu sangat jelas. Kita disuruh untuk mengingat, jadi maksudnya orang tidak diperkenankan untuk melupakannya. Jelas, sabat harus dihadirkan di dalam kehidupan ini. Itu adalah kehendak Allah. Sebagaimana kita telah membicarakan kehadiran Allah di dalam kehidupan ini, tatkala kita membicarakan hukum yang pertama, maka kita pun sadar, Allah hadir di dalam hidup ini di dalam rangka berkarya. Allah ingin agar sabat itu menjadi bagian dari kehidupan kita. Ia tidak hanya memerintahkan agar manusia memperingati sabat, tetapi Ia sendiri berkarya untuk menghadirkan sabat itu bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Orang-orang yang telah mengikat perjanjian dengan Dia.
Dengan adanya perintah jangan melupakan hari sabat, itu berarti kita diminta untuk menghadirkan makna sabat itu di dalam kehidupan kita. Seperti sudah dikatakan di atas, sabat mengingatkan kita akan hari perhentian yang akan datang, itu berarti tatkala kita merayakan kebaktian sabat – bagi kita orang Kristen – itu berarti hari Minggu. Di sana, kita mengingatkan diri sendiri dan juga komunitas kita tentang hari perhentian yang disediakan Allah bagi kita di sorga kelak.
Dengan demikian, saya semakin memahami, kebaktian minggu kita itu bukanlah sebuah ibadah untuk menyenangkan hati, sebagaimana dicari dan dinikmati orang sekarang ini. Ibadah minggu kita itu, sebagaimana penulis uraikan di dalam tulisan terpisah; kebaktian kita itu adalah refleksi dari apa yang dilakukan di sorga sebagaimana digambarkan oleh kitab Wahyu pasal 4 dan 5. Ibadah minggu adalah merefleksikan karya Tuhan Yesus yang telah dikerjakan-Nya ribuan tahun yang lalu. Sekarang hal itu dituturkan kembali. Dihadirkan kembali di dalam karya Roh Kudus. Sabat mengarahkan mata hati kita ke surga. Sabat mengingatkan kita akan tanah air kita yang kekal, yakni surga. Sebagaimana syair lagu ini menyuarakannya:

This world is not my home, i’m just the passing through.
The angel beckon me from heaven open’s door
And I can’t fell at home in this world anymore

27/03/11

HUKUM KETIGA

HUKUM KETIGA
Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.
Ada seorang pendeta berbicara di televisi berkhotbah, lalu ia memulai khotbahnya dengan mengatakan: “Haleluya, haleluya, haleluya...” saya merasa pendeta itu menyebutkan kata yang sakral itu dengan sikap hati yang sangat enteng! Orang Batak mengatakannya dengan sebutan” “Gait di baen pandita i!”  Rasanya berdasarkan subyektifitas saya yang mendengarkan dia mengucapkan perkataan tersebut dengan sembarangan. Teman-teman dari gereja kharismatik sangat obral dengan kata haleluya. 
Kata ini pada dasarnya terdiri dari dua kata, yakni halelu dan yah. Yang pertama artinya adalah pujilah, sementara yang kedua adalah nama Allah sendiri yakni: Yahweh. Berdasarkan Evangelical Distionary Of Theology, Baker Books 1984 kata haleluyah dipakai di dalam Alkitab hanya dalam bentuk ibadah. Sekarang orang Kristen mengobral kata itu bahkan di dalam percakapan sehari hari yang tidak ada hubungannya dengan ibadah.
Pernah seorang gadis bertanya sesuatu kepada pemandu wisata: “berapa jumlah orang percaya di kota ini? Lalu pemandu wisata itu menjawab: “tidak ada!” Lalu sang gadis itu menyeletuk: “puji Tuhan!”. Apa maksudnya? Kata puji Tuhan juga sudah sangat marak dan diobral dengan sangat murah. Ada juga tendensi sekarang ini semua doa sudah harus ditutup dengan sebutan haleluya!
Martin Luther dalam kathekismus kecil memberi makna hukum ketiga ini sebagai berikut: “Kita harus takut serta kasih kepada Allah, sebab itu jangan mengutuki, mengumpat,memakai guna-guna, berbohong, menipu dengan mamakai nama Allah; sebab hanya dalam penderitaan, kesusahan dan di dalam doa serta pujianlah kita layak menyebut nama Tuhan Allah”. Luther senantiasa memulai penjelasan tentang hukum Musa itu dengan ungkapan: “Kita harus takut serta kasih kepada Allah”. 
Hal yang memotivasi kita untuk melakukan hukum Tuhan itu adalah rasa takut dan kasih kepada Allah. Saya merasakan tidak ada rasa takut kepada Allah di hati mereka yang menyebut nama Tuhan dengan sebutan haleluya dan puji Tuhan tersebut. Tuhan kita itu adalah Allah segala roh kata rasul Petrus. Oleh karena itu ia menganjurkan agar kita hidup dalam rasa takut terhadap Dia Cf. I Pet. 1:17.
Sekarang ini orang tidak lagi peduli akan hukum yang ketiga. Begitu gampangnya orang meyebut nama Tuhan. Bahkan Tuhan itu sudah sangat manusiawi sedemikian rupa, sehingga kita telah kehilangan sisi keilahian-Nya. Kita menyapa dia dengan selamat pagi, selamat siang, selamat malam. Ia sama seperti sesama kita yang lainnya. Ia dibatasi oleh ruang dan waktu, sama seperti kita, sehingga Ia berada di dalam waktu malam, pagi dan siang hari. Yesus memang manusia, tetapi Ia juga adalah Allah! Kita telah kehilangan sisi keilahian-Nya. Kita telah melihat Dia sebagai juru selamat semata-mata. Ia telah menyelamatkan kita dan Ia menjadi sahabat kita. Kita lupa, Ia adalah Tuhan atas segala tuan dan raja di atas segala raja.
Jika kita memahami hukum ini dalam dua sisi sebagaimana kita terapkan di atas, maka kita akan menemukan sisi suruhan di samping sisi larangan untuk tidak menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Suruhannya tentunya adalah kosokbali dari larangan itu sendiri. Saya memahami, suruhan itu ialah: agar kita menyebut nama Tuhan itu dengan rasa hormat dan kasih kepada-Nya. Nama itu adalah nama yang kudus! Nama yang tidak sembarang disebut. Kata sembarangan di sini menunjukkan kepada makna. 
Jangan menyebut nama Tuhan dengan tanpa makna. Menyebut nama Tuhan tanpa makna itu berarti menyebutnya secara otomatis. Sebab dalam ungkapan yang otomatis, di sana tidak ada rasa. Oleh karena itu, tatkala kita menyebut nama Tuhan itu, maka di sana harus ada rasanya. Rasa yang harus ada kata Martin Luther ialah: takut dan hormat serta kasih!
Jika kita perhatikan alur dari hukum ini, maka kita akan menemukan aliran kasih dan takut serta hormat itu sebagai berikut: Ia yang Ada itu, ada di dalam hidup kita, citra yang kita hadirkan di dalam hidup kita itu adalah citra dari dia Yang Ada, lalu kita melakukan hal itu dalam rasa kasih takut dan hormat kepada Dia Yang Ada di dalam hidup kita. Orang sering memahami rasa takut dan hormat dari sudut pandang negatif. 
Oleh karena itu, kita membuang sisi negatif itu dari dalam hidup kita. Hasilnya, muncullah satu pribadi yang akrab dengan kita, dimana pribadi itu dapat dicandai dan dapat kita perlakukan sebagaimana kita memperlakukan teman manusiawi kita. Pola seperti itu tidak dikenal oleh orang-orang kudus di dalam Alkitab.
Abraham disebut namanya sebagai sahabat Allah – “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya? (II Tawarikh  20:7) Namun, tatkala sahabat itu datang untuk mengikat perjanjian dengan dia, maka kesaksian Alkitab adalah sebagai berikut: “Menjelang matahari terbenam, tertidurlah Abram dengan nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap gulita yang mengerikan. Garis bawah dari saya (Kej 15:12).
Sekalipun Abraham adalah sahabat Allah, sisi kengerian itu tetap tidak hilang, tatkala ia menikmati persahabatan dengan Dia Yang Ada itu. Jika sang bapa orang beriman mengalami hal itu, bagaimana mungkin kita anak-anaknya secara rohani kehilangan kengerian itu? Hukum yang ketiga ini sangat perlu diterapkan di dalam kehidupan anak-anak Tuhan sekarang ini yang telah mulai kehilangan sisi kegentaran terhadap nama Allah. Bukankah nama itu kudus? Bagaimana mungkin orang-orang yang beribadah kepada-Nya menyebutnya dengan sembarangan? 

24/03/11

HUKUM KEDUA

HUKUM KEDUA
Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya
Hukum kedua berbicara tentang citra. Orang muslim tidak pernah membiarkan ada citra di dalam kehidupan beragama mereka. Sebagai sarana untuk mengekspresikan cita rasa seni lukis di dalam kehidupan ini, mereka melukis kaligrafi. Saya pikir, muslim mengambil sikap untuk tidak menerakan citra di dalam kanfas adalah sebuah warisan dari Yahudi. Citra yang ada di dalam kehidupan mereka adalah firman Allah mereka. Sebaliknya dengan orang Kristen. Khususnya orang Kristen Orthodox Yunani dan Koptik. Mereka menggali makna rohani dari citra para orang kudus yang mereka  miliki.
Citra yang seharusnya ada di dalam hidup kita adalah citra Tuhan sendiri. Citra itu telah dipatrikan di dalam kita, tatkala Adam diciptakan di dalam gambar dan rupa-Nya sendiri. Rasul Paulus mengatakan kepada kita bahwa Allah dari semula telah menetapkan kita serupa dengan gambar Anak-Nya itu, supaya Yesus menjadi yang sulung dari banyak saudara! Dia Yang Ada itu dan yang menikmati persekutuan dengan kita, menghendaki agar citra itu terpancar dari dalam kehidupan kita sehari-hari. Dari sudut pandang citra ini, kita tahu bahwa Allah sangat senang jika kita menjadi saluran berkat yang disediakan-Nya di dalam kehidupan kita.
Citra yang akan kita demonstrasikan bukan berasal dari segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Betapa pun kita mengasihi keluarga kita, hal yang paling utama dalam hidup ini adalah Tuhan sendiri. Ada orang yang mengatakan kepada isterinya bahwa sang isteri masuk dalam urutan kedua di dalam hidupnya. Sementara urutan pertama ditempati oleh Allah sendiri. Tetapi tatkala ia menempatkan isterinya di dalam urutan yang kedua, kasihnya pun semakin melimpah di dalam hidup ini. Inilah paradox dari iman Kristen. Tatkala citra yang paling utama kita tempatkan di dalam hidup adalah Allah sendiri, maka yang lain pun semakin mengalami akselarasi dalam segala hal. Sebaliknya, tatkala citra yang kita ingin tumbuh kembangkan adalah diri kita sendiri, maka kita akan jatuh ke dalam keberdosaan yang sangat dalam. Menurut Alkitab, kita di disain untuk kekekalan. Allah menciptakan kita seturut gambar dan rupa-Nya sendiri. Allah ada di dalam kekekalan, maka kita yang segambar dengan dia pun diperuntukkan untuk kekekalan.
Rasul Paulus berbicara tentang kemuliaan Allah yang  seyogianya semakin terang di dalam hidup orang percaya. Cf. II Kor 3:18. Hukum yang kedua menjadi acuan bagi kita untuk menampakkan citra Allah di dalam kehidupan ini yang semakin terang, seiring perjalanan waktu yang dikaruniakan Allah kepada kita. Berdasarkan uraian di atas, kita sekarang dengan penuh keyakinan dapat mengatakan bahwa hukum taurat Musa itu masih sangat relevan bagi kita sekarang ini. Kita membutuhkan tuntunan dari hukum kedua ini untuk berjalan bersama Tuhan. Hukum ini kita butuhkan bukan supaya kita selamat, bukan! Kita telah menikmati keselamatan karena karya Yesus Kristus Tuhan kita. Hukum Musa kita butuhkan sebagai penunjuk jalan di dalam perjalanan hidup ini, sama seperti firman Tuhan lainnya yang menjadi pelita di kaki kita dan terang di jalan kita.
Hukum yang kedua ini pun menuntun kita untuk tidak sujud dan meyembah terhadap citra apa pun yang ada di dunia ini. Bahkan di dunia rohani sekali pun. Sujud yang dimaksud ialah: dalam konteks ibadah. Bagi orang Israel kuno, masalahnya sangat jelas. Di sekitar mereka begitu banyak bangsa-bangsa yang sujud dan beribadah kepada citra yang dibuat oleh manusia. Hal ini menjadi jelas bagi kita sekarang ini dalam kontek karya manusia. Kita tidak diperkenankan untuk sujud kepada sesuatu yang berasal dari ciptaan. Kita harus sujud dan beribadah kepada Dia yang menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Nas ini mengajar saya untuk melihat Dia yang tidak termasuk ke dalam ciptaan ini. Kepada Dialah aku harus sujud dan menyembah Dia. Alam sendiri adalah sebuah ciptaan. Sekalipun alam lebih besar dari pada saya, namun alam tetap berupa ciptaan. Maka oleh karena itu, alam tidak dapat menempati tempat yang seharusnya ditempati Allah di dalam hidup saya. Allah mendisain hidup ini untuk Dia. Itulah yang disuarakan Allah melalui nabi Yesaya, “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!" (43:7). Sayang seribu kali sayang, orang sekarang ini menempatkan sesuatu yang berasal dari dunia ini menjadi ilah di dalam hidupnya. Para selebriti menjadi ilah modern. Dahulu, orang komunis membuat ide partai menjadi ilah di dalam kehidupan mereka. Rasul Paulus malah mengatakan bahwa keserakan adalah wujud dari penyembahan ilah di dalam hidup ini.
Hidup ini dari Allah, maka hidup pun dijalani hanya bagi Dia semata-mata. Oleh karena itu, citra yang harus terungkap di dalam hidup ini pun adalah Allah sendiri. Kierkegaard, bapa eksistensial mengatakan bahwa eksistensi manusia yang tertinggi ialah: manusia rohani. Paulus pun mengatakan hal yang sama. Oleh karena itu, citra yang nampak dari dalam kehidupan kita bukanlah sesuatu yang berasal dari dunia ini, sebab semuanya itu adalah citptaan belaka. Citra yang nampak seyogianya adalah citra Allah yang nampak di dalam wajah Kristus Yesus Tuhan kita.

23/03/11

HUKUM PERTAMA


HUKUM PERTAMA

Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku.

Hidup ini adalah sesuatu yang sangat kompleks. Kita sering lupa bahwa kehidupan memiliki multi dimensi. Satu hal yang kita akan pegang teguh di dalam memahami 10 Hukum Musa yang diterimanya di gunung Sinai, ialah: senantiasa ada dua sisi dari setiap firman yang disampaikan kepadanya. Jika firman itu bentuknya larangan, maka pada hakekatnya firman itu juga memiliki sisi suruhan.
Umpama kata dikatakan: jangan berhenti, di dalam perintah jangan berhenti itu, terdapat juga perintah lain, inklusif di dalamnya perintah agar jalan terus. Alkitab dengan jelas memberikan kepada kita pemahaman yang harus ditimba orang percaya dari firman itu sendiri, tidak harus senantiasa harfiah belaka.
Kita melihat Rasul Paulus memahami makna dari perintah dalam Hukum Taurat dalam dimensi yang tidak harfiah. Ia berkata  kepada jemaat Korintus sebagai berikut: “Sebab dalam hukum Musa ada tertulis: "Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik!" Lembukah yang Allah perhatikan? Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya” (9:9-10).
Jelas dari ayat tersebut, Paulus memberi makna baru dalam arti harfiah dari ayat tersebut. Orang yang hanya memahami makna harfiah, maka dengan penuh keyakinan ia dapat berkata: “aku tidak pernah melanggar firman Tuhan ini di sepanjang hidupku”. Hal itu dikatakannya karena ia tidak hidup lagi di dalam dunia pertanian, melainkan dalam masyarakat perkotaan. Namun dari sudut pandang Paulus, rasul Tuhan itu, orang tersebut belum melakukan firman tersebut, karena ia tidak memberikan hak karyawannya dalam masalah upah kerja.
Dengan pemahaman seperti itu, maka marilah kita mendekati hukum pertama ini. Jelas hukum ini merupakan sebuah larangan bagi orang Israel, juga bagi kita orang Kristen! Jika Allah menghendaki agar tidak adanya ilah lain di dalam hidup kita di hadapan Dia, maka sangat jelas Ia menghendaki agar yang ada di dalam hidup ini hanya Dia semata-mata. Dia ada di dalam hidup kita. Sejenak kita akan menyoroti makna kata ada!
Jika ada sebuah rapat diadakan,maka absensi akan dibacakan. Satu satu nama dari orang yang diharapkan akan disebutkan. Orang yang disebutkan namanya akan menyahut dengan sebutan ‘hadir’ atau ‘ada’. Apa makna ada di sana? Ada bukan hanya sekedar hadir. Ada artinya, ia hadir untuk turut ambil bagian dan berpartisipasi di dalam rapat tersebut. Ada juga pelayan yang hadir di dalam rapat itu. Ia ada di sana, bukan dalam rangka turut ambil bagian dalam rapat. Lain dengan perserta. Jadi kata ada maksudnya ialah: hadir untuk turut ambil bagian dalam kegiatan yang sedang diadakan. Ia akan berperan aktif di dalam kegiatan tersebut. Seperti itulah Allah ada di dalam hidup kita. Ia ada dalam rangka turut ambil bagian di dalam perjalanan hidup ini. Ia bahkan memimpin di depan. Itulah Allah kita yang ada di dalam hidup kita.
Tatkala memibicarakan mukaddimah, kita telah menyinggung Allah yang ada di dalam hidup kita. Sekarang dari sudut pandang diri sendiri, saya harus membuat sebuah konfirmasi akan adanya Allah di dalam hidup saya. Konfirmasi itu bentuknya dengan menolak akan adanya sesuatu yang lain dari Allah di dalam hidup saya. Saya tidak membiarkan adanya ilah di dalam diri saya sendiri, sebab Allah sudah ada di sana.
Sisi lain dari perintah jangan ada ialah: biarkan Ia ada di dalam hidupmu. Bukan kita yang membuat Allah ada di dalam hidup kita ini. Ia yang ada itu yang mengadakan Dia ada di dalam hidup kita. Oleh karena itu, biarkan Dia ada dan senantiasa ada di dalam hidup kita. Jika saya membiarkan Allah ada di dalam saya, maka tidak akan  ada kesempatan bagi ilah-ilah lain jadi ada di dalam diri saya.
Sejenak kita akan menyoroti ilah di sini. Ilah untuk orang Israel kuno mestilah beda dengan ilah bagi kita di zaman ini. Tetapi ilah tetap ilah. Ilah itu adalah dia yang kita puja dan kita sembah di dalam kehidupan yang nyata. Oleh karena ketakutan orang pada zaman dahulu terhadap kuasa yang besar dan mengacap kehidupan,  maka orang menyembah ilah, agar dapat terhidar dari bahaya yang sedang mengancam.
Sekarang ilah bentuknya sudah sangat lain. Ilah di zaman modern ini sudah berubah bentuk. Ia bukan lagi dewa atau dewi yang dipuja, melainkan sesuatu mengenai diri sendiri yang diproyeksikan ke depan dan menjadi pujaan hati. Ilah sekarang ialah: uang, jabatan, karir, dan lain sebagainya. Jika di zaman dahulu ilah itu adalah dewa dewi, maka sekarang ilah itu sudah menjadi manusia itu sendiri.
Kita sekarang memakai kata yang lebih halus untuk kata ilah: ialah: idola. Lihatlah para remaja dunia yang mengagungkan para penyanyi pop sebagai idola mereka. Kita sebagai orang tua pun tidak terlalu khawatir tentang hal seperti itu, sebab itu hanyalah idola. Pada hal hukum itu mengatakan jangan ada ilah – juga idola – bagi di hadapanku.
Rasul Paulus mengatakan di dalam surat Efesus bahwa keserakahan sama dengan penyembahan berhala. Berhala adalah ilah. Jadi dengan memiliki keserakahan, maka pada dasarnya kita tidak lagi menjadikan Allah ada di dalam hidup kita. Posisi-Nya kita gerser dari kehidupan ini dan memberikannya kepada sesuatu yang bukan Allah.
Tindakan seperti ini tentunya sangat mendukakan hati Allah. Kita ada, karena Allah ada. Alangkah bejatnya moral kita dengan menggantikan Yang Ada itu dengan sesuatu yang lain dimana pada hakekatnya dia bukalah yang ada. Penyembahan ilah senantiasa mendukakan hati Allah yang ada di dalam diri kita.
Salah satu keberdosaan manusia yang disoroti Paulus dalam surat kepada Jemaat Roma ialah: manusia mengganti Allah dengan sesuatu yang bukan Allah. Oleh karena keberdosaannya itu. Maka manusia mulai kehilangan kewajaran hidup. Allah bukan lagi sesuatu yang wajar untuk disembah. Manusia menggantikannya dengan sesuatu yang bentuknya lain. Ada banyak kewajaran hidup yang hilang dari komunitas manusia sekarang ini, karena mereka menolak Allah Yang Ada di dalam kehidupan mereka.
Alangkah tidak tahu dirinya manusia itu yang menolak Allah yang dalam kasih-Nya yang begitu besar telah tinggal di dalam kehidupan manusia yang pada dasarnya harus dibinasakan karena keberdosaannya. Inti dari penyembahan ilah lain selain dari Allah ialah: ketidakadaan kasih kepada Dia Yang Ada di dalam hidupnya.
Manusia lebih mencintai dirinya sendiri dari pada Dia Yang ada di dalam dirinya, kita kenal sebagai kasih. Kasih-Nyalah yang mendorong Dia untuk menyelamatkan kita  yang telah dipilih-Nya dari semula untuk didiami-Nya dalam kehidupan ini, serta menjadikan kita ada di dalam Dia. Jauhkanlah segala macam ilah dari dalam hidupmu, sebab hal itu mendukakan hati dari Dia Yang Ada di dalam hidupmu sendiri yang adalah kasih.
Jika kita melihat Allah ada di dalam hidup kita, dimana pun kita ada, maka perilaku kita pun akan disesuaikan dengan adanya Dia sang Ada di antara kita. Marilah kita melihat Dia ada di dalam kehidupan kita. Dengan jalan demikian kita telah melakukan apa yang disuarakan oleh hukum yang pertama.

22/03/11

Mukaddimah


Mukaddimah
"Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.
Satu hal yang sangat indah yang saya dapat tangkap dari firman Allah di dalam saat teduh pagi hari ini ialah: Allah kita itu adalah Allah yang menyatakan diri kepada mereka yang dipanggil-Nya. Di dalam mukaddimah hukum Taurat ini, Allah memperkenalkan diri-Nya lebih dahulu kepada bangsa Israel. Ia adalah Tuhan Allah orang Israel. Ia telah melakukan sebuah karya yang maha indah bagi mereka, yakni membawa mereka keluar dari Mesir, dari perbudakan. Dialah Allah yang juga kita kenal di dalam Yesus Kristus. Sebelum Allah menyatakan kehendak-Nya dalam bentuk hukum, Ia lebih dahulu menyatakan kepada orang yang kepada mereka Ia menyatakan kehendak-Nya itu, apa yang telah dilakukan-Nya bagi mereka. Tindakan yang luar biasa itu adalah sebuah kasih karunia!
Perintah muncul, didahului sebuah tindakan Allah dalam kasih karunia. Itulah bentuk perintah yang aku temukan di dalam Alkitab. Menurut hemat saya, hal inilah yang menjadi alasan mengapa inti sari dari hukum taurat menurut Tuhan Yesus adalah kasih. “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan hukum yang sama seperti itu ialah: kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”. Oleh karena Tuhan telah berbuat sesuatu terhadap kita, maka sebagai respons kita terhadap kasih yang bersifat karunia itu, maka kita melakukan kehendak-Nya. Itulah bentuk yang dikehendaki Allah bagi kita yang diajarkan Alkitab.
Allah adalah Dia yang telah menyatakan diri! Hal ini kita temukan di sepanjang Alkitab. Kita lihat mulai dari tindakan-Nya menyatakan diri kepada Abraham. “Allah yang Mahamulia telah menampakkan diri-Nya kepada bapa leluhur kita Abraham, ketika ia masih di Mesopotamia, sebelum ia menetap di Haran, dan berfirman kepadanya: Keluarlah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu” (Kis 7:2-3). Sangat jelas di mata kita, Allahlah yang pertama mengambil tindakan untuk menyatakan diri kepada Abraham. Allah datang kepada Abraham, tatkala ia masih ada di Mesopotamia. Nas yang sudah kita kutip di atas mengatakan bahwa Allah itu adalah Allah yang Mahamulia. Dalam kemuliaan-Nya, Ia datang kepada orang yang berdosa, penyembah berhala seperti Abraham. Itulah yang disuarakan Yosua dalam khotbah perpisahannya kepada bangsa Israel.
Kepada Abraham, Allah berulang kali menampakkan diri, dalam rangka meneguhkan janji-Nya kepada bapa banyak bangsa ini. Melalui penampakan diri itu, Allah memperkenalkan diri sebagai Allah yang mengikat perjanjian dengan manusia. Allah yang menampakkan diri, itulah Allah yang dituturkan kepada kita oleh Alkitab. Satu aksioma yang berlaku bagi kita di sini ialah: Allah itu tetap sama, baik dulu sekarang dan nanti. Jika demikian, maka Allah yang telah menampakkan diri kepada orang-orang kudus-Nya di zaman dahulu kala, Ia juga menampakkan diri kepada kita sekarang ini. Puncak penyataan Allah kepada manusia ialah: di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.
Yesus berkata: “barang siapa melihat Aku, ia melihat Bapa”. Setiap pagi, tatkala saya mengadakan saat teduh, di lubuk hati yang paling dalam, ada sebuah kesadaran yang mengatakan bahwa Allah menyatakan diri kepada saya melalui firman yang sedang aku dengar! Hal itu sangat menolong untuk lebih menghargai perjumpaan dengan Dia yang menyatakan diri kepada umat manusia di sepanjang zaman.
Allah yang menampakkan diri dan menyatakan isi hati-Nya kepada mereka yang dipilih-Nya, itulah Allah kita. Pemazmur mengatakan bahwa Allah itu telah memperkenalkan jalan-jalan-Nya kepada Musa, perbuatan-Nya kepada Israel (Mzm 103:7). Pernyataan pemazmur ini menarik hati saya. Allah memperkenalkan jalan-jalan-Nya kepada Musa, identik dengan memperkenalkan perbuatan-Nya kepada Israel. Sebab demikianlah pola yang dipakai bangsa Israel di dalam membentuk syair mereka. Itu berarti apa yang diperkenalkan Allah kepada Musa, itu pada hakekatnya kepada bangsa Israel juga. Jika Allah memperkenalkan diri kepada satu orang, pada hakekatnya tujuan utama dari tindakan tersebut ialah: mencakup keseluruhan bangsa yang diwakilinya. Karena Abraham adalah bapak orang beriman, sementara saya adalah orang beriman karena kasih karunia-Nya, maka pada hakekatnya penampakan itu pun dapat dikatakan diperuntukkan bagi saya juga. Oleh karena itu, saya dapat menimba pengalaman rohani dari perjumpaan Abraham dengan Allah. Sama juga halnya, saya pun dapat menimba pengalaman rohani dari perjumpaan orang Israel dengan Allah di Gunung Sinai, dimana mereka menerima Hukum Taurat di sana. Itulah sebabnya renungan ini dituliskan.
Sudah dikatakan di atas, pelaksanaan perintah Tuhan adalah sebuah respon terhadap kasih karunia Allah yang telah menyelamatkan. Pemahaman terhadap kasih karunia Allah, akan menentukan corak dari respon orang. Tatkala kita melihat kasih karunia Allah itu, penuh kemuliaan dan kebenaran, sebagaimana disuarakan Yohanes dalam Injilnya, maka respon kita pun tentulah sangat berbeda dari respon orang yang tidak melihatnya. Pemazmur melihat kemuliaan kasih karunia Allah, maka ia dengan sebulat hati mengatakan: “bagianku adalah Tuhan, aku telah berjanji untuk berpegang pada firman-firman-Mu” (Mzm 119:57).
Aku juga merenungkan nama Tuhan yang disebut di dalam mukaddimah ini. Nama itu ialah: Yahweh Elohim, itulah nama yang dikenakan kepada Allah. Itulah Allah kita yang kita kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Berdasarkan penjelasan yang kita dapatkan dalam Kel 3:4, YHWH artinya adalah: AKU ADALAH AKU. Terjemahan Bode mengatakannya sebagai berikut: AKU AKAN ADA YANG AKU ADA. Menurut Andrew Jukes, dalam bukunya The Names Of God, di dalam kosa kata YHWH, ada dua kata kerja ada di dalamnya, yakni havah artinya adalah ‘ada’. Oleh karena itu, kata ada menjadi kata yang perlu saya renungkan!
Allah yang menyatakan diri itu adalah Allah yang ada di dalam hidup orang yang kepada mereka, Dia menyatakan diri-Nya. Para filsuf Yunani purba mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada sekarang ini adalah sebuah bayangan dari realita yang sesungguhnya. Berdasarkan pemahaman para filsuf Yunani tersebut, saya memahami, hakekat dari keberadaan yang sesungguhnya adalah Allah. Ia ada. Dia senantiasa di dalam tense sekarang, Ia tidak pernah menjadi dulu atau nanti. Ia tetap sekarang. Ia adalah ‘ada’ yang sesungguhnya. Karena Ia ‘ada’, maka segala sesuatu yang ‘ada’ sekarang ini menjadi ada karena Dia. Di dalam Dia, aku menjadi ada. Di dalam Dia aku pun akan tetap ada, karena Dia ada. Itulah Allahku di dalam Yesus Kristus Tuhanku. Berdasarkan pemahaman ini, saya lebih mengerti lagi apa yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes: “Tinggallah dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (Yoh 15:4). Jika aku ada di dalam Dia, dan Dia ada di dalam aku, maka tidak ada satu pun yang dapat membuat aku tidak ada lagi di dalam dia, demikian juga sebaliknya, tidak ada yang dapat membuat Dia tidak jadi ‘ada’ di dalam aku. Keselamatan kita begitu aman. Untuk itu, hanya syukur dan pujian yang harus dipersembahkan kepada-Nya.
Di samping nama Yahweh, nama yang diperkenalkan Allah dalam mukaddimah ini ialah: Elohim. Kembali kepada Andrew Jukes, kata Elohim  adalah kata yang dibentuk dari kata alah dalam bahasa Ibrani. Kata itu artinya adalah sumpah. Jadi Allah yang menyatakan diri sebagai Elohim  adalah Allah yang bersumpah. Tentang sumpah ini, tentunya adalah sumpah yang telah dibuat-Nya sendiri dan diberikan kepada Abraham. Penulis Surat Ibrani mengaakan demikian: “”Sebab ketika Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham, Ia bersumpah demi diri-Nya sendiri...” Allah yang menyatakan diri itu adalah Dia yang ada dan yang mengikat perjanjian dengan mereka yang kepadanya Ia menampakkan diri. Jika Allah senantiasa ada, maka perjanjian-Nya pun senantiasa ada. Syukur kepada Dia yang ada, dan yang mengikat perjanjian dengan kita di dalam Kristus Yesus Tuhan kita.
Karena janji-Nya kepada Abraham bapa leluhur bangsa Israel, maka Allah yang ‘ada’ dan yang mengikat perjanjian itu bertindak untuk membebaskan bangsa-Nya itu keluar dari Mesir, dari rumah perbudakan. Jika bangsa Israel dibawa keluar dari rumah perbudakan di Mesir, maka kita orang tebusan Tuhan sekarang ini dibawa keluar dari rumah perbudakan dosa. Suatu tindakan nyata yang dikerjakan Allah di dalam hidup ini ialah: aku tidak lagi milik dosa, tetapi sekarang aku milik Tuhan. Atas dasar kepemilikan Allah yang sah di dalam diri sayalah, maka hukum Tuhan dikenakan di dalam diri saya. Hukum itu menjadi sebuah respon terhadap karya Allah yang ada dan yang membuat aku ada di dalam perjanjian-Nya. Orang Israel menikmati hubungan yang sangat intim dengan Allah melalui hukum Taurat. Hukum itu diberikan kepada mereka di dalam rangka mengubah kehidupan mereka yang berjiwa budak di Mesir, menjadi seorang pribadi yang kudus, sebab pemilik dan tuan atas mereka sekarang adalah Yahweh Elohim. Hubungan yang intim ini sering kali terdistorsi oleh karena keberdosaan mereka. Namun kasih karunia Allah lebih besar dari pada keberdosaan mereka. Allah tetap menerima mereka di dalam keberdosaannya itu. Mereka mendapat pengampunan. 

Hal yang sama terjadi bagi kita orang Kristen. Kristus Yesus diberikan Allah kepada orang Kristen – kepada dunia ini –  sebagai tanda dari keinginannya untuk menikmati persekutuan yang intim dengan manusia. Roh Kudus tinggal di dalam hati kita. Itu setara dengan pemberian hukum taurat kepada bangsa Israel. Bahkan lebih mulia lagi. Sebab hukum yang dikenakan Roh Kudus untuk mengubah kehidupan kita untuk menyerupai gambar Allah bukanlah hukum taurat, melainkan hukum roh. Taurat itu tertulis di dalam loh batu, sementara hukum roh tertulis di dalam hati kita. Sekalipun demikian, bukan berarti hukum taurat tidak lagi harus kita lakukan. Hukum roh menjadi lebih mulia dari hukum taurat, sebab melalui hukum roh, kita melakukan apa yang diminta oleh hukum taurat, namun kita tidak dapat laksanakan. Roh Kudus melakukan tuntutan hukum taurat itu di dalam dan melalui kita. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari hukum taurat. Agar kita dimampukan untuk mengenal kehendak Allah di dalam roh.
Syukur bagi Allah yang ada dan membuat aku ada di dalam Dia, di bawah naungan perjanjian-Nya.

21/03/11

Bunda

B U N D A

Hidup adalah pada dasarnya sebuah pergumulan. Entahkah manusia itu menikmati kehidupan yang melimpah dengan berkat, namun tidak ada manusia yang tidak punya pergumulan hidup. Oleh kasih karunia Allah yang besar, aku diberi kesempatan untuk berkenalan dengan seorang ibu yang luar biasa menurut hemat saya secara pribadi. Waktu akan menunjukkan kelak, ibu muda ini akan setara dengan ibu-ibu yang besar di dalam sejarah dunia atau tidak. Dalam sejarah Gereja kita mengenal Ratu Helena, ibu dari Kaisar Konstantin dari Imperium Romawi. Kehidupan kerohaniannya punya dampak dalam pribadi Sang Kaisar, sehingga ia bertobat dan menjadi Kristen. Pertobatan Konstantin membawa perubahan besar bagi sejarah dunia. Imperium Romawi jadi Kristen.

Setelah Kaisar Konstantin bertobat dan jadi Kristen, Ratu Helena membangun Gereja di tempat-tempat dimana jejak kaki Kristus dapat ditelusuri di tempat-tempat tertentu di Timur Tengah. Karya dari Ratu Helena tersebut hingga kini masih dapat dinikmati para wisatawan di Timur Tengah. Ratu Helena seorang pribadi yang punya visi besar. Oleh dia, sejarah dunia berubah. Kasih karunia Allah yang didepositkan di dalam dirinya, yakni iman kepada Yesus Kristus, Sang Juruselamat dunia memungkinkannya.

Kita juga mewarisi sejarah kehidupan seorang ibu dari Hippo yang bernama: Monica. Oleh karena imannya kepada Yesus Kristus, ia merindukan anaknya jadi orang yang beriman kepada Kristus yang juga dia percayai. Ia bergumul dan menguraikan banyak air mata demi anak tersebut. Monica pernah ditegur seorang uskup, dengan mengakataan kepadanya: “Pergilah hai anakku dari sisiku, sebab tidak ada anak seperti itu yang akan binasa. Sebab telah terlalu banyak air mata yang dicurahkan karena dia”. Orang yang kita maksudkan ialah: Agustinus Bapa Gereja. Agustinus membawa perubahan yang sangat besar di dalam kehidupan bergereja, bahkan di dalam pembentukan pola pikir masyarakat Eropah karena karya tangannya. 

Aku masih menorehkan satu lagi kehidupan seorang wanita sederhana, namun membawa pengaruh besar ke dalam kehidupan masyarakat dunia. Orang itu adalah Susannah Wesley. Sang ibu ini seorang yang saleh. Ia bukan seorang teolog, tetapi anak-anaknya menjadi pendiri dari Gereja Methodist. Kehidupan keluarga mereka menjadi pondasi yang kokoh bagi iman harap dan kasih yang tertanam di dalam hati dua bersaudara: John dan Charles Wesley. Mereka inilah yang menjadi founder dari Gereja Methodist.

Satu hal yang menarik dari kehidupan Susannah, pemahamannya tentang makna dosa yang begitu dalam, hingga sekarang masih dibicarakan orang. Ia bukan teolog, tetapi pemahamannya tentang imannya dibicarakan para teolog. Susannah membuat batasan tentang dosa sebagai berikut: whatever weakens your reasoning, impair the tenderness of your consciense, obscures your sense of God or takes away your relish for spiritual things. In short, whatever increases the authorithy of the flesh over the spirit, that’s are you, no matter how good it seems”. Batasan tentang dosa ini masih dibicarakan orang yang menyampaikan firman Tuhan hingga hari ini. Oleh kasih karunia Allah, Susannah menjadi orang besar di mata orang banyak, tentunya juga di mata Tuhan.

Aku berharap, ibu muda yang aku bicarakan ini, oleh karena kasih karunia Tuhan, ia dapat menjadi besar, bersama dengan anaknya. Anak itu sungguh sangat diharapkan kehadirannya di antara keluarga. Beberapa tahun setelah menikah, Tuhan belum juga mengaruniakan anak kepada mereka. Mereka pun berjuang di dalam doa dan daya untuk berharap mendapatkan kasih karunia, seorang anak hadir di tengah-tengah keluarga.

Akhirnya, harinya pun tiba. Kehamilan itu pun datang juga. Sorak-sorai berkumadang di dalam hati. Namun tidak berlangsung lama. Setelah anak lahir, dalam hitungan hari, ia masuk ke dalam perawatan intensif. Dan dalam hitungan minggu, ia harus masuk ruang operasi. Ada kelainan di dalam otak. Alhasil, anak pun mengalami kekurangan yang sangat fatal di dalam kehidupannya. Saraf motoriknya mengalami kerusakan. Sekarang anak itu telah berumur empat tahun. Namun ia tidak bisa berbicara, tidak bisa bahkan membalikkan tubuhnya agar tengkurap. Saya sungguh sedih jika mengingat dia.

Sang ibu berjuang untuk merawat anaknya. Satu hal yang sangat kupuji dari sang ibu muda ini ialah: ia membawa anaknya ke sekolah minggu. Ia masuk ke dalam kelas batita. Ia duduk bersama ibu-bu muda lainnya, sama-sama menggendong anak-anak mereka. Tetapi anaknya tetap diam di pangkuannya, sementara anak yang lain sudah bermain ke sana-sini. 

Bukankah hal ini tentunya jadi duka tersendiri bagi ibu muda kita? Namun ia terus menjalaninya. Bisa saja ia menutup diri di rumah. Tetapi taktala ia menutup diri, maka tertutup juga dunia bagi anak tersebut. Anak itu otaknya masih berfungsi. Ia dapat merekam apa yang terjadi di sekitarnya. Hal itu terlihar dari sorot matanya yang memberi tanda bahwa ada aktifitas di dalam otak. Memang syaraf motoriknya tidak berjalan. Anak itu menikmati apa yang terjadi di luar dirinya.

Satu hari di bulan Desember 2008, aku diundang untuk mengikuti acara kebaktian natal Sekolah Minggu dimana mereka menjadi anggota. Anak-anak batita diberi kesempatan untuk membacakan ayat firman Tuhan. Hal seperti itu memang biasa di dalam tradisi Gereja tersebut. Anak-anak batita tersebut satu satu mengumandangkan ayat firman Tuhan yang telah mereka hafal. Tibalah saatnya sang anak yang kita bicarakan mendapat gilirannya. Ibu muda itu maju, ia menggendong anaknya yang sudah berumur empat tahun. Ia melafaskan ayat firman Tuhan yang dialokasikan bagi anaknya. Ibu muda itu sedikit gemetar di dalam mengungkapkannya. Rasa haru dan sedih bercampur baur tentunya di dalam hatinya tatkala ia berdiri di hadapan banyak orang. Ratusan pasang mata memandang dia di antara anak-anak batita.

Aku pun terharu melihatnya. Aku datang ke dalam ibadah itu hanya dalam rangka melihat ibu dan anak tersebut berdiri di depan dan melafaskan firman Tuhan yang dialokasikan kepada anak yang kekasih itu. Beberapa hari sebelumnya, sebuah pesan singkat mampir di ponselku. Asalnya dari ibu muda tadi. Sebuah tanya terlontar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ia berkata: “Aku koq merasa makin dedegan ya, kayak maksakan diri, jika aku cerita bahwa anakku akan ‘liturgi’ natal, sepertinya aku saja yang mau tampil, nggak tahulah aku bang!”

Sedih aku membaca pesan singkatnya. Segera aku membalas pesan singkat tersebut dengan mengatakan kepadanya: “Engkau dan anakmu tidak lagi dapat dipisahkan. Engkau yang jadi juru bicaranya. Jalan terus”. Ia pun menjawab dengan pesan singkat juga: “terima kasih bang”. Aku datang ke dalam acara tersebut untuk memberi dukungan terhadap kedua orang yang sedang bergumul ini. Aku berharap, Allah akan meninggikan nama-Nya melalui keluarga muda ini, khususnya melalui anak yang telah dititipkan kepada mereka. Keadaannya tidak menggembirakan menurut  orang banyak. 

Namun Allah tidaklah salah di dalam menitipkan orang seperti itu kepada pasangan muda ini. Ada banyak kisah tentang anak yang tidak seperti anak kebanyakan, jadi besar karena kasih karunia Allah. Orang besar dalam ilmu di abad ini, Stephen Hawking adalah salah satu contoh. Aku tidak tahu ke arah mana pasangan muda ini akan dibawa Tuhan dengan anak yang dititipkan kepada mereka. Allah adalah Penjunan, kita tanah liat. Di tangan penjunan yang piawai, tak ada yang tidak dapat dibentuk menjadi benda yang sudah ada dulunya di dalam benaknya.

Allah adalah Penjunan Agung kita. Di tangan-Nya tidak ada seorang pun yang tidak dapat dipakai untuk meninggikan nama-Nya di dunia ini. Tatkala nama-Nya ditinggikan, maka pribadi yang dia pakai sebagai alat untuk meninggikan itu, pun juga akan ditinggikan pula. Tuhan, pakailah ayah ibu dan anak ini menjadi alat di tangan-Mu yang senantiasa membawa kemenangan itu. Pakailah mereka untuk kemulaiaan-Mu. Dalam kemuliaan-Mu, mereka pun akan dipermuliakan juga. Segala kemuliaan bagi Allah semata-mata.

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...