29/04/11

Holy Land 3



Petra

Kota Petra adalah sebuah kota tua yang didirikan orang Nabatean ratusan tahun sebelum Kristus. Zeid berceritera sangat baik tentang kota ini. Kami masuk ke dalam kota itu melalui lorong sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini. Zeid berceritera bahwa air dimasukkan ke dalam kota melalui saluran air yang dipahat di dinding batu karang yang terlihat dalam gambar ini.



Tatkala memasuki celah batu karang itu, Terlintas di dalam hati, pemazmur yang berkata:Tuhan adalah gunung batuku, kota pertahananku Aku tidak goyah. Inilah gunung batu itu. Wah betapa aman berada di gunung batu ini. Lalu, aku menyanyian lagu ini:


Rock of ages cleft for me
let me hide myself ini Thee.
Let the water and the blood,
From Thy wounded side which flowed,
Be of sin the double cure;
Save from wrath and make me pure.

Not the labor of my hands
Can fulfill Thy law’s demands;
Could my zeal no respite know,

Could my tears forever flow,
All for sin could not atone;
Thou must save, and Thou alone.

Di lorong gunung batu itu, aku hanya menyanyikan bait pertama, karena itu saja yang dihafal. Bait kedua dituliskan di sini setelah tiba di Jakarta. Gunung batu itu sudah berusia ribuan tahun. Nyanyian itu juga berbicara tentang gunung batu yang ribuan tahun, bahkan kekal, sebab yang dimaksud ialah: Tuhan Yesus sendiri. Aku bersembunyi di dalam gunung batu itu. Hal ini sangat pas dengan keberadaan saya di gunung batu itu. Sambil menyanyikan lagu itu aku berjalan perlahan-lahan menikmati perjalanan.

Zeid berceritera, bahwa di kedua sisi gunung batu itu, orang Nabatean memahat saluran air, yang mengalirkan air ke dalam kota. Saya membayangkan air itu sedang mengalir di sana. Nyanyian itu pun berbicara tentang air dan darah yang mengalir dari luka Tuhan Yesus. Air pun mengikuti orang Israel di padang gurun. Air itu sekarang mengikuti aku dalam perjalanan mengiring Tuhan di sepanjang hidup. Betapa amannya berjalan dengan Tuhan di perjalanan waktu ini. Aku di dalam Tuhan, itu sangat aman.

Saya teringat akan perkataan seorang pengkhotbah di kebangunan rohani yang pernah saya ikuti, :”We are always in danger, but never dangerous”. Di sepanjang lorong itu, aku melihat burung-burung bersarang. Hati ini pun mengingat mazmur yang mengatakan: “Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku!” (Mzm. 84:4). Burung saja punya tempat dalam kasih karunia Allah, apalagi saya. Apa yang dilihat pemazmur, terlihat oleh hati ini.

Tatkala meneruskan perjalanan, aku melihat kuburan di beberapa tempat dalam lorong yang sempit itu. Tatkala melihat prasasti yang menandakan bahwa di sana terdapat kuburan, maka hatiku pun mengingat Surat Ibrani yang mengatakan bahwa kita punya banyak saksi iman bagaikan awan yang mengitari kita. Para saksi iman itu ada di sepanjang lorong waktu yang kita lalui. Kuburan mereka pun ada di sana.

Jika demikian, kuburan Tiur pun ada di sana. Prasastinya itu ditanda tangani oleh Tuhan Yesus sendiri. Prasasti itu seperti prasasti yang terlihat dalam gambar ini. Saya berkata dalam hati, apa kira-kira bunyi tulisan Allah dalam prasasti yang diperuntukkan bagi Tiur. Apa pula bunyinya di prasastiku yang akan dituliskan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih itu? Mungkinkah bunyinya ialah: “Di sini beristirahat dengan tenang hamba-Ku yang setiawan!” mudah-mudahan. 




Berjalan terus ke depan, terlihat rombongan kami berkumpul dan menantikan kami yang tercecer di belakang. Kami pun berkumpul dan bersatu kembali. Pembimbing kami mengatakan bahwa kami harus berdoa. Sebelum berdoa, kami diminta untuk menyanyikan lagu pujian: haleluya 12 X. Saya bertanya: apa yang terjadi? Seorang teman mengatakan bahwa ada dua orang dari rombongan kami yang mengatakan bahwa ia melihat orang berpakaian putih berkelebat di depannya. Lalu, pembimbing memutuskan untuk berdoa dan melawan kuasa kegelapan itu dengan doa dan pujian. Saya tidak turut menaikkan nyanyian itu. Sebab aroma batu karang yang teguh itu masih mewarnai hati saya.

Terlintas dalam hati saya, mungkin Tuhan datang menjemput saya di sini. Lalu saya katakan kepada Tuhan, jika aku yang akan Engkau jemput, aku bersedia dan tidak menyesal. Lalu di dalam hati aku berkata, sekali pun aku dikuburkan di sini, tidak jadi apa-apa, biar orang tidak repot mengurus kebutuhan saya. Lalu sebuah nyanyian berkumandang di dalam hati:

S’lamat di tangan Yesus aman pelukan-Nya;
dalam teduh kasih-Nya aku bahagia.
Lagu merdu malaikat, olehku terdengar
dari negri mulia damai sejahtera.

S’lamat di tangan Yesus aman pelukan-Nya
Dalam teduh kasih-Nya, aku bahagia.

Lagu ini terus kunyanyikan hingga pembimbing rohani kami menutup doanya dengan kata amen. Ada hal yang mengundang pertanyaan di dalam hati mengenai seorang teman dalam rombongan ini. Hal ini dituliskan di sini karena berkaitan dengan masalah yang aku hadapi. Teman ini membunyikan terus menerus sebuah trompet yang terbuat dari tanduk kambing. Di dalam Alkitab memang disebutkan ada nafiri. Apa kira-kira makna dari orang ini membunyikan nafirinya? Rasa-rasanya ia meniup nafiri itu dengan rasa. Oleh karena itu pastilah bermakna. Apakah ia juga melihat mahluk berpakaian putih itu? Nanti aku akan tanyakan kepadanya secara pribadi.

Akhirnya kami tiba di pintu utama masuk ke kota Petra kuno. Orang Yordania menyebutnya Treasury. Zeid memberi penjelasan yang sangat berharga mengenai Treasury ini. Adapun tinggi gapura itu adalah 40 meter. Lebarnya tiga puluh meter. Gapura itu dikerjakan selama seratus tahun barulah selesai. Zeid menuturkan bahwa pada mulanya gapura itu merupakan sebuah gunung batu. Lalu dipahat lebih dahulu supaya landai dengan kemiringan tertentu.

Kemudian dipahat mulai dari atas hingga ke bawah. Gapura ini didedikasikan kepada para dewa mereka. Patung yang dipahatkan di sana adalah dewa dari orang Yunani, dewa orang Romawi, juga dewa orang Mesir dan Assyiria. Saya sangat terkesan. Orang di zaman dahulu sangat tinggi dedikasinya kepada para dewa mereka. Gapura itu dibangun selama seratus tahun baru selesai. Alat yang mereka punya sangat sederhana. Tetapi dari sesuatu yang sederhana, mereka dapat mempersembahkan sesuatu yang sangat spektakular bahkan di zaman high tech  ini. Aku hanya seorang pria yang sederhana, tetapi hal itu tidak menghalangi aku untuk memberikan sesuatu yang sangat bermakna bagi Tuhanku.

Aku jadi teringat melalui percakapan dengan seorang teman dalam rombongan kami, bagaimana Zinzendorf berdoa semalam-malaman, lalu terjadilah kebangunan rohani yang terkenal dengan nama: gerakan Moravia. Dinegeri ini aku diingatkan untuk melakukan sesuatu yang punya dimensi kekekalan. Jauh lebih baik dari orang Nabatean ini.



Pembimbing rohani kami melarang teman-teman dari rombongannya untuk mengambil berfotoria di depan gapura itu. Saya tidak tahu alasannya. Itu adalah urusan mereka. Mungkin karena gapura itu sendiri adalah merupakan kuburan para raja orang Nabatean. Zeid meneruskan uraiannya tentang kota Petra. Di kota ini orang Byzantian mendirikan biara. Tetapi kami tidak punya waktu untuk melihat biara dan rumah-rumah orang Nabatean yang dipahat di batu karang itu. Bahkan Zeid mengatakan bahwa di kota tua itu ada sebuah amphiteather yang dapat menampung lima ribu orang. 



Saya terpesona, karena gedung yang dapat menampung jumlah sebesar itu ada di gunung batu, sungguh sebuah karya yang besar. Tatkala kami menunggu pesawat terbang dari Amman, aku menemukan sebuah buku yang ditaruh di sebuah toko dalam lapangan terbang itu. Dalam buku itu dikatakan bahwa daya tampung amphiteather itu tujuh ribu orang. Di internet aku temukan bahwa daya tampungnya hanya tiga ribu orang. Kira-kirberapa daya tampung amphiteather di atas.

Zeid berceritera bahwa arkeolog telah menemukan lagi di bawah gapura yang terlihat itu, masih ada bagian yang tertanam ke bawah sedalam enam meter lagi. Itu berarti tinggi gapura itu adalah empat puluh enam meter. Luar biasa. Tanah yang kami injak ternyata bukanlah lantai yang diinjak orang Nabatea zaman dahulu.



Aku ingin sekali melihat rumah-rumah pahatan  orang Nabatean itu. Aku dapat memuaskan keinginan tersebut dengan jalan searching di internet. Bukankah luar biasa mereka itu? Rumah dipahatkan ke dalam batu karang. Saya telah rasakan rasa sejuk di sepanjang lorong gunung batu tadi. Tentunya terasa juga rasa adem di dalam rumah mereka. Alangkah kontrasnya panas padang gurun di luar sana di bandingkan dengan rumah di dalam kota ini. Namun semuanya pun akan berlalu. Kota yang sangat kokoh ini  akhirnya jatuh ke tangan orang Roma. Mereka memindahkan ibukota dari Petra ke kota Damsyik. Akhirnya kejayaan dunia inipun berakhir juga. Orang Nabaetan ini katanya menjadi nenek moyang suku Bedouin di Timur tengah. Aneh ya, nenek moyang mereka lebih civilised dari keturunannya Kembali saya menyanyi sambil pulang ke hotel:

This world is not my home,
i’m just the passing through
my treasure are laid up
some where betond the blue.
The angel backon me
From heaven open door
and  I cant feel at home
in this world any more.

28/04/11

Holy Land 2


Berkat Terselubung

Rencana semula, kami langsung masuk ke tanah suci, ke tanah Israel. Namun sesuatu terjadi. Pemerintah Israel tidak memberi kami izin untuk masuk ke sana. Perjalanan kami ke sana di undur. Hal itu diberitahukan pimpinan rombongan kepada kami dalam persiapan mau berangkat ke Israel. Ia melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa Dinas Rahasia Israel menunda izin masuk kepada kami, karena di dalam rombongan kami ada dua orang yang dulunya beragama muslim. Luar biasa itu Mossad. Segala seluk beluk dari orang yang akan masuk ke Israel mereka selidiki. Oleh karena kami tidak bisa masuk ke tanah Israel, maka perjalanan pun dialihkan masuk Yordania lebih dahulu, barulah masuk ke Israel. Hal ini menjadi berkat bagi saya secara pribadi, juga bagi teman-teman.

Allah kita itu adalah Tuhan atas sejarah kehidupan manusia. Saya sudah mengatakan di depan, Allahlah yang mengundang saya untuk menikmati perjalanan umat-Nya di tanah perjanjian. Jika kami lebih dulu masuk ke Israel baru kemudian masuk ke Yordania, maka hal itu tidak menapaktilasi perjalanan bangsa Israel. Sebab bukan demikian rute yang mereka jalani. Saya memuji Tuhan untuk berkat terselubung itu. Allah dalam kemahakuasaan-Nya bertindak, agar anak-Nya ini dapat berjalan sebagaimana orang Israel berjalan menuju tanah perjanjian bagi mereka. Allah dapat memakai kelemahan dan keterbatasan manusia di dalam mencapai tujuan-Nya. Alangkah indahnya berjalan dengan Tuhan, sebab dengan jalan demikian, kita dapat menikmati fasilitas kerajaan-Nya di sepanjang perjalanan bersama dengan Dia.

Tatkala bus berangkat, saya duduk sendirian dalam bus. Hatiku mulai sendu. Teman-teman berceritera dengan sesama yang ada di sisi mereka, sementara saya sendirian. Kenangan terhadap Tiur menggeluti hati. Dalam hati saya ada keluhan: “Tiur, seandainya engkau masih hidup, maka engkau akan duduk di sisi ini, lalu bercanda dan berceritera tentang perjalanan ini. Engkau membiarkan aku sendirian di sini”. Air mata pun meleleh di pipi. Saya teringat akan perkataan Tiur kepada saya pada tahun-tahun terakhir ia masih sehat. Saya akan menjalani masa pensiun.

Tiur mengajak kami mengikuti tur wisata. Ia lebih menyukai untuk mengunjungi Negara Yunani dari pada Yerusalem. Ia berkata: “Satu saat, kita akan mengunjungi kotaTesalonika.” Keinginannya itu tidak terkabul. Ia keburu telah dipanggil untuk tinggal di pangkuan Abraham. Hal itu membuat saya bertambar sedih dan berurai air mata. Syukur tidak seorang pun yang tahu akan hal itu.

Sebagai penghilang rasa duka, aku kembali menulis pengalaman ini dalam sebuah kertas catatan. Kembali tidak ada saat teduh pagi yang kami alami. Kami menuju pelabuhan penyeberangan melalui feri di laut merah. Untuk kedua kalinya kami akan menyeberangi laut ini. Penyeberangan yang pertama ialah: dari Cairo menuju Sinai. Kami menyeberang bukan melalui feri tetapi melalui terowongan di bawah terusan Suez. Sekarang untuk kedua kalinya kami menyeberangi laut merah dengan feri. Sebelum menyeberang ke Yordania, kami makan siang lebih dahulu di salah satu hotel di daerah resort teluk Aqaba wilayah Mesir.

Interupsi

Tatkala kami masuk ke pelataran hotel, waktu belum menunjukkan jam untuk makan siang. Oleh karena itu kami menyempatkan diri masuk ke dalam komplek hotel. Di dalam komplek
itu, ada taman yang luas, serta kolam renang yang besar. Ada banyak orang bule yang berjemur di sana sambil membaca. Agak ke arah dalam terlihat hemparan pasir putih dan laut yang berwarna biru. Terlihat di kejauhan orang berpakaian bikini sedang bermain bola voley pantai. Di lubuk hati saya terbersit keinginan untuk menginjakkan kaki ke laut merah tersebut. Oleh karena itu, aku melangkahkan kaki ke arah pantai. Di kejauhan terlihat berjejer kursi malas yang biasa ada di tempat pemandian menghadap ke laut.

Saya tidak melihat ada orang yang sedang tidur-tiduran di sana. Kaki ini pun melangkah ke arah laut merah. Setelah melangkahkan kaki, akhirnya aku pun melewati kursi tidur tersebut. Lalu saya melihat ada orang yang sedang tidur-tiduran di sana sambil membaca buku. Tetapi, wah! Aku sungguh sangat malu! Ternyata orang yang sedang tiduran itu adalah seorang wanita. Ia telanjang dada. Ia telanjang sembilan puluh lima persen! Aku pun balik kanan gerak! Karena dia, aku tidak sempat menginjakkan kaki di laut merah. Celakanya bukan hanya satu orang yang berbuat begitu. Itulah sebuah interupsi dalam menapaktilasi perjalanan Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian mereka.

Untuk mengenang interupsi ini aku meminta agar berfoto bersama dengan seorang ibu di rombongan kami, kebetulan ada di sisi saya. Ibu ini, Ny. Silalahi br Hutabarat. Ia berasal dari Surabaya. Ia ada dalam rombongan kami beserta anaknya laki dan menantunya boru Sirait. Ia juga disertai besannya Ny. Sirait boru Tarihoran, ibunda dari menantu yang menyertai beliau.



Setelah makan siang selesai, kami pun siap-siap masuk kendaraan untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat penyeberangan yang tidak jauh dari tempat tersebut. Ada sebuah catatan di dalam hati ini mengenai makanan yang disajikan dalam perjalanan. Aku tidak suka makanan tersebut. Memang makanan berlimpah. Namun tidak sesuai dengan standard lidah saya. Lalu saya mengatakan kepada diri sendiri: “Hotman, sekarang yang diperlukan bukanlah lidahmu, melainkan perutmu. Oleh karena itu, makanlah apa yang ada”. Itulah sebabnya saya dapat makan, walaupun tidak pernah menikmati makanan itu, hingga hari itu.

Setibanya di tempat penyeberangan, kami menunggu lama proses masuk ke kapal feri. Rupa-rupanya kapal feri itu cuma satu. Itupun sedang menurunkan penumpang. Lagi pula harus melalui pemeriksaan paspor, karena melewati perbatasan negara. Koper pun harus melalui pemeriksaan sinar ‘x’. Sementara menunggu di ruang tunggu yang sederhana, atapnya terbuat dari rumput, saya berbicara dengan orang Kristen Yordania. Ia banyak berceritera tentang orang Kristen Yordania. Di  Yordania tidak susah mendirikan Gereja. Raja sendiri yang memberikan tanah sebagai lahan untuk mendirikan Gereja.

Ada dua rombongan yang mempergunakan feri itu untuk menyeberang ke Yordania. Rombongan kami yang paling banyak. Rombongan yang kedua ialah turis yang berasal dari Jerman. Aku mengabadikan diri dengan jalan berfoto dengan kapal tersebut sebagaimana terlihat di sini. Waktu tempuh perjalanan dengan feri tersebut adalah empat puluh menit. Di sisi kiri kapal terlihat wilayah Israel. Saya merasa seperti mengelilingi danau Toba. Pulau Samosir persis seperti pegunungan yang terlihat di sisi kiri kita. Tatkala hal itu saya utarakan  kepada Pak Sirait, beliau mengiyakan pendapat saya itu.



Yordania

Setelah menjalani pemeriksaan imigrasi, kami dijemput pemandu wisata dari Yordania. Namanya Zeid. Ia seorang yang profesional dan menguasai lahan yang sedang dikerjakannya. Aku mengajukan banyak pertanyaan kepada dia. Ia memuaskan keingintahuan saya dalam waktu yang singkat itu. Perjalanan dari Aqaba menuju kota Petra menempuh beberapa jam. Di sepanjang perjalanan itu, Zeid berceritera tentang Yordania. Kerajaan Wilayah pada zaman Alkitab terdiri tiga kerajaan, yakni Kerajaan Edom. Ia menempati wilayah selatan. Kerajaan yang kedua ialah: kerajaan Ammon, ia menempati wilayah di tengah Yordania. Dari kata itu keluar kata Amman, yang menjadi ibukota Kerajaan Yordania. Sementara kerajaan ketiga ialah: kerajaan Moab, menempati wilayah utara yang lebih subur.

Zeid mengatakan bahwa pada tahun delapan ratusan, terjadi gempa bumi yang dahsyat di tempat itu, memporakporandakan segala yang ada. Wilayah itu ditinggalkan orang selama dua ratus tahun lamanya. Para arkeolog yordania mengatakan bahwa abad itu adalah abad kegelapan untuk Yordania, sebab tidak ada peninggalan sejarah yang ditemukan untuk zaman tersebut. Dengan demikian bangsa Edom, Moab dan Ammon pun punah dengan sendirinya.

 Zeid menolak pendapat saya itu dengan mengatakan bahwa mereka berasimilasi dengan bangsa bangsa di sekitar mereka. Namun, tatkala hal itu saya konfirmasi dengan pak Sagala, soerang Doktor di bidang purbakala, dia menjadi pemandu wisata bagi kami selama di Israel. Beliau mengatakan bahwa tidak ada indikasi dalam bentuk apa pun yang mengatakan bahwa ketiga bangsa itu masih eksis.

Akhirnya kami tiba di hotel penginapan di kota Petra. Hari sudah malam, maka kami menikmati makan malam dan kemudian tidur dengan tenang.




Berpose di depan pintu gerbang kota tua Petra


Holy Land 1

Sinai

Rombongan berfoto bersama di Morgenland. Penulis duduk di depan paling kanan.

Setelah sarapan pagi, kami berangkat menuju Sinai. Tidak ada kebaktian pada pagi hari ini. Pimpinan rombongan dari Jakarta memberi penjelasan singkat rencana perjalanan hari ini. Saya bertanya dalam hati, mengapa tidak ada renungan pagi. Karena itu saya membaca Alkitab dalam hati. Tatkala perenungan itu sedang saya lakukan, maka hati saya kembali merenungkan makna Mesir dalam perjalanan hidup iman. Kesan saya atas Mesir sebagai kota dunia, dimana penderitaan masih memenuhi hati, maka aku teringat akan kota Alexandria. Itu juga di Mesir. Lalu, kembali aku membuat perjalanan dalam kenangan terhadap negeri ini.

Saya mengingat akan Anthony of Egypt. Ia adalah ‘bapa biara’. Setelah kekaisaran Romawi menjadi Kristen karena pertobatan kaisar Constantine, maka rakyat berbondong-bondong masuk Kristen. Menjadi Kristen bukan lagi karena pertobatan. Orang Romawi membawa kebejatan moral mereka masuk ke dalam Gereja. Orang percaya tidak lagi menjadi ‘kawanan kecil’ sebagaimana dinyatakan Kristus Yesus, Sang Gembala Yang Baik! Gereja pun kehilangan keindahan dan kekudusan iman. Dalam rangka menghadang dekadensi iman yang tidak terbendung itu, Anthony memulai kehidupan biara. Ia memelopori satu kehidupan biara yang menitikberatkan penerapan iman di dalam kehidupan sehari-hari.

Ia adalah anak seorang tuan tanah yang kaya, tetapi pada satu hari ia mendengar panggilan Yesus untuk menjadi seorang yang sempurna dengan jalan menjual seluruh hartanya. Ia menyendiri di padang gurun, hidup sebagai seorang biara. Anthony sangat mempengaruhi Athanasius. Kita kenal dia. Orang yang mempertahankan keilahian Yesus Kristus. Athanasius berhadapan dengan Arius yang kharismatik dan dikagumi orang pada waktu itu. Berkat Athanasius, kita mewarisi pengakuan iman rasuli yang bertahan ribuan tahun lamanya. Bahkan mungkin jutaan tahun, jika dunia ini masih berputar, Yesus pun belum kembali untuk menjemput kita pulang ke surga.

Kami meninggalkan Cairo, juga meninggalkan kota Alexandria yang meninggalkan gema iman di lubuk hati orang beriman di sepanjang masa.

Padang Gurun

Pada awal pertobatan saya pada tahun 1974, buku-buku yang paling mempengaruhi saya ialah: buku-buku tulisan Nee To Sheng – Watchman Nee. Nee menggambarkan bahwa padang gurun itu adalah simbol dari dunia ini. Hal itu menjadi pandangan saya juga. Sekarang saya melihat dengan mata kepala sendiri padang gurun yang dilalui orang Israel ribuan tahun yang lalu.

Padang gurun menjadi medan dimana Allah bertindak. Orang Yehuda juga berjalan pulang ke Yerusalem melalui padang gurun. Di padang gurun itu, Allah membuat air memancar memenuhi kebutuhan orang Yehuda, bahkan binatang hutan sekalipun. Demikian kata Nabi Yesaya. Pikiran saya pun mengingat Yohanes Pembaptis yang berkhotbah di padang gurun.

 Kesan saya melihat padang gurun itu ialah: sesuatu yang perlu ditaklukkan. Dunia ini haruslah ditaklukkan demi kemuliaan Allah. Di sana sini, aku juga melihat tindakan orang Mesir, yang mengubah padang gurun itu menjadi sesuatu tempat yang layak ditinggali. Dalam hidup ini, begitu banyak yang harus ditaklukkan. Ada begitu banyak orang yang tinggal di padang gurun kehidupan yang gersang. Tatkala sendirian duduk di bangku bus yang membawa kami menuju tanah suci, hati saya menimba pelajaran yang sangat berharga.

Saya mengenang orang Israel yang berjalan di padang gurun di bawah pimpinan Musa. Berdasarkan data yang diutarakan dalam kitab Bilangan pasal dua, menurut perkiraan saya secara pribadi, jumlah orang Israel yang keluar dari Mesir itu ada sekitar dua juta lima ratus ribu orang. Mereka berjalan di padang gurun yang gersang ini, luar biasa beban yang di pundak tiap-tiap orang, apalagi di pundak Musa. Saya melihat dalam imajinasi, anak-anak berjalan dengan orang tuanya,mereka kepanasan, menangis minta minum. Dalam rombongan kami, ada seorang peserta anak kecil berusia satu setengah tahun. Ia mengilhami saya untuk melihat perjalanan Israel juga dengan anak-anak seumur dia, bahkan bayi yang baru lahir. Betapa susahnya perjalanan itu.

Kami mengunjungi tempat pertama di padang gurun itu dalam perjalanan kami, yakni Mara. Saya melihat sumur itu. Lalu hatiku melihat jumlah orang yang sangat besar itu berlarian ke arah sumur tersebut. Mereka sedang kehausan. Tetapi tatkala mereka merasakan bahwa air itu ternyata pahit rasanya, maka kemarahan pun menggeluti hati mereka. Lalu ada orang yang menjadi provokator. Ia mengajak orang untuk mulai melempari Musa dengan batu. Bukankah di sekitar mereka batu berserakan dengan jumlah yang sangat banyak?



Saya sangat memahami apa yang dialami orang Israel itu. Dulunya saya menuduh mereka sebagai orang yang keras kepala. Alkitab memang menyebut mereka demikian. Namun setelah melihat dengan mata kepala sendiri padang gurun ini, saya pun akan bertindak seperti mereka itu juga. Saya tidak akan lebih baik dari mereka itu. Di pandang gurun ini, saya memahami makna air bagi kehidupan. Sumur di Mara itu kecil. Model seperti itulah sumur di padang gurun. Pada hal manusia yang akan minum di sana jumlahnya dua juta lima ratus ribu orang. Sunggu tidak memadai.

Pembimbing rohani kami membacakan firman Tuhan di tepi sumur itu, dan memberi penjelasannya. Mara artinya pahit. Tetapi Tuhan merubah yang pahit itu menjadi manis melalui sepotong kayu yang dilemparkan Musa atas perintah Tuhan. Hati saya mengatakan bahwa air dunia ini memang pahit. Hanya jika salib Yesus dikenakan kepada kehidupan itu, barulah dia menjadi manis. Inilah kebaktian pagi bagi kami, sebab sebelumnya tidak diadakan. Alangkah indahnya jika seluruh tempat yang akan di kunjungi pada hari itu telah diberitakan dulu kepada kita sebelum berangkat. Hal ini menolong peserta memahami perjalanan rohani tersebut.

Secara kasat mata, tidak ada keindahan Mara. Kalau bukan karena sejarahnya, tempat itu tidak layak dikunjungi turis. Lagi pula pimpinan rombongan dari Jakarta mengingatkan kami akan sifat orang Beduin yang tinggal di tempat itu. Ia mengingatkan kami agar berhati-hati jika berkomunikasi dengan mereka.

Elim
   
Kami melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, persis di pinggir jalan, pemandu wisata .emberitahukan bahwa kami telah tiba di Elim. Kami tidak turun dari kendaraan, tetapi saya mengambil gambar. Bersasarkan Alkitab, di tempat ini ada dua belas sumur dan tujuh puluh pohon korma. Jika Mara masih di tanah datar, maka Elim, sudah di gunung yang berbatu batu. Keadaan semakin sulit. Hati saya bertanya apa itu memang Elim? Jika Mara masih di tanah yang rata, Elim sudah di tengah-tengah gunung batu yang gersang. Masalah yang dihadapi Musa semakin besar. Tidak banyak yang saya dapat renungkan di tempat ini, karena saya tidak melihat dengan mata sendiri sumur yang ada di sana. Namun hati saya semakin memahami makna air bagi mereka yang tinggal di padang gurun ini.

Rafidim
                                                                                                                      
Setelah Elim, kami melihat dari kendaraan gunung di Rafidim, dimana Musa berdoa, dan tangannya di topang Harun dan Hur. Di atas gunung itu ada semacam mezbah, dimana  menurut Bob, batu itu adalah tempat duduk Musa, tatkala ia berdoa. Sekarang saya mengerti keadaannya. Dulunya saya bertanya dalam hati, bagaimana Musa dapat melihat ke  bawah kepada Yosua yang sedang bertempur. Masalahnya, pikiran saya tentang  gunung, mengacu pada gunung di Indonesia.

Ternyata gunung di padang gurun itu identik dengan bukit di Indonesia. Sangat jelas Musa dapat melihat pertempuran itu dari puncak gunung tersebut. Saya semakin memahami makna pertempuran rohani ini. Amalek adalah salah satu suku bangsa yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini menurut Alkitab. Sekalipun Yosua mengalahkan mereka di padang gurun, tetapi bangsa ini tetap ada di tanah kanaan. Raja Saul diperintahkan untuk melenyapkan mereka, namun Saul tidak menaati firman Tuhan. Kami tidak turun dari kendaraan. Sehingga pandangan atas gunung itu hanya dapat dilakukan di atas bus. Perjalanan pun dilanjutkan.

Sementara kendaraan berjalan, hati saya mulai merenungkan perjalanan bangsa Israel. Tiap pagi mereka mengambil manna yang turun dari surga. Tetapi dari mana mereka dapat air? Masalah utama di padang gurun itu adalah air. Musa diperintahkan Tuhan untuk memukul gunung batu, sehingga air memancar dari batu itu untuk memenuhi kebutuhan dua setengah juta mulut. Tetapi perjalanan berlanjut. Dari mana mereka mendapatkan air?

Saya langsung mengingat perkataan Paulus dalam I Korintus 10: 4 “Dan mereka semua minum minuman rohani yang sama, sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus”. Garis bawah dari saya. Tradisi Yahudi yang dikutip Paulus mengatakan bahwa orang Israel diikuti batu karang itu. Martin Luther mengikuti Paulus dengan mengatakan bahwa air baptisan kita mengikut dari belakang, tatkala kita berjalan dengan Tuhan di dunia ini. Saya bertanya dalam hati, betapa melimpahnya air dari batu karang itu, karena harus memenuhi kebutuhan dari dua juta lima ratus ribu jiwa. Pertanyaan berlanjut, bagaimana cara batu karang itu mengikuti perjalanan Israel?

Saya senantiasa menyediakan persediaan air di sisi saya, karena sekalipun kendaraan ber AC, tetapi rasa haus tetap terasa. Bagaimana cara air mengalir untuk memenuhi kebutuhan orang yang begit banyak? Alkitab tidak menceriterakannya. Tatkala merenungkan hal itu, nas ini muncul di dalam hati saya: Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini" (Ul. 29:29). Saya tidak perlu tahu akan hal itu, sebab hal itu adalah bagiannya Allah. Demikian juga halnya dalam perjalanan hidup ini. Saya tidak perlu tahu bagaimana caranya Allah akan memenuhi kebutuhan saya. Hal yang paling penting ialah: kebutuhan saya tercukupi. Sebuah pelajaran menarik dari perjalanan rohani ke tanah suci. Saya semakin diteguhkan dalam berjalan bersama Tuhan di dunia ini. Hari masih siang, kami tiba di kaki gunung Sinai dan menginap di hotel bernama: Morgenland Hotel.

Gunung Sinai

Pada mulanya saya berencana akan mendaki gunung Sinai hingga puncaknya. Saya mengajukan pertanyaan kepada pimpinan rombongan: apa yang akan kita lihat di gunung tersebut? Dia menjawab: matahari terbenam. Hati saya memberi komentar: jauh amat datang ke gunung Sinai hanya untuk melihat matahari terbenam dari puncak gunung! Bukankah hal itu dapat dilihat dari gunung Bromo? Tatkala merenungkan pertanyaan itu, hati saya terbawa kepada kitab Keluaran pasal 19. Saya lalu membaca ayat itu dalam kendaraan.
 
“Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Pergilah kepada bangsa itu; suruhlah mereka menguduskan diri pada hari ini dan besok, dan mereka harus mencuci pakaiannya. Menjelang hari ketiga mereka harus bersiap, sebab pada hari ketiga TUHAN akan turun di depan mata seluruh bangsa itu di gunung Sinai. Sebab itu haruslah engkau memasang batas bagi bangsa itu berkeliling sambil berkata: Jagalah baik-baik, jangan kamu mendaki gunung itu atau kena kepada kakinya, sebab siapa pun yang kena kepada gunung itu, pastilah ia dihukum mati.

Tangan seorang pun tidak boleh merabanya, sebab pastilah ia dilempari dengan batu atau dipanahi sampai mati; baik binatang baik manusia, ia tidak akan dibiarkan hidup. Hanya apabila sangkakala berbunyi panjang, barulah mereka boleh mendaki gunung itu”.

Inilah perjalanan pertama bagi saya ke gunung Sinai. Aku datang bukan sebagai turis wisata, melainkan retreat. Karena itu, aku memutuskan untuk tidak naik ke puncak gunung tersebut. Sebab Firman yang diterima orang Israel yang baru datang ke gunung ini ialah: “sebab siapa pun yang kena kepada gunung itu, pastilah ia dihukum mati”. Saya tidak mengatakan bahwa orang yang naik ke gunung itu akan mati. Tidak! Ini hanyalah renungan pribadi.
Saya belum sampai pada level Musa, untuk berhadapan dengan Allah, menerima hukum yang berlaku untuk umat Allah. Aku berkata kepada pimpinan rombongan, jika Tuhan berkenan memberikan saya kesempatan yang kedua datang ke gunung ini, maka akau akan mendaki hingga puncak gunung. Sekarang belum tiba saatnya.

Teman-teman mendaki ke puncak gunung dengan memakai kendaraan unta. Pengalaman yang sangat menarik tentunya. Gunungnya terdiri dari batu-batu, serta di sana tidak tumbuh tumbuh-tumbuhan. Jalan setapak dijalani orang. Ada juga orang yang naik ke gunung itu dengan jalan kaki. Adapun tinggi gunung itu kata orang setinggi dua ribu meter lebih di atas permukaan laut.




Saya membayangkan orang Israel berkemah di sekitar gunung itu. Mereka harus menantikan Musa yang naik ke gunung itu dan menghabiskan waktu selama empat puluh hari lamanya. Menurut orang Israel, Musa tidak mungkin lagi kembali dari gunung itu. Tidak ada makanan, tidak ada air di sana. Maka mereka mulai kehilangan pegangan. Bagi mereka, Musa adalah representasi dari kehadiran Allah.

Karena Allah yang membawa mereka keluar dari Mesir telah meninggalkan mereka, karena Musa tidak lagi hadir di perkemahan, maka mereka membutuhkan kehadiran Allah itu dalam perkemahan. Kehadiran Allah menjadi jaminan tersedianya manna dan air di sepanjang perjalanan itu. Saya sekarang semakin mengerti, mengapa mereka membuat patung lembu emas.

Harun tidak dapat memuaskan kebutuhan orang Israel akan kehadiran Allah di perkemahan itu. Lalu mereka meminta agar Harun membuat mereka sebuah patung emas sebagai simbol dari kehadiran Allah itu sendiri. Tragis, seorang hamba Tuhan tidak dapat menyediakan kebutuhan rohani dari orang yang dipercayakan kepadanya. Pada mulanya orang Israel mengatakan bahwa patung lembu emas itu adalah simbol dari kehadiran Allah. Tetapi produk
dari pembuatan patung itu ialah: pesta pora.

Memang dimaklumkan Harun kepada bangsa itu, bahwa hari itu adalah hari raya bagi Tuhan. Tetapi hari raya yang mereka rayakan itu bukanlah hari raya yang diperintahkan Tuhan kepada mereka. Oleh perayaan itu, Allah berniat meleyapkan mereka dari muka bumi ini. Itu adalah kegagalan Harun sebagai pemimpin. Dalam hati saya terlintas pikiran seperti berikut: “Apakah orang yang naik ke gunung Sinai ini menikmati sukacita duniawi atau sukacita surgawi tatkala mereka menjalani jalan yang sempit itu, juga melihat jurang yang dalam, sebagaimana terlihat di gambar yang di atas.

Harun gagal,karena itu rakyat pun sesat. Bukankah hal ini sebuah pelajaran yang berharga bagi saya? Jika saya gagal menghadirkan Allah dalam pelayanan, maka orang pun akan sesat. Kembali saya teringat dengan apa yang disuarakan Paulus dalam Surat Korintus, ia membawa keharuman pengenalan akan Allah. Harun gagal, maka terjadilah malapetaka. Apakah aku gagal dalam menghadirkan Allah dalam pelayanan ini?

Ada banyak orang yang berceritera tentang rasa takut dan rasa sakit yang dialami orang yang naik onta ke atas gungung itu,khususnya kaum pria. Seorang ibu-ibu dari rombongan kami memberi tip kepada  teman-teman pria untuk menghindari rasa sakit akibat naik onta tersebut. Tatkala saya merenungkan kembali nas di atas di kamar hotel, alangkah baiknya jika
rombongan mengadakan kebaktian di hotel itu untuk merenungkan kembali pengalaman orang Israel di gunung Sinai ini. Tetapi hal itu tidak ada. Maka saya sendirlah yang beribadah dikamar. Aku tidak maumembicarakan hal itu dengan pembimbing rohani, atau pimpinan rombongan, karena aku tidak mau menggangu program mereka.

Di tempat ini kami berjumpa dengan rombongan dari satu Gereja yang berasal dari Indonesia. Tujuan mereka pun sama seperti kami. Rombongan ini dipimpin oleh pimpinan tertinggi dari Gereja tersebut. Aku punya catatan tersendiri mengenai orang-orang ini. Aku akan ceriterakan itu dalam bab khusus mengenai orang dalam tulisan ini. Hari sudah jauh malam. Tiba saatnya untuk membaringkan tubuh yang lelah ini di pembaringan yang nyaman. Untuk pertama kalinya aku tidur dengan alat pemanas dalam ruangan.

Biara St Cathrine



Saya tertarik dengan sejarah. Bob berceritera banyak tentang St Cathrine. yang berasal dari kota Alexandria. Ia adalah anak seorang bangsawan yang ternama di kota itu. Namanya sebelum menjadi Kristen ialah: Dorothea. Kalau saya tidak salah, arti nama itu ialah: karunia dewa. Orang tuanya membiarkan dia sekolah di rumah seorang Kristen di Alexandria tatkala ia berusia delapan tahun. Ia seorang gadis yang terpelajar. Akhirnya ia dibabtis dan diberi nama baru Catherine. Orang tuanya sangat marah karena ia murtad dari iman kafirnya. Orang tua itu berusaha agar anak gadisnya itu mau kembali ke iman yang lama.

Pertobatannya itu menarik perhatian kaisar Romawi pada waktu itu, yakni Kaisar Maxentius. Hal itu terjadi, karena orang tua Dorothea dekat dengan kaisar. Kaisar mengurus lima puluh orang duta besar untuk membujuk Dorothea kembali ke iman yang lama. Tatkala duta besar itu berjumpa dengan Dorothea, mereka diinjili. Lalu kelima puluh dutabesar itu bertobat dan terima Tuhan Yesus. Hal ini membuat Kaisar Maxentius murka. Karena kaisar merasa gagal membujuk Dorothea, Maxentius memerintahkan agar Dorothea dihukum mati dengan jalan kepalanya dipancung. Legenda mengatakan bahwa malaikat membawa mayatnya ke gunung Sinai.

Pada satu malam seorang biarawan bermimpi didatangi malaikat dan mengatakan bahwa mayat Catherine ada di gunung Sinai. Lalu ia mengajak seorang temannya menelusuri petunjuk dari malaikat tersebut. Mereka menemukan mayat Catherine dan membawa mayat itu turun gunung dan dimakamkan di kaki gunung Sinai. Kaisar Justinian mendirikan biara di kaki gunung itu dan menamainya dengan biara St Catherine. Menurut Bob, di dalam biara itu ada tumbuhan yang dipelihara agar tetap tumbuh. Tumbuhan itu adalah sejenis tumbuhan semak belukar yang terbakar tetapi tidak hangus yang dilihat Musa di gunung ini. Kami tidak dapat masuk ke dalam biara, karena biara itu tutup tiap hari Jumat. Mereka tutup bukan karena alasan muslim, tetapi memang biara menutup biara kepada pengunjung setiap hari Jumat.

Hal ini mengakibatkan kami tidak dapat masuk dan melihat tumbuhan tersebut. Lagi pula menurut Bob, di biara itu ada juga sumur yang masih mengalirkan air. Sumur itu dipercaya sebagai sumur dimana Musa untuk pertama kalinya bertemu dengan Zipora. Karena itu, orang menamakannya dengan nama Zipora. Karena biara tutup, maka hati ini tidak dapat dipuaskan
untuk melihat sumur dan semak duri itu. Namun di  internet,  saya melihat gambar tersebut. Di lapangan terbang Abu Dhabi ada internet cafe, free untuk orang banyak.

Aku menikmatinya, karena waktu menunggu pesawat terbang yang akan membawa kami pulang ke Jakarta menghabiskan waktu empat jam. Untuk membunuh waktu, maka saya menyempatkandiri searching di internet itu.mk aku pun mendapatkan gambar yang di sebelah kiri ini. Sayang, tidak ada gambar yang memuat sumur Zipora.

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...