22/09/11

Taman



TAMAN
Ada sebuah ungkapan dalam kehidupan di perkotaan: “taman adalah paru paru kota”. Hal ini diungkapkan karena pohon-pohon di taman itu menyerap gas karbondioksida, lalu mengeluarkan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia. Karbondioksida yang dikeluarkan kenderaan bermotor berbahaya bagi tubuh manusia. Itulah sebabnya pemerintah kota mengupayakan pengadaan taman-taman kota. Salah satu taman kota yang paling besar di kota Jakarta ialah: Taman Monumen Nasional (Monas). Lokasinya berada di pusat kota Jakarta.
Aku sering ke taman ini pada pagi hari untuk berolah raga. Udara pagi sangat nikmat dihirup di bawah pohon yang rindang di taman tersebut. Biasanya pada sore hari, di taman ini ada banyak pasangan muda mudi yang memadu kasih, sambil duduk di bawah pohon yang teduh. Mereka duduk berdua sambil ngobrol, entah apa yang mereka sedang bicarakan. Tatkala memperhatikan mereka, hati ini mengatakan: “Itulah manusia. Mereka berpasang-pasangan”. Lalu hati ini merenungkan firman Allah yang mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia itu laki-laki dan perempuan. Mahluk yang namanya manusia ialah: laki-laki dan perempuan. Mungkin jika hanya laki-laki di dunia ini, atau perempuan, maka namanya bukanlah manusia.
Tatkala merenungkan hal ini, sambil duduk di bangku yang disediakan pengelola taman di bawah pohon yang rindang, sambil melihat begitu banyaknya pasangan yang sedang memadu kasih di taman itu, hati ini mengingat Adam dan Hawa di Taman Eden. Sebelum kejatuhan mereka ke dalam dosa, Alkitab  mengatakan: “Mereka keduanya telanjang, manusia itu dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” Kej 2:25. Ada orang yang mengatakan: mereka merasa tidak malu disebabkan kemuliaan Allah menerangi keberadaan mereka. Kemuliaan itu begitu sempurna sehingga manusia itu tidak melihat adanya kekurangan di dalam kehidupan pasanganya. Mereka berpakaian kemuliaan. Itulah yang membuat mereka tidak malu. Kasih mereka berdua begitu sempurna sehingga Adam tidak melihat adanya kekurangan di dalam diri Hawa, demikian juga sebaliknya.
Menurut kesaksian Alkitab, tatkala Adam melihat Hawa ia bekata: “Inilah dia tulang dari tulangku, daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia berasal dari laki-laki” Kej 2:23. Dari ungkapan itu kita tahu, Adam menemukan dirinya di dalam diri Hawa yang baru dibawa Tuhan kepadanya. Aku memahami manusia itu seharusnya menemukan dirinya di dalam kehidupan orang lain. Dalam skala kecil, setiap pasangan yang menjadi suami isteri, seyogianya menemukan di dalam kehidupan pasangannya dirinya sendiri, ada di dalam diri dia yang menjadi pasangan hidupnya. Penemuan diri sendiri di dalam diri pasangan kita menimbulkan kepuasan batin. Adam mengalami hal ini. Menurut hemat saya secara pribadi. Ungkapan pernyataannya yang sudah dikutip di atas merupakan sebuah pernyataan dalam keadaan ekstasi. Jika kita mengatakannya dengan sebuah pernyataan modern, mungkin Adam mengatakannya: “Binggo, ini dia bagian dari diriku sendiri”.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan bahwa dari sejak semula, mereka yang telah mengikatkan diri dalam hubungan suami isteri, tidak boleh diceraikan manusia. Sebab mereka telah dipersatukan Allah. Jika kita renungkan bersama, bagaimana mungkin kita mau berpisah dari diri kita sendiri? Jika mereka harus berpisah, maka bagian dari diri pasanganya itu tetap ada di dalam dirinya. Jika ia menikah lagi maka pernikahan mereka itu tidak kudus lagi, sebab ada bagian dari diri orang lain yang bukan lagi bagian dari hidupnya ada di dalam dirinya sendiri. Sementara itu bagian itu asing di dalam kehidupan orang yang menjadi pasangan barunya. Yesus mengatakan bahwa orang orang ini hidup di dalam perzinahan (Mat 19:9).
Tatkala daku memandang pasangan-pasangan yang sedang memadu kasih itu, sebuah tanya mucul di dalam hati: berapa banyak di antara mereka ini yang akan berakhir di pelaminan? Berapa banyak di antara mereka yang terus menikmati kehidupan rumah tangga yang langgeng, hingga kematian memisahkan mereka kelak? Bukan barang langka perceraian sekarang ini, bahkan di kalangan orang yang menyebut dirinya orang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Itulah manusia, mereka tidak dapat memelihara keindahan hidup di dalam persekutuan yang telah ditetapkan bagi mereka untuk dijalani. Banyak orang memulai persekutuan mereka dengan sesuatu yang indah di taman. Tetapi mereka berakhir dalam kegersangan hidup. Sebuah tanya yang tak seorang pun dapat menjawabnya, selain Allah sendiri tentunya.
Hati ini kembali menerawang ke Taman Eden. Banyak para penafsir mengatakan bahwa pemahaman orang Yahudi di zaman Alkitab, tentang sejarah sungguh sangat berbeda dengan pemahaman kita sekarang ini. Kita memandang sejarah sebagai satu rangkaian peristiwa di masa dulu. Peristiwa itu tidak ada relasinya secara langsung dengan kita yang hidup sekarang ini. Berbeda dengan orang Yahudi, mereka melihat sejarah dalam tatanan moral dan tatanan waktu. Orang Yahudi memakai kata masyal  yang artinya perumpamaan bagi kisah yang mereka sedang tuturkan. Di dalamnya sarat pengajaran moral, juga mencakup masalah iman. Tatkala mereka menuturkan tentang Taman Eden, maka dibenak mereka ada pengajaran moral/iman yang harus digali dari kisah yang dituturkan itu.
Bagi orang Yahudi, taman itu bukanlah hanya sebuah peristiwa yang mendapat tempat di ruang waktu tertentu. Di sana diajarkan penciptaan dan adanya ular yang menyesatkan manusia. kisah itu dituturkan bukan hanya sebuah peristiwa di masa lalu. Melainkan peristiwa itu terjadi juga di dalam kekinian mereka.
Ada anggapan orang Yahudi, sisi lain dari Taman Eden itu ialah Bait Allah di Yerusalem. Fungsi bait Allah pun adalah dalam rangka penciptaan kembali, dan dikalahkannya si ular tua melalui ibadah korban. Pada hari raya pendamaian, tatkala imam besar masuk ke ruang maha kudus, darah dipercikkan ke tahta kasih karunia Allah, yakni tutup pendamaian peti perjanjian, maka seluruh dosa orang Israel diampuni. Mereka dicipta ulang kembali menjadi manusia baru. Di dalam kehadiran Bait Allah di Yerusalem, orang Israel memahami bahwa surga dan dunia menyatu di dalam Bait Allah tersebut. Hal itu dipahami sedemikian rupa, karena Allah sendiri hadir di dalam  Bait-Nya yang kudus tersebut.
Yerusalem dipahami sebagai perluasan dari pelataran Bait Allah. Para nabi banyak bertutur tentang Yerusalem menjadi pusat pemetintahan Allah di zaman akhir. Bangsa-bangsa akan datang berduyun-duyun membawa persembahan dan belajar mengenal Allah Israel, itulah gambaran yang dipahami oleh Israel purba tentang Taman Edan yang identik dengan bait Allah yang ada di Yerusalem.
Saya memahami dari sudut pandang iman Kristen, Yerusalem sebagai tempat di mana Bait Allah hadir dilambangkan oleh Gereja Tuhan di dunia ini. Seharusnya kita juga dapat melihat Gereja adalah sebuah taman sama seperti Taman Eden. Di Taman Eden ada empat sungai yang mengalir untuk mengairi taman tersebut. Sungai yang membawa kehidupan bagi seluruh tanaman yang ada di dalamnya. Tidakkah kita dapat melihatnya sebagai lambang dari Roh Kudus yang mengalir di dalam kehidupan setiap orang percaya yang ada di dalam persekutuan Gereja kita?
Angka empat berbicara tentang bumi. Para malaikat melihat bahwa bumi penuh dengan kemuliaan Allah. Pemazmur melihat bahwa bumi penuh dengan kasih setia Tuhan. Roh Kudus juga disebut dengan Roh Kemuliaan dan Roh Kasih karunia. Tidakkah hal itu setara dengan karya Roh Kudus di dalam Gereja Tuhan?
Di Taman Eden Tuhan menempatkan segala tumbuhan yang menjadi makanan dari manusia pertama itu. Di Gereja pun ada roti kehidupan yang akan mengenyangkan seluruh anggota persekutuan. Di sana pun Allah menumbuhkan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang benar serta pohon kehidupan. Dalam persekutuan jemaat Tuhan pun hal itu ditermukan. Kita diminta agar tidak mengambil buah pohon kehidupan itu sama seperti Adam. Tetapi kita akan meniru Tuhan kita Yesus Kristus dengan jalan menunjukkan ketaatan-Nya terhadap kehendak Bapa yang mengutus Dia datang ke dunia ini.
Dalam konteks manusia, di taman itu Allah berfirman bahwa tidak baik bagi manusia itu sendiri saja. Kita sering memahami nas ini dalam koteks pernikahan. Tetapi kita sedang memahani Taman Eden sebagai satu taman persekutuan. Jika dilihat dari konteks persekutuan, maka memang tidak baik bagi manusia untuk hidup sendiri saja. Di atas kita telah membicarakan saat yang sangat indah bagi Adamm tatkala ia bertemu dengan Hawa. Ia menemukan bagi dari dirinya ada di dalam diri  Hawa. Bukankah seharusnya kita dapat menemukan bagian dari diri kita di dalam teman-teman sepersekutuan di dalam Gereja? Bukankah kita sesama anak-anak Allah? Kita adalah sesama dalam artian iman. Kita adalah satu tubuh di dalam Kristus dengan Kristus sebagai kepala. Seharusnya kita dapat menemukan bagian dari diri kita di dalam seluruh anggota persekutuan.
Pohon pohon yang ada di taman itu membawa keteduhan dan oksigen yang segar. Di sana terjadi pemurnian hidup. Itulah Gereja Tuhan. Itulah Taman Eden yang dihadirkan Tuhan di sini sekarang ini. Memang di sana ada masih ular tua. Tetapi ular tua itu kepalanya telah diremukkan Tuhan Yesus melalui kematian-Nya di kayu salib.
Alangkah indahnya jika setiap Gereja yang didirikan Tuhan di dunia ini dapat menghadirkan Taman Eden yang sesungguhnya dalam perspektif iman. Orang akan datang ke taman itu sebagaimana telah disinyalir dalam permulaan tulisan ini. Orang akan memadu kasih di sana dan menemukan pribadi yang menjadi bagian dari dirinya sendiri. Di sana orang menemukan ekstasi rohani. Bukan eslstasi karena obat-obat terlarang. Itu tugas kita sekalian. Kita diminta tuk turut ambil bagian dalam rangka menghadirkan kesegaran hidup melalui persekutuan kita.

06/09/11

DARI OLEH DAN UNTUK DIA



DARI OLEH DAN UNTUK DIA 

Paulus mengungkapkan sesuatu yang perlu mendapat perenungan yang intens menurut hemat saya. Ia menutup doxologinya dengan sebutan yang terkenal, yakni: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Rom 11:36. Saya dapat memahami perkataan Paulus yang mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. 

Orang beriman pada umumnya akan mengaku bahwa segala sesuatu yang ada di dalam hidupnya itu ‘ada’, karena Allah yang memberkati hidupnya. Jadi tidak terlalu masalah. Namun, ada juga orang yang mengatakan bahwa segala sesuatu itu ‘ada’ di dalam hidupnya, bukan karena orang lain, bukan karena Allah sekalipun, melainkan oleh karena ia sendiri. Ia bekerja, karena itu segala sesuatu ‘ada’ di dalam dirinya!

Kita dapat mendebat pernyataan orang di atas. Kita tahu jelas bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari hukum sebab dan akibat. Marilah kita menelusuri keberadaan orang ini yang mengatakan bahwa segala sesuatu ‘ada’ di dalam hidupnya, karena ia bekerja. Ia sendirilah yang membuat segala sesuatu itu menjadi ‘ada’. Hukum sebab dan akibat mengatakan bahwa orang itu menjadi ‘ada’ bukan karena dirinya sendiri. Ada orang lain yang berperan sehingga ia ‘ada’. Orangtuanya menjadi faktor penentu sehingga ia ‘ada’. Jika orangtuanya tidak ‘ada’, maka sudah pasti ia pun tidak akan ‘ada’.

Jadi ada orang lain yang sangat berperan di dalam hidupnya sehingga ia ‘ada’ sebagaimana ia ‘ada’ sekarang ini. Ada guru di SD, SMP, SMU; ada dosen di Strata satu, strata dua, dan strata tiga yang sangat berperan sehingga ia ‘ada’ seperti sekarang ini. Keberadaan orang yang ‘ada’ di luar dirinya, tidak dapat diabaikan di dalam dia menjadi ‘ada’ seperti sekarang ini. Jadi kita tetap dapat mengatakan oleh dia yang ada di luar diri saya, maka segala sesuatu itu menjadi ‘ada’ di dalam diri saya. 

Sekalipun orang ini menyangkal adanya Tuhan, tetapi argumen kita tadi tetap tidak dapat disangkalnya. Ada orang di luar dirinya yang sangat berperan sehingga ia mendapatkan segala sesuatu yang ‘ada’ di dalam dirinya. Sebagai orang beriman, kita tetap mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di luar diri kita itu, berperan di dalam hidup, karena digerakkan oleh Allah yang ‘ada’ di dalam hidup kita.

Kita juga dapat menerima pernyataan Paulus di dalam nas yang kita kutip, yang mengatakan bahwa segala sesuatu itu untuk Dia. Secara nalar, kita dapat mengatakan bahwa hidup tanpa orang lain ada di dalamnya, adalah sesuatu hidup yang tidak bermakna. Diberitakan di dalam media massa, bahwa bos majalah Playboy hidup sendirian di apartemennya, tanpa pernah kontak secara fisik dengan orang lain. Menurut hemat saya secara pribadi, hanya dia manusia yang hidup seperti itu di zaman modern ini. Cobalah bayangkan bagaimana hidupnya orang yang menyendiri itu. Untuk apa dia hidup? 

Sebagai orang beriman, kita diajak Paulus untuk menyadari bahwa jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan. Jika kita mati, kita mati juga untuk Tuhan. Jadi baik hidup maupun mati, kita milik Tuhan. Itulah hidup orang percaya. Billy Graham pernah disangkal seorang anak muda, tatkala ia selesai memberitakan Injil dalam sebuah kebaktian kebangunan rohani. Anak muda itu mengatakan bahwa ia tidak pernah menjadi hamba siapa pun. Pada hal Billy Graham mengatakan bahwa semua orang adalah hamba! 

Billy Graham menjawab: “Anak muda, hidupmulah hidup yang paling malang di dunia ini. Karena engkau tidak diperhamba orang lain, melainkan diperhamba dirimu sendiri. Pada hal dirimu itu adalah hamba. Maka engkau adalah hamba dari seorang hamba. Aku lebih suka hamba dari seorang tuan dari pada hamba dari seorang hamba”. Memang, malang benar nasib anak muda itu, ia hidup untuk dirinya sendiri. Pada hal dirinya sendiri itu adalah debu adanya. Allah berfirman: “Engkau berasal dari debu!” hidup ini bermakna jika dipersembahkan kepada sesuatu, atau seseorang di luar diri kita sendiri. Bagi kita orang beriman, hidup ini depersembahkan kepada Allah sumber segala kasih karunia, yang kita kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.

Kita sudah dapat menerima bahwa segala sesuatu dari Dia. Segala sesuatu itu pun  untuk Dia. Sekarang kita membahas apa yang dikatakan Paulus di dalam nas kita. Ia berkata: “Oleh Dia”. Pernyataan ini perlu mendapat perhatian khusus. Oleh Dia! Tidak cukup dari Dia dan untuk Dia, tetapi harus juga ‘oleh Dia’. Jika saya membuat sebuah pengakuan bahwa segala sesuatu yang ‘ada’ di dalam hidup ini berasal dari Allah dan akan dipersembahkan kepada Allah. Itu belum cukup. Harus ditambahkan ke dalam pernyataan itu ‘oleh Dia’. Jika segala sesuatu itu ‘ada’ bukan ‘oleh Dia’, maka segala sesuatu yang ‘ada’ itu tidak bermakna bagi ‘Dia’. Jika saya yang mengerjakannya sendirian, maka segala sesuatu itu tidak akan diterima di sisi Allah. Mengapa?

Allah kita itu adalah Allah Yang Maha Kudus. Kata kudus adalah sesuatu yang unik di dalam bahasa Alkitab. Kudus artinya ialah: tersendiri, terpisah! Orang Yahudi mengatakan bahwa Allah itu adalah Yang Maha Kudus Israel – The Holy One of Israel. Kata One di sana dapat juga diterjemahkan menurut hemat saya dengan kata only. Jadi kata kudus itu saya terjemahkan di dalam hati ini dengan kata: ‘lain dari pada yang lain’. Ada satu pemahaman di dalam hati ini tentang apa yang  berkenan di hadapan Allah Yang Maha Kudus. Ia hanya mau menerima sesuatu dari kita, jika hal itu memiliki dimensi lain dari pada yang lain. Karena tidak ada seorang pun manusia yang dapat mempersembahkan hal itu kepada-Nya, maka Ia sendiri yang mengerjakan hal itu di dalam diri kita. Ia mengerjakannya melalui Roh Kudus-Nya di dalam hidup kita.

Paulus di dalam Surat Galatia mengatakan satu pernyataan yang perlu mendapat perhatian khusus. Ia berkata: “Sebab aku telah mati oleh Hukum Taurat untuk Hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” Gal 2:19-20. Untuk dapat menjalankan suatu hidup yang lain dari pada yang lain, maka Kristus datang di dalam hidup kita di dalam Roh Kudus-Nya. Roh Kudus menjalankan kehidupan yang berkenan kepada Allah di dalam diri kita. Dengan jalan demikian, maka tercapailah apa yang dikatakan nas kita di atas, ‘Dari Dia oleh Dia dan untuk Dia’.

Hati saya selanjutnya bertanya: “Dimana posisi saya sebagai satu pribadi?” Jika Allah di dalam Roh Kudus-Nya yang bekerja, maka saya ada di mana? Satu pertanyaan yang perlu mendapat jawaban yang pasti. Apa saya hanya sebuah robot yang digerakkan oleh sebuah motor penggerak? Inilah sebuah renungan yang sungguh memerlukan pendalaman yang intens. Saya dan Roh Kudus menjadi satu di dalam hidup ini. Tatkala Yesus berkarya di dunia ini, Ia dengan tegas mengatakan: “Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri” Yoh 7:17. Dengan jalan demikian Yesus mengatakan bahwa apa yang dikatakan-Nya itu bukan berasal dari diri-Nya sendiri, melainkan dari Allah Bapa-Nya. Berbicara tentang pribadi Yesus Kristus, kita semua tahu bahwa Ia adalah Firman yang sudah ada bersama dengan Allah. Firman pun tidak dapat dipisahkan dengan Roh Kudus. Tatkala Firman menjadi manusia dan tinggal di antara kita, maka hal yang sama pun terjadi dengan Roh Kudus!

Tatkala Roh Kudus diutus ke dalam dunia untuk tinggal bersama dengan orang percaya, maka Roh Kudus itu pun dapat kita katakan menjadi daging juga sama seperti Firman yang menjadi daging. Ada kesatuan antara Roh Kudus dengan orang percaya. Itu yang diutarakan Paulus di dalam nas kutipan kita dari surat Galatia. Sekarang dimana posisi saya jika demikian? Dengan segenap hati saya memahami posisi kita di dalam persekutuan dengan Roh Kudus yang tinggal di dalam diri kita. Dari sudut pandang Allah, maka Bapa akan melihat apa yang dikerjakan itu adalah pekerjaan Roh Kudus. Tetapi dari sudut pandang manusia, orang melihat apa yang dikerjakan itu adalah karya manusia.


Sebuah ilustrasi tentang hal ini menjadi renungan bagi saya. Ada seorang teman yang hobbynya membuat perabot rumah tangga dengan tangannya sendiri. Ia memiliki segala peralatan tukang yang digerakkan oleh arus listrik. Profesinya adalah seorang akuntan. Karena ia telah berumah tangga dan punya anak, maka ia membuat segala perabot rumah tangga yang ada di dalam rumahnya dengan tangannya sendiri. Misalnya tempat tidur, meja, kursi, kitchen set, dan lain sebagainya. Anaknya yang masih berusia tiga tahun turut diajak sang bapa ini untuk berkerja bersama dengan bapanya menjadikan perabot rumah tangga yang mereka butuhkan. 

Setelah semuanya selesai, sang anak dengan gayanya sendiri berceritera kepada kami, bahwa ia sendirilah yang membuat semua perabotan itu. Ia memang turut memegang kayu yang sedang dikerjakan bapanya. Tangannya yang kecil itu tidak seberapa banyak perannya di dalam membuat perabot rumah tangga tersebut. Tetapi ia turut ambil bagian di dalamnya. Bapanya mengatakan kepada kami: barang-barang ini semua, anakku ini yang mengerjakannya bersama dengan saya! Mendengar hal itu sang anak sangat senang! Menurut hemat saya secara pribadi, ilustrasi itu dapat menggambarkan peran Roh Kudus dan peran kita di dalam pekerjaan yang sedang kita lakukan di dunia ini.

Sudah kita katakan di atas bahwa Allah kita itu adalah Allah Yang Maha Kudus. Allah yang lain sama sekali dari apa yang dipikirkan orang. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dapat diterima-Nya ialah: segala sesuatu yang lain dari pada yang lain. Marilah kita memikirkan sejenak tentang keselamatan. Manusia mengatakan bahwa keselamatan itu adalah usaha manusia itu sendiri di dalam meraih surga. Alkitab mengatakan bahwa keselamatan itu hanya di dapat jika Allah yang menyediakannya bagi kita. 

Paulus dengan tegas mengatakan bahwa keselamatan adalah kasih karunia. Sampai dua kali ia mengatakan dalam Ef 2:8-9, ‘itu bukan usahamu sendiri, itu bukan hasil pekerjaanmu’. Keselamatan adalah pekerjaan Allah. Ia yang mengerjakannya di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Keselamatan itu berasal dari Allah. Allah pula yang mengerjakannya. Keselamatan itu pada akhirnya adalah untuk Allah. Ia mengumpulkan sejumlah orang yang akan menjadi sasaran kemurahan hati-Nya. Hal ini dapat dengan mudah kita terima.

Bagaimana dengan segala sesuatu yang ‘ada’ di dalam diri kita? Harta, hikmat dan apa pun yang dapat kita miliki sebagai manusia. Materi dan non materi! Segala sesuatu itu dapat dicatat oleh surga sebagai sesuatu yang dapat dibawa ke surga jika di dalam segala yang ‘ada’ itu di dalamnya terdapat sesuatu yang lain dari pada yang lain. Jika dengan segenap hati saya dapat mengatakan bahwa apa pun yang ‘ada’ ini, Allah yang memberikannya kepada saya sehingga itu semua jadi ‘ada’. 

Allah berperan di luar diri saya bekerja untuk membuat segala sesuatu ini menjadi ‘ada’ di dalam hidup ini. Bukan hanya itu, Ia pun bekerja di dalam diri saya untuk membuat segala sesuatu itu menjadi ‘ada’ di dalam diri saya. Lalu aku pun sadar, bahwa segala seuatu yang ‘ada’ ini diberikan kepadaku pada hakekatnya adalah dalam rangka dipersembahkan kepada Allah. Itulah hidup Kristen yang sesungguhnya.

Ada satu kebiasaan orang Yahudi yang seharusnya menjadi bahan tiruan bagi kita. Orang Yahudi tatkala menyebut nama Allah, senantiasa mengucapkan kata-kata ini: “Blessed be His holy name”  Pemazmur mengatakan: “Blessed The Lord oh my soul”  para penerjemah Alkitab menerjemahkannya dengan: “Pujilah Tuhan hai jiwaku”. Ada pemahaman di dalam orang Kristen yang mengatakan bahwa hanya Allah yang memberkati. Jadi kata blessed  tidak diterjemahkan menjadi’ berkati’, melainkan ‘pujilah’. Orang Yahudi tidak pernah memahami mereka memberkati Allah, sekalipun mereka mengatakan blessed the Lord oh my soul. Tatkala mereka mengatakan hal itu, di lubuk hati mereka yang paling dalam, mereka mengembalikan berkat yang mereka terima dari Tuhan. Berkat diterima, berkat itu pun dikembalikan kepada Allah. Menurut hemat saya, kita pun dapat mengatakan hal yang sama seperti orang Yahudi tersebut. Segala sesuatu dari Dia, Dia yang mengerjakannya di dalam diri saya. Segala sesuatu itu pun untuk Dia. Bagi-Nya-lah kemuliaan sampai selama-lamanya.

 Bless the LORD, O my soul: and all that is within me,
bless his holy name.
 Bless the LORD, O my soul, and forget not all his benefits:
 Who forgiveth all thine iniquities;
who healeth all thy diseases;
 Who redeemeth thy life from destruction;
who crowneth thee with lovingkindness and tender mercies;
 Who satisfieth thy mouth with good things;
so that thy youth is renewed like the eagle's.
Psalm 103:1-5

  Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus,
hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku,
dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya!
 Dia yang mengampuni segala kesalahanmu,
yang menyembuhkan segala penyakitmu,
 Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur,
 yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat,
 Dia yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan,
sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali.

Mzm 103:1-5

03/09/11

Yesterday A Butterfly





Yesterday A Butterfly

 Came floating gently through the sky.
He soared up through the atmosphere
Then drifted close enough to hear...

I said, I’d love to fly with you
And sail around the way you do.
 It looks like it would be such fun
 To fly up toward the summer sun...

 But I have not your graceful charm.
 I haven’t wings, just these two arms.
 I’ve been designed to walk around.
 My human feet must touch the ground...
 
 Then magically he spoke to me
 and told me what his wish would be...
 
 He said, What I’d love most to do
 Is walk upon God’s Earth with you,
 To squish it’s mud between my toes
 Or touch my finger to my nose...

I’d love just once to walk around
 With human feet to touch the ground,
 But I have not two legs that swing,
 I haven’t arms, just these two wings...
 
 And so we went our separate ways
 In wonder and surprise.
For we’d both seen God’s precious gifts
Through someone else’s eyes...

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...