N A T A L
Natal pada
hakekatnya senantiasa membawa pembaharuan di dalam kehidupan umat manusia di dunia
ini. Natal menurut Martin Luther adalah mujizat terbesar di sepanjang sejarah
umat manusia. Sebab di dalam peristiwa natal itu, satu mujizat paling akbar
telah terjadi. Allah menjadi manusia dan Dia tinggal bersama dengan kita. Ia
diberi nama Imnanuel. Natal yang sederhana, telah terjadi lebih dari dua ribu
tahun yang lalu itu. Natal yang dilakukan manusia sekarang ini, jadi sangat
berbeda dengan tujuannya semula. Sekarang Natal telah jadi bisnis yang
menggiurkan bagi para pedagang di seantero dunia.
Tatkala bisnis
mengambil peran di dalam perayaan Natal, maka hakekat Natal itu sendiri pun
jadi hilang. Tinggallah hanya perayaannya yang semarak dan menghasilkan
keuntungan yang segudang. Dimanakah tempat Kristus yang kelahirannya dirayakan
dalam natal bisnis dari para pedagang? Bukankah barang dagangan yang menjadi
sorotan utama? Rasa-rasanya semua pedagang mempergunakan kesempatan itu untuk
menjual sebanyak mungkin barang dagangan mereka melalui perayaan Natal.
Natal pun
dirayakan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Natal bagi kelompok masyarakat ini pun membawa
pembaharuan dalam tradisi mereka. Diceriterakan orang, di negeri sakura
sekalipun, natal dirayakan, kartu Natal pun beredar di seantero negeri. Natal
membawa perubahan tradisi di negeri Sakura. Tetapi Kristus yang dirayakan
kelahiran-Nya itu, entah ada atau tidak dalam hati dari tiap orang yang
mengirimkan kartu Natal dengan ucapan selamat hari Natal. Mereka tidak mengenal
Kristus, tetapi merayakan hari kelahiran-Nya. Apakah masih dapat dikatakan
mereka merayakan hari kelahiran-Nya? Bukankah mereka tidak mengenal Dia! Jadi
natal bagi mereka mungkin bukan perayaan kelahiran Kristus! Mereka hanya
menduplikasi apa yang lazim di negeri barat sana!
Di negeri barat,
Natal begitu semarak dirayakan orang. Namun mungkin Tuhan tidak ada di dalam
tradisi mereka. Lihatlah lagu Natal yang sangat mendunia: Jingle Bells, White Christmas, Santa Claus is Coming to Town. Tak
satu pun dari lagu itu yang berceritera tentang Tuhan yang lahir dan dirayakan
kelahiran-Nya pada Natal tersebut. Orang mengira nyanyian itu adalah lagu
Natal, lagu yang membicarakan Kristus yang lahir di kandang domba di Betlehem
dua ribu tahun yang lalu. Ternyata tidak! Lagu itu memang Christmas Carol.
Tetapi Christmas yang tidak ada sangkut pautnya dengan Kristus sendiri.
Ironisnya, Gereja
pun menganggap demikian, sehingga ada satu paduan suara yang menyanyikan lagu: Merry Christmas dalam satu ibadah Natal
resmi yang diselenggarakan Gereja tersebut. Hati saya sedih, sebab kisah yang
kudengar di dendangkan dalam lagu itu ialah: selamat hari natal, lalu orang
tersebut berceritera tentang makanan lezat dari ayam turkey dan juga berceritera tentang mistle toe yang tidak dikenal Alkitab dan juga tidak aku kenal di
sepanjang hidup ini. Menyedihkan memang! Natal tidak lagi ada di sekitar bayi
mungil Betlehem yang sangat sederhana itu.
Natal di tanah
Batak tatkala aku kecil, itu pun identik dengan pakaian baru dan pohon terang
yang menjadi hiasan di tiap rumah. Lalu ibu-ibu sibuk memasak kue yang pada waktu
itu setiap rumah punya kewajiban untuk membuat kue yang namanya: kembang
loyang. Tiada Natal tanpa kue tersebut. Anak-anak merayakan pesta natal dan
mengucapkan ayat-ayat liturgi. Menyanyikan lagu: pohon terang, pohon terang...”
dan lain sebagainya. Dimanakah Kristus yang lahir itu dalam perayaan masyarakat
dulu dan sekarang? Bukankah tekanan utama sudah terletak dalam perayaan? Jadi
tidak ada lagi perenungan dalam ibadah tersebut, tidak ada lagi sukacita yang
luar biasa seperti yang dialami oleh ketiga orang majus tatkala meninggalkan
kandang domba di Betlehem.
Natal yang
dilaporkan Alkitab sungguh sangat sederhana. Tidak ada sorak sorai, tidak ada
nyanyian para bala tentara surga. Suasana hening di tengah malam yang sunyi
itu, hanya disertai ternak yang menyaksikan Sang Putra Allah datang ke dunia
ini. Namun kedatangannya menghasilkan perubahan yang sangat nyata hingga
sekarang, setelah ribuan tahun masa yang dilalui Natal pertama itu. Joseph Mohr
menggambarkan suasana itu dalam keheningan malam, sebagaimana disuarakan
nyanyian yang mendunia ini:
Malam kudus, sunyi senyap, dunia terlelap.
Hanya dua yang tinggal terus,
ayah bunda mesra dan kudus,
Anak tidur tenang,
Anak tidur tenang.
Gambaran suasana
yang sangat hening dan tentunya mereka merenungkan apa makna dari peristiwa itu
di dalam hidup mereka. Maria disebut Alkitab merenungkan perkataan malaikat itu
setelah ia ditinggalkannya. Natal di dahului minggu Advent. Minggu yang
mengingatkan kita akan kedatangan Yesus yang kedua kalinya sebagai Hakim Yang
Agung. Ia datang sebagaimana kita utarakan dalam Pengakuan Iman Rasuli: “Untuk
menghakirmi orang yang hidup dan yang mati”. Natal adalah saat untuk
merenungkan makna kedatangan Kristus itu dalam konteks kedatangan-Nya yang
kedua kalinya. Jadi natal harusnya sepi dari hiruk pikuk dunia. Natal warna
kentalnya adalah kesederhanaan.
Tetapi manusia
tidak puas dengan yang sederhana. Kita ingin semarak dan kegemerlapan suasana.
Itulah sebabnya natal sekarang jadi hingar bingar. Aku bertanya di dalam hati:
“jangan –jangan Tuhan sudah berfirman seperti disuarakan-Nya melalui Nabi Amos:
“Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan
korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak
yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian
nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah
keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu
mengalir” Amos 5:22-24.
Nyanyian kita
dalam merayakan natal sungguh sangat merdu, persembahan pun sungguh sangat
banyak dipersembahkan orang dalam merayakan natal. Pengalaman dari melihat
laporan pemasukan keuangan di Gereja di bulan Desember menunjukkan bahwa pada
masa Natal dan tahun baru, persembahan jemaat sungguh meningkat sangat
fantastis. Pengurus Gereja tentunya sangat senang dengan hal itu. Tetapi apakah
Tuhan senang? Nabi Yesaya juga menyuarakan hal yang sama: “Jangan lagi membawa
persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau
kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku
tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan.
Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci
melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya”
Yes 1:13-14.
Sungguh sangat
menyedihkan. Tuhan muak dengan perayaan orang beriman. Tuhan tidak menyukai
persembahan dari mereka yang menyebut dirinya umat Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan
tidak menemukan apa yang diharapkannya ada di dalam perayaan umat-Nya itu,
yakni keadilan dan kebenaran sebagaimana disuarakan Nabi Amos. Atau seperti
yang dimintakan oleh Nabi Yesaya: “Usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang
kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda”.
Ada sebuah kisah
dalam tradisi saudara kita muslim yang berisikan pengajaran Tuhan Yesus.
Alkisah tatkala orang Israel berada di gunung Sinai, Allah berfirman kepada
Musa, Ia akan datang ke perkemahan mereka tatkala sholat Jumat diadakan. Musa
memberitahukan hal itu kepada umatnya. Tatkala mereka sedang mempersiapkan
sholat jumat, Musa meminta agar seluruh kaum pria membawa air untuk dipakai
sebagai air wudhu. Musa pun turut membawa air. Pada waktu ia sedang membawa
ember berisi air, ada seorang lelaki tua yang meminta agar air itu diberikan
kepadanya. Musa mengatakan air itu akan dipakai untuk menunaikan sholat. Jadi
cari saja air untuk saudara sendiri. Waktupun berlalu. Ternyata Tuhan tidak
hadir. Setelah sholat selesai, Tuhan datang menjumpai Musa. Musa bertanya
mengapa Tuhan tidak datang? Jawaban Tuhan, Ia akan datang jumat depan.
Peristiwa yang
sama pun terjadi pada hari Jumat depannya. Musa tetap menolak permintaan dari
orang tua yang minta air tersebut. Kejadian ini berlangsung sampai tiga kali.
Musa komplain kepada Tuhan karena ketidakhadirannya itu. Lalu Tuhan menjawab:
tiga kali aku datang mengunjungimu di tiga Jumat, pas pada waktu mau sholat,
Aku minta air padamu, tetapi engkau tidak mau memberikannya kepada-Ku. Apa yang
tidak engkau beri kepada orang tua itu, tidak engkau beri juga pada-Ku.
Ungkapan terakhir ini disuarakan Yesus dalam Injil Matius 25:45.
Hal yang sama
dapat terjadi di dalam perayaan natal yang kita adakan. Tuhan kita tolak di dalam
perayaan natal yang kita lakukan. Kita menyebut perayaan itu untuk Tuhan,
tetapi ironis sekali, Tuhan sendiri kita tolak di dalam perayaan yang
diperuntukkan bagi Dia. Mengingat hal itu, di relung hati ini hadir kembali
sebuah kisah yang ditemukan dalam Our Daily Bread beberapa tahun yang lalu. Ada
seorang anak kecil sedang memperhatikan etalase sebuah toko. Ia tidak
mengenakan sepatu, juga kedinginan. Seorang ibu mendekati dia dan bertanya:
“rekan kecil, mengapa engkau menatap begitu rupa ke dalam etalase tersebut?”
anak kecil itu berkata: “Aku sedang meminta kepada Allah, agar memberikan
kepadaku sepasang sepatu itu!”
Ibu tadi memegang
tangan anak kecil tersebut dan menuntun masuk ke dalam toko. Ia meminta kepada
pramuniaga untuk memberikan kepadanya setengah lusin kaos kaki dan sepasang
sepatu. Ibu itu membawa anak tersebut ke belakang toko dan membersihkan kakinya
yang kotor dan mengeringkan dia dengan handuk. Pramuniaga telah menyediakan apa
yang dia minta. Ia mengenakan sepatu yang dia beli kepada anak tersebut, juga
memberikan kaos kaki yang masih sisa kepadanya. Setelah semua selesai, ibu itu
berkata: “Sekarang engkau sudah enakan bukan, rekan kecil?” Ia pun meninggalkan
anak tersebut. Dalam keheranannya atas perbuatan ibu tadi, anak kecil itu meraih
tangan sang ibu seraya memandang wajah ibu tersebut dengan air mata yang
berurai, ia menjawab pertanyaan ibu itu dengan mengajukan pertanyaan pula: “Are you God’s wife?”
Alangkah indahnya
tatkala Natal dirayakan orang Kristen, kehadiran Tuhan Yesus senantiasa
menyertai perayaan tersebut. Orang berjumpa dengan dia di dalam dan melalui
perayaan tersebut. Dunia memang tidak dapat dilarang untuk tidak merayakan
natal dengan tujuan lain. Tetapi seyogianya orang Kristen tidak turut ambil
bagian di dalam merayakan natal sebagaimana dunia merayakannya. Bukankah firman
Allah mengatakan agar kita tidak serupa dengan dunia ini?
Mungkin harapan
ini akan menjadi harapan kosong belaka. Karena dunia telah merasuki kita dengan
impiannya. Sehingga kita tidak lagi dapat melihat kemuliaan Allah yang nampak
di dalam wajah Kristus yang sangat sederhana. Memang, apa yang diberikan Tuhan,
tidak sama seperti apa yang diberikan dunia ini. Dunia menawarkan kegemerlapan
yang semu. Namun itu yang sangat dinikmati orang banyak. Mengapa? Mereka tidak
lagi dapat melihat kemuliaan surgawi, disebabkan mata hati mereka telah
dibutakan oleh ilah zaman ini. Demikian rasul Paulus katakan dalam surat
Korintus.
Namun bagi orang
pilihan, "Dari dalam gelap akan terbit terang!", Ia juga yang membuat
terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari
pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” II Kor 4:6.
Selamat Hari
Natal! Kemuliaan bagi Allah di tempat yang
maha tinggi, damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan
kepada-Nya.