29/01/15

Manusiawi







MANUSIAWI
Ada pepatah orang Batak yang masih sangat relevan di dalam dunia modern ini. Pepatah itu berkata: “mata do guru roha sisean” makna ialah: mata menjadi guru, sementara hati berfungsi sebagai murid. Mata mengolah apa yang dilihat dan belajar dari apa yang dilihat itu. Apa yang disuarakan pepatah itu tetap relevan di dalam hidup kita sekarang ini. Mataku memandang sebuah tanaman hias di rumah seorang teman. Tuan rumah mengatakan bahwa tanaman tersebut mahal harganya. Saya mengajukan sebuah tanya tentang harga. Nyonya rumah menyebut sebuah jumlah yang menurut saya sesuatu yang fantastik. Sebuah tanaman hias seharga tujuh juta rupiah, menurut saya sesuatu yang fantastik. Tidak ada sesuatu yang menarik hati saya dari tanaman itu. Tetapi itulah sebuah kenyataan. Ada sesuatu di dalam tanaman itu yang membuat orang merasa sangat tertarik. Namun sesuatu yang dilihat orang itu, tak terlihat oleh saya. Sayang seribu kali sayang.
Hal yang sama juga dapat terjadi dalam aspek yang lain dalam hidup ini. Ada satu pernyataan orang yang menjadi bahan renungan di lubuk hati ini, yakni: ‘manusia yang manusiawi’. Jika simak kalimat itu dengan seksama, maka kita dapat mengatakan bahwa ada manusia yang tidak manusiawi. Oleh karena itu saya mencari makna kata manusiawi di dalam kamus. Kata ini di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikannya sebagai: bersifat manusia. Jika demikian artinya, maka kalimat yang sudah kita kutip di atas dapat mengindikasikan bahwa ada manusia yang tidak bersifat manusia. Bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita perkataan ini: ‘homo homini lupus’ manusia serigala bagi sesamanya. Ada orang yang memang hidup sebagai manusia yang tidak manusiawi.
Alangkah malangnya nasib kita yang hidup di dunia ini, jika kita adalah manusia, tetapi kita tidak manusiawi. Manusia yang tidak bersifat manusia. Manusia saja, titik. Saya kembali ke tanaman hias tadi. Tanaman itu secara tanaman, ia tidak ada bedanya dengan tanaman yang lain. Ia sama saja dengan tanaman lain yang tumbuh di kebun. Mengapa tanaman itu menjadi begitu berharga? Jawabannya ialah: tanaman itu dapat memberi makna yang lain bagi mereka yang memilikinya. Jika kita tidak memiliki makna hidup bagi orang lain, maka pada dasarnya kita hanyalah manusia saja. Sisi manusiawi itu akan kita dapatkan, tatkala kita dapat membuat hidup yang kita jalani itu bermakna bagi orang lain. Di sinilah relevansi dari perkataan Tuhan Yesus. Ia berkata: “Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. Ia datang untuk membuat hidup-Nya berarti bagi orang lain. Oleh karena itu, Yesus adalah manusia yang manusiawi bagi sesamanya.
Dietrich Boenhoffer, seorang  hamba Tuhan yang mati martir di zaman Nazi, mengatakan bahwa Yesus kristus itu adalah manusia yang memperuntukkan diri-Nya bagi orang lain. Jika kita adalah milik Kristus – kristen – maka kita pun akan mengikut Dia dengan memperuntukkan diri kita bagi orang lain. Tatkala kita mengikut jejak Kristus, pada saat itulah kita dapat mengatakan bahwa kita sama seperti Kristus. Pada saat itu pula kita dapat mengatakan bahwa hidup kita menjadi hidup yang manusiawi. Tetapi, jika hidup ini hanyalah di dalam rangka memuaskan keinginan kita sendiri. Jika kita hidup untuk diri kita sendiri, maka kita akan sangat berbeda dengan segala sesuatu yang ada di dalam alam ciptaan Tuhan ini.
Tidak ada satu pun dalam ciptaan ini yang ada demi dirinya sendiri. Matahari Bulan Bintang dan galaksi yang ada itu ada, bukan untuk dirinya sendiri. Burung-burung di udara ada bukan untuk dirinya sendiri. Binatang yang ada di padang rumput dan hutan belantara ada bukan untuk dirinya sendiri. Para malaikat pun ada bukan untuk dirinya sendiri.
Segala sesuatu itu ada demi Dia Sang Pencipta, yakni Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Kita pun seharusnya sama seperti yang lain itu. Kita ada untuk Allah yang menciptakan kita. Itulah hakekat manusiawi menurut hemat saya secara pribadi. Sudahkah aku hidup manusiawi?

11/01/15

Retak



Retak

Tidak ada yang kekal di dunia ini. Silih berganti kehidupan yang kita jalani. Belakangan ini, Jemaat dimana saya melayani sudah puluhan tahun, mengalami pergumulan yang cukup parah. Jemaat ini terkenal sebagai Jemaat yang dipuji orang di antara Jemaat yang ada di dalam sinode tersebut. Rasanya tidak enak menyebut namanya di dalam tulisan ini. Dahulu  Jemaat kami ini disebut orang sebagai salah satu penampakan wajah Jemaat dari sinode tersebut. Tetapi sekarang sudah retak.

Kesehatian yang dulunya dapat dipelihara, sekarang sudah berkeping-keping. Para pekerja di majelis Jemaat sudah saling memusuhi satu sama lain. Anggota Jemaat pun terbawa-bawa di dalam persoalan ini. Permasalahan bermula dari pendeta yang melayani di Jemaat tersebut memasuki masa pensiun. Sejumlah orangtua dari anggota Jemaat mengadakan upaya untuk memberikan kriteria pada pimpinan sinode untuk ditempatkan menjadi pendeta di Jemaat kami. Pada mulanya pimpinan Jemaat mengiyakan kriteria yang diusulkan. Namun kenyataannya pendeta yang dialokasikan di Jemaat ini tidak seturut kriteria yang diusulkan oleh para orangtua tersebut.

Persoalan berkembang meluas. Salah satu blunder yang dilakukan majelis Jemaat adalah mengadakan voting atas surat keputusan dari pimpinan sinode dari Gereja kami. Pada hal di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari Sinode, tidak memberi ruang terhadap voting terhadap keputusan dari pimpinan sinode. Sejumlah besar anggota majelis menolak putusan tersebut. Inilah menjadi dasar dari sebagian besar anggota Jemaat untuk mempengaruhi anggota Jemaat.

Teman teman yang merasa menang voting ini menurut hemat saya, ingin menetapkan bahwa satu Jemaat tidak dapat diatur oleh pimpinan sinode, melainkan majelis jemaatlah yang menentukan perjalanan dari Jemaat tersebut. Hal ini telah menyalahi dasar dari berdirinya Jemaat itu secara keseluruhan. Ada pun wujud dari Jemaat kami tidaklah presbiterial sebagaimana dianut oleh beberapa sinode dari Jemaat Tuhan di negeri ini. Jemaat kami memiliki cirinya sendiri yang diwarisi dari para pendirinya.

Dahulu aku sangat bangga di hadapan orang lain, tentang keberadaan dari Jemaat kami yang sedang mengalami permasalahan ini. Aku tidak menyangka bahwa teman teman yang saya kenal dulunya sebagai orang yang lembut dan rohani, sekarang aku melihat perilaku mereka tidak lagi seperti yang saya kenal. Ternyata jika kita menemukan masalah di dalam kehidupan, aku muncul keberadaan kita yang tidak kita kenal sebelumnya.

Saya mengatakan bahwa pada hakekatnya kita punya kepribadian ganda. Karena kehidupan kita berjalan dengan baik dan hampir tidak punya masalah, maka sisi baik dari kehidupan kita yang beroperasi dalam keseharian yang kita jalani. Namun, tatkala pergumulan hidup datang, sesuatu yang kita tidak sukai muncul di dalam hidup ini, maka pribadi kita yang tidak kita kenal muncul dari dalam. Bukankah sering kita mendengar perkataan orang: “Wah aku tidak sangka, aku dapat melakukan hal seperti itu!”

Ada orang yang mengatakan bahwa kita masing masing memiliki transendensi diri sendiri. Keberadaan kita jauh lebih besar dari pada yang kita kenal. Ungkapan di atas adalah salah satu dari keabsahan dari premis yang barusan sudah diutarakan. Kebalikan dari perilaku yang diungkapkan di atas, kita juga tentunya pernah melihat seorang yang kita kenal ganas dan buas dalam kesehariannya, ternyata ia pun dapat melakukan sebuah perbuatan yang sangat lembut.

Bahkan di dunia binatang pun dapat kita melihat hal yang sama. Di bawah ini terlihat
sebuah gambar, bagaimana seekor gajah menujukkan belas kasihannya terhadap seekor anak kucing yang terperangkapdi dalam sebuah sungai yang deras.















Transendensi diri ini dapat kita pahami jika kita melihat diri kita dalam aspek diri kita secara holistik. Diri kita yang sesungguhnya adalah terdiri dari diri kita di masa dulu, diri kita di masa sekarang dan diri kita di masa depan. Totalitasnya itulah yang kelak akan diperhadapkan kepada pengadilan terakhir di akhir zaman. Kita telah mengenal diri kita di masa dulu, karena kita telah melaluinya. Kita sedang mengenal diri kita di masa sekarang. Tetapi kita belum mengenal diri kita di masa datang. Jadi pada hakekatnya pengenalan akan diri kita, tentang siapakah kita yang sebenarnya belumlah lengkap. Itulah yang saya maksud transendensi diri.

Teman-teman yang dulunya aku lihat lembut dan sopan, ternyata di dalam dirinya ada sesuatu  yang keras dan kasar. Tentunya hal yang sama pun ada di dalam diri saya sendiri. Saya sering menyesali diri sendiri, karena ternyata saya tidak seperti yang saya kenal. Ada kekasaran di dalam diri saya. Ternyata kita punya kepribadian yang ganda. Pribadi kita ternyata memang retak. Alkitab mengatakan bahwa di dalam diri kita, ada manusia lama, sekaligus juga ada manusia baru.

Rasul Petrus mengatakan: “ Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa. I Pet 2:11. Dari nas ini sangat jelas mengatakan bahwa ada dua pribadi di dalam diri kita. Keinginan daging berjuang melawan jiwa itu kata rasul Petrus. Di tempat lain Paulus mengatakan adanya keinginan daging dan keinginan roh. Dua-duanya saling berlawanan satu sama lain.

Kembali kepada masalah di Jemaat. Tuhan rasanya sedang mengungkapkan kepada dunia dan kepada kami, bahwa di dalam diri kami ada sisi gelap. Selama ini sisi terangnya yang dieksploitasi. Tiba saatnya Tuhan mau mengungkapkan bahwa pada hakekatnya kalian tidak sama seperti anggapan kalian terhadap diri sendiri. Pada hakekatnya kalian tidak dapat membanggakan diri sebagai  wajah dari Jemaat-Ku. Karena tandanya seseorang itu adalah murid Yesus Kristus adalah kasih. Kasih menutupi pelanggaran. Itu kata Petrus dan guru hikmat Raja Salomo. Tetapi di antara kami, kami sedang mengumbar kesalahan orang lain. Pada hal kesalahan itu belum tentu benar.

Tuhan kasihanilah kami. Ampunilah dosa dan kesalahan kami. Kebanggaan kami yang tidak berdasar sama sekali di hadapan-Mu.









05/01/15

Musibah





Musibah

Musibah dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Saya merenung tatkala berita jatuhnya pesawat terbang belakangan ini. Terbayang dilubuk hati yang paling dalam, betapa paniknya para penumpang menghadapi persoalan yang mereka hadapi. Dari laporan yang dibaca melalui media masa, maka pesawat terbang itu jatuh tanpa meledak di angkasa. Dari korban yang ditemukan, ada yang sudah sempat melepaskan safetybeltnya, tetapi ada juga korban yang masih terikat di kursinya.

Saya bertanya di dalam hati, sebuah pertanyaan yang tidak mungkin dapat dijawab oleh siapa pun juga. Karena pertanyaan itu ditujukan kepada para penumpang yang sudah menjadi korban kecelakaan tersebut. Namun tak apalah untuk merenungkannya. Tatkala mereka menghadapi persoalan itu, apakah yang terlintas di dalam hati mereka? Sebuah pertolongan, sebuah mujizat, atau sebuah penyerahan diri kepada Allah pemilik dari kehidupan ini?

Saya pernah mendengar sebuah peristiwa yang menjadi pelajaran berharga bagi saya secara pribadi. Tetapi tentulah juga bagi semua orang yang percaya kepada Allah Bapa yang kita kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Di satu saat diadakan sebuah pesta di lantai paling atas, dari sebuah gedung pencakar langit di Jakarta. Pada waktu pesta sedang berlangsung, maka terjadilah gempa. Tentulah sangat terasa di lantai paling atas dari gedung tersebut. Orang pun panik, lalu berhamburan ke arah tangga, karena lift tidak berfungsi. Orang tidak lagi memperdulikan orang lain, selain dari diri sendiri. Pada waktu orang sedang panik, ada seorang ibu yang bertelut di bawah meja sambil berdoa. Memang sudah diajarkan kepadanya, bahwa jika ada terjadi gempa, maka berlindunglah di bawah tiang atau meja.

Sang itu tadi tidak panik. Ia bertelut dan berdoa kepada Allah yang dia percayai. Ia sudah tua sementara tangga cukup tinggi. Ia mengenal dirinya, lalu ia menyerahkan diri kepada Tuhan yang dia percayai. Acara itu diselenggarakan orang percaya. Tetapi tatkala mereka menghadapi musibah, hal yang paling penting bagi mereka ialah keselamatan jiwanya. Mereka berusaha dengan kemampuan diri sendiri, untuk menyelamatkan diri. Sesuatu yang sangat wajar. Namun yang dipertanyakan ialah: dimanakah letak iman pada saat kita mengalami sebuah musibah. Sang ibu tadi menempatkan imannya di permukaan, pada saat musibah datang menghadang di hadapan mata.

Kembali kepada saudara-saudara yang menghadapi musibah di dalam pesawat terbang tadi!. Adakah di antara mereka yang menyerahkan diri kepada Tuhan pada detik detik terakhir ia berhadapan dengan maut? Tentulah kita tidak akan menghakimi mereka dengan sebuah kesimpulan. Ini hanyalah sebuah perenungan. Saya percaya, dalam sepersekian detik sebelum ajal, Allah dapat mengulurkan tangan-Nya kepada setiap orang yang ada di dalam pesawat itu. Allah tidak mengulurkan tangan-Nya agar orang tersebut, terhindar dari maut. Tidak! Tetapi Allah dapat menyelamatkan dia dari dosa dan pelanggarannya di sepanjang perjalanan hidup.

Tidak semua orang yang ada di dalam pesawat itu adalah orang Kristen. Berbagai pemeluk agama ada di dalam pesawat tersebut. Apakah hanya orang Kristen yang berseru kepada Dia yang dipercaya sebagai Allah semesta alam, khalik langit dan bumi? Tentu saja tidak demikian adanya. Namun pertanyaan yang muncul di dalam hati ialah: seruan yang mana yang didengar Allah? Rasul Paulus mengatakan: Barang siapa yang berseru kepada Nama Tuhan akan diselamatkan. Ia mengutip nas itu dari nubuatan dari Nabi Yoel, Yoel 2:32. Kita hanya mengenal satu Tuhan atas segala mahluk ciptaan dalam alam semesta itu. Yesus tidaklah hanya Tuhannya orang Kristen. Ia adalah Raja di atas segala raja dan Tuhan dari segala tuan.

Pertanyaannya sekarang ialah: jika seorang muslim berseru kepada Tuhan dan memohon agar ia diselamatkan. Ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan mati. Ia sadar bahwa ia tidak punya apa pun yang dapat ditampilkan di hadapan Allah demi keselamatan jiwanya. Ia sadar bahwa di dalam diri Allah ada pengampunan. Ia tidak tahu wujud dari pengampunan itu dalam bentuk apa, tetapi ia tahu bahwa di dalam diri Allah ada pengampunan. Ia memohon agar diampuni dosanya. Apakah Allah akan mengulurkan tangan-Nya untuk menarik orang itu dari keberdosaannya, dalam sepersekian detik sebelum menghembuskan nafas yang terakhir? Iman saya mengatakan bahwa orang itu akan diangkat Tuhan ke dalam keselamatan yang ada di dalam Yesus Kristus.

Ia memang tidak mengenal wujud dari Yesus Kristus. Tetapi Yesus Kristus adalah bagian dari orang berdosa yang dikaruniakan Allah dari surga. Sebab Yohanes berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga dikaruniakan-Nya Anak-Nya Yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya, tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal”. Yesus Kristus adalah pengampunan Allah bagi orang berdosa. Jika ada orang percaya bahwa ia tidak dapat mengandalkan amalnya di hadapan Allah. Ia hanya dapat mengandalkan pengampunan Allah semata-mata, maka orang itu mendapatkan pengampunan karena Yesus Kristus. Sekali pun wujud dari Yesus Kristus tidak dikenalnya.

Sebuah argumen diberikan di sini untuk dipertimbangkan. Seorang pemungut cukai datang ke Bait Allah untuk berdoa. Ia tidak berani memandang ke atas dalam berdoa, sama seperti orang Farisi yang ada di sisinya. Ia hanya menundukkan kepala sambil memukul-mukul dirinya. Ia memohon pengampunan Allah. Yesus mengatakan bahwa pemungut cukai itu dibenarkan, sementara orang Farisi itu tidak dibenarkan. Kata dibenarkan maksudnya dipandang tidak berdosa. Pemungut cukai itu dibenarkan, namun ia tidak mengenal Yesus Kristus. Namun satu hal yang harus kita garisbawahi ialah: kisah itu kita dapatkan dari Yesus Kristus. Yesus sendiri yang mengatakan bahwa orang itu dibenarkan Allah. Tentulah pembenaran Allah yang dimaksud ialah pembenaran oleh karena karya Yesus Kristus sendiri.

Hal yang sama berlaku bagi mereka yang memeluk agama lain. Allah hanya satu, dan Tuhan pun hanya satu. Itu yang disaksikan oleh Alkitab. Oleh karena itu pula, keselamatan pun hanyalah satu, yakni di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Lalu bagaimana dengan kita yang mengenal dan percaya kepada Yesus Kristus? Dimana letak perbedaan kita dengan mereka? Penulis surat Ibrani pernah berbicara tentang Jemaat sulung. dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna. Ibr 12:32.

Jika ada Jemaat anak-anak sulung, maka logikanya ada juga Jemaat lainnya. Mungkinkah ada anggota Jemaat yang bungsu? Alkitab tidak memberitahukannya kepada kita. Namun sangat jelas orang percaya akan memerintah bersama dengan Kristus. Jika ada yang memerintah, maka tentulah ada yang diperintah. Bukan urusan kita untuk meneliti apa yang akan diperbuat Allah bagi mereka yang diselamatkan-Nya hanya oleh karena pengampunan. Tetapi Allah telah menetapkan jumlah orang yang akan diselamatkan.

Semoga ada banyak orang yang  berseru kepada nama Tuhan di pesawat yang mengalami musibah itu. Lalu tatkala mereka telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, maka Allah akan mengumpulkan mereka ke dalam kelompok orang-orang yang telah mendapatkan pengampunan oleh karena kasih karunia-Nya. Pada hakekatnya kita pun tidak berbeda dengan mereka. Sebab kita pun diselamatkan hanya oleh kasih karunia belaka.

Hanya belas kasihan ditujukan kepada mereka yang pada detik detik terakhir dalam kehidupan ini, ada orang yang hanya memperdulikan kehidupan jasmani belaka. Mereka tidak dapat melihat kehidupan di seberang kubur. Kehidupan yang digambarkan Paulus sebagai satu kehidupan yang jauh lebih baik dari kehidupan di dunia ini. Bagi Paulus yang telah dibukakan mata hatinya oleh Roh Kudus, kematian adalah sebuah keuntungan.

Dari dalam kitab Wahyu kita menerima pesan ini: “Berbahagialah orang yang mati di dalam Tuhan, karena mereka akan beristirahat dari segala pekerjaannya. Pekerjaannya itu akan menyertai dia”. Mati adalah sebuah keberadaan istirahat. Bagi orang yang lelah, istirahat adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Lihatlah kematian dari sudut pandang iman, maka hal tersebut akan menyenangkan.

04/01/15

Pohon Terang





Pohon Terang

Natal sudah berlalu. Namun di Minggu pertama setelah tahun baru, pohon terang masih terpasang di altar Gereja. Akan tiba saatnya pohon terang itu diturunkan, dipreteli, lalu dimasukkan ke kardus tempat menyimpan. Pada gilirannya, di akhir tahun ini, akan dikeluarkan kembali. Ditegakkan dan dihias untuk menyemarakkan perayaan natal. Terlintas di dalam hati ini: seberapa besar pengaruh perayaan natal yang sudah berlalu itu di dalam kehidupan beriman dari anggota Jemaat yang merayakannya?

Jika anggota Jemaat mengalami perjumpaan iman dengan Kristus Yesus yang kelahiran-Nya dirayakan, maka setiap orang yang berjumpa dengan Yesus yang lahir itu, mereka mengalami satu sukacita yang luar biasa. Marilah kita mendengar kesaksian dari penginjil Matius tentang orang Majus yang menemui Yesus di kandang domba. Mereka sangat bersukacita tatkala melihat bayi  Yesus di dalam palungan. Mat 2:10. KJV menerjemahkan dengan kata: exeedingly great joy, sukacita yang melimpah. Para gembala yang mendapatkan berita kelahiran itu dari para malaikat pun pulang dengan memuliakan Allah, karena berita yang mereka dengar dan lihat adalah sebuah kenyataan. Ada sebuah realisasi dari berita natal yang diperdengarkan kepada mereka.

Adakah sukacita sama seperti yang dialami oleh para orang Majus dan para gembala itu, di hati mereka yang  merayakan natal beberapa hari yang lalu? Mungkin perayaan itu hanyalah sebuah seremoni belaka bagi kita. Kita sudah kehilangan substansi dari perayaan natal tersebut. Sama seperti pohon terang tadi. Sudah tiba waktunya pohon natal itu diturunkan dan dimasukkan ke dalam peti. Pada waktunya akan dikeluarkan kembali. Pohon terang itu hanya bermakna bagi kita di masa tertentu. Ia tidak punya makna di luar tradisi yang ada di dalam hidup kita. Pohon terang hanyalah sebuah ornamen di dalam rumah kita. Ornamen di masa tertentu.

Jangan jangan kekristenan kita pun hanyalah sebuah ornamen di dalam kehidupan ini. Negara ini menetapkan bahwa semua warga negara Republik Indonesia harus punya agama. Maka kita pun memilih sebuah agama yang cocok dengan diri kita. Lalu kita memilih agama Kristen bagi kita. Atau kita memiliki agama itu, oleh karena kita mewarisinya dari orang tua kita.

Namun satu hal yang pasti, Yesus berkata kepada Petrus: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga”. Pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan yang sesungguhnya tidak pernah kita dapatkan dari tangan kedua. Dari orangtua atau para pekerja Tuhan. Pengakuan itu datangnya dari tangan pertama, yakni Allah Bapa sendirilah yang menaruhnya di dalam hati kita, melalui kesaksian dari Roh Kudus. Paulus mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengaku Yesus adalah Tuhan, selain dari Roh Kudus.

Kembali kepada pertanyaan yang sudah diajukan di atas, apakah orang berjumpa dengan Yesus yang kelahiran-Nya dirayakan di hari natal? Apakah mereka pulang dari perayaan natal itu dalam sukacita sama seperti orang Majus? Apakah mereka memuliakan Allah sama seperti para gembala? Apakah yang harus menjadi tolok ukur dari sebuah perjumpaan tersebut? Apakah realisasi dari sebuah sukacita dan tindakan memuliakan Allah karena perjumpaan tersebut? Sebuah pertanyaan yang  perlu direnungkan dengan baik dan benar.

Setiap kali merayakan natal, saya sebagai warga HKBP yang sangat menikmati ibadah di Gereja, dalam perayaan natal senantiasa bergema lagu ini:

Nunga jumpang muse ari pesta i, hatutubu ni Tuhanta Jesus i, tuat do Ibana sian surgo i, mebat tu hita on. Hasangapon di Debata, dame dame ma di jolma, las ni roha ni Debata hajolmaon muse.

Beta, ale dongan tu Betlehem i Ita somba ma Dakdanak na disi Na tinongos ni parasiroha i Debata Ama i Hasangapon di Debata, dame,dame ma di jolma. Las ni roha ni Debata hajolmaon muse.

Sombanami ma di Ho na tubu on Ho siboan dame tu portibion Sai pasaorhon ma tu rohanami on dame-Mi o Jesus. Hasangapon di Debata, dame, dame ma di jolma. Las ni roha ni Debata hajolmaon muse.

Aku mencoba melihat makna dari perayaan natal, dari sudut pandang syair lagu yang sangat populer ini. Bait pertama berbicara bahwa natal adalah sebuah pesta. Jika kita mengadakan pesta, itu berarti kita sedang membagikan rasa sukacita kita kepada sesama. Tidak ada orang yang mengadakan pesta dan tidak mengundang orang untuk bersukacita bersama dengan dia. Orang Majus itu tidak sendirian menyembah bayi Yesus. Para gembala pun tidak sendirian menerima kabar baik itu. Jika kita merayakan natal dalam konteks pesta, tidak ada makna ornamen yang kita buat, jika tidak ada tamu yang kita undang untuk bersukacita bersama dengan kita.

Jika kita berpesta dengan sukacita, dan kita mengundang orang untuk turut ambil bagian dalam sukacita yang kita alami. Maka akan terdapat di dalam pesta itu kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang  bekenan kepada-Nya. Siapakah sesama kita yang turut menikmati suasana pesta yang kita rayakan dalam natal yang barusan kita ikuti. Orang itu kita ajak untuk turut pergi ke Betlehem untuk menyembah Dia yang dibaringkan di dalam kerendahan. Karena hanya berbaring di palungan kambing domba. Hal ini diutarakan di dalam ayat dua dalam syair yang di atas. Kita berpesta dengan sesama di dalam kerendahan hati dan dalam kesederhanaan. Sangat kontras dengan suasana natal yang sekarang kita saksikan. Komersialisasi dengan keuntungan bisnis yang diharapkan para pedagang menghilangkan suasana kesederhanaan yang disuarakan natal yang sesungguhnya.

Di Betlehem itu orang majus mempersembahkan emas kemenyaan dan mur kepada bayi Yesus. Syair lagu pujian kita pun di dalam ayat tiga menyuarakannya. Ada sesuatu yang harus dipersembahkan kepada Yesus sang bayi natal itu. Setiap orang yang berjumpa dengan sesuatu yang sangat amat besar di dalam hidup ini, maka kita tidak boleh tidak akan mempersembahkan sesuatu. Persembahan apa yang paling layak kita persembahkan kepada Dia yang hari kelahiran-Nya kita pestakan?

Syair dari lagu nyanyian Gereja HKBP memberikan saran kepada kita. BE nomor 49: 7 “Ántong roha nami ma pelean-Mi, o Jesus hasian sai jalo ma i, ias jala sonang ma baen angka i, tongtong gabe domu ma tu rohami”. (Oleh karena itu hati kamilah yang menjadi persembahan kami. Oh Yesus yang kekasih terimalah, bersih dan buat sejahteralah hatiku, senantiasa bersatu dengan hati-Mu.) Tidak ada persembahan yang paling pas untuk dipersembahkan kepada Yesus yang telah datang ke dalam kehidupan kita, selain dari hati kita. Allah sangat menginginkan hal tersebut.

Syair pertama yang kita kutip di atas dalam bahasa Inggris bunyinya sebagai berikut:

Mine eyes have seen the glory
of the coming of the Lord;
he is trampling out the vintage
where the grapes of wrath are stored;
he hath loosed the fateful lightning
of his terrible swift sword;
his truth is marching on.

Refrain:

Glory, glory, hallelujah!
Glory, glory, hallelujah!
Glory, glory, hallelujah!
His truth is marching on.

Syair itu mengingatkan kita bahwa mata hati iman kita telah melihat kemuliaan dari Tuhan yang sedang datang mengunjungi kita. Ia menginjak injak buah dari murka Allah... Kebenaran-Nya sedang berarak. Oleh karena itu jiwanya memuji kemuliaan Allah dan menyanyikan haleluyah. Kita suka menyanyikannya. Tetapi pertanyaan yang perlu harus direnungkan ialah: sudahkah kita melihat kemuliaan Allah berarak berjalan mendatangi kehidupan kita? Jika ya memang demikian, tidak boleh tidak, kita akan menuturkan hal itu kepada sesama kita.

Sayang seribu kali sayang, kita sudah terperangkap di dalam rutinitas perayaan. Sama seperti pohon terang yang diturunkan dan dibungkus. Perayaan natal pun berlalu dari hidup kita. Gone with the wind. Berlalu dibawa angin! Tanpa bekas! Ada orang bertanya: ”Apa yang harus kita jadikan sebagai sebuah tolok ukur dari suksesnya sebuah perayaan natal?” Saya menjawab: “Lihatlah jumlah anggota Jemaat yang hadir di dalam ibadah setelah ibadah natal berlalu”. Jika orang menikmati sukacita pesta yang dirasakannya pada hari natal, maka orang itu akan semakin giat di dalam menikmati perjumpaan dengan Allah dan sesama, di dalam ibadah yang dilaksanakan persekutuan.

Jika kita melihat jumlah orang yang hadir di dalam ibadah Minggu setelah ibadah natal dan tahun baru, maka kita menemukan jumlah orang yang sangat berkurang. Mereka lebih menyukai tinggal di rumah, atau menikmati liburan keluarga. Mereka tidak menemukan kesegaran baru tatkala mereka hadir di dalam ibadah Minggu. Lain dengan Tuhan Yesus. Ia sedang lapar dan haus. Mereka sedang berada di sumur Yakub, tetapi mereka tidak punya timba. Makanan pun tidak ada pada mereka. Lalu para murid pergi meninggalkan Yesus di sumur tersebut untuk mencari makanan.

Tatkala para murid pergi, maka datanglah seorang perempuan yang kurang baik perilakunya. Ia bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus. Melalui percakapan tersebut, ia menemukan bahwa Dia yang sedang berbicara kepadanya adalah Mesias yang dinantikan orang Samaria. Karena perjumpaan tersebut, perempuan itu meninggalkan Yesus sendirian. Ia ingin penduduk sekampungnya juga berjumpa dengan Mesias. Ia bersukacita.

Pada waktu itu para murid datang membawa makanan. Lalu menawarkan makanan itu kepada Yesus. Yesus berkata: “Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal”. Para murid itu bertanya: “Siapa yang memberikan kepada-Nya?” Yesus menjawab: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Bapa-Ku yang mengutus Aku”. Tatkala Yesus melakukan kehendak Allah, untuk membukakan mata orang yang buta, seperti perempuan Samaria itu, rasa lapar-Nya menjadi hilang. Makanan senantiasa membuat  kita kenyang dan kuat. Itulah yang dialami Yesus di tepi sumur Yakub tersebut.

Jika kita membuat itu sebagai pelajaran berharga bagi kita, maka setiap kali kita melakukan kehendak Allah, maka kita menerima kekuatan dari Allah yang melihat pekerjaan iman yang kita lakukan. Oleh karena itu, jika kita benar-benar berjumpa dengan Yesus di natal yang kita rayakan, kita akan memberikan persembahan. Hati kita adalah persembahan yang paling disukai Allah. Hati itu pun dikembalikan kepada kita, dengan sukacita dan kegemberiaan dan kekuatan yang baru. Dengan sesuatu yang baru itu, kita akan dimampukan untuk melakukan segala kehendak Allah. Oleh karena itu dalam setiap ibadah yang diselenggarakan persekutuan kita, dengan sukacita akan mengikutinya. Sebab di setiap persekutuan itu, kita dikenyangkan oleh kasih karunia Allah yang tiada habis-habisnya.

Sebaliknya, bagi mereka yang melihat perayaan natal hanyalah sebuah seremoni musiman, maka setelah acara selesai, maka terkuras juga energi yang ada di dalam diri mereka. Stamina mereka menurun, oleh karena dikonsumsi oleh nafsu manusiawi yang punya batas kemampuan. Sungguh sangat berbeda dimensi stamina dari mereka yang hidup secara manusiawi, dengan mereka yang hidup secara rohani. Orang rohani mendapatkan kekuatan baru di dalam melakukan kehendak Allah. Sementara orang dunia kehabisan tenaga di dalam melakukan kehendaknya. Itulah sebabnya mereka  harus beristirahat dari segala pekerjaan yang mereka kerjakan.

Ornamen rohani dari orang percaya tidak harus dibungkus, seperti pohon terang yang sudah kita bicarakan. Ormanen rohani adalah manusia batiniah yang indah, yang terpancar dari kehidupan kita. Dilihat orang lain, lalu mereka pun memuji Allah karena karya-Nya di dalam diri kita. Kesederhanaan dan kerendahan hati, adalah salah satu dari ornamen yang senantiasa dipakai oleh orang-orang pilihan Allah. Orang-orang yang dikenyangkan Allah dengan roti kehidupan dari surga, mereka memamerkan ornamen rohani ini. Bukankah orang akan tertarik melihat kesederhanaan dan kerendahan hati? Yesus telah mendemonstrasikannya. Orang pada datang kepada-Nya karena Ia menerima orang sebagaimana adanya. Apakah dampak dari hati natal yang sudah berlalu itu bagi saudara pada hari ini?

02/01/15

Sahabat



S A H A B A T

Ada pepatah orang Inggris yang mengatakan: “A friend in need is a friend indeed”. Sahabat dalam duka pada hakekatnya, dialah sahabat yang sesungguhnya. Seorang teman mengalami dukacita, tatkala orang tuanya dipanggil Tuhan dari dunia yang fana ini. Kepadaku hal itu diberitahukan. Lalu dengan bergegas, aku pun mendatangi rumah duka. Lalu seperti biasanya, kita duduk di kursi yang telah disediakan. Aku membawa buku bacaan, sehingga dapat melewatkan waktu, tanpa harus gelisah dibuatnya. Aku duduk di ruangan itu sambil sesekali menengok teman yang sedang berduka. Aku tidak melakukan apa pun di sana, selain duduk dan menyertai dia di dalam kedukaannya. Waktupun berlalu, ternyata aku sudah menghabiskan waktu di sana selama lima jam. Setelah itu aku pun permisi kepada sahabatku itu, mohon pamit pulang ke rumah.

Almarhum meninggal pukul empat pagi hari. aku datang ke rumah duka pukul delapan pagi. Karena almarhum akan dikuburkan pada esok hari, maka aku pun datang lagi pada malam harinya. Seperti biasa, aku hanya duduk dan menyertai dia dalam kedukaannya. Aku pulang dari rumah duka pada pukul sebelas malam. Besok harinya aku datang lagi jam sepuluh pagi. Di pagi hari itu dilaksanakan upacara adat sebagaimana biasanya dilaksanakan suku mereka. Aku melihat semua acara itu dengan rasa empati terhadap temanku yang berduka. Sepatah kata pun tidak ada keluar dari mulutku. Tetapi hatiku turut merasakan apa yang dia alami.

Aku menemani sahabatku itu hingga orang tuanya dikuburkan di Taman Pemakaman Umum (TPU). Setelah acara pemakanan selesai, aku pamitan dengan sahabatku itu. Lalu ia berkata: “Terima kasih bang, kehadiran abang selama dua hari ini, sangat menghibur hati kami”. Seperti yang telah aku katakan di atas, aku tidak berbuat apa-apa di rumah duka. Hanya duduk menyertai mereka yang berduka. Tetapi ternyata, apa yang aku lakukan punya makna bagi orang yang berduka. Kehadiran kita untuk duduk bersama dengan orang yang berduka, menjadi satu penghiburan yang sungguh bermakna dengan mereka.

Tatkala kita berpikir tentang pelayanan, sering kali kita memahaminya sebuah aktifitas. Jika kita tidak berbuat apa-apa, maka kita merasa tidak berbuat sesuatu. Seperti contoh yang sudah diutarakan di atas. Jika kita hadir di rumah duka itu, maka pertanyaan kita ialah: ngapain aku ada di sini. Dari pada bengong-bengong di sini, maka lebih baik aku berbuat sesuatu. Pada hal, sekalipun kita hanya bengong di rumah duka itu, kehadiran kita punya makna bagi orang yang sedang berduka.

Jika kita hadir di rumah duka, kita akan beraktifitas. Memberikan kata-kata penghiburan. Lalu setelah itu kita pergi mengerjakan aktifitas yang lain. Kita telah dapat berkata kepada diri sendiri: ‘aku telah menghibur keluarga itu’. Kita tidak perlu bertanya di dalam hati kita: ‘apa benar, keluarga yang berduka itu terhibur oleh karena kata-kata penghiburan yang kita katakan?’ Kita akan mengatakan: ‘itu bukan urusanku, itu adalah urusan dia!’ Jika demikian adanya, maka pada hakekatnya kita bukan sahabat dari orang yang berduka.

Sahabat yang sejati, ia turut ambil bagian di dalam kehidupan sahabatnya. Jika sahabat itu bersukacita, ia turut menikmati sukacita sahabat tersebut. Jika sahabat itu berdukacita, ia pun turut ambil bagian di dalam dukacita tersebut. Itulah sebabnya Paulus mengatakan agar kita “menangis dengan orang yang menangis, tertawa dengan orang yang tertawa”.

Ada lagi pengalaman yang sangat bermakna dalam hidup ini tentang melayani seseorang. Pada malam yang sudah larut, ponsel saya berdering. Aku pun meraihnya. Kepada teman-temanku telah kukatakan bahwa mereka dapat menghubungi aku kapan saja, bahkan bila pun waktu sudah sangat larut malam. Aku teringat akan perumpamaan Tuhan Yesus tentang seorang sahabat kedatangan tamu pada malam hari. ia mengetuk pintu rumah sahabatnya pada malam hari itu juga. Pintu diketok, maka pintu pun dibukakan.

Di seberang terdengar suara yang berat disebabkan hati yang sesak, oleh karena kesedihan yang dia rasakan. Lalu dia mencoba menumpahkan isi hatinya kepadaku  lewat ponselnya. Aku mendengarkan keluhannya dengan sabar. Di sana sini aku memberikan komentar singkat, sehingga ia memahami, bahwa saya peduli dengan apa yang sedang diperbincangkannya. Kami ngobrol selama dua jam di malam itu. Setelah bicara selama dua jam, disertai interupsi saya di sana sini, percakapan pun berakhir.

Ia berkata: “Terima kasih bang, karena sudah sedia mendengarkan curahan hati yang sedang sesak. Aku sudah menemukan jalan keluarnya dari percakapan kita tadi!” Aku tidak menasihati dia tentang masalah yang dia hadapi. Aku hanya bertanya dan bertanya lagi bagaimana pandangan dia tentang masalah tersebut. Bagaimana seharusnya masalah tersebut dihadapi. Ia menemukan sendiri jawabannya. Aku hanya mendengarkan isi hatinya dan berempati dengan masalah yang dihadapinya.

Dalam kisah yang dituturkan itu, aku tidak banyak berbuat. Tetapi tatkala kita tidak berbuat apa-apa secara fisik, pada hakekatnya kita berbuat secara kejiwaan. Orang yang menderita membutuhkan teman yang turut bersama dia mengalami derita itu. Tatkala orang turut ambil bagian di dalam deritanya, maka derita itu pun berkurang di lubuk hatinya.

Tuhan Yesus pun menerapkan hal yang sama terhadap orang-orang yang percaya kepada-Nya. Ia mengatakan kepada Saul: “Akulah Yesus yang engkau aniaya itu!” kita tahu, Saulus tidak pernah menganiaya Yesus secara fisik. Orang yang percaya kepada Yesus yang dia aniaya. Tetapi Yesus mengatakan Dialah yang dianiaya oleh Saulus. Yesus empati terhadap setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Tatkala Yesus melayani di dunia ini, Ia sibuk membagikan diri-Nya menjadi sahabat orang yang terpinggirkan di masyarakat. Ia menjadi sahabat pemungut cukai dengan orang berdosa. Ia memberikan diri-Nya, waktu-Nya kepada orang yang terpinggirkan itu. Ia membawa kesembuhan bagi orang yang terpinggirkan itu. Jika kita menyebut diri sebagai orang Kristen, pengikut Kristus, maka sudah sangat wajar jika kita memberikan diri kita kepada orang yang membutuhkannya, sebagaimana Kristus telah melakukannya lebih dulu.

Sayang seribu kali sayang, kita sangat sibuk dengan diri kita sendiri, sehingga tidak ada lagi waktu untuk orang lain. Jika kita tidak menjadi pusat perhatian, tatkala kita tidak bisa mengaktualisasi diri kita di dalam satu acara tertentu, maka acara itu sangat membosankan bagi kita. Masalahnya, kita sibuk dengan diri kita sendiri! Padahal, kita tidak dapat hidup sendirian di dunia ini. Bayangkanlah, jika saudara hanya sendirian di dunia ini, bukankah hal itu satu penderitaan yang amat sangat! Tuhan telah menetapkan bahwa kita hidup di dunia ini dengan sesama.

Bertobat pada hakekatnya berpaling dari diri sendiri dan mengarahkannya kepada Yesus. Allah ingin membuat kita sama seperti Yesus. Agar hal itu dapat terjadi, maka kita harus berpaling dari diri sendiri. Kita bukan lagi pusat dari segala sesuatu, melainkan orang lain. Di dalam diri orang lain, aku menemukan Tuhan! Sahabat ada di mana-mana, maka Tuhan pun ada di mana-mana.

Ada satu kisah tukang sepatu dari Rusia yang mengesankan hati. Dikisahkan Ivan, sang tukang sepatu bermimpi dijumpai Tuhan Yesus di dalam mimpinya. Tuhan berkata kepada Ivan: “Aku akan mampir di rumahmu esok pagi”. Ia sangat bersukacita mendengar kabar itu, lalu ia terbangun dari tidurnya. Ia segera membangunkan isterinya dan mengatakan bahwa Tuhan Yesus akan datang ke rumah mereka esok pagi.

Isterinya bertanya: “Jam berapa ia datang?” Ivan lupa bertanya kepada Tuhan tentang hal itu. Lalu mereka mempersiapkan sarapan pagi yang mewah untuk tamu terhormat tersebut. Tunggu punya tunggu, Tuhan tidak datang juga. Lalu mereka sepakat mengambil kesimpulan, mungkin pada saat makan siang. Lalu mereka bergegas untuk mempersiapkan makan siang yang mewah pula. Tunggu punya tunggu, Tuhan tidak datang juga. Mereka kecewa. Tetapi masih ada harapan satu lagi. Di saat makan malam tiba, Tuhan akan datang. Bukankah Ia sudah berjanji! Makan malam yang mewah pun disajikan.

Tetapi Tuhan tetap tidak datang. Lalu dalam kekecewaan berat, mereka tidur dan didera kelelahan. Setelah tidur nyenyak, kembali Ivan didatangi Tuhan di dalam mimpi. Tuhan Yesus berkata: “Tiga kali Aku datang tadi siang ke rumahmu, tetapi engkau menolak Aku” demikian kata Tuhan! Lalu Ivan membantah dan berkata: “Kapan Tuhan datang dan kami tidak terima. Bukankah kami sudah menunggu kedatangan Tuhan?”

Yesus berkata: “Aku datang pagi hari dalam diri seorang anak kecil. Aku meminta makanan yang engkau sediakan itu, tetapi engkau menolak Aku”. Memang pada pagi hari itu ada seorang anak meminta makanan itu, tetapi Ivan mengatakan: “Itu untuk Tuhan Yesus. Pergi sana”. Yesus melanjutkan perkataan-Nya: “Aku datang padamu pada siang hari dalam diri seorang pengemis, engkau pun menolak Aku. Bahkan demikian juga dalam malam hari. Aku datang dalam diri seorang yang kemalaman, engkau tetap menolak Aku”.

Ivan tertunduk dan dengan rasa malu ia berkata: “Seandainya aku tahu, itu adalah Tuhan, aku pasti menyambut-Mu”. Tuhan Yesus pernah berfirman: “Apa yang engkau perbuat terhadap orang yang paling kecil ini, engkau perbuat untuk Aku”. Kisah itu menuturkan kepada kita, Tuhan hadir di dalam kehidupan kita bukan hanya melalui Roh Kudus-Nya yang tinggal di dalam hati kita. Ia juga hadir di dalam hidup ini melalui teman-teman yang ada di sekitar kita. Jika kita bersahabat dengan mereka, pada hakekatnya kita sedang membina persahabatan dengan Tuhan sendiri.

Rasul Paulus pun menerapkan persahabatan dengan semua orang yang dilayaninya. Ia turut merasakan penderitaan orang yang dia layani. Hal ini terlihat di dalam suratnya kepada jemaat Korintus, “dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita” II Kor 11:28-29. Paulus meniru Tuhannya. Ia memposisikan diri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari orang-orang yang ada di dalam kehidupannya, di dalam pelayanannya.

Tatkala kita memusatkan perhatian kita kepada orang lain, maka kita akan semakin serupa dengan Kristus. Sebab Kristus juga memusatkan perhatian-Nya kepada orang lain. Ia sendiri berkata: “Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya bagi banyak orang”. Perpalingan dari diri sendiri kepada orang lain membuat kita semakin diubahkan di dalam keserupaan kita dengan Kristus.

Manusia sekarang ini senantiasa mempertanyakan kepada dirinya sendiri: ‘apa yang akan saya dapatkan melalui kegiatan tersebut’. Di sisi lain, seorang sahabat senantiasa mempertanyakan dirinya: “Apa yang akan saya berikan kepada sahabatku”. Saya terkesan dengan apa yang disuarakan oleh Pelihat Hanani kepada Raja Asa yang dicatat oleh kitab II Taw 16:9 “...mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia”. Aku memahami firman itu dengan pengertian: Tuhan mencari orang yang ingin dijadikan-Nya sahabat-Nya. Ia adalah kasih. Kasih senantiasa memerlukan obyek yang dikasihi. Oleh karena itu Allah membutuhkan manusia untuk dijadikan-Nya sebagai sahabat.

Ia ingin tinggal bersama sahabat-Nya itu. Ia ingin berjalan bersama dengan sahabat-Nya itu di sepanjang perjalanan hidup yang diperuntukkan-Nya bagi sang sahabat. Ia ingin menikmati persahabatan itu dalam artian yang sesungguhnya. Apa yang aku utarakan ini bukanlah isapan jempol semata-mata. Nyanyian orang percaya di sepanjang zaman mengutarakan hal yang sama juga.

“Yesus kawan yang sejati, bagi kita yang lemah,
tiap hal boleh dibawa dalam doa pada-Nya.
Oh, betapa kita susah dan percuma berlelah,
bila kurang pasrah diri dalam doa padanya.

Marilah kita menantikan kehadiran Sang Sahabat Yang Sejati itu di dalam hidup ini. Ia datang bukan dengan kemegahan dan kemuliaan surgawi-Nya. Itu akan kita lihat dalam hari penghakiman kelak. Sekarang Ia datang di dalam diri sesama kita yang membutuhkan pertolongan. Lihatlah di sekelilingmu, siapa tahu Tuhan ada di sana dan sedang menantikan uluran tanganmu untuk memberikan pertolongan dari hati seorang sahabat.
Mungkin Ia datang di dalam diri orang yang sedang berduka. Atau juga mungkin datang di dalam diri orang yang sedang bersukacita. Lirik lagu ini menjadi bermakna bagi jiwa yang menantikan Tuhan:

Open our eyes Lord
we want to see Jesus,
to reach out and touch Him,
 and say that we love Him.
Open our ears Lord
and help us to listen,
open our eyes Lord,
we want to see Jesus.

01/01/15

Akhir

Akhir

Hati ini sedang merenungkan akhir tahun dua ribu empat belas, yang sebentar lagi akan berlalu. Semuanya pasti berlalu. Sebentar lagi, sebagai warga HKBP aku dan keluarga akan menyanyikan lagu tradisional bagi orang Batak warga HKBP untuk menyanyikan nyanyian dari Buku Ende nomor 70: “Naung salpu taon na buruk i, Ho ma hupuji Tuhanki, ai diramoti Ho tongtong daginghu dohot tondingkon, ai diramoti Ho tongtong dagingku dohot tondingkon” – telah berlalu tahun yang buruk, Dikaulah kupuji Tuhanku, karena Engkau memelihara tubuhku dan jiwaku.

Sebagian besar orang memahami perjalanan waktu yang sedang dijalani manusia, adalah dalam garis linier. Mulai dari awal hingga akhir. Alkitab pun memahami pola seperti itu. Tetapi sebagian orang juga punya pemahaman yang berbeda. Dari pengalaman secara alamiah, mereka memahami perjalanan waktu itu, merupakan sebuah siklus. Ada musim hujan dan musim kemarau bergantian datangnya. Di negeri Barat, kita menemukan empat musim yang bergantian datangnya, lalu kembali pula ke dalam keadaan semula. Bagi mereka, waktu itu merupakan siklus. Orang berkata sejarah akan berulang.

Pemahaman siklus seperti ini juga dianut oleh sebagian agama di dunia ini. Ajaran inkarnasi adalah wujud dari pemahaman siklus waktu. Orang akan datang kembali dalam wujud yang berbeda dari wujud yang semula. Ada kalanya lebih baik, tetapi ada juga kalanya jauh lebih buruk.

Namun satu hal yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun juga ialah: ada yang tidak dapat diulang kembali. Dinosaurus tidak kembali lagi, setelah punah jutaan tahun yang lalu. Kepada kita pun diberitahukan bahwa mineral yang ditambang dari perut bumi tidak dapat kembali lagi ada, setelah dikuras habis. Ada banyak spesies yang punah di muka bumi ini. Semua ada akhirnya.

Sebuah pertanyaan muncul di dalam hati ini: jika satu hari kelak, hidup ini akan berakhir, maka apa jadinya tentang diri saya sendiri? Jawaban secara jasmaniah ialah: aku akan jadi tanah dan jadi debu. Itukah akhir dari kehidupan yang sudah dibangun dengan susah payah di dunia ini? Jadi debu? Alkitab memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang diberikan dunia ini. Alkitab mengajarkan kepada kita, bahwa akhir dari kehidupan di dunia ini, adalah sebuah permulaan dari satu kehidupan yang lain. Kehidupan yang tidak pernah dikenal oleh manusia. Alkitab berkata bahwa ada kehidupan di seberang kubur.

Tidak ada seorang pun di zaman modern ini, yang pernah pergi ke dunia di seberang itu, lalu kembali ke dunia sekarang ini, lalu menuturkan apa yang ada di dunia seberang sana. Kita hanya mengetahui dari kesaksian dari para rasul dan para nabi, tentang kehidupan tersebut. Rasul Paulus mengatakan bahwa bersama dengan Tuhan – maksudnya meninggal dunia – jauh lebih baik. Bahkan ia mengatakan bahwa mati itu adalah sebuah keuntungan.

Jadi saya memahami bahwa kematian secara jasmani, adalah sebuah peralihan dari satu strata kehidupan yang satu ke dalam strata kehidupan yang lain. Seumpama, orang telah menyelesaikan masa balita. Ia berpindah dari balita kepada masa kanak-kanak. Berpaling lagi ke masa remaja. Berpaling lagi ke masa pemuda dan masa dewasa. Lalu berpaling lagi ke masa lansia. Setelah itu ia berpaling dari masa di dunia ini, lalu masuk ke dalam masa ketiadaan waktu. Masa dimana orang percaya dan mati di dalam Tuhan, dikumpulkan oleh Allah. Di sana mereka beristirahat dari segala pekerjaannya, lalu pekerjaannya itu menyertai mereka. Demikian kata Roh Kudus di dalam kitab Wahyu.

Menarik untuk disimak, dalam perspektif iman Kristen, kita memulai dari sisi akhir dalam hidup ini, barulah kita mulai dari titik awal. Hal itu terlihat dari kalender gerejawi. Satu tahun terdiri dari 52 Minggu. Tahun itu dimulai dari Minggu pertama, yakni Minggu Advent. Advent artinya adalah kedatangan. Kedatangan Tuhan Yesus untuk menghakimi orang hidup dan yang mati. Lalu pada Minggu ke 52 akhir tahun Gereja dimana dibuat peringatan akan kematian orang percaya.

Garis linier waktu dimulai dari kita lahir dan diakhiri dengan kita mati. Tetapi ada satu tindakan Allah di dalam Kristus terjadi bagi kita. Kebangkitan Yesus dari antara orang mati membuat sebuah garis kehidupan yang baru, yang sejajar dengan garis linier yang kita warisi dari manusia pertama, yakni Adam. Garis linier yang kedua ini adalah garis yang dimulai dari kebangkitan Yesus dari antara orang mati. Oleh karena kasih karunia Allah, kita dipindahkan dari garis kehidupan yang berasal dari Adam.

Sekarang kita berada di garis linier kedua. Di sana kehidupan kita di mulai dengan memiliki hidup yang  kekal. Jika pun satu hari kita akan menghadapi kematian, maka kematian itu tidaklah akhir dari kehidupan kita secara pribadi. Sebab seperti yang sudah kita katakan di atas, kematian di dunia ini, pada hakekatnya adalah sebuah peralihan dari satu tahap kehidupan masuk ke dalam tahap kehidupan lainnya.

Jika kita mengikuti penglihatan Rasul Yohanes di dalam kitab Wahyu mengenai kehidupan setelah dunia ini dengan segala unsur-unsur yang ada di dalamnya dibinasakan dalam nyala api. Di dalam kehidupan di surga itu, tidak ada lagi air mata. Penderitaan tidak lagi ada di negeri yang baru dan bumi yang baru. Di sana kita akan memerintah bersama dengan Kristus.

Alam semesta ini sangat amat luas. Galaksi kita ini adalah salah satu dari sekian banyak galaksi yang ada di dalam alam semesta ini. Alam ini sungguh sangat amat luas. Saya membayangkan tiap orang percaya akan memerintah atas nama Kristus atas satu planet tertentu. Karena di langit yang baru dan bumi yang baru itu, akan ada juga wujud kehidupan. Tetapi karena segala sesuatu yang lama sudah berlalu, maka kita tidak mungkin membayangkan wujud pemerintahan yang akan datang itu, sama seperti pemerintahan yang ada sekarang ini.

Di kota kudus yang dilihat Yohanes itu tidak ada lagi matahari dan bulan. Hal lahiriah menurut hemat saya tidak diperlukan lagi. Sesuatunya tidak ada persamaan lagi dengan apa yang kita kenal sekarang ini. Para malaikat pun adalah mahluk hidup. Mereka tidak punya jasad fisik, karena adalah mahluk roh. Mungkin mahluk hidup yang akan ada di dunia yang akan kita perintah atas nama Tuhan Yesus adalah seperti malaikat itu.

Sungguh alangkah indahnya tatkala kita masuk ke dalam hidup yang seperti itu. Kita dapat melihat wajah Allah muka dengan muka. Sementara para malaikat tidak diperkenankan melihat wajah Allah, sekali pun mereka adalah mahluk yang kudus juga. Namun kekudusan mereka tidak dapat dibandingkan dengan kekudusan Allah sendiri. Bukankah sesuatu yang sungguh luar biasa, kita diperkenankan untuk melihat wajah Allah sendiri?                                                                                                                                                            

Mengingat semuanya ini di akhir tahun, maka terlintaslah di dalam hati, syair dari sebuah nyanyian rohani: This world is not my home, I’m just a passing through, my treasure are laid up some where beyond the blu, the angels beckon me, and heaven open door, and I can’t feel at home in this world anymore.

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...