Pohon Terang
Natal sudah berlalu. Namun di Minggu pertama setelah
tahun baru, pohon terang masih terpasang di altar Gereja. Akan tiba saatnya
pohon terang itu diturunkan, dipreteli, lalu dimasukkan ke kardus tempat
menyimpan. Pada gilirannya, di akhir tahun ini, akan dikeluarkan kembali.
Ditegakkan dan dihias untuk menyemarakkan perayaan natal. Terlintas di dalam
hati ini: seberapa besar pengaruh perayaan natal yang sudah berlalu itu di
dalam kehidupan beriman dari anggota Jemaat yang merayakannya?
Jika anggota Jemaat mengalami perjumpaan iman dengan
Kristus Yesus yang kelahiran-Nya dirayakan, maka setiap orang yang berjumpa
dengan Yesus yang lahir itu, mereka mengalami satu sukacita yang luar biasa.
Marilah kita mendengar kesaksian dari penginjil Matius tentang orang Majus yang
menemui Yesus di kandang domba. Mereka sangat bersukacita tatkala melihat
bayi Yesus di dalam palungan. Mat 2:10.
KJV menerjemahkan dengan kata: exeedingly
great joy, sukacita yang melimpah. Para gembala yang mendapatkan berita kelahiran
itu dari para malaikat pun pulang dengan memuliakan Allah, karena berita yang
mereka dengar dan lihat adalah sebuah kenyataan. Ada sebuah realisasi dari
berita natal yang diperdengarkan kepada mereka.
Adakah sukacita sama seperti yang dialami oleh para
orang Majus dan para gembala itu, di hati mereka yang merayakan natal beberapa hari yang lalu?
Mungkin perayaan itu hanyalah sebuah seremoni belaka bagi kita. Kita sudah
kehilangan substansi dari perayaan natal tersebut. Sama seperti pohon terang tadi.
Sudah tiba waktunya pohon natal itu diturunkan dan dimasukkan ke dalam peti.
Pada waktunya akan dikeluarkan kembali. Pohon terang itu hanya bermakna bagi
kita di masa tertentu. Ia tidak punya makna di luar tradisi yang ada di dalam
hidup kita. Pohon terang hanyalah sebuah ornamen di dalam rumah kita. Ornamen
di masa tertentu.
Jangan jangan kekristenan kita pun hanyalah sebuah
ornamen di dalam kehidupan ini. Negara ini menetapkan bahwa semua warga negara
Republik Indonesia harus punya agama. Maka kita pun memilih sebuah agama yang
cocok dengan diri kita. Lalu kita memilih agama Kristen bagi kita. Atau kita
memiliki agama itu, oleh karena kita mewarisinya dari orang tua kita.
Namun satu hal yang pasti, Yesus berkata kepada
Petrus: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang
menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga”. Pengakuan bahwa
Yesus adalah Tuhan yang sesungguhnya tidak pernah kita dapatkan dari tangan
kedua. Dari orangtua atau para pekerja Tuhan. Pengakuan itu datangnya dari
tangan pertama, yakni Allah Bapa sendirilah yang menaruhnya di dalam hati kita,
melalui kesaksian dari Roh Kudus. Paulus mengatakan bahwa tidak ada seorang pun
yang dapat mengaku Yesus adalah Tuhan, selain dari Roh Kudus.
Kembali kepada pertanyaan yang sudah diajukan di atas,
apakah orang berjumpa dengan Yesus yang kelahiran-Nya dirayakan di hari natal?
Apakah mereka pulang dari perayaan natal itu dalam sukacita sama seperti orang
Majus? Apakah mereka memuliakan Allah sama seperti para gembala? Apakah yang
harus menjadi tolok ukur dari sebuah perjumpaan tersebut? Apakah realisasi dari
sebuah sukacita dan tindakan memuliakan Allah karena perjumpaan tersebut?
Sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan
dengan baik dan benar.
Setiap kali merayakan natal, saya sebagai warga HKBP
yang sangat menikmati ibadah di Gereja, dalam perayaan natal senantiasa bergema
lagu ini:
Nunga jumpang muse ari pesta i,
hatutubu ni Tuhanta Jesus i, tuat do Ibana sian surgo i, mebat tu hita on. Hasangapon di Debata, dame dame ma
di jolma, las ni roha ni Debata hajolmaon muse.
Beta, ale dongan tu Betlehem i Ita somba ma Dakdanak na disi
Na tinongos ni parasiroha i Debata Ama i Hasangapon di Debata, dame,dame ma di
jolma. Las ni roha ni Debata hajolmaon muse.
Sombanami ma di Ho na tubu on Ho siboan dame tu portibion Sai
pasaorhon ma tu rohanami on dame-Mi o Jesus. Hasangapon di Debata, dame, dame
ma di jolma. Las ni roha ni Debata hajolmaon muse.
Aku mencoba melihat makna dari perayaan natal, dari
sudut pandang syair lagu yang sangat populer ini. Bait pertama berbicara bahwa
natal adalah sebuah pesta. Jika kita mengadakan pesta, itu berarti kita sedang
membagikan rasa sukacita kita kepada sesama. Tidak ada orang yang mengadakan
pesta dan tidak mengundang orang untuk bersukacita bersama dengan dia. Orang
Majus itu tidak sendirian menyembah bayi Yesus. Para gembala pun tidak
sendirian menerima kabar baik itu. Jika kita merayakan natal dalam konteks
pesta, tidak ada makna ornamen yang kita buat, jika tidak ada tamu yang kita
undang untuk bersukacita bersama dengan kita.
Jika kita berpesta dengan sukacita, dan kita
mengundang orang untuk turut ambil bagian dalam sukacita yang kita alami. Maka akan
terdapat di dalam pesta itu kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan
damai sejahtera di bumi di antara manusia yang
bekenan kepada-Nya. Siapakah sesama kita yang turut menikmati suasana
pesta yang kita rayakan dalam natal yang barusan kita ikuti. Orang itu kita
ajak untuk turut pergi ke Betlehem untuk menyembah Dia yang dibaringkan di
dalam kerendahan. Karena hanya berbaring di palungan kambing domba. Hal ini
diutarakan di dalam ayat dua dalam syair yang di atas. Kita berpesta dengan
sesama di dalam kerendahan hati dan dalam kesederhanaan. Sangat kontras dengan
suasana natal yang sekarang kita saksikan. Komersialisasi dengan keuntungan
bisnis yang diharapkan para pedagang menghilangkan suasana kesederhanaan yang
disuarakan natal yang sesungguhnya.
Di Betlehem itu orang majus mempersembahkan emas
kemenyaan dan mur kepada bayi Yesus. Syair lagu pujian kita pun di dalam ayat
tiga menyuarakannya. Ada sesuatu yang harus dipersembahkan kepada Yesus sang
bayi natal itu. Setiap orang yang berjumpa dengan sesuatu yang sangat amat
besar di dalam hidup ini, maka kita tidak boleh tidak akan mempersembahkan
sesuatu. Persembahan apa yang paling layak kita persembahkan kepada Dia yang
hari kelahiran-Nya kita pestakan?
Syair dari lagu nyanyian Gereja HKBP memberikan saran
kepada kita. BE nomor 49: 7 “Ántong roha
nami ma pelean-Mi, o Jesus hasian sai jalo ma i, ias jala sonang ma baen angka
i, tongtong gabe domu ma tu rohami”. (Oleh karena itu hati kamilah yang
menjadi persembahan kami. Oh Yesus yang kekasih terimalah, bersih dan buat
sejahteralah hatiku, senantiasa bersatu dengan hati-Mu.) Tidak ada persembahan
yang paling pas untuk dipersembahkan kepada Yesus yang telah datang ke dalam
kehidupan kita, selain dari hati kita. Allah sangat menginginkan hal tersebut.
Syair pertama yang kita kutip di atas dalam bahasa
Inggris bunyinya sebagai berikut:
Mine eyes have seen the glory
of the coming of the Lord;
he is trampling out the vintage
where the grapes of wrath are stored;
he hath loosed the fateful lightning
of his terrible swift sword;
his truth is marching on.
Refrain:
Glory, glory, hallelujah!
Glory, glory, hallelujah!
Glory, glory, hallelujah!
His truth is marching on.
Syair itu mengingatkan kita bahwa mata hati iman kita
telah melihat kemuliaan dari Tuhan yang sedang datang mengunjungi kita. Ia
menginjak injak buah dari murka Allah... Kebenaran-Nya sedang berarak. Oleh
karena itu jiwanya memuji kemuliaan Allah dan menyanyikan haleluyah. Kita suka
menyanyikannya. Tetapi pertanyaan yang perlu harus direnungkan ialah: sudahkah
kita melihat kemuliaan Allah berarak berjalan mendatangi kehidupan kita? Jika
ya memang demikian, tidak boleh tidak, kita akan menuturkan hal itu kepada
sesama kita.
Sayang seribu kali sayang, kita sudah terperangkap di
dalam rutinitas perayaan. Sama seperti pohon terang yang diturunkan dan
dibungkus. Perayaan natal pun berlalu dari hidup kita. Gone with the wind. Berlalu dibawa angin! Tanpa bekas! Ada orang
bertanya: ”Apa yang harus kita jadikan sebagai sebuah tolok ukur dari suksesnya
sebuah perayaan natal?” Saya menjawab: “Lihatlah jumlah anggota Jemaat yang
hadir di dalam ibadah setelah ibadah natal berlalu”. Jika orang menikmati
sukacita pesta yang dirasakannya pada hari natal, maka orang itu akan semakin
giat di dalam menikmati perjumpaan dengan Allah dan sesama, di dalam ibadah
yang dilaksanakan persekutuan.
Jika kita melihat jumlah orang yang hadir di dalam
ibadah Minggu setelah ibadah natal dan tahun baru, maka kita menemukan jumlah
orang yang sangat berkurang. Mereka lebih menyukai tinggal di rumah, atau
menikmati liburan keluarga. Mereka tidak menemukan kesegaran baru tatkala
mereka hadir di dalam ibadah Minggu. Lain dengan Tuhan Yesus. Ia sedang lapar
dan haus. Mereka sedang berada di sumur Yakub, tetapi mereka tidak punya timba.
Makanan pun tidak ada pada mereka. Lalu para murid pergi meninggalkan Yesus di
sumur tersebut untuk mencari makanan.
Tatkala para murid pergi, maka datanglah seorang
perempuan yang kurang baik perilakunya. Ia bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus.
Melalui percakapan tersebut, ia menemukan bahwa Dia yang sedang berbicara
kepadanya adalah Mesias yang dinantikan orang Samaria. Karena perjumpaan
tersebut, perempuan itu meninggalkan Yesus sendirian. Ia ingin penduduk
sekampungnya juga berjumpa dengan Mesias. Ia bersukacita.
Pada waktu itu para murid datang membawa makanan. Lalu
menawarkan makanan itu kepada Yesus. Yesus berkata: “Pada-Ku ada makanan yang
tidak kamu kenal”. Para murid itu bertanya: “Siapa yang memberikan kepada-Nya?”
Yesus menjawab: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Bapa-Ku yang mengutus
Aku”. Tatkala Yesus melakukan kehendak Allah, untuk membukakan mata orang yang
buta, seperti perempuan Samaria itu, rasa lapar-Nya menjadi hilang. Makanan
senantiasa membuat kita kenyang dan
kuat. Itulah yang dialami Yesus di tepi sumur Yakub tersebut.
Jika kita membuat itu sebagai pelajaran berharga bagi
kita, maka setiap kali kita melakukan kehendak Allah, maka kita menerima
kekuatan dari Allah yang melihat pekerjaan iman yang kita lakukan. Oleh karena
itu, jika kita benar-benar berjumpa dengan Yesus di natal yang kita rayakan,
kita akan memberikan persembahan. Hati kita adalah persembahan yang paling
disukai Allah. Hati itu pun dikembalikan kepada kita, dengan sukacita dan
kegemberiaan dan kekuatan yang baru. Dengan sesuatu yang baru itu, kita akan
dimampukan untuk melakukan segala kehendak Allah. Oleh karena itu dalam setiap
ibadah yang diselenggarakan persekutuan kita, dengan sukacita akan
mengikutinya. Sebab di setiap persekutuan itu, kita dikenyangkan oleh kasih
karunia Allah yang tiada habis-habisnya.
Sebaliknya, bagi mereka yang melihat perayaan natal
hanyalah sebuah seremoni musiman, maka setelah acara selesai, maka terkuras
juga energi yang ada di dalam diri mereka. Stamina mereka menurun, oleh karena dikonsumsi
oleh nafsu manusiawi yang punya batas kemampuan. Sungguh sangat berbeda dimensi
stamina dari mereka yang hidup secara manusiawi, dengan mereka yang hidup
secara rohani. Orang rohani mendapatkan kekuatan baru di dalam melakukan
kehendak Allah. Sementara orang dunia kehabisan tenaga di dalam melakukan
kehendaknya. Itulah sebabnya mereka
harus beristirahat dari segala pekerjaan yang mereka kerjakan.
Ornamen rohani dari orang percaya tidak harus
dibungkus, seperti pohon terang yang sudah kita bicarakan. Ormanen rohani
adalah manusia batiniah yang indah, yang terpancar dari kehidupan kita. Dilihat
orang lain, lalu mereka pun memuji Allah karena karya-Nya di dalam diri kita.
Kesederhanaan dan kerendahan hati, adalah salah satu dari ornamen yang senantiasa
dipakai oleh orang-orang pilihan Allah. Orang-orang yang dikenyangkan Allah
dengan roti kehidupan dari surga, mereka memamerkan ornamen rohani ini.
Bukankah orang akan tertarik melihat kesederhanaan dan kerendahan hati? Yesus
telah mendemonstrasikannya. Orang pada datang kepada-Nya karena Ia menerima
orang sebagaimana adanya. Apakah dampak dari hati natal yang sudah berlalu itu
bagi saudara pada hari ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar