23/06/13

Soko Guru

ORANG TUA SEBAGAI SOKO GURU MORALITAS KELUARGA

 “Semoga anak-anak lelaki kita seperti tanam-tanaman yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya; dan anak-anak perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru, yang dipahat untuk bangunan istana” ( Mzm. 144:12)

Pendahuluan

Ada sebuah lagu yang sangat populer di kalangan orang Batak Kristen dewasa ini, khususnya nyanyian ini dinyanyikan pada waktu ada anggota keluarga yang meninggal; teristimewa jika yang meninggal itu adalah orang tua. Nyanyian itu ialah: “Di doa ibuku namaku di sebut.” Saya tidak tahu siapa penggubah lagu tersebut, tetapi lirik lagu itu memberi kesan kepada para pendengar bahwa ibu dari si penggubah syair itu – tentulah juga  orang mati dimana keturunannya sedang menyanyi – adalah seorang yang sangat saleh. Dalam bait yang kedua dalam lirik nyanyian itu digambarkan bahwa ibunya sudah lama pergi meninggalkan dia, namun kesan yang diberikan ibunya masih terpatri sangat dalam di lubuk hatinya. (seringlah ini kukenang di masa yang berat, di kala hidup mendesak dan nyaris ku sesat; melintas gambar ibuku, sewaktu bertelut, kembali sayup ku dengar, namaku disebut). Satu gambaran yang sangat indah, tentang aura iman yang ditinggalkan seorang ibu kepada anaknya. Masihkah kita menemukan seorang ibu seperti itu di masa kini ? Mengapa tidak!

Kita tahu dari sudut pandang psikologi, semua orang tua meninggalkan kesan yang sangat dalam di lubuk hati anak-anaknya. Tatkala mereka bertumbuh menuju dewasa, mereka dapat menangkap apa yang paling mempengaruhi kehidupan kita. Siapa yang mengatur hidup ini, apakah uang adalah segala-galanya, karir, prestise dan lain sebagainya. Mereka juga dapat menangkap kasih kita terhadap pasangan hidup. Apakah kasih yang tulus ada di antara kita berdua, atau kepura-puraan yang ada. Semuanya itu terekam di lubuk hati mereka yang paling dalam, dan mempengaruhi hidup mereka. Bukankah hal itu terlihat jelas dalam lirik nyanyian yang sudah kita kutip di atas?

Sebuah pertanyaan diajukan kepada kita, apa dan siapa yang menjadi tuan di dalam kehidupan kita yang terekam dalam hati anak-anak? Bagi sang penggubah syair nyanyian itu, iman kepada Yesus Kristuslah yang tertinggal sangat dalam di lubuk hati anak-anaknya. Kesan itu mereka warisi, bahkan sampai hari tuanya. Hal itu jelas terlihat dari lirik ini: “Sekarang ia telah pergi ke rumah yang senang, namun kasihnya padaku selalu ku kenang” (bait yang ketiga). Orang tua memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk masyarakat yang sehat di masa mendatang.

Peran orang tua.

Nas yang sudah kita kutip di atas adalah sebuah pengharapan orang tua terhadap anak-anak. Bukan hanya anak-anaknya tetapi seluruh anak-anak Israel. Bagi kita itu berarti seluruh anak anak orang Kristen. Karena ayat itu adalah bagian dari firman Allah, maka dengan sendirinya ayat itu juga merupakan sebuah pengharapan Allah bagi setiap anak-anak orang tebusan Tuhan di dunia ini. Pengharapan itu bukan hanya sebuah ilusi yang tidak punya dasar. Pengharapan itu dibangun di atas dasar iman yang kokoh kepada Allah yang telah bertindak dalam  hidupnya. Kita tahu mazmur ini adalah mazmur raja, dinyanyikan oleh Raja Daud. Sebagai seorang raja, dia mengutarakan pengharapannya akan anak-anak Israel. Kita tahu dari kesaksian Alkitab Daud adalah seorang yang hidupnya berkenan di hati Allah, (Kis.13:22). Dialah yang berharap akan keberadaan anak-anak Israel.

Oleh karena itu, bagi kita sekarang ini, pengharapan ini pun haruslah menjadi pengharapan kita, yang juga ditopang oleh satu kehidupan yang kokoh, sebagaimana Daud yang mengharapkan hal yang sama, ditemukan dalam keadaan berkenan di hati Allah. Alangkah indahnya jika semua warga Gereja mengharapkan kehidupan anak-anaknya seperti yang disuarakan mazmur ini. Mereka membangun kehidupannya dalam persekutuan yang akrab dengan Tuhan. Hal itu ditopang oleh kehidupan  orangtua yang menjadi soko guru dari iman anak-anaknya itu. Peran orangtua sangat besar untuk mewujudkan hal itu menjadi satu kenyataan. Raja Daud tidak hanya berharap tanpa dasar yang teguh. Pengharapannya menjadi satu pengharapan yang pasti, sebab Dia yang dipercayainya berkenan kepadanya.

Pertumbuhan seperti tanam-tanaman

Berbicara tentang pertumbuhan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada kita, pemazmur mengatakan mereka harus bertumbuh. Pemazmur menggambarkan pertumbuhan anak-anak itu dalam dua hal. Pertama seperti tanaman yang bertumbuh dan yang kedua seperti bangunan. Jika kita berbicara tentang tanaman yang bertumbuh, maka satu  hal yang pasti ialah kita memerlukan lahan bagi benih untuk bertumbuh. Jika anak-anak mau bertumbuh seperti yang diharapkan Allah di dalam rumah tangga kita, maka mereka memerlukan lahan untuk pertumbuhan itu. Lahan itu ialah keluarga kita sendiri.

Setiap rumah tangga adalah lahan dimana anak anak bertumbuh. Masalah bagi kita sekarang ialah apakah rumah tangga kita merupakan lahan yang subur untuk pertumbuhan iman anak-anak kita. Jika kita melihat keberadaan rumah tangga orang Yahudi, Alkitab menyaksikan bahwa orangtua memegang peran yang amat penting bagi pertumbuhan iman dari anak-anak mereka. Musa memerintahkan agar setiap orangtua membicarakan firman Tuhan kepada anak-anak mereka, secara berulang ulang, tatkala  mereka duduk di rumah, apabila mereka dalam perjalanan, apabila mereka berbaring, apabila mereka bangun. (Ul. 6:7-8). Dengan perkataan lain, segala kesempatan yang ada dalam kehidupan itu, mereka harus pergunakan untuk mengajarkan firman Allah kepada anak-anaknya.

Paskah, perayaan terbesar di dalam agama Yahudi, adalah sebuah perayaan yang diselenggarakan oleh satu keluarga (Kel. 12:2). Bahkan diwajibkan salah satu dari anak-anak untuk mengajukan pertanyaan kepada orangtua: apa artinya ibadah itu. Lalu orangtua akan memberikan penjelasan kepada mereka. (Kel. 12:26-27). Adalah ketetapan Allah bagi setiap orangtua, agar menjadi pengajar bagi anak-anaknya, tentang iman kepada Allah, yang kita kenal di dalam  Yesus Kristus.

Sangat disayangkan, sekarang ini banyak dari anak-anak yang kita tidak lagi mendapatkan penjelasan tentang iman kepada Kristus dari orangtua. Pada umumnya, pengajaran tentang iman itu telah diserahkan kepada guru-guru sekolah minggu. Itu pun hanya sekali dalam satu minggu, pada kebaktian sekolah minggu di gereja. Jikalau guru sekolah minggu itu berkualitas masih mendingan. Bagaimana jika mereka pun tidak punya beban akan pertumbuhan iman anak-anak? Pada hal, di satu sisi, justru orangtualah yang berjanji di hadapan Tuhan dan di hadapan jemaat, bahwa mereka akan membawa anak itu ke dalam pengajaran Kristen Protestan; tatkala anak-anak itu dibabtis. Menurut hemat saya, sangat ironis. Bagaimana mungkin mereka dapat bertumbuh secara iman jika pengajaran kepada anak-anak modelnya seperti itu?

Sisi lain dalam pertumbuhan iman dari anak-anak kita yang oleh pemazmur dianalogikan sebagai tanaman, maka kita dapat katakan; setiap tanaman yang ditanam memerlukan benih. Kita tahu dari dunia pertanian, setiap biji-bijian yang akan dijadikan benih, bijian itu haruslah dari benih yang unggul. Pernah diceriterakan orang, tentang petani kentang di Amerika. Dulu katanya mereka memiliki biji kentang yang besar-besar. Mereka memakan kentang yang besar, lalu membuat biji kentang yang lebih kecil menjadi benih untuk penanaman selanjutnya. Tidak terlalu lama, mereka mendapatkan hasil kentang yang lebih kecil dari biji kentang yang sebelumnya. Demikian seterusnya, sehingga mereka kehilangan kentang yang besar. Syukur mereka sadar, lalu mereka  hanya memakan kentang dari biji yang  kecil, sementara kentang biji besar dijadikan benih.
Anak-anak kita pun dapat diibaratkan sebagai bibit unggul di dalam kerajaan Allah. Alkitab berkata bahwa kita adalah “buatan Allah diciptakan di dalam Yesus Kristus, untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya  kita hidup di dalamnya.” Ef2:10. Kata buatan dalam ayat ini menurut Jerusalem Bible adalah “work of art”. NASB menerjemahkan kata itu menjadi ‘workmanship’. Kata itu dalam bahasa Yunani adalah ‘poema’. Kata ini dapat diterjemahkan menjadi “master piece”. Jadi kita adalah master piecenya Allah. Karya maha indah dari Allah. Jika Allah melihat satu pribadi adalah karya seni yang maha indah, termasuk di dalamnya anak-anak kita, maka kita pun seharusnya melihat anak-anak itu satu pribadi yang unggul, karena Allah berkarya di dalam dia. Benih yang unggul selalu diharapkan menghasilkan buah yang berlimpah berkali lipat. Anak-anak kita itu punya potensi yang luar biasa untuk berlipat kali ganda. Tugas kita sebagai orangtua untuk mengharapkan dan memfasilitasi mereka bertumbuh menjadi besar.

Setiap orangtua pada umumnya bangga dengan keberadaan anak-anaknya. Kita ingin agar anak-anak kita itu mencapai prestasi gemilang di dalam hidupnya. Hal ini adalah sesuatu yang wajar secara manusiawi. Tetapi kita hidup bukan hanya secara manusiawi. Kita adalah anggota keluarga Allah, yang hidup di dunia ini untuk menghadirkan kerajaan Allah. Kita berdoa agar kerajaan Allah datang, dan kehendak Allah jadi di dunia ini seperti di surga. Bibit unggul ini harus menghasilkan sesuatu yang bernilai kekekalan di dalam hidupnya. Untuk itulah dia hadir di dunia ini. Memuliakan Allah yang telah menciptakan dia, mengasihi dia dan bahkan menebus dia dari dosa dan kematian.

Sisi lain dari tumbuhan yang bertumbuh. Setiap tanaman membutuhkan iklim tertentu agar dia dapat berbuah. Konon kata orang, buah apel membutuhkan musim gugur untuk menghasilkan buah. Karena di Indonesia tidak ada musim gugur, maka para petani apel  di kota Malang merontokkan daun-daun pohon apel itu, supaya pohon itu berbuah. Harus diciptakan musim gugur buatan agar pohon itu berbuah. Demikian juga buah melon. Di kawasan puncak Bogor, pohon melon itu berbuah. Tetapi takala pohon itu di tanam di Jakarta, pohon itu tumbuh, tetapi tidak menghasilkan buah. Karena pohon itu tidak menemukan suhu udara yang pas untuk menghasilkan buah. Hal yang sama juga dapat dikenakan terhadap pertumbuhan anak di dalam Tuhan.

Apakah anak kita mendapatkan suasana rohani yang membuat dia dapat bertumbuh dan menghasilkan buah di dalam rumah kita? Apakah dia mendapat kesan di dalam hatinya tentang Tuhan yang berkuasa dan yang menetapkan jalan hidup kita? Apakah dia menemukan altar penyembahan Allah di dalam hidup kita? Altar yang dia temukan bisa saja altar kepada Allah yang hidup, atau mungkin juga altar materialisme, altar individualisme, konsumtifisme, bahkan mungkin altar hedonisme!

Kita orang Batak sangat menghargai pendidikan. Oleh karena itu kita mengupayakan agar anak-anak kita mencapai pendidikan yang tinggi. Untuk itu kita memberikan pelajaran ekstra kepada mereka. Apakah kita berupaya juga agar anak-anak kita itu mendapatkan pendidikan ekstra di dalam iman Kristen? Aura apa yang kita tebar di dalam rumah tangga kita? Aura iman atau aura duniawi, hal itu sangat menentukan dalam pertumbuhan anak-anak.

Tanaman dalam pertumbuhannya juga membutuhkan pemupukan. Anak-anak pun demikian. Mereka perlu pemupukan akan firman Allah. Yesus mengatakan bahwa manusia tidak hidup dari roti saja, tetapi dari firman Allah yang keluar dari mulut Allah (Mat.4:4). Kebenaran dari firman ini dialami oleh orang Israel di padang gurun. Selama empat puluh tahun mereka disuplai oleh Allah dengan makanan dari surga. Orang Israel hidup di padang gurun itu melulu karena Allah yang memerintahkan agar  manna itu turun dari langit. Tatkala hari Sabat tiba, sekali pun mereka mencari manna, tidak ada yang mereka temukan, karena Allah telah berfirman, mereka tak akan temukan manna pada hari Sabat.

Apakah anak-anak kita akan tiba ke dalam keadaan seperti yang diharapkan pemazmur, seperti yang diharapkan Allah dalam kehidupan kita? Jika jawabannya adalah ya, maka tentunya kita harus memupuk kehidupan mereka dengan firman Allah. Apakah ada kesadaran di dalam diri anak kita, bahwa kehidupannya ada karena Allah yang berkarya di dalam hidup ini. Karena dia disirami oleh firman Allah, bukan hanya sekali seminggu, tetapi tiap hari.

Bukankah gereja kita HKBP mengajarkan kepada kita untuk membaca Alkitab dua kali dalam sehari. Saya takut, hal itu tidak lagi dilaksanakan sebagian besar warga HKBP. Sebab tidak semua warga HKBP memiliki almanak tersebut. Ada orang yang mengatakan bahwa ia membaca Alkitab bukan berdasarkan almanak HKBP, tetapi berdasarkan tuntunan buku-buku yang lain. Puji Tuhan. Masalah utama ialah bertumbuh melalui firman Allah. Adakah pemupukan iman Kristen terlaksana di dalam kehidupan rumah tangga kita, terlebih untuk kehidupan anak-anak?

Tanaman juga memerlukan pemangkasan. Seorang tukang kebun yang berpengalaman tahu persis bahwa tanaman butuh pemangkasan. Allah pun sebagai pengusaha kebun anggur, kata Tuhan Yesus memangkas pohon anggurnya, agar berbuah lebat dan bernas (Yohanes 15). Anak-anak pun membutuhkan pemangkasan. Dari sudut pertumbuhan iman Kristen, pemangkasan itu adalah penderitaan, atau kita dapat katakan dengan perkataan lain, disiplin. Penulis surat Ibrani mengatakan: Allah menyesah semua orang yang disebut-Nya sebagai anak. Jika kita bebas dari ganjaran yang seharusnya diterima semua orang, maka itu adalah tandanya kita tidak diakui Allah sebagai anak, bahkan disebut sebagai anak gampang (Ibr. 10:8).

Secara manusiawi kita memang mendisiplinkan anak-anak kita. Namun maksud kita di sini ialah disiplin iman kita jalankan.  Defenisi  kata disiplin menurut Henry Nouwen “adalah upaya yang terkonsentrasi untuk menciptakan suatu ruang dalam kehidupan kita di mana Roh Kudus dapat menjamah kita, berbicara kepada kita, dan memimpin kita ke tempat-tempat tak berdaya dimana kita tidak lagi dapat memegang kendali” (dalam bukunya berjudul :Kau ubah ratapku menjadi tarian, 2004). Jika kita ikuti batasan disiplin menurut Henry Nouwen di atas, maka hal itu berarti: semakin orang tebina oleh disiplin, semakin luas pula ruang di dalam hidup seorang anak untuk Roh Kudus dalam rangka membina dia. Hal ini tentunya terefleksi dari pengalaman kita orang tua.

Bangunan yang dipahat di istana

Pemazmur beralih dari tumbuhan ke bangunan. Jika kita berbicara tentang bangunan, apalagi untuk istana, maka kita membutuhkan seorang ahli bangunan, seorang arsitek. Rasul Paulus berbicara tentang bangunan. Dasar dari bangunan itu ialah Yesus Kristus. Orang harus membangun di atas dasar yang sudah diletakkan yaitu Yesus Kristus. (I Kor. 3:11). Di tempat lain Petrus mengatakan bahwa kita adalah batu hidup yang dipakai untuk bangunan rohani, di mana di sana dipersembahkan korban bagi Allah yang hidup (I Pet.2:5). Siapa arsitek dari bangunan itu? Kita tahu jawabannya. Arsiteknya ialah Allah. Jadi tatkala kita membangun kehidupan anak-anak kita, maka kita tidak boleh membangunnya di luar gambar blue print yang sudah ditetapkan Allah lebih dahulu.

Membesarkan adalah sebuah seni, apalagi di bidang iman. Satu–satunya seniman yang dapat membentuk anak-anak kita itu menjadi seperti yang diharapkan ialah Roh Kudus. Sudah kita katakan di atas, bahwa hidup kita menjadi patron bagi anak-anak di dalam pembentukan moralitasnya. Hidup kita menjadi contoh yang jelas terlihat oleh anak-anak. Oleh karena itu kita harus merelakan Roh Kudus membentuk kehidupan kita menurut kehendak-Nya, sehingga hal itu terlihat oleh anak-anak dengan jelas dan memiliki kemauan untuk dibentuk oleh ahli bangunan itu, menjadi tiang-tiang penjuru.

Harapan untuk anak lelaki

Pemazmur menggambarkan harapannya terhadap anak laki dan anak perempuan. Saya percaya dia tidak membuat perbedaan antara anak laki dan perempuan. Menurut kitab Kejaidan, manusia itu adalah laki-laki dan perempuan (Kej.1:27). Jadi layaklah pemazmur menyebut anak laki dan anak perempuan. Untuk anak laki pemazmur mengatakan agar mereka menjadi orang besar. Semua orang sangat menginginkan agar anak-anaknya menjadi besar. Besar secara fisik. Tetapi tentunya bukanlah hanya besar secara fisik. Kita juga menginginkan mereka besar secara moral. Untuk membuat anak anak menjadi besar secara fisik, maka dia perlu gizi yang baik. Agar mereka besar secara moral, diperlukan sebuah model. Orang lebih gampang meniru dari pada mencipta. Gizi terbaik di dalam pembangunan moral anak-anak ialah contoh konkrit. Contoh itu seharusnya adalah orangtua.

Kita juga menghendaki agar anak kita besar secara sosial. Untuk yang satu ini, kita tidak terlalu banyak berbicara, sebab kita semua menyadari hal ini. Tetapi satu hal yang perlu diutarakan di sini ialah: zaman ini sangat mendewakan individualisme dan praktisisme. Hal itu pun mempengaruhi relasi sosial kita. Hubungan sosial semakin tidak bermakna, sebab yang sangat berarti ialah individu. Masyarakat Batak pada umumnya sangat menekankan kekerabatan. Ini pun mengalami erosi, karena budaya zaman yang menekankan individualisme. Anak-anak kita itu harus menjadi orang besar secara sosial. Tuhan Yesus tatkala Ia hidup di Palestina, Alkitab menyimpulkan masa kecilnya dengan perkataan: ”Yesus bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk2:52)

Sangat  jelas dari ayat di atas, Yesus bertumbuh secara jasmani, karena Ia bertambah besar, tetapi juga bertumbuh secara intelektual, sebab dikatakan Ia bertambah juga hikmatnya, malah bertambah besar. Yesus juga bertumbuh secara rohani, sebab dikatakan Ia semakin dikasihi oleh Allah. Ia juga bertumbuh secara sosial, sebab Ia dikatakan semakin dikasihi manusia. Jika Yesus menjalani pertumbuhan seperti itu, bukankah anak-anak kita juga harus menjalani  pertumbuhan seperti itu pula. Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah: apa yang kita lakukan supaya anak kita semakin disukai oleh manusia?

Pada akhirnya kita mengatakan dalam bagian pertumbuhan anak ini, ia juga harus bertumbuh secara rohani. Ia menjadi besar secara iman. Ciri dari pertumbuhan secara rohani ialah “semakin dikasihi Allah.” Jika tolok ukur pertumbuhan sosial adalah semakin dikasihi manusia, hal ini gampang terlihat. Tetapi semakin dikasihi Allah, apa yang menjadi tolok ukurnya? Yesus mengatakan dalam Yoh.14:21 Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya."  Jadi jelas bagi kita, tolok ukur dari semakin dikasihi Allah ialah semakin melakukan firman Allah yang telah dipelajarinya. Dengan semakin besar di dalam iman maka ia akan dapat melakukan hal-hal besar di dalam hidupnya.

Pemazmur mengatakan anak-anak ini diminta agar besar di waktu mudanya. Banyak orang menjadi besar di waktu tua. Tetapi anak kita harus menjadi besar di waktu mudanya. Ada satu nyanyian anak muda yang perlu kita renungkan sejenak. Lirik nyanyian itu adalah sebagai  berikut: “Masa muda sungguh indah, masa penuh dengan cita-cita. Bagai api yang tak kunjung padam, selalu membakar dalam kalbu. Masa mudaku, masa yang terindah, masa Tuhan memanggilku. Masa, mudaku masa yang terindah kutinggalkan smua dosaku.”  Alangkah indahnya jika anak-anak kita itu bertumbuh dan dipahat di istana raja, sebagaimana disuarakan mazmur ini. Pada masa muda, mereka telah dipanggil Tuhan untuk melayani Dia.

Saya bersyukur kepada Tuhan, Dia memanggil saya menjadi pelayan bagi Dia, menjadi alat yang “matolpang” kata orang Batak. Satu alat yang tidak lengkap, namun masih dipergunakan oleh Allah, justru pada waktu saya berusia 24 tahun. Ia memanggil saya pada tahun 1974. sudah melayani Dia 33 tahun, dan masih ada waktu yang panjang di depan, jika Dia berkenan untuk memakai hamba-Nya ini. Lirik nyanyian tadi mengatakan bahwa anak muda itu bukan hanya dipanggil Allah pada masa mudanya, tetapi dia juga telah mengalami pertobatan di masa mudanya. Dia telah meninggalkan dosanya pada masa mudanya.

Sekarang ini banyak orang mulai aktif di gereja tatkala sudah pensiun dari jabatan di kantor. Mereka mau menjadi sintua supaya ada status di dalam organisasi keagamaan. Apakah mereka melayani Allah, atau melayani diri sendiri, mereka sendiri dan Allah yang tahu. Tetapi anak-anak kita seharusnya telah menjadi besar, justru pada masa muda mereka.

Semua orang setuju untuk pernyataan bahwa masa muda, adalah masa yang sangat vital dalam kehidupan seseorang. Masa itu pun adalah masa yang sangat kritis. Alangkah indahnya jika orang muda kita telah kokoh di dalam iman pada masa mudanya, sehingga ia mampu mengalahkan segala tantangan yang ada di dalam hidupnya. Rasul Yohanes mengatakan dalam suratnya yang pertama, bahwa ciri seorang muda di dalam Tuhan ialah: mereka kuat, firman Allah tinggal di dalam dia dan dia mengalahkan si jahat. (I Yoh.2:14). Jika anak-anak kita kuat seperti yang digambarkan Rasul Yohanes tadi, bukankah kita tidak perlu takut untuk masa depan mereka, bahkan masa depan gereja, masa depan bangsa dan negara ini. Namun apa yang kita lihat dalam kehidupan para remaja dan pemuda kita dewasa ini. Bukankah bahaya narkoba, pergaulan bebas, menjadi momok besar bagi orang tua dewasa ini? Banyak anak-anak muda kita menjadi mangsa dari roh-roh zaman ini, menjadi budak bahkan dari roh-roh zaman ini.

Jika anak-anak kita telah besar di dalam Tuhan justru pada maa mudanya, maka dia akan menjadi ‘bapa orang beriman’ pada masa tuanya. Di dalam I Yoh 2:14 yang sudah utarakan di atas, rasul Yohanes mengatakan bahwa dia menulis kepada anak-anak, orang muda dan bapa-bapa. Saya yakin Yohanes maksudkan secara jasmani dan secara rohani. Betapa kita membutuhkan bapa rohani di zaman ini; bapa rohani yang oleh karena kasih karunia Tuhan, melahirkan anak-anak rohani yang besar di masa mudanya.

Disain Allah untuk itu ialah orang tua. Orang tua bukan hanya bapa dan ibu secara jasmani, tetapi sekaligus juga menjadi bapa dan ibu secara rohani. Paulus dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika mengatakan ia berperan sebagai bapa dan sekaligus ibu bagi jemaat itu. Tidak ada orang yang dilahirkan besar, tetapi orang dapat dibuat menjadi besar. Tugas itu dtaruh di pundak orang tua oleh Allah sendiri. Oleh karena anak-anak harus menjadi besar pada masa mudanya, jika demikian maka kita dapat berkata: masa depan gereja akan cemerlang dan bertahan sampai ke dalam kekekalan.

Harapan untuk anak perempuan.

Berbicara tentang harapan untuk anak perempuan, pemazmur mengatakan: mereka menjadi tiang penjuru yang dipahat di istana raja. Setiap ahli seni pahat tatkala dia ingin memahat, di dalam hatinya telah ada satu citra yang akan dipahatnya. Demikian juga dengan Roh Kudus ‘sang pemahat kehidupan’ yang tinggal di dalam kehidupan ini. Citra yang akan dipahatkan di dalam diri kita ialah Yesus Kristus. Allah telah menentukan dari semula, kita yang percaya kepada Anak-Nya Yesus Kristus, menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya (Rom.8:29). Sukses terbesar di dalam kehidupan ini ialah: tatkala rencana Allah terlaksana dalam hidup ini. Oleh karena itu sukses terbesar bagi aak-anak kita ialah: jika dalam kehidupannya Kristus terpatri dan hidup melalui sang anak. Roh Kudus akan melakukan itu melalui kita orang tuanya.

Karya seni pada umumnya dikerjakan dengan penuh kesabaran. Tidak ada karya seni yang dapat dikerjakan sekejap. Karya seni tidak dapat diproduksi dengan budaya zaman ini, yakni budaya pop. Karya seni tidak dapat diproduksi secara massal. Demkian juga setiap orang yang dibentuk oleh Roh Kudus. Waktu yang memegang peranan penting. Tidak ada orang yang dewasa dalam sekejab. Kita menjadi murid di dalam kehidupan ini sepanjang kita hidup. Waktu adalah juga hamba Tuhan di dalam pembentukan citra Kristus di dalam kehidupan.

Di zaman gereja purba, ada ungkapan yang lazim pada waktu itu ialah: Ibi Kristi ebi eklesia”,  di mana ada Kristus, di sana ada gereja. Sebaliknya juga demikian. Dimana ada gereja di situ ada Kristus. Lebih lanjut lagi orang berkata: dimana ada orang Kristen, di sana ada Kristus. Sebab orang Kristen adalah vicar – wakil – Kristus di dunia ini. Semuanya ungkapan di atas dapat terjadi karena karya Roh Kudus, sang pemahat  dalam kehidupan dimana Dia mengukir citra Kristus di dalam kehidupan seseorang, di dalam kehidupan anak-anak kita.

Tiang-tiang itu disebut pemazmur dipahat untuk istana. Ada banyak tiang-tiang yang dibuat orang. Tetapi tiang-tiang ini dibuat sang pemahat adalah untuk istana. Tidak sembarang orang tinggal di istana. Jika kita bertitik tolak dalam budaya si pemazmur pada waktu itu, yang tinggal di istana itu hanyalah keluarga raja. Merupakan kehormatan bagi orang untuk ditempatkan menjadi bagian dari istana.

Istana yang kita maksudkan sekarang ialah istana raja di atas segala raja dan Tuhan dari segala tuan. Anak-anak kita akan menjadi bagian dari kerajaan Allah, dan dipakai sebagai tiang penopang dari satu bagian di istana itu. Rasul Paulus membuat analogi yang mirip seperti itu, dalam suratnya kepada Timotius, dalam II Tim 2 :20-21, : “Dalam rumah yang besar bukan hanya terdapat perabot dari emas dan perak, melainkan juga dari kayu dan tanah; yang pertama dipakai untuk maksud yang mulia dan yang terakhir untuk maksud yang kurang mulia. Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia”.

Tiang-tiang penopang untuk istana itu tidak pernah di tempatkan di tempat tersembunyi, dilihat orang, dikagumi orang, dan bertahan untuk masa yang lama. Itulah kemuliaan tiang-tiang yang  dipahat di istana raja. Kemuliaan apa yang saudara rindukan untuk dinikmati oleh anak-anak kita? Kemuliaan dunia pada satu hari kelak akan sirna. Siapa mengira kemuliaan mantan nomor satu di Indonesia ini hanya bertahan untuk tiga puluh tahun saja. Kemuliaan Tuhan akan menetap untuk selama-lamanya. Bahkan kata kitab Amsal malah akan bertambah terang seperti rembang tengah hari, dalam Ams.4:18 “Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari”

Di tempat lain Tuhan Yesus berkata: “Barang siapa melayani Aku, dia dihormati Bapa” saya tidak dapat bayangkan bagaimana kelak Allah menghormati orang percaya tatkala Yesus Kristus datang untuk yang kedua kalinya. Tetapi di dunia ini, ia telah memperkenankan hamba-Nya ini untuk menikmati hal itu dalam pelayanan di HKBP Menteng. Seorang yang tidak punya pendidikan formal yang tinggi seperti hamba-Nya ini namun dapat menikmati pelayanan di gereja yang terkenal seperti HKBP Menteng. Itu adalah kasih karunia-Nya. Kemuliaan apa yang saudara rindukan bagi anak-anak?

Hal yang dibutuhkan agar hal itu terlaksana

Langkah pertama ialah: menyerahkan diri kepada Tuhan agar kita juga dibentuk menjadi citra Kristus di dalam hidup ini. Pembentukan itu tidaklah mudah. Ada banyak sisi kehidupan yang akan dipangkas. Saya harus rela membayar harga yang harus dibayar untuk itu. Ada orang bilang: to get salvation is cost nothing, but to be a disciple of Christ cost something. Bersediakah saudara membayar harga? Seringkali orang tidak bersedia untuk membayar harga yang harus dibayar bila hal yang harus dibayar itu adalah masalah rohani. Mata kita tidak dapat melihat realita hal-hal rohani. Tetapi jika harga yang harus dibayar itu berhubungan dengan  hal-hal duniawi, maka kita akan mau membayar betapa mahal pun. Syair dari nyanyian ini populer di antara orang Batak: “hu gogo pe mansari arian nang bodari lao pasingkolahon gelleng hi; ai ingkon do singkola, tu sa timbo-timbona intap ni na tolap gogongki.” Menggambarkan upaya dari orangtua Batak membayar harga, demi pendidikan anaknya.

Setelah menjadi murid Tuhan yang menerapkan firman-Nya di dalam kehidupan ini, maka kita akan dipakai Tuhan menjadi batu yang hidup untuk membangun satu rumah Tuhan di dalam kehidupan anak-anak kita. Apakah tujuan hidup saudara di dunia ini? Apakah obsesi saudara di dalam hidup ini ? Obsesi Daud dalam hidupnya ialah mendirikan sebuah bait bagi Allahnya. Dalam hidupnya ia tidak diperkenankan Allah untuk melaksanakannya. Tetapi ia mempersiapkan material bagi pembanguan bait Allah itu Cf. I Taw. 29. Seharusnya obsesi setiap orang Kristen di dunia ini ialah menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini, minimal di dalam rumah tangganya.






05/06/13

Kecil

K E C I L

Lukas  16:10

 "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.

Kita senantiasa ingin menjadi besar, pada hal tidak semua orang bisa menjadi orang besar. Kita senang pada hal-hal yang besar, seraya kita mengabaikan hal-hal kecil. Pada hal, hal-hal kecil itu sangat gampang dikerjakan dan tidak membutuhkan tenaga ekstra. Sebagaimana hal itu diperlukan untuk melakukan perkara besar. Membuang sampah pada tempatnya misalnya. Perkara tersebut adalah hal yang sangat gampang dilakukan. Nanum acap kita tidak bersedia untuk melakukannya.

Jawaban klasik yang sering dikatakan orang ialah: sudah ada petugas yang mengerjakan hal tersebut, mengapa merepotkan diri untuk melakukannya? Tatkala aku membuang sampah pada tempatnya, pekerjaan itu akan meringankan beban dari orang yang mengerjakannya. Dan jika semua orang melakukan hal yang sama, bukankah dengan jalan demikian pekerjaan orang tersebut semakin jauh lebih ringan? Allah Yang Maha Melihat, Ia juga melihat apa yang kita lakukan. Ia akan memperhitungkan apa yang kita lihat itu sebagai satu ibadah kepada-Nya.

Tukang sapu yang diperuntukkan membersihkan sampah, tidak tahu bahwa pekerjaannya menjadi tambah ringan oleh karena kepeduliaan kita kepadanya. Kita pun tidak mengenal siapa dia, demikian juga sebaliknya. Tetapi Tuhan tahu akan apa yang kita lakukan, sangat bermanfaat bagi dia. Mungkin ia tidak akan pernah bersyukur akan pekerjaan yang semakin ringan. Tetapi Tuhan tahu akan apa yang kita kerjakan bagi kemuliaan nama-Nya. Masalah yang ingin dikedepankan di sini ialah: kita melakukannya karena Allah menghendaki kita melakukan hal tersebut. Allah ingin agar kita terbiasa untuk melakukan hal-hal kecil.

Misalnya ada sebuah batu kecil yang tercecer di pinggir jalan. Batu kecil itu bisa menjadi bahaya bagi orang yang jalan kaki di pinggir jalan tersebut. Hal seperti itu pernah terjadi di salah satu jalan di kota Jakarta. Ada seorang wanita keluar dari rumah sakit. Ia berdiri di pinggir jalan untuk menunggu kendaraan umum lewat. Tiba-tiba ada satu mobil berjalan dengan sangat cepat di hadapannya. Ban mobil itu mengglindas batu kecil yang tercecer tadi. Batu itu terlempar pas ke dahi dari wanita tadi, lalu ia harus diopname karena luka yang dideritanya. Supir mobil itu tidak tahu akan hal itu.

Seandainya ada seorang yang melihat batu itu dan membuangnya ke tempat yang pas untuk batu tersebut, maka wanita tadi tidak akan mengalami penderitaannya. Jika hal itu terjadi maka Allah yang tahu akan segala sesuatu akan menghitung perbuatannya orang yang memindahkan batu itu sebagai ibadah dalam rangka menghindarkan wanita tadi dari kecelakaan. Tindakannya itu menjadi sebuah ibadah kepada Allah, karena kita melakukannya karena Allah semata-mata.

Seorang teman bercerita tentang perbuatan kecil yang senantiasa dia lakukan sewaktu ia berkerja di Eropah. Setiap pagi ia harus ke kantor dalam waktu yang sama. Jika ia berangkat dalam waktu yang sudah tertentu itu, ia akan berhenti di lampu lalu lintas dekat apartemennya, karena lampunya berwarna merah. Pada waktu yang sama, ada juga orang yang mengalami rutinitas yang sama seperti dia. Ia memulai dengan menganggukkan kepala kepada orang tersebut.

Pada mulanya, ia tidak mendapatkan respons apa-apa, karena mereka sesama pria. Mungkin orang itu berpikiran lain tentang anggukannya. Namun, karena mereka setiap pagi senantiasa bertemu di lampu merah tersebut, maka lama kelamaan, orang itu akhirnya memberi reaksi juga. Ia membalas anggukan kepala yang ditujukan kepadanya. Setelah berbulan-bulan kejadian tersebut berlangsung, maka suatu ketika, orang yang disapa itu membuka kaca mobilnya dan menyapa dengan kata ‘hai’.

Komunikasi itu berlangsung dengan waktu yang cukup lama. Akhirnya mereka sepakat untuk ‘kopi darat’. Rupa-rupanya mereka berada di dalam satu apartemen. Kemudian tercipta persahabatan. Teman itu memberitakan Injil kepadanya, lalu ia bertobat dan menjadi Kristen. Hal yang besar terjadi dimulai dari sebuah anggukan kepala. Sebuah perkara kecil yang tidak perlu tenaga besar dan kemauan besar untuk melakukannya. Namun, sebagai upah dari kesetiaannya melakukan perkara kecil itu, kepadanya diberikan kesempatan untuk melakukan perkara besar, yakni memberitakan Injil keselamatan bagi orang itu. Ia pun bertobat.

Ada lagi kesaksian dari seorang penginjil literatur dari Gereja Advent. Kita tahu mereka menjual buku dari rumah ke rumah yang lain. Satu ketika seorang penginjil leteratur ini mengetok pintu sebuah rumah. Tidak ada jawaban dari dalam rumah. Tetapi orang ini tidak mau kalah. Ia mengetuk terus pintu rumah itu. Akhirnya ada juga seorang ibu yang keluar dari dalam rumah. Ia meladeni sang bapa yang menawarkan buku-buku Kristen kepadanya.

Lalu, sang ibu itu membukakan rahasianya kepada penginjil literatur tersebut. Ia sudah merencanakan untuk membunuh diri. Ia sudah naik ke bangku untuk menggantung diri. Tepat pada saat ia mau memasukkan tali itu ke lehernya, ia mendengar suara ketukan di pintu. Ia memutuskan untuk membenahi dulu semua aral melintang. Ia ingin menyuruh orang itu pergi dan ia akan melanjutkan niatnya untuk bunuh diri. Namun karena kesetiaan penginjil itu kepada tugasnya, ia telah dipakai Allah untuk menyelamatkan orang itu dari maut. Wanita tadi menunjukkan kepada penginjil literatur tersebut tali yang akan dia pakai untuk membunuh diri. Kepada penginjil literatur tersebut diberikan Tuhan kesempatan untuk melakukan perkara besar, melalui kesetiaannya melakukan tugasnya yang kecil itu. Menjual buku-buku Kristen, terbitan badan penerbit gerejanya.

Tatkala menghadiri sebuah pesta resepsi, kepada kita disuguhkan minuman di dalam gelas di atas satu meja tertentu. Tatkala mengambil gelas yang kedua, aku menuangkan isi gelas yang kedua ke gelas pertama. Lalu gelas kosong itu aku telungkupkan. Seorang teman pernah bertanya: mengapa? Lalu aku berkata: gelas itu masih bersih, sehingga tidak harus dicuci pelayan. Hal itu akan mengurangi pekerjaannya. Oleh karena pejelasan itu, ia juga melakukan hal yang sama. Jika semakin banyak orang yang melakukan hal seperti itu, maka pekerjaan pelayan itu pun semakin ringan. Ia tidak tahu akan apa yang kita kerjakan bagi dia. Tetapi kunci permasalahannya ialah Tuhan tahu akan niatan kita.

Ada orang yang berkata kepada saya: bisa saja orang itu tidak sadar akan hal tersebut dan ia tetap mecuci gelas yang ditelungkupkan itu. Masalah di sini bukan terletak di dalam dirinya, melainkan di dalam diri kita. Kita peduli dengan keberadaan orang. Sekalipun ia tidak bertambah ringan pekerjaannya, tetapi hati kita telah peduli dengan dia. Jika kita mau peduli dengan hal-hal kecil, maka kita akan dimampukan untuk peduli dengan hal-hal besar, seperti membayar pajak misalnya.

Ada seorang guru besar dari sebuah universitas di Jepang menuturkan di satu media masa beberapa tahun yang lalu. Beliau berkata: “Kita dengan gampang dapat melihat ketaatan masyarakat satu negara terhadap hukum dari kehidupan mereka sehari-hari, tanpa membuat satu penelitian yang intens. Caranya ialah: lihatlah penduduk negara itu di jalan raya. Jika penduduk negara itu taat kepada peraturan lalu lintasnya, maka penduduk negara itu cendrung taat terhadap hukum, seperti membayar pajak”. Kesimpulan beliau berdasarkan premis ini: jika peraturan yang tidak terlalu sukar saja tidak mau dipatuhi, bagaimana mungkin mematuhi perintah yang sukar untuk dilakukan, misalnya membayar pajak kepada negara! Mulai dari hal-hal kecil.

Ada orang yang memberi surprise kepada orang yang dia tidak kenal. Tatkala ia membayar toll di gerbang toll, maka ia juga membayar toll untuk orang yang ada di belakangnya. Orang itu sama sekali dia tidak kenal. Tetapi ia mau memberikan sebuah surprise pada orang tersebut. Tatkala petugas toll memberi tahu kepadanya bahwa mobil yang di depannya telah membayar tollnya, maka ia tentu sangat surprise. Ia tidak kenal dan tidak akan pernah tahu siapa yang telah membayar toll tersebut. Ia akan menularkan surprise itu kepada sesamanya yang dia temui. Jika hal itu berkesinambungan, maka semakin banyak orang yang mengalami surprise pada hari itu. Efek domino akan terjadi!

Ada banyak kisah seperti itu yang dapat kita lakukan di dalam hidup ini. Sesuatu yang kecil saja, namun sangat bermakna. Ada ekomom Inggris yang menyuarakan: ‘Small is beautifull’. Kecil itu indah. Perkara kecil dapat dilakukan oleh semua orang. Sementara perkara besar hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Karena itu marilah kita melakukan hal-hal kecil. Ada pepatah orang tua yang menggambarkan hal ini, mereka mengatakan: ‘Air setetes itu sedikit. Tetapi jika terus menetes akan meluap’. Tindakan kecil adalah sesuatu yang tidak berarti, tetapi jika semua orang melakukan perkara kecil, maka hal itu menjadi sesuatu yang maha dahsyat.

Sejarah keselamatan pun dimulai dari yang kecil. Allah memulai penyelamatan umat manusia dengan memanggil satu orang, yakni Abraham. Namun, melalui Abraham, Allah menghadirkan satu bangsa di dunia ini, bangsa yang melalui mereka pula, hadir Mesias. Melalui kematian Sang Mesias yang menderita itu, seluruh dunia diselamatkan. Itulah jalan yang Allah tempuh di sepanjang sejarah keselamatan.

Marilah kita membiasakan diri melakukan hal-hal kecil di dalam hidup kita. Jika kita membiasakan diri dalam hal melakukan hal-hal kecil di dalam kepentingan bersama, maka orang lain akan menularkan hal-hal kecil itu di dalam hidup mereka. Orang mengatakan hal itu semacam virus yang dapat mewabah di tengah-tengah komunitas kita. Inilah virus yang tidak harus diberantas,melainkan harus ditularkan ke dalam seluruh sendi-sendi masyarakat. Sehingga dalam sekejab, seluruh masyarakat telah terkontaminasi dengan virus yang kita dambakan ini.


Selamat menikmati virus melakukan perkara-perkara kecil.

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...