ORANG TUA SEBAGAI SOKO GURU MORALITAS KELUARGA
“Semoga
anak-anak lelaki kita seperti tanam-tanaman yang tumbuh menjadi besar pada
waktu mudanya; dan anak-anak perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru, yang
dipahat untuk bangunan istana” ( Mzm. 144:12)
Pendahuluan
Kita tahu dari
sudut pandang psikologi, semua orang tua meninggalkan kesan yang sangat dalam
di lubuk hati anak-anaknya. Tatkala mereka bertumbuh menuju dewasa, mereka
dapat menangkap apa yang paling mempengaruhi kehidupan kita. Siapa yang
mengatur hidup ini, apakah uang adalah segala-galanya, karir, prestise dan lain
sebagainya. Mereka juga dapat menangkap kasih kita terhadap pasangan hidup.
Apakah kasih yang tulus ada di antara kita berdua, atau kepura-puraan yang ada.
Semuanya itu terekam di lubuk hati mereka yang paling dalam, dan mempengaruhi hidup
mereka. Bukankah hal itu terlihat jelas dalam lirik nyanyian yang sudah kita
kutip di atas?
Sebuah pertanyaan
diajukan kepada kita, apa dan siapa yang menjadi tuan di dalam kehidupan kita
yang terekam dalam hati anak-anak? Bagi sang penggubah syair nyanyian itu, iman
kepada Yesus
Kristuslah yang tertinggal sangat
dalam di lubuk hati anak-anaknya. Kesan itu mereka warisi, bahkan sampai hari
tuanya. Hal itu jelas terlihat dari lirik ini: “Sekarang ia telah pergi ke rumah yang senang, namun kasihnya padaku
selalu ku kenang” (bait yang ketiga). Orang tua memiliki peran yang sangat
strategis dalam membentuk masyarakat yang sehat di masa mendatang.
Peran
orang tua.
Nas yang sudah
kita kutip di atas adalah sebuah pengharapan orang tua terhadap anak-anak. Bukan
hanya anak-anaknya tetapi seluruh anak-anak Israel . Bagi kita itu berarti
seluruh anak anak orang Kristen .
Karena ayat itu adalah bagian dari firman Allah, maka dengan sendirinya ayat
itu juga merupakan sebuah pengharapan Allah bagi setiap anak-anak orang tebusan
Tuhan di dunia ini. Pengharapan itu bukan hanya sebuah ilusi yang tidak punya
dasar. Pengharapan itu dibangun di atas dasar iman yang kokoh kepada Allah yang
telah bertindak dalam hidupnya. Kita
tahu mazmur ini adalah mazmur raja, dinyanyikan oleh Raja Daud. Sebagai seorang
raja, dia mengutarakan pengharapannya akan anak-anak Israel . Kita tahu dari kesaksian
Alkitab Daud adalah seorang yang hidupnya berkenan di hati Allah, (Kis.13:22). Dialah
yang berharap akan keberadaan anak-anak Israel .
Oleh karena itu,
bagi kita sekarang ini, pengharapan ini pun haruslah menjadi pengharapan kita,
yang juga ditopang oleh satu kehidupan yang kokoh, sebagaimana Daud yang
mengharapkan hal yang sama, ditemukan dalam keadaan berkenan di hati Allah.
Alangkah indahnya jika semua warga Gereja mengharapkan kehidupan anak-anaknya
seperti yang disuarakan mazmur ini. Mereka membangun kehidupannya dalam
persekutuan yang akrab dengan Tuhan. Hal itu ditopang oleh kehidupan orangtua yang menjadi soko guru dari iman
anak-anaknya itu. Peran orangtua sangat besar untuk mewujudkan hal itu menjadi
satu kenyataan. Raja Daud tidak hanya berharap tanpa dasar yang teguh.
Pengharapannya menjadi satu pengharapan yang pasti, sebab Dia yang
dipercayainya berkenan kepadanya.
Pertumbuhan
seperti tanam-tanaman
Berbicara tentang
pertumbuhan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada kita, pemazmur mengatakan
mereka harus bertumbuh. Pemazmur menggambarkan pertumbuhan anak-anak itu dalam
dua hal. Pertama seperti tanaman yang bertumbuh dan yang kedua seperti
bangunan. Jika kita berbicara tentang tanaman yang bertumbuh, maka satu hal yang pasti ialah kita memerlukan lahan
bagi benih untuk bertumbuh. Jika anak-anak mau bertumbuh seperti yang
diharapkan Allah di dalam rumah tangga kita, maka mereka memerlukan lahan untuk
pertumbuhan itu. Lahan itu ialah keluarga kita sendiri.
Setiap rumah
tangga adalah lahan dimana anak anak bertumbuh. Masalah bagi kita sekarang
ialah apakah rumah tangga kita merupakan lahan yang subur untuk pertumbuhan
iman anak-anak kita. Jika kita melihat keberadaan rumah tangga orang Yahudi,
Alkitab menyaksikan bahwa orangtua memegang peran yang amat penting bagi
pertumbuhan iman dari anak-anak mereka. Musa memerintahkan agar setiap orangtua
membicarakan firman Tuhan kepada anak-anak mereka, secara berulang ulang,
tatkala mereka duduk di rumah, apabila
mereka dalam perjalanan, apabila mereka berbaring, apabila mereka bangun. (Ul.
6:7-8). Dengan perkataan lain, segala kesempatan yang ada dalam kehidupan itu,
mereka harus pergunakan untuk mengajarkan firman Allah kepada anak-anaknya.
Paskah, perayaan
terbesar di dalam agama Yahudi, adalah sebuah perayaan yang diselenggarakan
oleh satu keluarga (Kel. 12:2). Bahkan diwajibkan salah satu dari anak-anak
untuk mengajukan pertanyaan kepada orangtua: apa artinya ibadah itu. Lalu
orangtua akan memberikan penjelasan kepada mereka. (Kel. 12:26-27). Adalah
ketetapan Allah bagi setiap orangtua, agar menjadi pengajar bagi anak-anaknya,
tentang iman kepada Allah, yang kita kenal di dalam Yesus Kristus .
Sangat
disayangkan, sekarang ini banyak dari anak-anak yang kita tidak lagi
mendapatkan penjelasan tentang iman kepada Kristus dari orangtua. Pada umumnya,
pengajaran tentang iman itu telah diserahkan kepada guru-guru sekolah minggu.
Itu pun hanya sekali dalam satu minggu, pada kebaktian sekolah minggu di
gereja. Jikalau guru sekolah minggu itu berkualitas masih mendingan. Bagaimana
jika mereka pun tidak punya beban akan pertumbuhan iman anak-anak? Pada hal, di
satu sisi, justru orangtualah yang berjanji di hadapan Tuhan dan di hadapan
jemaat, bahwa mereka akan membawa anak itu ke dalam pengajaran Kristen Protestan ;
tatkala anak-anak itu dibabtis. Menurut hemat saya, sangat ironis. Bagaimana
mungkin mereka dapat bertumbuh secara iman jika pengajaran kepada anak-anak
modelnya seperti itu?
Sisi lain dalam
pertumbuhan iman dari anak-anak kita yang oleh pemazmur dianalogikan sebagai
tanaman, maka kita dapat katakan; setiap tanaman yang ditanam memerlukan benih.
Kita tahu dari dunia pertanian, setiap biji-bijian yang akan dijadikan benih,
bijian itu haruslah dari benih yang unggul. Pernah diceriterakan orang, tentang
petani kentang di Amerika . Dulu katanya mereka
memiliki biji kentang yang besar-besar. Mereka memakan kentang yang besar, lalu
membuat biji kentang yang lebih kecil menjadi benih untuk penanaman
selanjutnya. Tidak terlalu lama, mereka mendapatkan hasil kentang yang lebih
kecil dari biji kentang yang sebelumnya. Demikian seterusnya, sehingga mereka
kehilangan kentang yang besar. Syukur mereka sadar, lalu mereka hanya memakan kentang dari biji yang kecil, sementara kentang biji besar dijadikan
benih.
Anak-anak kita pun
dapat diibaratkan sebagai bibit unggul di dalam kerajaan Allah. Alkitab berkata
bahwa kita adalah “buatan Allah diciptakan di dalam Yesus Kristus ,
untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau
supaya kita hidup di dalamnya.” Ef2:10.
Kata buatan dalam ayat ini menurut Jerusalem Bible adalah “work of art”. NASB
menerjemahkan kata itu menjadi ‘workmanship’. Kata itu dalam bahasa Yunani
adalah ‘poema’. Kata ini dapat diterjemahkan menjadi “master piece”. Jadi kita
adalah master piecenya Allah. Karya maha indah dari Allah. Jika Allah melihat
satu pribadi adalah karya seni yang maha indah, termasuk di dalamnya anak-anak
kita, maka kita pun seharusnya melihat anak-anak itu satu pribadi yang unggul,
karena Allah berkarya di dalam dia. Benih yang unggul selalu diharapkan
menghasilkan buah yang berlimpah berkali lipat. Anak-anak kita itu punya
potensi yang luar biasa untuk berlipat kali ganda. Tugas kita sebagai orangtua
untuk mengharapkan dan memfasilitasi mereka bertumbuh menjadi besar.
Setiap orangtua
pada umumnya bangga dengan keberadaan anak-anaknya. Kita ingin agar anak-anak
kita itu mencapai prestasi gemilang di dalam hidupnya. Hal ini adalah sesuatu
yang wajar secara manusiawi. Tetapi kita hidup bukan hanya secara manusiawi.
Kita adalah anggota keluarga Allah, yang hidup di dunia ini untuk menghadirkan
kerajaan Allah. Kita berdoa agar kerajaan Allah datang, dan kehendak Allah jadi
di dunia ini seperti di surga. Bibit unggul ini harus menghasilkan sesuatu yang
bernilai kekekalan di dalam hidupnya. Untuk itulah dia hadir di dunia ini.
Memuliakan Allah yang telah menciptakan dia, mengasihi dia dan bahkan menebus
dia dari dosa dan kematian.
Sisi lain dari
tumbuhan yang bertumbuh. Setiap tanaman membutuhkan iklim tertentu agar dia
dapat berbuah. Konon kata orang, buah apel membutuhkan musim gugur untuk
menghasilkan buah. Karena
di Indonesia tidak ada musim
gugur, maka para petani apel di kota Malang merontokkan daun-daun pohon apel itu,
supaya pohon itu berbuah. Harus diciptakan musim gugur buatan agar pohon itu
berbuah. Demikian juga buah melon. Di
kawasan puncak Bogor ,
pohon melon itu berbuah. Tetapi takala pohon itu di tanam di Jakarta , pohon itu tumbuh, tetapi tidak
menghasilkan buah. Karena pohon itu tidak menemukan suhu udara yang pas untuk
menghasilkan buah. Hal yang sama juga dapat dikenakan terhadap pertumbuhan anak
di dalam Tuhan.
Apakah anak kita
mendapatkan suasana rohani yang membuat dia dapat bertumbuh dan menghasilkan buah
di dalam rumah kita? Apakah dia mendapat kesan di dalam hatinya tentang Tuhan
yang berkuasa dan yang menetapkan jalan hidup kita? Apakah dia menemukan altar
penyembahan Allah di dalam hidup kita? Altar yang dia temukan bisa saja altar
kepada Allah yang hidup, atau mungkin juga altar materialisme, altar
individualisme, konsumtifisme, bahkan mungkin altar hedonisme!
Kita orang Batak
sangat menghargai pendidikan. Oleh karena itu kita mengupayakan agar anak-anak
kita mencapai pendidikan yang tinggi. Untuk itu kita memberikan pelajaran
ekstra kepada mereka. Apakah kita berupaya juga agar anak-anak kita itu
mendapatkan pendidikan ekstra di dalam iman Kristen ?
Aura apa yang kita tebar di dalam rumah tangga kita? Aura iman atau aura
duniawi, hal itu sangat menentukan dalam pertumbuhan anak-anak.
Tanaman dalam
pertumbuhannya juga membutuhkan pemupukan. Anak-anak pun demikian. Mereka perlu
pemupukan akan firman Allah. Yesus mengatakan bahwa manusia tidak hidup dari
roti saja, tetapi dari firman Allah yang keluar dari mulut Allah (Mat.4:4).
Kebenaran dari firman ini dialami oleh orang Israel di padang gurun. Selama empat puluh tahun mereka
disuplai oleh Allah dengan makanan dari surga. Orang Israel hidup di padang gurun itu melulu karena Allah yang
memerintahkan agar manna itu turun dari
langit. Tatkala hari Sabat tiba, sekali pun mereka mencari manna, tidak ada
yang mereka temukan, karena Allah telah berfirman, mereka tak akan temukan
manna pada hari Sabat.
Apakah anak-anak
kita akan tiba ke dalam keadaan seperti yang diharapkan pemazmur, seperti yang
diharapkan Allah dalam kehidupan kita? Jika jawabannya adalah ya, maka tentunya
kita harus memupuk kehidupan mereka dengan firman Allah. Apakah ada kesadaran
di dalam diri anak kita, bahwa kehidupannya ada karena Allah yang berkarya di
dalam hidup ini. Karena dia disirami oleh firman Allah, bukan hanya sekali
seminggu, tetapi tiap hari.
Bukankah gereja
kita HKBP mengajarkan kepada kita untuk membaca Alkitab dua kali dalam sehari.
Saya takut, hal itu tidak lagi dilaksanakan sebagian besar warga HKBP. Sebab
tidak semua warga HKBP memiliki almanak tersebut. Ada orang yang mengatakan bahwa ia membaca
Alkitab bukan berdasarkan almanak HKBP, tetapi berdasarkan tuntunan buku-buku
yang lain. Puji
Tuhan . Masalah utama ialah bertumbuh
melalui firman Allah. Adakah pemupukan iman Kristen
terlaksana di dalam kehidupan rumah tangga kita, terlebih untuk kehidupan
anak-anak?
Tanaman juga
memerlukan pemangkasan. Seorang tukang kebun yang berpengalaman tahu persis
bahwa tanaman butuh pemangkasan. Allah pun sebagai pengusaha kebun anggur, kata
Tuhan Yesus memangkas pohon anggurnya, agar
berbuah lebat dan bernas (Yohanes 15). Anak-anak pun membutuhkan pemangkasan.
Dari sudut pertumbuhan iman Kristen ,
pemangkasan itu adalah penderitaan, atau kita dapat katakan dengan perkataan
lain, disiplin. Penulis surat
Ibrani mengatakan: Allah menyesah semua orang yang disebut-Nya sebagai anak.
Jika kita bebas dari ganjaran yang seharusnya diterima semua orang, maka itu
adalah tandanya kita tidak diakui Allah sebagai anak, bahkan disebut sebagai
anak gampang (Ibr. 10:8).
Secara manusiawi
kita memang mendisiplinkan anak-anak kita. Namun maksud kita di sini ialah
disiplin iman kita jalankan.
Defenisi kata disiplin menurut Henry Nouwen “adalah upaya yang terkonsentrasi untuk
menciptakan suatu ruang dalam kehidupan kita di mana Roh Kudus dapat menjamah
kita, berbicara kepada kita, dan memimpin kita ke tempat-tempat tak berdaya
dimana kita tidak lagi dapat memegang kendali” (dalam bukunya berjudul :Kau ubah ratapku menjadi tarian, 2004).
Jika kita ikuti batasan disiplin menurut Henry Nouwen
di atas, maka hal itu berarti: semakin orang tebina oleh disiplin, semakin luas
pula ruang di dalam hidup seorang anak untuk Roh Kudus dalam rangka membina
dia. Hal ini tentunya terefleksi dari pengalaman kita orang tua.
Bangunan yang dipahat di istana
Pemazmur beralih
dari tumbuhan ke bangunan. Jika kita berbicara tentang bangunan, apalagi untuk
istana, maka kita membutuhkan seorang ahli bangunan, seorang arsitek. Rasul Paulus
berbicara tentang bangunan. Dasar dari bangunan itu ialah Yesus Kristus .
Orang harus membangun di atas dasar yang sudah diletakkan yaitu Yesus Kristus .
(I Kor. 3:11). Di tempat lain Petrus
mengatakan bahwa kita adalah batu hidup yang dipakai untuk bangunan rohani, di
mana di sana
dipersembahkan korban bagi Allah yang hidup (I Pet.2:5). Siapa arsitek dari
bangunan itu? Kita tahu jawabannya. Arsiteknya ialah Allah. Jadi tatkala kita
membangun kehidupan anak-anak kita, maka kita tidak boleh membangunnya di luar
gambar blue print yang sudah ditetapkan Allah lebih dahulu.
Membesarkan adalah
sebuah seni, apalagi di bidang iman. Satu–satunya seniman yang dapat membentuk
anak-anak kita itu menjadi seperti yang diharapkan ialah Roh Kudus. Sudah kita
katakan di atas, bahwa hidup kita menjadi patron bagi anak-anak di dalam
pembentukan moralitasnya. Hidup kita menjadi contoh yang jelas terlihat oleh
anak-anak. Oleh karena itu kita harus merelakan Roh Kudus membentuk kehidupan
kita menurut kehendak-Nya, sehingga hal itu terlihat oleh anak-anak dengan
jelas dan memiliki kemauan untuk dibentuk oleh ahli bangunan itu, menjadi
tiang-tiang penjuru.
Harapan
untuk anak lelaki
Pemazmur
menggambarkan harapannya terhadap anak laki dan anak perempuan. Saya percaya
dia tidak membuat perbedaan antara anak laki dan perempuan. Menurut kitab
Kejaidan, manusia itu adalah laki-laki dan perempuan (Kej.1:27). Jadi layaklah
pemazmur menyebut anak laki dan anak perempuan. Untuk anak laki pemazmur
mengatakan agar mereka menjadi orang besar. Semua orang sangat menginginkan
agar anak-anaknya menjadi besar. Besar secara fisik. Tetapi tentunya bukanlah
hanya besar secara fisik. Kita juga menginginkan mereka besar secara moral.
Untuk membuat anak anak menjadi besar secara fisik, maka dia perlu gizi yang
baik. Agar mereka besar secara moral, diperlukan sebuah model. Orang lebih
gampang meniru dari pada mencipta. Gizi terbaik di dalam pembangunan moral
anak-anak ialah contoh konkrit. Contoh itu seharusnya adalah orangtua.
Kita juga
menghendaki agar anak kita besar secara sosial. Untuk yang satu ini, kita tidak
terlalu banyak berbicara, sebab kita semua menyadari hal ini. Tetapi satu hal
yang perlu diutarakan di sini ialah: zaman ini sangat mendewakan individualisme
dan praktisisme. Hal itu pun mempengaruhi relasi sosial kita. Hubungan sosial
semakin tidak bermakna, sebab yang sangat berarti ialah individu. Masyarakat Batak
pada umumnya sangat menekankan kekerabatan. Ini pun mengalami erosi, karena
budaya zaman yang menekankan individualisme. Anak-anak kita itu harus menjadi
orang besar secara sosial. Tuhan
Yesus tatkala Ia hidup di Palestina , Alkitab menyimpulkan masa kecilnya dengan
perkataan: ”Yesus bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, makin
dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk2:52)
Sangat jelas dari ayat di atas, Yesus bertumbuh
secara jasmani, karena Ia bertambah besar, tetapi juga bertumbuh secara
intelektual, sebab dikatakan Ia bertambah juga hikmatnya, malah bertambah
besar. Yesus juga bertumbuh secara rohani, sebab dikatakan Ia semakin dikasihi
oleh Allah. Ia juga bertumbuh secara sosial, sebab Ia dikatakan semakin
dikasihi manusia. Jika
Yesus menjalani pertumbuhan
seperti itu, bukankah anak-anak kita juga harus menjalani pertumbuhan seperti itu pula. Pertanyaan yang
perlu diajukan kepada kita ialah: apa yang kita lakukan supaya anak kita
semakin disukai oleh manusia?
Pada akhirnya kita
mengatakan dalam bagian pertumbuhan anak ini, ia juga harus bertumbuh secara
rohani. Ia menjadi besar secara iman. Ciri dari pertumbuhan secara rohani ialah
“semakin dikasihi Allah.” Jika tolok ukur pertumbuhan sosial adalah semakin
dikasihi manusia, hal ini gampang terlihat. Tetapi semakin dikasihi Allah, apa
yang menjadi tolok ukurnya? Yesus mengatakan dalam Yoh.14:21 “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya,
dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh
Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku
kepadanya." Jadi jelas bagi kita, tolok ukur dari semakin
dikasihi Allah ialah semakin melakukan firman Allah yang telah dipelajarinya.
Dengan semakin besar di dalam iman maka ia akan dapat melakukan hal-hal besar
di dalam hidupnya.
Pemazmur mengatakan anak-anak ini diminta agar besar di waktu mudanya.
Banyak orang menjadi besar di waktu tua. Tetapi anak kita harus menjadi besar
di waktu mudanya. Ada
satu nyanyian anak muda yang perlu kita renungkan sejenak. Lirik nyanyian itu
adalah sebagai berikut: “Masa muda sungguh indah, masa penuh dengan
cita-cita. Bagai api yang tak kunjung padam, selalu membakar dalam kalbu. Masa
mudaku, masa yang terindah, masa Tuhan memanggilku. Masa, mudaku masa yang
terindah kutinggalkan smua dosaku.” Alangkah indahnya jika anak-anak kita itu
bertumbuh dan dipahat di istana raja, sebagaimana disuarakan mazmur ini. Pada
masa muda, mereka telah dipanggil Tuhan untuk melayani Dia.
Saya bersyukur kepada Tuhan, Dia memanggil saya menjadi pelayan bagi Dia,
menjadi alat yang “matolpang” kata
orang Batak. Satu alat yang tidak lengkap, namun masih dipergunakan oleh Allah,
justru pada waktu saya berusia 24 tahun. Ia memanggil saya pada tahun 1974.
sudah melayani Dia 33 tahun, dan masih ada waktu yang panjang di depan, jika
Dia berkenan untuk memakai hamba-Nya ini. Lirik nyanyian tadi mengatakan bahwa
anak muda itu bukan hanya dipanggil Allah pada masa mudanya, tetapi dia juga
telah mengalami pertobatan di masa mudanya. Dia telah meninggalkan dosanya pada
masa mudanya.
Sekarang ini banyak orang mulai aktif di gereja tatkala sudah pensiun
dari jabatan di kantor . Mereka mau menjadi sintua
supaya ada status di dalam organisasi keagamaan. Apakah mereka melayani Allah,
atau melayani diri sendiri, mereka sendiri dan Allah yang tahu. Tetapi
anak-anak kita seharusnya telah menjadi besar, justru pada masa muda mereka.
Semua orang setuju untuk pernyataan bahwa masa muda, adalah masa yang
sangat vital dalam kehidupan seseorang. Masa itu pun adalah masa yang sangat
kritis. Alangkah indahnya jika orang muda kita telah kokoh di dalam iman pada
masa mudanya, sehingga ia mampu mengalahkan segala tantangan yang ada di dalam
hidupnya. Rasul
Yohanes mengatakan dalam suratnya
yang pertama, bahwa ciri seorang muda di dalam Tuhan ialah: mereka kuat, firman
Allah tinggal di dalam dia dan dia mengalahkan si jahat. (I Yoh.2:14). Jika
anak-anak kita kuat seperti yang digambarkan Rasul Yohanes
tadi, bukankah kita tidak perlu takut untuk masa depan mereka, bahkan masa
depan gereja, masa depan bangsa dan negara ini. Namun apa yang kita lihat dalam
kehidupan para remaja dan pemuda kita dewasa ini. Bukankah bahaya narkoba,
pergaulan bebas, menjadi momok besar bagi orang tua dewasa ini? Banyak
anak-anak muda kita menjadi mangsa dari roh-roh zaman ini, menjadi budak bahkan
dari roh-roh zaman ini.
Jika anak-anak kita telah besar di dalam Tuhan justru pada maa mudanya,
maka dia akan menjadi ‘bapa orang
beriman’ pada masa tuanya. Di
dalam I Yoh 2:14 yang sudah utarakan di atas, rasul Yohanes mengatakan bahwa
dia menulis kepada anak-anak, orang muda dan bapa-bapa. Saya yakin Yohanes
maksudkan secara jasmani dan secara rohani. Betapa kita membutuhkan bapa rohani
di zaman ini; bapa rohani yang oleh karena kasih karunia Tuhan, melahirkan
anak-anak rohani yang besar di masa mudanya.
Disain Allah untuk itu ialah orang tua. Orang tua bukan hanya bapa dan
ibu secara jasmani, tetapi sekaligus juga menjadi bapa dan ibu secara rohani.
Paulus dalam suratnya kepada jemaat Tesalonika mengatakan ia berperan sebagai
bapa dan sekaligus ibu bagi jemaat itu. Tidak ada orang yang dilahirkan besar,
tetapi orang dapat dibuat menjadi besar. Tugas itu dtaruh di pundak orang tua
oleh Allah sendiri. Oleh karena anak-anak harus menjadi besar pada masa
mudanya, jika demikian maka kita dapat berkata: masa depan gereja akan
cemerlang dan bertahan sampai ke dalam kekekalan.
Harapan
untuk anak perempuan.
Berbicara tentang
harapan untuk anak perempuan, pemazmur mengatakan: mereka menjadi tiang penjuru
yang dipahat di istana raja. Setiap ahli seni pahat tatkala dia ingin memahat,
di dalam hatinya telah ada satu citra yang akan dipahatnya. Demikian juga
dengan Roh Kudus ‘sang pemahat kehidupan’ yang tinggal di dalam kehidupan ini.
Citra yang akan dipahatkan di dalam diri kita ialah Yesus Kristus .
Allah telah menentukan dari semula, kita yang percaya kepada Anak-Nya Yesus
Kristus, menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya (Rom.8:29). Sukses terbesar di
dalam kehidupan ini ialah: tatkala rencana Allah terlaksana dalam hidup ini.
Oleh karena itu sukses terbesar bagi aak-anak kita ialah: jika dalam
kehidupannya Kristus terpatri dan hidup melalui sang anak. Roh Kudus akan
melakukan itu melalui kita orang tuanya.
Karya seni pada
umumnya dikerjakan dengan penuh kesabaran. Tidak ada karya seni yang dapat
dikerjakan sekejap. Karya seni tidak dapat diproduksi dengan budaya zaman ini,
yakni budaya pop. Karya seni tidak dapat diproduksi secara massal. Demkian juga
setiap orang yang dibentuk oleh Roh Kudus. Waktu yang memegang peranan penting.
Tidak ada orang yang dewasa dalam sekejab. Kita menjadi murid di dalam
kehidupan ini sepanjang kita hidup. Waktu adalah juga hamba Tuhan di dalam
pembentukan citra Kristus di dalam kehidupan.
Tiang-tiang itu
disebut pemazmur dipahat untuk istana. Ada
banyak tiang-tiang yang dibuat orang. Tetapi tiang-tiang ini dibuat sang
pemahat adalah untuk istana. Tidak sembarang orang tinggal di istana. Jika kita
bertitik tolak dalam budaya si pemazmur pada waktu itu, yang tinggal di istana
itu hanyalah keluarga raja. Merupakan kehormatan bagi orang untuk ditempatkan
menjadi bagian dari istana.
Istana yang kita
maksudkan sekarang ialah istana raja di atas segala raja dan Tuhan dari segala
tuan. Anak-anak kita akan menjadi bagian dari kerajaan Allah, dan dipakai
sebagai tiang penopang dari satu bagian di istana itu. Rasul Paulus
membuat analogi yang mirip seperti itu, dalam suratnya kepada Timotius, dalam
II Tim 2 :20-21, : “Dalam rumah yang
besar bukan hanya terdapat perabot dari emas dan perak, melainkan juga dari
kayu dan tanah; yang pertama dipakai untuk maksud yang mulia dan yang terakhir
untuk maksud yang kurang mulia. Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal
yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia
dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap
pekerjaan yang mulia”.
Tiang-tiang penopang untuk istana itu tidak pernah di tempatkan di tempat
tersembunyi, dilihat orang, dikagumi orang, dan bertahan untuk masa yang lama.
Itulah kemuliaan tiang-tiang yang
dipahat di istana raja. Kemuliaan apa yang saudara rindukan untuk
dinikmati oleh anak-anak kita? Kemuliaan dunia pada satu hari kelak akan sirna.
Siapa mengira kemuliaan mantan nomor satu di Indonesia ini hanya bertahan untuk
tiga puluh tahun saja. Kemuliaan
Tuhan akan menetap untuk
selama-lamanya. Bahkan kata kitab Amsal malah akan bertambah terang seperti
rembang tengah hari, dalam Ams.4:18 “Tetapi
jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai
rembang tengah hari”
Hal yang
dibutuhkan agar hal itu terlaksana
Langkah pertama ialah: menyerahkan diri kepada Tuhan agar kita juga
dibentuk menjadi citra Kristus di dalam hidup ini. Pembentukan itu tidaklah
mudah. Ada
banyak sisi kehidupan yang akan dipangkas. Saya harus rela membayar harga yang
harus dibayar untuk itu. Ada
orang bilang: to get salvation is cost nothing, but to be a disciple of Christ cost something. Bersediakah saudara membayar harga?
Seringkali orang tidak bersedia untuk membayar harga yang harus dibayar bila
hal yang harus dibayar itu adalah masalah rohani. Mata kita tidak dapat melihat
realita hal-hal rohani. Tetapi jika harga yang harus dibayar itu berhubungan
dengan hal-hal duniawi, maka kita akan
mau membayar betapa mahal pun. Syair dari nyanyian ini populer di antara orang
Batak: “hu gogo pe mansari arian nang bodari lao pasingkolahon gelleng hi; ai
ingkon do singkola, tu sa timbo-timbona intap ni na tolap gogongki.”
Menggambarkan upaya dari orangtua Batak membayar harga, demi pendidikan
anaknya.
Setelah menjadi murid Tuhan yang menerapkan firman-Nya di dalam kehidupan
ini, maka kita akan dipakai Tuhan menjadi batu yang hidup untuk membangun satu
rumah Tuhan di dalam kehidupan anak-anak kita. Apakah tujuan hidup saudara di
dunia ini? Apakah obsesi saudara di dalam hidup ini ? Obsesi Daud
dalam hidupnya ialah mendirikan sebuah bait bagi Allahnya. Dalam hidupnya ia
tidak diperkenankan Allah untuk melaksanakannya. Tetapi ia mempersiapkan
material bagi pembanguan bait Allah itu Cf. I Taw. 29. Seharusnya obsesi setiap
orang Kristen di dunia ini ialah menghadirkan
kerajaan Allah di dunia ini, minimal di dalam rumah tangganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar