20/07/20

Altar

Altar

Salah satu bagian yang paling sentral di dalam ruangan gedung Gereja ialah: altar. Pada waktu aku belajar menjadi sintua, kepada kami diajarkan bahwa altar itu adalah bagian yang kudus dalam pemahaman iman HKBP. Di dalam ruangan itu ada dua wilayah. Altar disebut kudus dan bangku bangku tempat orang beribadah disebut namanya profan. Namun ada juga pendeta HKBP yang tidak mengakui hal ini. Ia mengutarakan pendapatnya itu kepada saya secara pribadi. Namun aku memahami sebagaimana diajarkan guru kepada kami, karena guru kami lebih senior dari pendeta tersebut.

 

Sebagaimana diutarakan di atas, tatkala pintu Gereja dibuka, maka hal yang pertama kita lihat adalah altar. Nun di depan sana ada salib yang besar tergantung di temboknya. Salib itu berbicara tentang karya Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia. Karya Tuhan itulah yang  menjadi perhatian utama bagi setiap orang yang hadir dalam ibadah yang diselenggarakan di dalam gedung Gereja tersebut. Sekarang saya melihat ada penambahan di kayu salib itu dilakukan orang orang yang hanya mementingkan keindahan semata mata. Mereka menambahkan di kayu salib itu selendang yang panjang. Ada seorang pendeta muda berkata kepada saya bahwa maksud dari selendang itu ialah dalam konteks teologia in loco. Selendang itu ditambahkan di sana dalam rangka membuat hati anggota jemaat semakin dekat dengan salib itu. Alasan yang dicari cari menurut hemat saya.

 

Salib itu berbicara tentang keselamatan manusia melalui kematian Kristus. Jika ditambahkan ke salib itu sesuatu, makna salib menjadi berubah. Keselamatan umat manusia tidak cukup hanya salib, harus ditambahkan kepadanya sesuatu yang berasal dari manusia. Ada orang berkata: kami tidak punya pemahaman seperti itu. Jadi salib itu tidak punya makna selain dari sebuah asesori belaka. Sama seperti kalung salib yang besar dan dipakai oleh para selebritis. Mereka tidak memiliki makna rohani dari salib itu selain dari sebuah asesoris belaka. Celakanya kita pun membuat hal hal yang menngungkapkan iman Kristen kita sebagai asesoris belaka.

 

Di HKBP Menteng, dulu salib itu polos, sekarang diukirkan di sana rosenya Martin Luther. Saya secara pribadi masih dapat menerima ukiran tersebut, karena rosenya Luther berbicara tentang Sola Fide, Soal Gratia, Sola Scriptura. Namun dengan menambahkan selendang atau ulos sungguh tidak punya makna rohani dan merubah makna salib yang sebenarnya. Bukankah salib kita berbeda dengan salib orang Katolik? Mengapa? Karena kita punya pemahaman beda tentang salib itu dengan Katolik. Katolik tidak mau menambahkan selendang ke salib mereka. Sebab mereka tahu apa makna salib bagi Katolik. Apakah anggota jemaat HKBP memahami makna salib di gedung Gereja mereka?

 

Di bawah salib itu ada meja empat persegi. Untuk Gereja HKBP lainnya, tempat pendeta berkhotbah posisinya tepat di bawah salib dan menempati posisi yang tinggi. Pola seperti itu adalah pola pemahaman Gereja Calvinis. Gereja HKBP yang menjadi bagian dari Gereja Lutheran sedunia tidak memahami seperti itu. Di bawah salib seharusnya adalah meja makan Tuhan. Mengapa hal itu disebut meja makan Tuhan, karena di atas meja itu ditaruh roti dan anggur perjamuan kudus. Sementara mimbar untuk berkhotbah ditempatkan di sisi kiri atau sisi kanan dari sudut pandang anggota jemaat yang duduk di wilayah profan. Di Jakarta aku melihat semakin banyak Gereja HKBP yang dulunya menempatkan mimbar pemberitaan firman Tuhan di tengah dan menempati posisi yang tinggi berubah. Sekarang mereka menempatkannya di sisi kiri sebagaimana yang kita bicarakan.

 

Menurut hemat saya secara pribadi, di atas meja inilah persembahan ditaruh. Hal seperti ini dilaksanakan oleh HKBP Bandung, jalan Martadinata. Tetapi pada umumnya tempat persembahan di taruh di tengah tengah altar. Ada yang menyedihkan menurut saya jika posisi tempat persembahan itu di taruh di sana. Jika ada acara yang harus dilakukan di altar itu, maka tempat persembahan itu digeser dari tempatnya. Bagi orang banyak hal itu tidak menjadi masalah. Mengapa? Karena mereka tidak mengerti makna dari tempat persembahan tersebut. Semua benda benda yang ada di altar itu kudus adanya, karena wilayah itu adalah wilayah surga. Tetapi dengan digesernya tempat persembahan itu hanya karena butuh ruang bagi acara yang harus dilaksanakan di sana, membuat kita tidak menghargai hal hal yang kudus. Karena itu, sebaiknya persembahan di taruh di atas meja makan Tuhan.

 

Meja makan Tuhan itu lebih dalam posisinya di altar. Di sisi kiri sudah kita katakan di atas, di sana ditempatkan mimbar tempat pendeta menyampaikan firman Tuhan. Di sisi kanan seharusnya ditempatkan di sana bejana tempat pembabtisan. Itulah model altar dari Gereja yang berlatarbelakangkan Lutheran. Altar itu membicarakan kabar baik yang diberitakan melalui firman Tuhan. Itu digambarkan mimbar khotbah. Kabar baik juga diberitakan melalui sakramen babtisan. Itu digambarkan bejana pembabtisan. Kedua benda ini sejajar posisinya. Lalu kabar baik juga diberitakan melalui sakramen perjamuan. Itu digambarkan oleh meja makan Tuhan.

 

Di beberapa Gereja di Jakarta, saya melihat di sisi kanan ini ditempatkan mimbar untuk memberitakan warta jemaat. Warta Jemaat menurut saya tidak diberitakan dari altar. Berita dari antara sesama tidak diberitakan dari wilayah surga. Warta itu adalah bagian dari relasi antar anggota jemaat. Menurut Pdt. Bonar Lumban Tobing, MTh dalam sebuah makalah yang disajikan dalam sebuah retreat mengatakan bahwa ibadah kita terbagi tiga. Bagian pertama dan bagian ketiga adalah bagian Allah. Bagian kedua adalah bagian manusia. Bagian ini dalam liturgi kita ialah: warta jemaat. Menurut beliau bagian ini adalah bagian manusia. Itu sebabnya saya percaya tempatnya bukan di altar.

 

Altar itu dibuat lebih tinggi dari wilayah profan. Fungsinya tidak hanya agar orang yang melayani di sana terlihat dengan jelas dari jauh. Altar dibuat untuk menggambarkan bahwa wilayah surga lebih tinggi posisinya dengan wilayah profan. Satu hal lain yang memerlukan perhatian. Jika kita melihat altar Gereja Katolik, pastor menempati tempat duduk di wilayah altar itu. Mereka memahami bahwa para pastor sudah menguduskan dirinya bagi Tuhan. Ia tidak sama lagi dengan anggota jemaat. Berbeda dengan Gereja kita. Para pelayan Tuhan adalah bagian dari anggota jemaat. Mereka dikhususkan hanya dalam rangka melayani ibadah. Setelah selesai ia melakukan tugasnya, ia harus kembali ke wilayah anggota jemaat. Ia tidak mengasingkan diri dari anggota jemaat.

 

Namun, sekarang kita melihat para pelayan duduk di kursi yang ditempatkan di altar itu. Apa mereka mengerti makna dari penempatan kursi dan meja tersebut? Seperti yang sudah diuraikan di atas, kita tidak sama dengan Gereja Katolik! Ada seorang sintua mengatakan kepada saya: memang para pendeta dan liturgis harus duduk di sana supaya dapat dilihat orang. Ia tidak mengerti bahwa yang harus dilihat di dalam ibadah itu bukan orang melainkan Tuhan sendiri. Itulah produk dari ketidakadaan pengajaran yang jelas dari Gereja tentang makna dari gedung Gereja yang kita miliki. Karena tidak ada pengajaran maka orang tidak memahaminya. Sayang seribu kali sayang.

 

Ada lagi sisi lain dari altar yang perlu direnungkan. Angka memiliki makna di dalam pengajaran Alkitab. Angka tiga adalah angka untuk mengatakan keberadaan Allah. Kita tahu bersama Allah kita itu Tritunggal adanya. Maka altar itu seharusnya di disain tiga tingkat lebih tinggi dari bagian profan. Namun ada altar dari gedung Gereja kita empat undakan. Hal ini dirancang tentunya supaya kelihatan tinggi mereka yang memimpin acara di sana. Pemahaman yang salah tentang makna altar dan makna mereka yang pegang acara di altar tersebut. Angka empat adalah angkanya bumi dalam pemahaman Alkitab. Hal itu dapat kita lihat dengan sebutan Alkitab yang mengatakan empat penjuru angin. Semuanya ini berpulang kepada arsitek bagian Gereja kita tidak memahami makna teologis dari penempatan benda benda di dalam gedung Gereja. seharusnya semua benda dan tata letak apa pun di gedung itu mengajarkan sesuatu bagi mereka yang beribadah di sana.

 

Catatan lain yang perlu ditambahkan di sini ialah: penempatan  bangku bangku itu dalam gedung Gereja juga punya makna. Di Jakarta, ada Gereja yang menempatkan jarak bangku yang satu dengan bangku yang lain cukup lebar. Memang dari sudut manfaat sangat bermakna. Orang dapat duduk dengan santai di bangku itu. Orang juga dapat lewat dari depan orang yang duduk di bangku itu tanpa ia harus bergerak. Dari sudut pandang perjumpaan dengan Tuhan, hal ini tidak dibenarkan.  Bagaimana seorang yang datang kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Kudus dapat duduk dengan santai. Marilah kita buat sebuah perbandingan. Tatkala orang duduk di pengadilan negeri menghadiri sebuah persidangan. Apakah di sana diperkenankan orang duduk dengan santai sambil mengangkat kaki ke lututnya? Hakim akan menegor orang tersebut. Itu adalah suasana pengadilan dunia. Bukankah sikap hati kita lebih dari sikap di pengadilan. Tatkala kita berhadapan dengan Allah Bapa yang mengasihi kita itu? Oleh karena itu, jarak bangku yang satu dengan yang lain harus dekat, sehingga orang tidak dimungkinkan untuk mengambil sikap santai.

 

Sayang, kita tidak dapat lagi melihat ibadah yang kita lakukan itu adalah sebuah perjumpaan dengan Tuhan. Sehingga tatkala kita melakukan ibadah di gedung tersebut, sikap hati kita tidak berbeda dengan sikap hati kita mengikuti satu acara dalam sebuah gedung pertemuan. Kita datang sebagai tuan yang harus dilayani oleh mereka yang mengundang kita. Betapa perlunya sikap hati kita dibaharui hingga kita melihat Allah yang hadir di dalam ibadah kita. Lalu kita menghormati kehadirannya itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...