Altar
Salah satu bagian yang paling
sentral di dalam ruangan gedung Gereja ialah: altar. Pada waktu aku belajar
menjadi sintua, kepada kami diajarkan bahwa altar itu adalah bagian yang kudus
dalam pemahaman iman HKBP. Di dalam ruangan itu ada dua wilayah. Altar disebut
kudus dan bangku bangku tempat orang beribadah disebut namanya profan. Namun
ada juga pendeta HKBP yang tidak mengakui hal ini. Ia mengutarakan pendapatnya
itu kepada saya secara pribadi. Namun aku memahami sebagaimana diajarkan guru
kepada kami, karena guru kami lebih senior dari pendeta tersebut.
Sebagaimana diutarakan di atas,
tatkala pintu Gereja dibuka, maka hal yang pertama kita lihat adalah altar. Nun
di depan sana ada salib yang besar tergantung di temboknya. Salib itu berbicara
tentang karya Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia. Karya Tuhan itulah
yang menjadi perhatian utama bagi setiap
orang yang hadir dalam ibadah yang diselenggarakan di dalam gedung Gereja
tersebut. Sekarang saya melihat ada penambahan di kayu salib itu dilakukan
orang orang yang hanya mementingkan keindahan semata mata. Mereka menambahkan
di kayu salib itu selendang yang panjang. Ada seorang pendeta muda berkata
kepada saya bahwa maksud dari selendang itu ialah dalam konteks teologia in
loco. Selendang itu ditambahkan di sana dalam rangka membuat hati anggota
jemaat semakin dekat dengan salib itu. Alasan yang dicari cari menurut hemat
saya.
Salib itu berbicara tentang
keselamatan manusia melalui kematian Kristus. Jika ditambahkan ke salib itu
sesuatu, makna salib menjadi berubah. Keselamatan umat manusia tidak cukup
hanya salib, harus ditambahkan kepadanya sesuatu yang berasal dari manusia. Ada
orang berkata: kami tidak punya pemahaman seperti itu. Jadi salib itu tidak
punya makna selain dari sebuah asesori belaka. Sama seperti kalung salib yang
besar dan dipakai oleh para selebritis. Mereka tidak memiliki makna rohani dari
salib itu selain dari sebuah asesoris belaka. Celakanya kita pun membuat hal
hal yang menngungkapkan iman Kristen kita sebagai asesoris belaka.
Di HKBP Menteng, dulu salib itu
polos, sekarang diukirkan di sana rosenya Martin Luther. Saya secara pribadi
masih dapat menerima ukiran tersebut, karena rosenya Luther berbicara tentang
Sola Fide, Soal Gratia, Sola Scriptura. Namun dengan menambahkan selendang atau
ulos sungguh tidak punya makna rohani dan merubah makna salib yang sebenarnya.
Bukankah salib kita berbeda dengan salib orang Katolik? Mengapa? Karena kita
punya pemahaman beda tentang salib itu dengan Katolik. Katolik tidak mau menambahkan
selendang ke salib mereka. Sebab mereka tahu apa makna salib bagi Katolik.
Apakah anggota jemaat HKBP memahami makna salib di gedung Gereja mereka?
Di bawah salib itu ada meja empat
persegi. Untuk Gereja HKBP lainnya, tempat pendeta berkhotbah posisinya tepat
di bawah salib dan menempati posisi yang tinggi. Pola seperti itu adalah pola
pemahaman Gereja Calvinis. Gereja HKBP yang menjadi bagian dari Gereja Lutheran
sedunia tidak memahami seperti itu. Di bawah salib seharusnya adalah meja makan
Tuhan. Mengapa hal itu disebut meja makan Tuhan, karena di atas meja itu
ditaruh roti dan anggur perjamuan kudus. Sementara mimbar untuk berkhotbah
ditempatkan di sisi kiri atau sisi kanan dari sudut pandang anggota jemaat yang
duduk di wilayah profan. Di Jakarta aku melihat semakin banyak Gereja HKBP yang
dulunya menempatkan mimbar pemberitaan firman Tuhan di tengah dan menempati
posisi yang tinggi berubah. Sekarang mereka menempatkannya di sisi kiri
sebagaimana yang kita bicarakan.
Menurut hemat saya secara
pribadi, di atas meja inilah persembahan ditaruh. Hal seperti ini dilaksanakan
oleh HKBP Bandung, jalan Martadinata. Tetapi pada umumnya tempat persembahan di
taruh di tengah tengah altar. Ada yang menyedihkan menurut saya jika posisi
tempat persembahan itu di taruh di sana. Jika ada acara yang harus dilakukan di
altar itu, maka tempat persembahan itu digeser dari tempatnya. Bagi orang
banyak hal itu tidak menjadi masalah. Mengapa? Karena mereka tidak mengerti
makna dari tempat persembahan tersebut. Semua benda benda yang ada di altar itu
kudus adanya, karena wilayah itu adalah wilayah surga. Tetapi dengan digesernya
tempat persembahan itu hanya karena butuh ruang bagi acara yang harus
dilaksanakan di sana, membuat kita tidak menghargai hal hal yang kudus. Karena
itu, sebaiknya persembahan di taruh di atas meja makan Tuhan.
Meja makan Tuhan itu lebih dalam
posisinya di altar. Di sisi kiri sudah kita katakan di atas, di sana
ditempatkan mimbar tempat pendeta menyampaikan firman Tuhan. Di sisi kanan
seharusnya ditempatkan di sana bejana tempat pembabtisan. Itulah model altar
dari Gereja yang berlatarbelakangkan Lutheran. Altar itu membicarakan kabar
baik yang diberitakan melalui firman Tuhan. Itu digambarkan mimbar khotbah.
Kabar baik juga diberitakan melalui sakramen babtisan. Itu digambarkan bejana
pembabtisan. Kedua benda ini sejajar posisinya. Lalu kabar baik juga
diberitakan melalui sakramen perjamuan. Itu digambarkan oleh meja makan Tuhan.
Di beberapa Gereja di Jakarta,
saya melihat di sisi kanan ini ditempatkan mimbar untuk memberitakan warta
jemaat. Warta Jemaat menurut saya tidak diberitakan dari altar. Berita dari
antara sesama tidak diberitakan dari wilayah surga. Warta itu adalah bagian
dari relasi antar anggota jemaat. Menurut Pdt. Bonar Lumban Tobing, MTh dalam
sebuah makalah yang disajikan dalam sebuah retreat mengatakan bahwa ibadah kita
terbagi tiga. Bagian pertama dan bagian ketiga adalah bagian Allah. Bagian
kedua adalah bagian manusia. Bagian ini dalam liturgi kita ialah: warta jemaat.
Menurut beliau bagian ini adalah bagian manusia. Itu sebabnya saya percaya
tempatnya bukan di altar.
Altar itu dibuat lebih tinggi
dari wilayah profan. Fungsinya tidak hanya agar orang yang melayani di sana
terlihat dengan jelas dari jauh. Altar dibuat untuk menggambarkan bahwa wilayah
surga lebih tinggi posisinya dengan wilayah profan. Satu hal lain yang
memerlukan perhatian. Jika kita melihat altar Gereja Katolik, pastor menempati
tempat duduk di wilayah altar itu. Mereka memahami bahwa para pastor sudah menguduskan
dirinya bagi Tuhan. Ia tidak sama lagi dengan anggota jemaat. Berbeda dengan
Gereja kita. Para pelayan Tuhan adalah bagian dari anggota jemaat. Mereka
dikhususkan hanya dalam rangka melayani ibadah. Setelah selesai ia melakukan
tugasnya, ia harus kembali ke wilayah anggota jemaat. Ia tidak mengasingkan
diri dari anggota jemaat.
Namun, sekarang kita melihat para
pelayan duduk di kursi yang ditempatkan di altar itu. Apa mereka mengerti makna
dari penempatan kursi dan meja tersebut? Seperti yang sudah diuraikan di atas,
kita tidak sama dengan Gereja Katolik! Ada seorang sintua mengatakan kepada
saya: memang para pendeta dan liturgis harus duduk di sana supaya dapat dilihat
orang. Ia tidak mengerti bahwa yang harus dilihat di dalam ibadah itu bukan orang
melainkan Tuhan sendiri. Itulah produk dari ketidakadaan pengajaran yang jelas
dari Gereja tentang makna dari gedung Gereja yang kita miliki. Karena tidak ada
pengajaran maka orang tidak memahaminya. Sayang seribu kali sayang.
Ada lagi sisi lain dari altar
yang perlu direnungkan. Angka memiliki makna di dalam pengajaran Alkitab. Angka
tiga adalah angka untuk mengatakan keberadaan Allah. Kita tahu bersama Allah
kita itu Tritunggal adanya. Maka altar itu seharusnya di disain tiga tingkat
lebih tinggi dari bagian profan. Namun ada altar dari gedung Gereja kita empat
undakan. Hal ini dirancang tentunya supaya kelihatan tinggi mereka yang
memimpin acara di sana. Pemahaman yang salah tentang makna altar dan makna
mereka yang pegang acara di altar tersebut. Angka empat adalah angkanya bumi
dalam pemahaman Alkitab. Hal itu dapat kita lihat dengan sebutan Alkitab yang
mengatakan empat penjuru angin. Semuanya ini berpulang kepada arsitek bagian
Gereja kita tidak memahami makna teologis dari penempatan benda benda di dalam
gedung Gereja. seharusnya semua benda dan tata letak apa pun di gedung itu
mengajarkan sesuatu bagi mereka yang beribadah di sana.
Catatan lain yang perlu
ditambahkan di sini ialah: penempatan
bangku bangku itu dalam gedung Gereja juga punya makna. Di Jakarta, ada
Gereja yang menempatkan jarak bangku yang satu dengan bangku yang lain cukup
lebar. Memang dari sudut manfaat sangat bermakna. Orang dapat duduk dengan
santai di bangku itu. Orang juga dapat lewat dari depan orang yang duduk di
bangku itu tanpa ia harus bergerak. Dari sudut pandang perjumpaan dengan Tuhan,
hal ini tidak dibenarkan. Bagaimana
seorang yang datang kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Kudus dapat
duduk dengan santai. Marilah kita buat sebuah perbandingan. Tatkala orang duduk
di pengadilan negeri menghadiri sebuah persidangan. Apakah di sana
diperkenankan orang duduk dengan santai sambil mengangkat kaki ke lututnya?
Hakim akan menegor orang tersebut. Itu adalah suasana pengadilan dunia.
Bukankah sikap hati kita lebih dari sikap di pengadilan. Tatkala kita
berhadapan dengan Allah Bapa yang mengasihi kita itu? Oleh karena itu, jarak
bangku yang satu dengan yang lain harus dekat, sehingga orang tidak
dimungkinkan untuk mengambil sikap santai.
Sayang, kita tidak dapat lagi melihat
ibadah yang kita lakukan itu adalah sebuah perjumpaan dengan Tuhan. Sehingga
tatkala kita melakukan ibadah di gedung tersebut, sikap hati kita tidak berbeda
dengan sikap hati kita mengikuti satu acara dalam sebuah gedung pertemuan. Kita
datang sebagai tuan yang harus dilayani oleh mereka yang mengundang kita.
Betapa perlunya sikap hati kita dibaharui hingga kita melihat Allah yang hadir
di dalam ibadah kita. Lalu kita menghormati kehadirannya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar