20/07/20

Pernikahan





DASAR PERNIKAHAN KRISTEN

 

Oleh: St. Hotman Ch. Siahaan

 

 

Mengapa Menikah

Setiap orang yang ada di dalam ruangan ini telah menikah. Oleh karena itu, pertanyaan yang akan diajukan kepada kita, sangat relevan. Pertanyaannya ialah: mengapa saudara menikah? Tentunya akan banyak jawaban yang akan kita temukan. Satu hal yang pasti ialah: kita menikah oleh karena ada kebutuhan untuk itu. berbicara tentang pemenuhan kebutuhan itu, maka kita akan menemukan adanya tiga kebutuhan manusia untuk menikah. Kebutuhan pertama ialah kebutuhan fisik. Kita telah tiba ke dalam kematangan secara fisik. Adalah wajar jika orang yang sudah dewasa akan menikah. Kita pun tidak bisa menyangkal bahwa di dalam tubuh kita ada organ reproduksi. Setelah mencapai kematangannya, maka wajar jika ia difungsikan sebagaimana mestinya.

Kebutuhan kedua ialah kebutuhan sosial. Tatkala kita telah dewasa, maka keluarga mulai mempertanyakan kapan kita akan menikah. Tuntutan dari keluarga dan sesama, sering menjadi beban bagi kita, sehingga mendesak kita untuk segera menikah. Saya ingat dahulu, di Gereja ini sangat banyak orang bertanya kepada saya: kapan menikah? Lalu biasanya saya akan menjawabnya dengan ungkapan yang ada di dalam Buku Ende: “Molo jumpang tingki ni, pintor tongoson na i.” Bahkan ada orang yang sampai stress oleh karena tuntutan lingkungan. Ada naposobulung HKBP yang aktif menyanyi di dalam paduan suara gerejanya menjadi mualaf. Hal itu disebabkan karena umur sudah 36 tahun, sementara orang yang datang kepada dia dan mengajaknya untuk menikah adalah seorang pria muslim. Untuk menghindari tekanan sosial yang begitu intens, ia menjadi mulaf.

Bukan hanya dua alasan di atas yang menjadi alasan mengapa seseorang itu menikah. Alasan ketiga ialah kebutuhan spiritual. Kesaksian Alkitab sangat jelas mengatakan bahwa pernikahan itu adalah rencana Allah. Allahlah yang mendirikan pernikahan di dunia ini, melalui pernikahan Adam dan Hawa di Taman Eden. Kita tahu Adam memiliki kebutuhan seorang pendamping yang sepadan dengan dia. Allah membawa binatang kepada Adam untuk diberi nama. Dari semua binatang yang diperhadapkan dengan Adam itu, dia tidak menemukan satu pun yang pas dengan dia sebagai penolong yang sepadan. Hal itu memang tidak mungkin, karena binatang diciptakan Allah menurut jenisnya, sementara manusia diciptakan Allah segambar dengan Allah sendiri.

Karena tidak menemukan penolong yang sepadan dengan dia, maka Allah menciptakan Hawa bagi Adam. Hawa dibawa kepada Adam. Tatkala Hawa diberikan kepada Adam, ia mengungkapkan sebuah ungkapan yang luar biasa. Dia berkata: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Ungkapan Ini adalah sebuah ungkapan kekaguman dan juga ungkapan kepuasan. Jika kita menerjemahkannya dengan perkataan lain, maka kita akan mengatakan: “Aha! Ini dia”. Orang Amerika mungkin akan mengatakan: “Binggo, it’s her”. Tatkala ia menerima pemberian Allah itu, ia melihat pemberian tadi sebagai sebuah hadiah. Pertanyaannya sekarang kepada kita ialah: apakah kita memandang perkawinan kita itu adalah sebuah hadiah dari Allah. Pernikahan itu adalah sebuah hadiah. Tiap pribadi yang terlibat di dalam pernikahan itu adalah hadiah yang terbaik yang diberikan Allah kepada pasangannya.

Seharusnya kita menikah juga dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual kita, bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik dan kebutuhan sosial. Saya bersyukur Allah berkenan membawa saya dan Tiur ke dalam persekutuan rohani yang indah melalui pernikahan kami. Saya sangat yakin dia adalah pemberian Allah bagi saya, dan saya bagi dia. Hal itu saya yakini dari apa yang ditunjukkan-Nya kepada saya secara pribadi tatkala mempergumulkan seorang teman hidup di hadapan-Nya. Lalu Allah memberikan sebuah penglihatan kepada saya yang memberikan keteguhan hati untuk mengatakan itu adalah kehendak-Nya. Saya melihat sebuah penglihatan tentang hal itu.

 

Disain Allah Bagi Pernikahan

Pernikahan adalah satu lembaga yang didirikan Allah bagi manusia. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan apa tujuan Allah di dalam mendirikan pernikahan itu sendiri. Sebagai satu lembaga, Allah memberikan sebuah hukum dasar bagi pernikahan tersebut. Alkitab mengatakan hukum dasar bagi pernikahan ialah: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Pernikahan yang benar senantiasa didirikan di atas hukum dasar ini. Ada tiga hal yang diatur di dalam hukum dasar ini. Hukum pertama yakni: meninggalkan. Tiap pernikahan yang baru dibentuk, senantiasa meninggalkan sesuatu. Memang di sini dikatakan bahwa yang ditinggalkan itu adalah ayah dan ibu.

Ayat ini sering dipakai orang modern sekarang ini untuk membenarkan tindakan mereka untuk meninggalkan orang tua, tatkala mereka menikah. Mereka menolak campur tangan orang tua atas rencana pernikahan mereka. Meninggalkan ayah dan ibu berarti membentuk satu unit keluarga baru, dimana orang tua telah menyerahkan otoritasnya sebagai pemimpin keluarga kepada sang anak. Ia berfungsi sebagai kepala keluarga. Di sini tidak ada tempat untuk memutus relasi dengan orang tua. Orang tua pun diminta agar mereka menyerahkan otoritas itu kepada anaknya dan berdiri di samping anaknya sebagai patner yang sama di dalam kehidupan.

Hukum yang kedua ialah: bersatu. Di dalam kata bersatu kita menemukan setiap aspek hubungan suami isteri. Semua persoalan yang timbul antara sepasang suami dan isteri dapat diatasi dengan lebih memahami pengertian saling bersatu dan melekat. Jika kita memahami hukum dasar yang kedua ini, maka setiap pernikahan Kristen harus menyelesaikan masalahnya dalam pemahaman bahwa mereka telah menjadi satu. Istilah yang sering kita pakai untuk menggambarkan hal itu ialah: dua menjadi satu. Kita akan menyorot masalah ini nanti dalam membahas mengatasi konflik di dalam keluarga.

Hukum yang ketiga ialah: sedaging. Kata dalam bahasa Indonesia sangat tepat menerjemahkan ungkapan ini, yakni setubuh. Hubungan sex. Kita harus melihat bahwa sex bukanlah hanya masalah jasmani. Orang modern sekarang ini mengatakan bahwa sex itu adalah hanya kebutuhan jasmani. Sama seperti orang butuh makan dan minum, demikian juga halnya dengan sex. Dogma inkarnasi Yesus memberikan kepada kita pengertian, bahwa yang jasmani itu adalah rohani; dan yang rohani itu adalah sesuatu yang jasmani. Karena itu kita harus melihat sex adalah sesuatu yang rohani.

Sex diberikan kepada manusia bukan hanya dalam rangka reproduksi. Sex dikaruniakan kepada  manusia, pertama-tama dalam rangka persekutuan laki-laki dan perempuan. Di dalam sex pasangan itu menemukan misteri persekutuan laki-laki dan perempuan. Sex menggambarkan persekutuan antara Allah dan umat-Nya. Alkitab menggambarkan bahwa Allah menikah dengan umat-Nya. Nabi Hosea dengan jelas mengambarkan bangsa istael adalah isteri Allah. Puncak dari persekutuan itu akan terlihat di dalam saat kedua pasangan tersebut mencapai orgasme. Kita tahu dalam melakukan hubungan sex, suami menstimulir isterinya agar bersama mencapai orgasme, demikianlah Allah menstimulir jemaat-Nya untuk menikmati puncak persekutuan dengan Dia. Kita tahu bersama, Alkitab mengatakan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah. Puncak dari persekutuan manusia dengan Allah digambarkan Alkitab adalah: pesta pernikahan Anak Domba Allah dengan pengantin-Nya kelak di surga. Sex merefleksikan hal itu. Berdasarkan pemahaman seperti itu, maka sex hanya dapat dinikmati di dalam sikap hati yang kudus melalui pernikahan. Kita tahu bersama, tidak semua persekutuan sex menghasilkan keturunan. Karena itu kita katakan bahwa tujuan sex adalah persekutuan. Melalui sex pasangan diberi kesempatan untuk masuk ke dalam rahasia persekutuan yang bersifat rohani. Jangan lupa, Allah menciptakan manusia segambar dengan Allah. di dalam Allah sendiri ada persekutuan yang bersifat rahasia, yakni Trinitatis. Pasangan masuk ke dalam persekutuan yang merupakan rahasia itu. Nalar tidak dapat mengerti akan hal itu sama seperti Trinitatis tidak dapat dimengerti oleh nalar.

Suami

Setelah kita membicarakan hukum dasar dalam pernikahan, sekarang kita membicarakan struktur di dalam pernikahan tersebut. Allah di dalam kedaulatan-Nya menetapkan suami adalah kepala di dalam keluarga. Demikianlah dikatakan di dalam Ef 5:23. Namun kita harus menggarisbawahi kata kepala di dalam ayat tersebut. Kata itu dalam bahasa Yunani adalah: Kephale. Kata ini dapat diartikan dengan ‘sumber’. Paulus membuat analogi sebagai berikut: suami adalah lambang dari Kristus, sementara isteri adalah lambang dari Gereja. Dari kisah penciptaan, kita tahu Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hawa berasal dari Adam. Karena itu, Adam adalah kepala – sumber –  bagi Hawa. Kepala dari satu keluarga adalah suami. Itulah ketetapan Allah. Sayang, sekarang ini orang mempersoalkan otoritas di dalam keluarga. Jika Alkitab berbicara tentang suami adalah kepala dari isteri, ia tidak berbicara tentang otoritas. Paulus memulai nasihatnya yang mengatakan bahwa suami adalah kepala isteri dengan ungkapan ini: “dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus” Ef 5:21.

Seluruh anggota keluarga dan relasi dengan sesama didasarkan atas ‘saling merendahkan diri satu sama lain’. Oleh karena itu, tatkala Allah menentukan bahwa suami adalah kepala dari isteri, itu berarti didasarkan atas saling merendahkan diri satu sama lain. Karena pemegang otoritas adalah Allah sendiri. suami menjalankan otoritas Allah di dalam keluarganya. Cara suami menjalankan otoritas itu ialah kasih. Itulah yang ditetapkan Allah bagi suami. Bahkan kasih yang harus didemonstrasikannya ialah kasih Kristus. Sama seperti Kristus mati demi jemaat-Nya, demikian pulalah suami mengasihi isteri dan anak-anaknya.

 

Isteri

Isteri adalah gambaran dari jemaat. Satu hal yang dituntut dari jemaat ialah tunduk kepada Tuhannya. Maka seorang isteri dituntut agar tunduk kepada suami. Tunduk menurut pemahaman sebagian orang adalah tanda dari kelemahan. Oleh karena itu, sebisa mungkin orang menghindarinya. Tatkala jemaat diminta agar tunduk kepada Tuhan Yesus, bukan karena itu, ia direndahkan. Sebaliknya, jemaat dimuliakan dalam kepatuhannya tersebut. Paulus menasihati kita dengan gambaran yang sangat indah di dalam Flp 2:5-11. Di sana Paulus mengatakan: Yesus merendahkan diri dan tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Dalam keputusan karena kehendak bebas-Nya, Yesus mengambil sikap tunduk kepada kehendak Bapa-Nya. Karena kepatuhan itu, Allah meninggikan Dia dan memberikan kepada-Nya nama di atas segala nama. Itu adalah sebuah analogi bagi seorang isteri untuk tunduk kepada suami. Ia tunduk kepada suami bukan karena otoritas suami, melainkan karena itu adalah kehensak Allah. Ia tunduk kepada suami dari kehendak bebasnya. Itu dilakukannya demi Allah, bukan untuk suaminya. Untuk kepatuhannya itu, Allah akan memberikan kepada isteri kehormatan yang sangat luar biasa.

 

Menikah berarti Melayani

Jika kita menikah, pada hekekatnya kita dipanggil Allah untuk melayani. Kristus datang ke dunia ini untuk melayani. Tiap orang yang dipanggil Allah untuk masuk ke dalam keselamatan di dalam Yesus Kristus, terpanggil untuk melayani. Suami terpanggil untuk melayani isterinya, juga anak-anak yang dikaruniakan Allah kepadanya. Demikian juga isteri hadir untuk menolong suaminya menjalankan panggilan mereka untuk melayani. Kutipan dari Surat Efesus di atas sangat jelas menggambarkan bahwa kita saling melayani satu sama lain, termasuk pasangan dan anggota keluarga kita. Tatkala kita membekali diri dengan pemahaman saling melayani, maka kebutuhan pasangan kita akan terpenuhi.

Kita juga terpanggil untuk melayani satu masyarakat yang akan muncul dari pernikahan kita. Allah memberkati Abraham menjadi satu bangsa yang besar. Ia menjadi bapa satu bangsa, tetapi juga ia menjadi bapa orang beriman. Suatu ketika, keturunan kita akan menjadi satu kelompok yang besar. Pepatah China mengatakan: “Perjalanan satu mil dimulai dengan langkah pertama”. Tatkala saya mendirikan satu keluarga yang dilayani dengan sebaik-baiknya, maka anak-anak saya pun akan melayani keluarganya dengan baik. Bahkan saya berharap, ia dapat membangun keluarga yang lebih berbahagia dari pada saya. Jika hal itu bergulir terus, bukankah dari pernikahan saya akan bangkit satu masyarakat yang beriman di masa depan?  Di Westminster Inggris ada sebuah makam yang di atas batu nisannya tertulis tulisan sebagai  berikut: Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, Aku bermimpi ingin merubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, Kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah. Maka cita-cita itu pun agak ku persempit, Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku, Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasilnya. Ketika usiaku telah semakin senja, Dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, Orang-orang yang paling dekat denganku. Tetapi celakanya, mereka pun tidak mau diubah, Dan kini Sementara aku berbaring saat ajal menjelang, Tiba-tiba kusadari: “Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan mungkin akan bisa mengubah keluargaku, lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,  bisa jadi aku pun memperbaiki negeriku; kemudian siapa tahu,  aku bahkan bisa mengubah dunia”.

Kita memiliki banyak kisah tentang keluarga sederhana yang menghasilkan tokoh tokoh besar di dalam sejarah Gereja. Kita mengenal Monica yang mengiring anaknya menjadi Bapa Gereja, yakni Agustinus. Demikian juga dengan Susannah Wesley yang mengiring anak-anaknya menjadi pendiri Gereja Metodis. Sejarah membuktikan bahwa orang besar di dalam sejarah Gereja, datang dari keluarga yang saling melayani satu sama lain di dalam Tuhan. seharusnya tekad membara yang harus ada di dalam hati kita ialah: semoga keturunan saya menjadi besar di dalam Tuhan, karena kasihkarunia-Nya. Untuk itu, saya akan melayani mereka di dalam Tuhan.

 

Konflik

Konflik adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dalam satu pernikahan. Kita dapat membaca tentang konflik yang terjadi di dalam hidup orang pilihan Allah. Ishak dan Ribka misalnya. Ishak lebih mengasihi anak sulungnya Esau. Sementara Ribka lebih menyukai Yakub. Konflik ini bahkan menimbulkan masalah yang serius, sehingga Ribka menyuruh Yakub harus menyingkir ke Mesopotamia, ke rumah pamannya Laban. Jadi, konflik itu adalah sesuatu yang wajar. Hanya kita harus sadar konflik itu harus di kelola dengan baik.

Konflik yang tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan sesuatu yang destruktif. Bukan hal yang aneh lagi sekarang ini keluarga Kristen bercerai. Ada pasangan yang sangat serasi pada mulanya, namum pada akhirnya harus bercerai. Pada hal mereka adalah orang yang aktif di Gereja, bahkan kedua orang tua mereka adalah pengurus jemaat. Apa yang dimulai dengan sukacita, harus berakhir dengan kesedihan. Dimulai dengan keramahan, berakhir dengan kebencian. Konflik harus dihadapi bukan dihindari. Allah bisa bekerja melalui konflik. Pengalaman membuktikan bahwa konflik dapat menjadi berkat bagi pasangan suami isteri. Melalui konflik kita dapat bertumbuh dalam relasi suami isteri.

Konflik yang dikelola melalui sharing perbedaan, membuat kita bertumbuh dalam kerendahan hati. Paulus mengalami konflik dengan jemaat Korintus. Ia mengahadapi konflik itu dengan menyediakan tempat yang luas di dalam hatinya bagi jemaat tersebut. Akibatnya ia berdamai dengan jemaat itu. Paulus mengatakan: “Dan bagi kamu ada tempat yang luas dalam hati kami…” II Kor. 6:12. Mengapa konflik muncul di dalam pernikahan? Konflik muncul disebabkan oleh karena dua pribadi yang berbeda pandangan hidup, sekarang dipersatukan di dalam pernikahan. Sebelum kita menikah, kita adalah satu pribadi yang unik, yang dibentuk di dalam keluarga. Kita berbeda di dalam persepsi, berbeda di dalam tujuan, berbeda di dalam kebiasaan. Kita juga berbeda di dalam hal-hal yang disukai dan tidak disukai, berbeda di dalam nilai-nilai hidup. Semua perbedaan ini dapat menjadi sumber konflik.

Faktor lain yang memberi sumbangan yang signifikan kepada konflik ialah pengaruh dari masa lalu, namun tidak kita sadari. H. Norman Wright mengatakan sumber konflik ini adalah ‘anak dari masa lalu’. Salah satu dari masa lalu yang menjadi sumber konflik, diutarakan di sini ialah: penolakan orang tua akan kehadiran kita. Ada ibu-ibu yang secara sadar menolak kehadiran anak, karena ia tidak menghendaki kehadirannya. Tetapi oleh karena satu dan lain hal, sang ibu ini harus menerima kehadiran sang bayi. Suatu masa, orang ini akan dewasa dan menikah. Ia akan memasuki pernikahan dengan kebutuhan dan keinginan yang sangat besar akan kasih sayang dan penerimaan. Bila ia menikah dengan orang yang sama seperti dia, maka harapan dan tututan mereka menjadi sumber konflik.

Sumber konflik lainnya menurut Alkitab adalah hawa nafsu. “Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?” (Yak. 4:1) Tatkala kebutuhan itu tidak terpenuhi oleh pasangan kita, maka hal itu menimbulkan konflik. Hal ini diperparah lagi oleh perbedaan tujuan dan kepentingan dari masing-masing pasangan.

 

Tipe Reaksi Dalam Menghadapi Konflik

Thomas Watson Sr. Founder IBM mengatakan “I never let the sun set on a disagreement with anybody who means a lot to me.” Karena itu konflik harus dihadapi. Kita juga perlu mengetahui mengapa dan bagaimana terjadinya konflik. Bagaimana sikap kita menghadapinya; strategi apa yang harus dipakai untuk menghadapinya. Bagaimana memecahkan konflik dan apa yang harus dinegosiasikan. Pasangan Kristen perlu berusaha untuk mengenali konflik yang muncul di dalam pernikahan mereka, serta memiliki ketrampilan untuk mengatasi konflik tersebut.

Tiap-tiap orang memiliki tipe tertentu di dalam reaksinya menghadapi konflik. Para ahli membagi reaksi itu ke dalam lima tipe. Reaksi pertama disebut reaksi Kura kura. Ciri dari reaksi ini ialah: menarik diri. Reaksi kedua ialah: reaksi Hiu. Ciri dari reaksi ini ialah: menyerang dan memaksa. Reaksi ketiga ialah: Teddy Bear. Ciri dari reaksi ini ialah menjaga relasi dan tak mau ribut. Reaksi keempat adalah: reaksi Rubah. Ciri dari reaksi ini ialah: berkompromi. Terakhir ialah reaksi Burung Hantu. Ciri dari reaksi ini ialah: mengadakan negosiasi dan konfrontasi. Suami isteri harus belajar untuk mengenali reaksi dirinya sendiri dan juga reaksi pasangannya. Jika kita mementingkan relasi yang baik, maka pada umumnya kita akan mengambil reaksi kura-kura dan teddy bear. Jika kita mementingkan tujuan dan target, maka reaksi kita adalah reaksi hiu. Para ahli menyarankan reaksi yang terbaik ialah: reaksi burung hantu.

 

Aturan dalam mengahadapi Konflik

Agar konflik dapat dikelola dengan baik, maka beberapa tips diutarakan di sini. Pertama, jangan menarik diri dari konflik, sebagaimana sering dilalukan orang yang punya tipe reaksinya adalah tipe kura-kura. Jika kita menarik diri dan mengabaikan konfik, maka pada satu saat, ia akan meledak dan mengakibatkan kerusakan yang sangat parah. Ada seorang suami yang tiba-tiba meninggalkan isterinya dan menuntut perceraian. Sang isteri tidak mengetahui kenapa ia ditinggalkan. Suaminya tidak pernah memberitahukan mengapa ia meninggalkan isterinya. Hal ini mengakibatkan depresi yang berat bagi sang isteri tersebut.

Karena konflik harus diatasi, maka tiap pasangan diharapkan agar tidak saling menekan. Sering dalam keadaan konflik orang mengambil posisi ekstrim, serta menolak kompromi. Semua sikap ini tidak mengatasi konflik. Sebaliknya ia memperuncing masalah yang sedang kita hadapi. Sebaliknya, kita seharusnya mengambil sikap terbuka. Mencari tujuan bersama yang melampaui perbedaan dan menerapkan prinsip kasih. Saya dan Tiur berbeda dalam sikap menghadapi masa lalu. Bagi saya masa lalu adalah sesuatu yang tidak perlu diulang-ulang. Tetapi bagi Tiur, hal itu masih dipelihara. Walaupun tidak lagi menyakitkan, namun tetap dikenang sebagai satu pelajaran bagi dia. Hal ini sering menimbulkan konflik. Tetapi mengingat tujuan bersama dan diwarnai dengan kasih dari Tuhan, konflik itu menjadi berkat bagi kami berdua.

Tips lain yang harus kita miliki tatkala mengelola konflik ialah: negosiasi. Kita harus belajar mengadakan negosiasi dengan pasangan kita dalam menghadapi konflik. Dalam mengadakan negosiasi, diperlukan ketrampilan untuk tawar menawar. Jika hal ini dikembangkan, maka diharapkan kedekatan kita satu sama lain akan semakin akrab. Melalui negosiasi itu, kita akan mengetahui apa yang diinginkan pasangan kita, dan bagaimana mencari apa yang paling baik bagi kita berdua, bukan apa yang paling baik buat saya secara pribadi.

Untuk itu dibutuhkan sikap hati yang tenang. Jangan emosional dan cari waktu yang tepat. Sikap hati pasangan sangat perlu diperhatikan, tatkala kita akan mengadakan nego. Banyangkan tatkala dia capek. Maka nego akan menjadi bumerang. Amsal Sulaiman mengatakan: “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak” (Ams. 25:11). Dalam mengadakan negosiasi ini  kita harus bersikap tegas, namun tidak menyerang pasangan. Ingatlah, kita sedang mencari apa yang terbaik bagi kita. Ajaklah pasangan saudara mencari solusi atas konflik yang sedang dihadapi.

Bagi pasangan yang berada dalam konflik dan sedang mengatasi konflik, perlu mendefinisikan masalah yang mereka hadapi. Tatkala konflik terjadi sering yang banyak dipersoalkan bukan masalah utama, melainkan hal-hal yang sepele. Karena itu kita harus membicarakan dan menyetujui apa masalah utama. Sama sama mendefinisikan masalah. Tidak hanya satu sisi saja. Kedua pasangan sama sama mendefinisikan apa yang diinginkan dan bagaimana perasaannya dalam mengalami konflik tersebut. Lalu bersama menrumuskan masalah itu adalah masalah bagi mereka. Mereka juga diminta agar mereduksi masalah yang mereka hadapi ke dalam unit sekecil mungkin.

Dalam mendefinisikan masalah itu, tiap pasangan saling mengemukakan dan mendengar alasan mengapa ia menginginkan hal itu. seberapa penting hal itu bagi dia. Seberapa penting hal itu bagi pasangan kita. Tatkala kita sedang mengadakan nego itu, kita memikirkan kerja sama kita untuk jangka panjang. Perlu juga kita membuat klarifikasi terhadap interest masing masing pasangan kita. Lalu ada satu hal yang harus digarisbawahi di dalam saat kita mengadakan nego dengan pasangan. Jangan biarkan pasangan saudara berada dalam tertekan atau tidak berdaya. Tujuan nego itu ialah mendapatkan hasil yang dapat dinikmati oleh kedua belah pihak.

Dalam mengelola konflik dan mengadakan nego dengan pasangan, maka kita harus memahami posisi pasangan kita. Bagaimana pengertian pasangan saya tentang masalah yang sedang kami hadapi dan bagaimana pengertian saya tentang masalah itu. Dengan memahami posisi teman, kita semakin dimampukan untuk mengadakan nego terhadap masalah yang kita hadapi.

Kita pun diharapkan mencari dan mengevaluasi berbagai alternatif solusi yang mungkin bagi masalah yang kita hadapi. Jika tiap-tiap orang membekali diri dengan berbagai alternatif atas masalah yang kita hadapi, maka semakin mudah konflik akan teratasi. Sebab orang telah menemukan beberapa pilihan yang dapat diterimanya sebagai solusi atas masalah yang mereka hadapi.

Dalam mengadakan nego, kita diharapkan dapat saling mendengar. Berbicara tentang mendengar, ada perbedaan antara mendengar dan mendengarkan. Mendengar dalam bahasa Inggris hearing sementara mendengarkan listening. Mendengar pada dasarnya adalah mencari kepuasan atau informasi untuk kepentingannya sendiri. Sementara mendengarkan adalah memperhatikan atau berempati kepada orang yang sedang bicara. Jika saudara hanya mendengar itu berarti saudara hanya peduli kepada sesuatu yang terjadi di dalam diri saudara sendiri sementara percakapan terjadi. Mendengarkan berarti saudara sedang berusaha memahami perasaan orang lain dan memperhatikan kepentingannya.

Lalu, ambilah keputusan bersama dari alternatif yang ditawarkan. Biarlah kita menerapkan putusan itu dalam keluarga kita. Pada akhirnya. Biarlah kita menerima keputusan itu sebagai putusan Allah bagi kita, sampai tiba saatnya Allah mengatakan bahwa bukan hal itu yang terbaik bagi kita berdua.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...