DASAR PERNIKAHAN KRISTEN
Oleh: St. Hotman Ch. Siahaan
Mengapa Menikah
Setiap orang yang ada di dalam
ruangan ini telah menikah. Oleh karena itu, pertanyaan yang akan diajukan
kepada kita, sangat relevan. Pertanyaannya ialah: mengapa saudara menikah?
Tentunya akan banyak jawaban yang akan kita temukan. Satu hal yang pasti ialah:
kita menikah oleh karena ada kebutuhan untuk itu. berbicara tentang pemenuhan
kebutuhan itu, maka kita akan menemukan adanya tiga kebutuhan manusia untuk
menikah. Kebutuhan pertama ialah kebutuhan fisik. Kita telah tiba ke dalam
kematangan secara fisik. Adalah wajar jika orang yang sudah dewasa akan
menikah. Kita pun tidak bisa menyangkal bahwa di dalam tubuh kita ada organ
reproduksi. Setelah mencapai kematangannya, maka wajar jika ia difungsikan
sebagaimana mestinya.
Kebutuhan kedua ialah kebutuhan
sosial. Tatkala kita telah dewasa, maka keluarga mulai mempertanyakan kapan
kita akan menikah. Tuntutan dari keluarga dan sesama, sering menjadi beban bagi
kita, sehingga mendesak kita untuk segera menikah. Saya ingat dahulu, di Gereja
ini sangat banyak orang bertanya kepada saya: kapan menikah? Lalu biasanya saya
akan menjawabnya dengan ungkapan yang ada di dalam Buku Ende: “Molo jumpang
tingki ni, pintor tongoson na i.” Bahkan ada orang yang sampai stress oleh
karena tuntutan lingkungan. Ada naposobulung HKBP yang aktif menyanyi di dalam
paduan suara gerejanya menjadi mualaf. Hal itu disebabkan karena umur sudah 36
tahun, sementara orang yang datang kepada dia dan mengajaknya untuk menikah
adalah seorang pria muslim. Untuk menghindari tekanan sosial yang begitu
intens, ia menjadi mulaf.
Bukan hanya dua alasan di atas
yang menjadi alasan mengapa seseorang itu menikah. Alasan ketiga ialah
kebutuhan spiritual. Kesaksian Alkitab sangat jelas mengatakan bahwa pernikahan
itu adalah rencana Allah. Allahlah yang mendirikan pernikahan di dunia ini,
melalui pernikahan Adam dan Hawa di Taman Eden. Kita tahu Adam memiliki
kebutuhan seorang pendamping yang sepadan dengan dia. Allah membawa binatang
kepada Adam untuk diberi nama. Dari semua binatang yang diperhadapkan dengan
Adam itu, dia tidak menemukan satu pun yang pas dengan dia sebagai penolong
yang sepadan. Hal itu memang tidak mungkin, karena binatang diciptakan Allah
menurut jenisnya, sementara manusia diciptakan Allah segambar dengan Allah
sendiri.
Karena tidak menemukan penolong
yang sepadan dengan dia, maka Allah menciptakan Hawa bagi Adam. Hawa dibawa
kepada Adam. Tatkala Hawa diberikan kepada Adam, ia mengungkapkan sebuah
ungkapan yang luar biasa. Dia berkata: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari
laki-laki." Ungkapan Ini adalah sebuah ungkapan kekaguman dan juga
ungkapan kepuasan. Jika kita menerjemahkannya dengan perkataan lain, maka kita
akan mengatakan: “Aha! Ini dia”. Orang Amerika mungkin akan mengatakan:
“Binggo, it’s her”. Tatkala ia menerima pemberian Allah itu, ia melihat
pemberian tadi sebagai sebuah hadiah. Pertanyaannya sekarang kepada kita ialah:
apakah kita memandang perkawinan kita itu adalah sebuah hadiah dari Allah.
Pernikahan itu adalah sebuah hadiah. Tiap pribadi yang terlibat di dalam
pernikahan itu adalah hadiah yang terbaik yang diberikan Allah kepada
pasangannya.
Seharusnya kita menikah juga
dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual kita, bukan hanya memenuhi kebutuhan
fisik dan kebutuhan sosial. Saya bersyukur Allah berkenan membawa saya dan Tiur
ke dalam persekutuan rohani yang indah melalui pernikahan kami. Saya sangat
yakin dia adalah pemberian Allah bagi saya, dan saya bagi dia. Hal itu saya
yakini dari apa yang ditunjukkan-Nya kepada saya secara pribadi tatkala
mempergumulkan seorang teman hidup di hadapan-Nya. Lalu Allah memberikan sebuah
penglihatan kepada saya yang memberikan keteguhan hati untuk mengatakan itu
adalah kehendak-Nya. Saya melihat sebuah penglihatan tentang hal itu.
Disain Allah Bagi Pernikahan
Pernikahan adalah satu lembaga
yang didirikan Allah bagi manusia. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan
apa tujuan Allah di dalam mendirikan pernikahan itu sendiri. Sebagai satu
lembaga, Allah memberikan sebuah hukum dasar bagi pernikahan tersebut. Alkitab
mengatakan hukum dasar bagi pernikahan ialah: “Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
menjadi satu daging” (Kej 2:24). Pernikahan yang benar senantiasa didirikan di
atas hukum dasar ini. Ada tiga hal yang diatur di dalam hukum dasar ini. Hukum
pertama yakni: meninggalkan. Tiap pernikahan yang baru dibentuk, senantiasa
meninggalkan sesuatu. Memang di sini dikatakan bahwa yang ditinggalkan itu
adalah ayah dan ibu.
Ayat ini sering dipakai orang
modern sekarang ini untuk membenarkan tindakan mereka untuk meninggalkan orang
tua, tatkala mereka menikah. Mereka menolak campur tangan orang tua atas
rencana pernikahan mereka. Meninggalkan ayah dan ibu berarti membentuk satu
unit keluarga baru, dimana orang tua telah menyerahkan otoritasnya sebagai
pemimpin keluarga kepada sang anak. Ia berfungsi sebagai kepala keluarga. Di
sini tidak ada tempat untuk memutus relasi dengan orang tua. Orang tua pun
diminta agar mereka menyerahkan otoritas itu kepada anaknya dan berdiri di
samping anaknya sebagai patner yang sama di dalam kehidupan.
Hukum yang kedua ialah: bersatu. Di
dalam kata bersatu kita menemukan setiap aspek hubungan suami isteri. Semua
persoalan yang timbul antara sepasang suami dan isteri dapat diatasi dengan
lebih memahami pengertian saling bersatu dan melekat. Jika kita memahami hukum
dasar yang kedua ini, maka setiap pernikahan Kristen harus menyelesaikan
masalahnya dalam pemahaman bahwa mereka telah menjadi satu. Istilah yang sering
kita pakai untuk menggambarkan hal itu ialah: dua menjadi satu. Kita akan
menyorot masalah ini nanti dalam membahas mengatasi konflik di dalam keluarga.
Hukum yang ketiga ialah:
sedaging. Kata dalam bahasa Indonesia sangat tepat menerjemahkan ungkapan ini,
yakni setubuh. Hubungan sex. Kita harus melihat bahwa sex bukanlah hanya
masalah jasmani. Orang modern sekarang ini mengatakan bahwa sex itu adalah
hanya kebutuhan jasmani. Sama seperti orang butuh makan dan minum, demikian
juga halnya dengan sex. Dogma inkarnasi Yesus memberikan kepada kita
pengertian, bahwa yang jasmani itu adalah rohani; dan yang rohani itu adalah
sesuatu yang jasmani. Karena itu kita harus melihat sex adalah sesuatu yang
rohani.
Sex diberikan kepada manusia
bukan hanya dalam rangka reproduksi. Sex dikaruniakan kepada manusia, pertama-tama dalam rangka
persekutuan laki-laki dan perempuan. Di dalam sex pasangan itu menemukan
misteri persekutuan laki-laki dan perempuan. Sex menggambarkan persekutuan
antara Allah dan umat-Nya. Alkitab menggambarkan bahwa Allah menikah dengan
umat-Nya. Nabi Hosea dengan jelas mengambarkan bangsa istael adalah isteri
Allah. Puncak dari persekutuan itu akan terlihat di dalam saat kedua pasangan
tersebut mencapai orgasme. Kita tahu dalam melakukan hubungan sex, suami
menstimulir isterinya agar bersama mencapai orgasme, demikianlah Allah
menstimulir jemaat-Nya untuk menikmati puncak persekutuan dengan Dia. Kita tahu
bersama, Alkitab mengatakan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah.
Puncak dari persekutuan manusia dengan Allah digambarkan Alkitab adalah: pesta
pernikahan Anak Domba Allah dengan pengantin-Nya kelak di surga. Sex
merefleksikan hal itu. Berdasarkan pemahaman seperti itu, maka sex hanya dapat
dinikmati di dalam sikap hati yang kudus melalui pernikahan. Kita tahu bersama,
tidak semua persekutuan sex menghasilkan keturunan. Karena itu kita katakan
bahwa tujuan sex adalah persekutuan. Melalui sex pasangan diberi kesempatan
untuk masuk ke dalam rahasia persekutuan yang bersifat rohani. Jangan lupa,
Allah menciptakan manusia segambar dengan Allah. di dalam Allah sendiri ada
persekutuan yang bersifat rahasia, yakni Trinitatis. Pasangan masuk ke dalam
persekutuan yang merupakan rahasia itu. Nalar tidak dapat mengerti akan hal itu
sama seperti Trinitatis tidak dapat dimengerti oleh nalar.
Suami
Setelah kita membicarakan hukum
dasar dalam pernikahan, sekarang kita membicarakan struktur di dalam pernikahan
tersebut. Allah di dalam kedaulatan-Nya menetapkan suami adalah kepala di dalam
keluarga. Demikianlah dikatakan di dalam Ef 5:23. Namun kita harus
menggarisbawahi kata kepala di dalam ayat tersebut. Kata itu dalam bahasa Yunani
adalah: Kephale. Kata ini dapat diartikan dengan ‘sumber’. Paulus membuat
analogi sebagai berikut: suami adalah lambang dari Kristus, sementara isteri
adalah lambang dari Gereja. Dari kisah penciptaan, kita tahu Hawa diciptakan
dari tulang rusuk Adam. Hawa berasal dari Adam. Karena itu, Adam adalah kepala
– sumber – bagi Hawa. Kepala dari satu
keluarga adalah suami. Itulah ketetapan Allah. Sayang, sekarang ini orang
mempersoalkan otoritas di dalam keluarga. Jika Alkitab berbicara tentang suami
adalah kepala dari isteri, ia tidak berbicara tentang otoritas. Paulus memulai
nasihatnya yang mengatakan bahwa suami adalah kepala isteri dengan ungkapan
ini: “dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan
Kristus” Ef 5:21.
Seluruh anggota keluarga dan
relasi dengan sesama didasarkan atas ‘saling merendahkan diri satu sama lain’.
Oleh karena itu, tatkala Allah menentukan bahwa suami adalah kepala dari
isteri, itu berarti didasarkan atas saling merendahkan diri satu sama lain.
Karena pemegang otoritas adalah Allah sendiri. suami menjalankan otoritas Allah
di dalam keluarganya. Cara suami menjalankan otoritas itu ialah kasih. Itulah
yang ditetapkan Allah bagi suami. Bahkan kasih yang harus didemonstrasikannya
ialah kasih Kristus. Sama seperti Kristus mati demi jemaat-Nya, demikian
pulalah suami mengasihi isteri dan anak-anaknya.
Isteri
Isteri adalah gambaran dari
jemaat. Satu hal yang dituntut dari jemaat ialah tunduk kepada Tuhannya. Maka
seorang isteri dituntut agar tunduk kepada suami. Tunduk menurut pemahaman
sebagian orang adalah tanda dari kelemahan. Oleh karena itu, sebisa mungkin
orang menghindarinya. Tatkala jemaat diminta agar tunduk kepada Tuhan Yesus,
bukan karena itu, ia direndahkan. Sebaliknya, jemaat dimuliakan dalam
kepatuhannya tersebut. Paulus menasihati kita dengan gambaran yang sangat indah
di dalam Flp 2:5-11. Di sana Paulus mengatakan: Yesus merendahkan diri dan
tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan. Dalam keputusan karena kehendak bebas-Nya, Yesus mengambil sikap
tunduk kepada kehendak Bapa-Nya. Karena kepatuhan itu, Allah meninggikan Dia
dan memberikan kepada-Nya nama di atas segala nama. Itu adalah sebuah analogi
bagi seorang isteri untuk tunduk kepada suami. Ia tunduk kepada suami bukan
karena otoritas suami, melainkan karena itu adalah kehensak Allah. Ia tunduk
kepada suami dari kehendak bebasnya. Itu dilakukannya demi Allah, bukan untuk
suaminya. Untuk kepatuhannya itu, Allah akan memberikan kepada isteri
kehormatan yang sangat luar biasa.
Menikah berarti Melayani
Jika kita menikah, pada
hekekatnya kita dipanggil Allah untuk melayani. Kristus datang ke dunia ini
untuk melayani. Tiap orang yang dipanggil Allah untuk masuk ke dalam
keselamatan di dalam Yesus Kristus, terpanggil untuk melayani. Suami terpanggil
untuk melayani isterinya, juga anak-anak yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Demikian juga isteri hadir untuk menolong suaminya menjalankan panggilan mereka
untuk melayani. Kutipan dari Surat Efesus di atas sangat jelas menggambarkan
bahwa kita saling melayani satu sama lain, termasuk pasangan dan anggota
keluarga kita. Tatkala kita membekali diri dengan pemahaman saling melayani,
maka kebutuhan pasangan kita akan terpenuhi.
Kita juga terpanggil untuk
melayani satu masyarakat yang akan muncul dari pernikahan kita. Allah
memberkati Abraham menjadi satu bangsa yang besar. Ia menjadi bapa satu bangsa,
tetapi juga ia menjadi bapa orang beriman. Suatu ketika, keturunan kita akan
menjadi satu kelompok yang besar. Pepatah China mengatakan: “Perjalanan satu
mil dimulai dengan langkah pertama”. Tatkala saya mendirikan satu keluarga yang
dilayani dengan sebaik-baiknya, maka anak-anak saya pun akan melayani
keluarganya dengan baik. Bahkan saya berharap, ia dapat membangun keluarga yang
lebih berbahagia dari pada saya. Jika hal itu bergulir terus, bukankah dari
pernikahan saya akan bangkit satu masyarakat yang beriman di masa depan? Di Westminster Inggris ada sebuah makam yang
di atas batu nisannya tertulis tulisan sebagai
berikut: Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, Aku bermimpi ingin
merubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, Kudapati bahwa
dunia tidak kunjung berubah. Maka cita-cita itu pun agak ku persempit, Lalu
kuputuskan hanya mengubah negeriku, Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada
hasilnya. Ketika usiaku telah semakin senja, Dengan semangatku yang masih
tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, Orang-orang yang paling dekat
denganku. Tetapi celakanya, mereka pun tidak mau diubah, Dan kini Sementara aku
berbaring saat ajal menjelang, Tiba-tiba kusadari: “Andaikan yang pertama-tama
kuubah adalah diriku, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan mungkin
akan bisa mengubah keluargaku, lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun memperbaiki negeriku;
kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa
mengubah dunia”.
Kita memiliki banyak kisah
tentang keluarga sederhana yang menghasilkan tokoh tokoh besar di dalam sejarah
Gereja. Kita mengenal Monica yang mengiring anaknya menjadi Bapa Gereja, yakni
Agustinus. Demikian juga dengan Susannah Wesley yang mengiring anak-anaknya
menjadi pendiri Gereja Metodis. Sejarah membuktikan bahwa orang besar di dalam
sejarah Gereja, datang dari keluarga yang saling melayani satu sama lain di
dalam Tuhan. seharusnya tekad membara yang harus ada di dalam hati kita ialah:
semoga keturunan saya menjadi besar di dalam Tuhan, karena kasihkarunia-Nya.
Untuk itu, saya akan melayani mereka di dalam Tuhan.
Konflik
Konflik adalah sesuatu yang tidak
terhindarkan dalam satu pernikahan. Kita dapat membaca tentang konflik yang
terjadi di dalam hidup orang pilihan Allah. Ishak dan Ribka misalnya. Ishak
lebih mengasihi anak sulungnya Esau. Sementara Ribka lebih menyukai Yakub.
Konflik ini bahkan menimbulkan masalah yang serius, sehingga Ribka menyuruh
Yakub harus menyingkir ke Mesopotamia, ke rumah pamannya Laban. Jadi, konflik
itu adalah sesuatu yang wajar. Hanya kita harus sadar konflik itu harus di
kelola dengan baik.
Konflik yang tidak dikelola
dengan baik akan menimbulkan sesuatu yang destruktif. Bukan hal yang aneh lagi
sekarang ini keluarga Kristen bercerai. Ada pasangan yang sangat serasi pada
mulanya, namum pada akhirnya harus bercerai. Pada hal mereka adalah orang yang
aktif di Gereja, bahkan kedua orang tua mereka adalah pengurus jemaat. Apa yang
dimulai dengan sukacita, harus berakhir dengan kesedihan. Dimulai dengan
keramahan, berakhir dengan kebencian. Konflik harus dihadapi bukan dihindari.
Allah bisa bekerja melalui konflik. Pengalaman membuktikan bahwa konflik dapat
menjadi berkat bagi pasangan suami isteri. Melalui konflik kita dapat bertumbuh
dalam relasi suami isteri.
Konflik yang dikelola melalui
sharing perbedaan, membuat kita bertumbuh dalam kerendahan hati. Paulus
mengalami konflik dengan jemaat Korintus. Ia mengahadapi konflik itu dengan
menyediakan tempat yang luas di dalam hatinya bagi jemaat tersebut. Akibatnya
ia berdamai dengan jemaat itu. Paulus mengatakan: “Dan bagi kamu ada tempat
yang luas dalam hati kami…” II Kor. 6:12. Mengapa konflik muncul di dalam
pernikahan? Konflik muncul disebabkan oleh karena dua pribadi yang berbeda
pandangan hidup, sekarang dipersatukan di dalam pernikahan. Sebelum kita
menikah, kita adalah satu pribadi yang unik, yang dibentuk di dalam keluarga.
Kita berbeda di dalam persepsi, berbeda di dalam tujuan, berbeda di dalam
kebiasaan. Kita juga berbeda di dalam hal-hal yang disukai dan tidak disukai,
berbeda di dalam nilai-nilai hidup. Semua perbedaan ini dapat menjadi sumber
konflik.
Faktor lain yang memberi
sumbangan yang signifikan kepada konflik ialah pengaruh dari masa lalu, namun
tidak kita sadari. H. Norman Wright mengatakan sumber konflik ini adalah ‘anak
dari masa lalu’. Salah satu dari masa lalu yang menjadi sumber konflik,
diutarakan di sini ialah: penolakan orang tua akan kehadiran kita. Ada ibu-ibu
yang secara sadar menolak kehadiran anak, karena ia tidak menghendaki
kehadirannya. Tetapi oleh karena satu dan lain hal, sang ibu ini harus menerima
kehadiran sang bayi. Suatu masa, orang ini akan dewasa dan menikah. Ia akan
memasuki pernikahan dengan kebutuhan dan keinginan yang sangat besar akan kasih
sayang dan penerimaan. Bila ia menikah dengan orang yang sama seperti dia, maka
harapan dan tututan mereka menjadi sumber konflik.
Sumber konflik lainnya menurut
Alkitab adalah hawa nafsu. “Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di
antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam
tubuhmu?” (Yak. 4:1) Tatkala kebutuhan itu tidak terpenuhi oleh pasangan kita,
maka hal itu menimbulkan konflik. Hal ini diperparah lagi oleh perbedaan tujuan
dan kepentingan dari masing-masing pasangan.
Tipe Reaksi Dalam Menghadapi
Konflik
Thomas Watson Sr. Founder IBM
mengatakan “I never let the sun set on a disagreement with anybody who means a
lot to me.” Karena itu konflik harus dihadapi. Kita juga perlu mengetahui
mengapa dan bagaimana terjadinya konflik. Bagaimana sikap kita menghadapinya;
strategi apa yang harus dipakai untuk menghadapinya. Bagaimana memecahkan
konflik dan apa yang harus dinegosiasikan. Pasangan Kristen perlu berusaha
untuk mengenali konflik yang muncul di dalam pernikahan mereka, serta memiliki
ketrampilan untuk mengatasi konflik tersebut.
Tiap-tiap orang memiliki tipe
tertentu di dalam reaksinya menghadapi konflik. Para ahli membagi reaksi itu ke
dalam lima tipe. Reaksi pertama disebut reaksi Kura kura. Ciri dari reaksi ini
ialah: menarik diri. Reaksi kedua ialah: reaksi Hiu. Ciri dari reaksi ini
ialah: menyerang dan memaksa. Reaksi ketiga ialah: Teddy Bear. Ciri dari reaksi
ini ialah menjaga relasi dan tak mau ribut. Reaksi keempat adalah: reaksi
Rubah. Ciri dari reaksi ini ialah: berkompromi. Terakhir ialah reaksi Burung
Hantu. Ciri dari reaksi ini ialah: mengadakan negosiasi dan konfrontasi. Suami
isteri harus belajar untuk mengenali reaksi dirinya sendiri dan juga reaksi
pasangannya. Jika kita mementingkan relasi yang baik, maka pada umumnya kita
akan mengambil reaksi kura-kura dan teddy bear. Jika kita mementingkan tujuan
dan target, maka reaksi kita adalah reaksi hiu. Para ahli menyarankan reaksi
yang terbaik ialah: reaksi burung hantu.
Aturan dalam mengahadapi Konflik
Agar konflik dapat dikelola
dengan baik, maka beberapa tips diutarakan di sini. Pertama, jangan menarik
diri dari konflik, sebagaimana sering dilalukan orang yang punya tipe reaksinya
adalah tipe kura-kura. Jika kita menarik diri dan mengabaikan konfik, maka pada
satu saat, ia akan meledak dan mengakibatkan kerusakan yang sangat parah. Ada
seorang suami yang tiba-tiba meninggalkan isterinya dan menuntut perceraian.
Sang isteri tidak mengetahui kenapa ia ditinggalkan. Suaminya tidak pernah memberitahukan
mengapa ia meninggalkan isterinya. Hal ini mengakibatkan depresi yang berat
bagi sang isteri tersebut.
Karena konflik harus diatasi,
maka tiap pasangan diharapkan agar tidak saling menekan. Sering dalam keadaan
konflik orang mengambil posisi ekstrim, serta menolak kompromi. Semua sikap ini
tidak mengatasi konflik. Sebaliknya ia memperuncing masalah yang sedang kita
hadapi. Sebaliknya, kita seharusnya mengambil sikap terbuka. Mencari tujuan
bersama yang melampaui perbedaan dan menerapkan prinsip kasih. Saya dan Tiur
berbeda dalam sikap menghadapi masa lalu. Bagi saya masa lalu adalah sesuatu
yang tidak perlu diulang-ulang. Tetapi bagi Tiur, hal itu masih dipelihara.
Walaupun tidak lagi menyakitkan, namun tetap dikenang sebagai satu pelajaran
bagi dia. Hal ini sering menimbulkan konflik. Tetapi mengingat tujuan bersama
dan diwarnai dengan kasih dari Tuhan, konflik itu menjadi berkat bagi kami
berdua.
Tips lain yang harus kita miliki
tatkala mengelola konflik ialah: negosiasi. Kita harus belajar mengadakan
negosiasi dengan pasangan kita dalam menghadapi konflik. Dalam mengadakan
negosiasi, diperlukan ketrampilan untuk tawar menawar. Jika hal ini
dikembangkan, maka diharapkan kedekatan kita satu sama lain akan semakin akrab.
Melalui negosiasi itu, kita akan mengetahui apa yang diinginkan pasangan kita,
dan bagaimana mencari apa yang paling baik bagi kita berdua, bukan apa yang
paling baik buat saya secara pribadi.
Untuk itu dibutuhkan sikap hati
yang tenang. Jangan emosional dan cari waktu yang tepat. Sikap hati pasangan
sangat perlu diperhatikan, tatkala kita akan mengadakan nego. Banyangkan
tatkala dia capek. Maka nego akan menjadi bumerang. Amsal Sulaiman mengatakan:
“Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di
pinggan perak” (Ams. 25:11). Dalam mengadakan negosiasi ini kita harus bersikap tegas, namun tidak
menyerang pasangan. Ingatlah, kita sedang mencari apa yang terbaik bagi kita.
Ajaklah pasangan saudara mencari solusi atas konflik yang sedang dihadapi.
Bagi pasangan yang berada dalam
konflik dan sedang mengatasi konflik, perlu mendefinisikan masalah yang mereka
hadapi. Tatkala konflik terjadi sering yang banyak dipersoalkan bukan masalah
utama, melainkan hal-hal yang sepele. Karena itu kita harus membicarakan dan
menyetujui apa masalah utama. Sama sama mendefinisikan masalah. Tidak hanya
satu sisi saja. Kedua pasangan sama sama mendefinisikan apa yang diinginkan dan
bagaimana perasaannya dalam mengalami konflik tersebut. Lalu bersama
menrumuskan masalah itu adalah masalah bagi mereka. Mereka juga diminta agar
mereduksi masalah yang mereka hadapi ke dalam unit sekecil mungkin.
Dalam mendefinisikan masalah itu,
tiap pasangan saling mengemukakan dan mendengar alasan mengapa ia menginginkan
hal itu. seberapa penting hal itu bagi dia. Seberapa penting hal itu bagi
pasangan kita. Tatkala kita sedang mengadakan nego itu, kita memikirkan kerja
sama kita untuk jangka panjang. Perlu juga kita membuat klarifikasi terhadap
interest masing masing pasangan kita. Lalu ada satu hal yang harus
digarisbawahi di dalam saat kita mengadakan nego dengan pasangan. Jangan
biarkan pasangan saudara berada dalam tertekan atau tidak berdaya. Tujuan nego
itu ialah mendapatkan hasil yang dapat dinikmati oleh kedua belah pihak.
Dalam mengelola konflik dan
mengadakan nego dengan pasangan, maka kita harus memahami posisi pasangan kita.
Bagaimana pengertian pasangan saya tentang masalah yang sedang kami hadapi dan
bagaimana pengertian saya tentang masalah itu. Dengan memahami posisi teman,
kita semakin dimampukan untuk mengadakan nego terhadap masalah yang kita
hadapi.
Kita pun diharapkan mencari dan
mengevaluasi berbagai alternatif solusi yang mungkin bagi masalah yang kita
hadapi. Jika tiap-tiap orang membekali diri dengan berbagai alternatif atas masalah
yang kita hadapi, maka semakin mudah konflik akan teratasi. Sebab orang telah
menemukan beberapa pilihan yang dapat diterimanya sebagai solusi atas masalah
yang mereka hadapi.
Dalam mengadakan nego, kita
diharapkan dapat saling mendengar. Berbicara tentang mendengar, ada perbedaan
antara mendengar dan mendengarkan. Mendengar dalam bahasa Inggris hearing
sementara mendengarkan listening. Mendengar pada dasarnya adalah mencari
kepuasan atau informasi untuk kepentingannya sendiri. Sementara mendengarkan adalah
memperhatikan atau berempati kepada orang yang sedang bicara. Jika saudara
hanya mendengar itu berarti saudara hanya peduli kepada sesuatu yang terjadi di
dalam diri saudara sendiri sementara percakapan terjadi. Mendengarkan berarti
saudara sedang berusaha memahami perasaan orang lain dan memperhatikan
kepentingannya.
Lalu, ambilah keputusan bersama
dari alternatif yang ditawarkan. Biarlah kita menerapkan putusan itu dalam
keluarga kita. Pada akhirnya. Biarlah kita menerima keputusan itu sebagai putusan
Allah bagi kita, sampai tiba saatnya Allah mengatakan bahwa bukan hal itu yang
terbaik bagi kita berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar