20/07/20

Perjamuan Kudus

PERJAMUAN KUDUS

 

Oleh St. Hotman Ch. Siahaan

 

Pendahuluan

 

Satu hal yang paling saya nanti-nantikan tatkala merayakan Perjamuan Kudus ialah: pernyataan pendeta yang mengatakan undangan, sebagaimana diutarakan di dalam Agenda HKBP. Pernyataan itu ialah: “Semua telah tersedia, datanglah dan nikmatilah kebaikan Allah”. Mengikuti Perjamuan Kudus adalah memenuhi panggilan Allah untuk melihat dan menikmati kebaikan Allah. Kita tahu bersama bahwa tidak ada yang lebih baik bagi kita selain dari karya kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Oleh karena itu menikmati Perjamuan Kudus berarti menikmati Yesus Kristus yang mati dan bangkit. Namun kita akan melihat lebih dahulu latar belakang dari Perjamuan Kudus itu, sehingga kita dapat menikmati lebih dalam, apa sesungguhnya yang terjadi di dalam perjamuan tersebut.

 

Setting

 

Yesus menyelenggarakan Perjamuan Kudus itu, dilatarbelakangi Paskah orang Yahudi. Hal itu sangat jelas dari pernyataan Yesus di dalam Luk 22:8 “Lalu Yesus menyuruh Petrus dan Yohanes, kata-Nya: "Pergilah, persiapkanlah perjamuan Paskah bagi kita supaya kita makan." Bagi orang Yahudi Paskah itu adalah sebuah perayaan keluarga. Hanya jika keluarga itu terlalu kecil untuk menikmati domba Paskah, maka mereka dapat bergabung dengan keluarga yang lain. Hal itu diatur dalam kitab Keluaran, “Tetapi jika rumah tangga itu terlalu kecil jumlahnya untuk mengambil seekor anak domba, maka ia bersama-sama dengan tetangganya yang terdekat ke rumahnya haruslah mengambil seekor, menurut jumlah jiwa; tentang anak domba itu, kamu buatlah perkiraan menurut keperluan tiap-tiap orang”.

 

Itulah sebabnya Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya saja yang menikmati Perjamuan Malam itu, pada hal mereka menikmatinya di salah satu rumah orang. Tuan rumah tidak turut bersama Yesus dan murid-muird-Nya menikmati Perjamuan Malam, sebab ia dan keluarganya juga mengadakan perayaan Paskah untuk mereka.

 

Dalam perayaan Paskah yang diselenggarakan keluarga Yahudi itu, pertama-tama, mereka mengingat peristiwa bangsa Israel keluar dari Mesir. Tetapi bukan hanya sebuah peringatan. Mereka pada hakekatnya melalui makan domba Paskah itu, mereka turut ambil bagian di dalam peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Apa yang diungkapkan di sini bagi masyarakat modern adalah sesuatu yang naif. Tapi bukan bagi orang Yahudi. Bangsa itu memiliki sebuah pemahaman yang sudah diwariskan berabad abad, yakni: “Bapa hidup di dalam anak, dan anak hidup di dalam bapa”.

 

Sebuah argumen kita utarakan di sini sebagai bukti dari pemahaman seperti yang sudah diutarakan di atas. Penulis surat Ibrani mengutarakan sebagai  berikut: “Sebab ia masih berada dalam tubuh bapa leluhurnya, ketika Melkisedek menyongsong bapa leluhurnya itu”. Penulis surat Ibrani mengatakan bahwa Lewi juga turut mempersembahkan perpuluhan kepada Melkisedek, tatkala leluhurnya Abraham mempersembahkan perpuluhan kepadanya. Pada hal, Lewi pada waktu itu belum lahir. Mengapa ia turut mempersembahkan perpuluhan? Jawabannya ialah: ia masih berada dalam tubuh Abraham. (Ibr. 7:5-10)

 

Argumen yang kedua diajukan untuk menopang pemahaman di atas, yakni Ulangan 29:14-15 “Bukan hanya dengan kamu saja aku mengikat perjanjian dan sumpah janji ini, tetapi dengan setiap orang yang ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita, yang berdiri di hadapan TUHAN, Allah kita, dan juga dengan setiap orang yang tidak ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita”. Musa mengatakan bahwa ada orang yang turut ambil bagian mengadakan perjanjian dengan Allah, pada hal ia tidak hadir di sana. Siapakah mereka ini? Jawabnya ialah: seluruh bangsa Israel di segala zaman. Bapa hidup di dalam anak, anak hidup di dalam bapa. Berdasarkan kedua argumen yang diutarakan di dalam Alkitab itu, maka kita dapat mengatakan bahwa orang Israel yang merayakan Paskah, bukan hanya sekedar mengingat akan peristiwa yang sudah lama terjadi, melainkan turut ambil bagian di dalam peristiwa tersebut.

 

Sejenak kita akan melihat juga pemahaman orang Israel tentang makan bersama. Di Timur Tengah makan bersama punya makna yang sangat dalam. Makan bersama maknanya ialah: memiliki kwalitas hidup yang sama. Ada pemahaman di antara mereka bahwa makanan yang saya makanlah yang membuat saya hidup. Oleh karena itu, jika saya makan dengan orang lain, maka makanan yang samalah yang membuat kami hidup. Sebuah kisah dari kalangan Arab nomaden di sana diutarakan di sini sebagai ilustrasi.

 

Alkisah, adalah seorang wanita yang keluar dari kemahnya di satu hari. Ia pergi menuju oase yang ada di perkemahan mereka. Tatkala ia sampai di oase, ia menemukan seorang pria sedang terkapar dan dalam keadaan sekarat, karena luka-luka yang dialaminya. Wanita itu membawa pria tersebut ke kemahnya dan merawat luka-lukanya. Dari dahi pria itu, wanita ini mengeluarkan serpihan pedang yang nancap di sana. Lalu ia memberikan pria itu makan.

 

Setelah wanita itu selesai memberi perawatan kepada pria tadi, lalu orang datang ke kemahnya membawa mayat suaminya. Di pinggang suaminya masih ada pedang yang sudah cacat. Tatkala potongan besi yang diambil dari pria tadi dicocokkan kepada pedang suaminya, maka keduanya menjadi satu kembali. Karena keberadaan pedang itu, mereka yakin bahwa yang membunuih suami dari wanita itu adalah pria yang ditolongnya. Hukum yang berlaku di Timur Tengah ialah: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Cf. Kel. 21:24. Maka wanita itu berhak untuk membunuh pria yang sudah ditolongnya.

 

Namun ada masalah. Ia sudah memberi pria itu makan. Makanan yang dimakan pria itulah yang memberi ia hidup. Makanan itu juga yang membuat wanita itu hidup. Membunuh pria itu menurut pemahaman mereka, sama artinya membunuh diri sendiri. Mereka memiliki hidup yang sama. Oleh karena itu pria itu tidak boleh dibunuh. Sebagai jalan keluar, mereka menaikkan pria itu ke atas seekor unta, lalu dihalau ke padang gurun. Ketika mereka mengira bahwa makanan itu telah habis dari perut pria itu, dia dikejar lagi untuk dibunuh. Pemahaman seperti itu ada juga di dalam budaya Israel yang diserap Alkitab.

 

Konsep makan bersama juga dikenakan di dalam ibadah korban di Bait Allah. Dalam kitab Imamat kita baca, orang Israel makan daging korban keselamatan itu di hadapan Allah di Bait Allah. “Dan daging korban syukur yang menjadi korban keselamatannya itu haruslah dimakan pada hari dipersembahkannya itu. Sedikit pun dari padanya janganlah ditinggalkan sampai pagi. Jikalau korban sembelihan yang dipersembahkan itu merupakan korban nazar atau korban sukarela, haruslah itu dimakan pada hari mempersembahkannya dan yang selebihnya boleh juga dimakan pada keesokan harinya. Tetapi apa yang masih tinggal dari daging korban sembelihan itu sampai hari yang ketiga, haruslah dibakar habis dengan api”. (Im. 7:15-17). Makan bersama bagi orang Yahudi mempunyai makna teologis.

 

Pemahaman makan bersama itu mewarnai ibadah Paskah orang Yahudi. Tatkala orang Yahudi menikmati domba Paskah, itu berarti mereka turut ambil bagian di dalam karya keselamatan yang sedang di kerjakan Allah. Dalam perspektif seperti itu, kita melihat peristiwa Perjamuan yang diselenggarakan Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya. Tetapi ada perbedaan yang sangat signifikan. Yesus memulai satu era baru dalam sejarah keselamatan umat manusia. Ia memulai perjalanan yang sama sekali baru. Tatkala kita menikmati Perjamuan Kudus, maka di lubuk hati kita yang paling dalam, kita turut ambil bagian di dalam karya Yesus Kristus Tuhan kita.

 

Perjamuan Kudus

 

Tatkala Yesus memecahmecahkan roti itu di hadapan para murid, Ia menunjuk kepada diri-Nya sendiri sebagai korban di kayu salib. Yesus mengatakan: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan karena kamu”. Setiap kali kita mengikuti Perjamuan Kudus, itu berarti kita diikut sertakan di dalam karya penyelamatan Yesus Kristus yang dikerjakan-Nya di kayu salib. Sama seperti orang Yahudi yang merayakan Paskah. Mereka bukan hanya merayakan Paskah, tetapi turut ambil bagian di dalam pejalanan orang Israel keluar dari Mesir dan berangkat ke negeri Kanaan. Kita yang menikmati roti itu, menikmati mati bersama dengan Kristus, serta bangkit bersama dengan Dia.

 

Demikian juga dengan anggur itu. Tuhan Yesus berkata: “Ambillah dan minumlah. Cawan ini adalah perjanjian baru dalam nama-Ku, yang ditumpahkan untuk keampunan dosamu”. Yesus mengatakan bahwa di dalam perjanjian itu ada satu perjanjian yang diungkapkan. Martin Luther mengatakan bahwa Perjamuan Kudus itu adalah sebuah testamen (perjanjian). Menurut Luther, sebuah testamen (wasiat) berisi unsur-unsur: pemberi wasiat yang membuat persiapan akan kematiannya dan merumuskan keinginannya. Lalu surat wasiat yang benar, yang memuat keinginan pemberi wasiat, meterai yang mengkonfirmasikan keberlakuan keinginannya itu. Selanjutnya warisan yang ditentukan dalam wasiat tersebut. Unsur yang terakhir ialah: orang yang kepadanya warisan itu dihibahkan. Semua unsur itu terdapat di dalam Perjamuan Kudus yang dilembagakan Kristus. Pemberi wasiat adalah Kristus yang mempersiapkan kematian-Nya. Sementara wasiat itu adalah kata-kata Penetapan Perjamuan tersebut. Metarainya ialah tubuh dan darah Kristus. Warisannya ialah: pengampunan dosa. Pewaris adalah orang-orang dari segala abad yang mengikuti Perjamuan Kudus.

 

Karakter seperti yang sudah diungkapkan di atas,  menunjuk kepada Perjamuan yang adalah suatu pemberian dari Allah. Manusia tidak dapat membuat dirinya menjadi pewaris dari warisan. Kita adalah penerima warisan. Untuk itu, kita tidak membuat apa pun agar kita mendapat warisan tersebut. Jadi menikmati Perjamuan itu berarti menikmati wasiat yang diberikan Allah. Itulah sebabnya liturgi kita mengungkapkan seperti kalimat yang sudah dikutip di permulaan wacana ini.

 

Di zaman Alkitab, perjanjian diteguhkan melalui makan bersama. Saya pikir ada kesamaan dengan adat Batak. Segala sesuatu dalam bentuk mengambil kesepakatan, semuanya dibicarakan setelah makan bersama. Di atas ni sipanganon, indahan na las. Itulah ungkapan yang biasa diungkapkan orang Batak. Jadi jangan pernah lupa akan hal itu, tatkala menikmati Perjamuan Kudus. Kita makan bersama dengan Allah. Tuan rumah adalah Kristus sendiri. Seluruh orang yang turut ambil bagian di dalam Perjamuan Kudus itu adalah anggota keluarga Allah. Tatkala kita menikmati roti itu, kita dipersatukan dengan seluruh orang percaya di segala abad, dan dimasukkan ke dalam karya Yesus di kayu salib.

 

Makan roti dan minum anggur itu juga menunjuk kepada kelepasan yang akan kita terima di masa yang akan datang. Yesus mengatakan bahwa Ia tidak akan minum anggur lagi sampai tiba saatnya kelak di dalam kerajaan Allah. “Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku” (Mat.26:29). Semuanya itu akan operasional melalui iman kita. Sama seperti iman tidak mungkin dapat dipisahkan dari firman Allah, maka demikian juga Perjamuan tidak akan dapat dipisahkan dari Penetapan Perjamuan itu sendiri. Kristus adalah Tuhan  di meja-Nya. Dia adalah Host yang tidak terlihat di dalam perjamuan tersebut. Tentulah, jika perjamuan itu dilaksanakan hanya sebagai ritus semata-mata, maka Dia tidak akan ada di sana. Lalu segala sesuatu yang direpresentasikan perjamuan itu pun otomatis tidak akan ada.

 

Roh Kudus yang hadir di dalam perjamuan itu, Ia akan mendorong orang percaya yang turut ambil bagian di dalam Perjamuan itu untuk mempersembahkan diri kepada Allah untuk melayani sesama di dalam tubuh Kristus. Dalam melayani mereka yang berkekurangan di dunia yang telah di damaikan Allah dengan diri-Nya. (I Kor. 10:17 dan Rom 12:1).

Di dalam Perjamuan itu ada pembaharuan yang terus menerus antara Allah dan umat-Nya. Tuhan Yesus di dalam Penetapan Perjanjian itu berkata: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”. Kata ‘peringatan’ di sana maksudnya bukan hanya menunjuk kepada para murid agar tidak lupa pada Yesus, tetapi juga bermakna sebaliknya. Allah mengingat janji-Nya untuk memulihkan kerajaan. Semua hal ini dihadirkan di dalam Perjamuan Kudus.

 

Roti dan Anggur

 

Martin Luther mengatakan bahwa roti itu tetap roti dan anggur itu tetap anggur. Namun itu bukan roti dan anggur biasa, melainkan anggur yang sudah bercampur dengan firman Allah. Luther nenyebut ajarannya itu dengan sebutan Consubstansiasi  Tatkala pendeta mengatakan: “inilah dagingku’, inilah tubuhku”, maka Kristus hadir di dalam ibadah itu. Kehadiran Kristus adalah kehadiran di dalam firman. Kehadiran itu melalui pemberitaan lisan. Tatkala firman diberitakan maka Kristus menyatakan diri-Nya. Firman adalah esensi dari kehadiran Kristus, melalui firman itu, janji-Nya yang mengatakan bahwa Ia akan menyertai orang percaya digenapi. Cf. Mat. 28:20, juga Mat. 18:20. Jadi tatkala roti dan anggur itu dibagikan, maka dibagikan juga tubuh dan darah Kristus. Benda duniawi dijadikan saluran kehadiran Kristus secara konkrit dalam pengalaman kita.

 

Sebagai Tuan dalam Perjamuan itu, Kristus berjanji menawarkan pemberian dalam bentuk roti dan anggur melalui firman. Firman itu sendiri mempunyai kuasa untuk menganugerahkan pemberian-pemberian surgawi di dalam bentuk yang duniawi. Itulah argumen yang diutarakan Luther.

Di sini kita akan menyoroti pandangan yang salah dari anggota jemaat terhadap roti dan anggur itu. mereka melihat roti dan anggur itu sebagai sesuatu yang magis. Pola pikir seperti ini dilatarbelakangi animisme, yang melihat adanya benda-benda bertuah. Kita sudah katakan di atas, roti itu tetap roti, dan anggur itu tetap anggur. Firman Allah yang menyertai roti itu yang membuatnya berbeda dengan roti dan anggur lain. Namun kita harus menggarisbawahi firman itu di sini. Firman yang menyertai roti dan anggur itu, tidak permanen di dalamnya. Firman itu diucapkan kepada mereka yang menerima roti dan anggur. Oleh karena itu, roti dan anggur itu tidak memiliki kekuatan magis. Sebab firman yang diucapkan itu, tidak berlaku bagi orang yang tidak beriman. Jadi salah orang yang membawa roti itu ke rumah untuk diberikan kepada orang yang sakit misalnya. Roti itu tidak ada bedanya dengan roti lain yang ada di rumah.

 

Jika kita memegang pemahaman yang salah tentang roti dan anggur itu, maka pada hakekatnya kita memberi celah kepada Iblis. Ia akan merusak iman kita dengan jalan mempercayai roti dan anggur itu dalam perspektif yang lain dari apa yang diajarkan Alkitab. Jika demikian, maka semuanya itu adalah dosa. Sebab dosa pada hakekatnya adalah sebuah penyimpangan dari kehendak Allah.

 

Manfaat Perjamuan Kudus

 

Tatkala kita menikmati Perjamuan Kudus, maka di lubuk hati kita yang paling dalam seyogianya ada pemahaman bahwa melalui Perjamuan Kudus itu kita menikmati satu komunitas yang kudus. Pengakuan bahwa Gereja adalah satu persekutuan yang kudus berasal dari pemahaman makna dari Perjamuan Kudus. Karena pemahaman ini, seharusnya mendorong kita untuk turut ambil bagian di dalam Perjamuan Kudus. Hal yang sama diutarakan Gereja kita melalui  konfesinya. Di sana kita baca: “Pesta las ni roha do na manddohoti Parpadanan na badia (Ulaon na badia), ai patujolo ni parsaoran na manongtong I do i. Laos tanda hamuliateon d I marningot panghophop ni Tuhanta Yesus Kristus, dohot dalam mangauhon asi ni roha-Na”.

 

Manfaat kedua dari Perjamuan Kudus adalah pengampunan dosa. Bandingkan dengan liturgi Gereja kita yang mendahulukan pengakuan dosa dan berita pengampunan dosa sebelum makan roti dan anggur. Firman Penetapan Perjamuan itu sangat jelas mengungkapkan hal tersebut. Yesus berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan  oleh darah-Ku yang ditumpahkan bagi orang banyak”. Martin Luther dalam Ketekhismus kecilnya juga menyuarakan hal yang sama.

 

Eucharisti

 

Gereja Katolik menyebut perjamuan itu dengan istilah misa, atau eucharisti. Kata yang kedua ini berasal dari bahasa Yunani, yang artinya bersyukur. Kata ini diucapkan Tuhan Yesus di dalam Penetapan Perjamuan Kudus. Pemahaman kita tentang perjamuan sangat berbeda dengan pemahaman Katolik. Gereja Katolik memahami perjamuan itu adalah sebuah persembahan manusia kepada Allah. Dalam perjamuan itu mereka memahami roti dan anggur itu sungguh –sungguh berubah menjadi benar-benar daging dan darah Kristus. Ajaran ini disebut namanya Transubstansiasi. Luther menolak ajaran ini. Bagi Luther, ajaran ini sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab. Menurut hemat saya secara pribadi, tidak mungkin roti dan anggur itu bisa berubah menjadi tubuh dan darah Kristus sendiri. Buktinya, tatkala Yesus melakukan Perjamuan Kudus itu dengan murid-murid-Nya, hal itu tidak terjadi. Yesus masih ada dan belum pergi ke surga.

 

Refleksi Bagi Kita

 

Tuhan Yesus mengatakan di dalam Injil Yohanes bahwa kita harus makan tubuh dan minum darah-Nya. "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. (Yoh. 6:53-57). Dari pernyataan itu kita tahu bahwa semua orang percaya harus menikmati Perjamuan Kudus itu.

 

Namun satu hal yang pasti ditekankan di isni ialah: hanya melalui Roh Kudus semata-mata roti dan anggur itu, yang kita terima dengan iman, mengandung apa yang diuraikan di atas. Roh Kudus akan menghisabkan kita ke dalam kematian dan kebangkitan Kristus, serta kekekalan di masa mendatang.

 

Oleh karena itu, nikmatilah Perjamuan itu dengan ucapan syukur! Sebab di sana, kita menikmati kebaikan Tuhan yang tidak ada taranya. Kita dijamu oleh Tuhan dengan jamuan yang sangat bermakna. Namun ada satu hal yang menggelisahkan hati saya sekarang ini tentang Perjamuan Kudus di Gereja kita. Simbol-simbol iman tidak lagi bermakna. Orang yang membagikan anggur dan roti itu bukan lagi pendeta, melainkan orang yang di sebelah saya. Memang pendeta masih mengatakan dari depan: “Inilah tuibuhku”. Tetapi apa yang digambarkan oleh tindakan itu! Masihkah makna teologisnya terpelihara? Kebutuhan akan sesuatu yang bersifat ‘praktis’ mendorong orang untuk melupakan hal yang bersifat teologis. Itulah budaya abad modern ini. Bagaimana pemahaman saudara ?

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...