PERJAMUAN KUDUS
Oleh St. Hotman Ch. Siahaan
Pendahuluan
Satu hal yang paling saya
nanti-nantikan tatkala merayakan Perjamuan Kudus ialah: pernyataan pendeta yang
mengatakan undangan, sebagaimana diutarakan di dalam Agenda HKBP. Pernyataan
itu ialah: “Semua telah tersedia, datanglah dan nikmatilah kebaikan Allah”.
Mengikuti Perjamuan Kudus adalah memenuhi panggilan Allah untuk melihat dan
menikmati kebaikan Allah. Kita tahu bersama bahwa tidak ada yang lebih baik
bagi kita selain dari karya kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Oleh karena
itu menikmati Perjamuan Kudus berarti menikmati Yesus Kristus yang mati dan
bangkit. Namun kita akan melihat lebih dahulu latar belakang dari Perjamuan
Kudus itu, sehingga kita dapat menikmati lebih dalam, apa sesungguhnya yang
terjadi di dalam perjamuan tersebut.
Setting
Yesus menyelenggarakan Perjamuan
Kudus itu, dilatarbelakangi Paskah orang Yahudi. Hal itu sangat jelas dari
pernyataan Yesus di dalam Luk 22:8 “Lalu Yesus menyuruh Petrus dan Yohanes,
kata-Nya: "Pergilah, persiapkanlah perjamuan Paskah bagi kita supaya kita
makan." Bagi orang Yahudi Paskah itu adalah sebuah perayaan keluarga.
Hanya jika keluarga itu terlalu kecil untuk menikmati domba Paskah, maka mereka
dapat bergabung dengan keluarga yang lain. Hal itu diatur dalam kitab Keluaran,
“Tetapi jika rumah tangga itu terlalu kecil jumlahnya untuk mengambil seekor
anak domba, maka ia bersama-sama dengan tetangganya yang terdekat ke rumahnya
haruslah mengambil seekor, menurut jumlah jiwa; tentang anak domba itu, kamu
buatlah perkiraan menurut keperluan tiap-tiap orang”.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus dan
murid-murid-Nya saja yang menikmati Perjamuan Malam itu, pada hal mereka
menikmatinya di salah satu rumah orang. Tuan rumah tidak turut bersama Yesus
dan murid-muird-Nya menikmati Perjamuan Malam, sebab ia dan keluarganya juga
mengadakan perayaan Paskah untuk mereka.
Dalam perayaan Paskah yang
diselenggarakan keluarga Yahudi itu, pertama-tama, mereka mengingat peristiwa
bangsa Israel keluar dari Mesir. Tetapi bukan hanya sebuah peringatan. Mereka
pada hakekatnya melalui makan domba Paskah itu, mereka turut ambil bagian di
dalam peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Apa yang diungkapkan di
sini bagi masyarakat modern adalah sesuatu yang naif. Tapi bukan bagi orang
Yahudi. Bangsa itu memiliki sebuah pemahaman yang sudah diwariskan berabad
abad, yakni: “Bapa hidup di dalam anak, dan anak hidup di dalam bapa”.
Sebuah argumen kita utarakan di
sini sebagai bukti dari pemahaman seperti yang sudah diutarakan di atas.
Penulis surat Ibrani mengutarakan sebagai
berikut: “Sebab ia masih berada dalam tubuh bapa leluhurnya, ketika
Melkisedek menyongsong bapa leluhurnya itu”. Penulis surat Ibrani mengatakan
bahwa Lewi juga turut mempersembahkan perpuluhan kepada Melkisedek, tatkala
leluhurnya Abraham mempersembahkan perpuluhan kepadanya. Pada hal, Lewi pada
waktu itu belum lahir. Mengapa ia turut mempersembahkan perpuluhan? Jawabannya
ialah: ia masih berada dalam tubuh Abraham. (Ibr. 7:5-10)
Argumen yang kedua diajukan untuk
menopang pemahaman di atas, yakni Ulangan 29:14-15 “Bukan hanya dengan kamu
saja aku mengikat perjanjian dan sumpah janji ini, tetapi dengan setiap orang
yang ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita, yang berdiri di
hadapan TUHAN, Allah kita, dan juga dengan setiap orang yang tidak ada di sini
pada hari ini bersama-sama dengan kita”. Musa mengatakan bahwa ada orang yang
turut ambil bagian mengadakan perjanjian dengan Allah, pada hal ia tidak hadir
di sana. Siapakah mereka ini? Jawabnya ialah: seluruh bangsa Israel di segala
zaman. Bapa hidup di dalam anak, anak hidup di dalam bapa. Berdasarkan kedua
argumen yang diutarakan di dalam Alkitab itu, maka kita dapat mengatakan bahwa
orang Israel yang merayakan Paskah, bukan hanya sekedar mengingat akan
peristiwa yang sudah lama terjadi, melainkan turut ambil bagian di dalam
peristiwa tersebut.
Sejenak kita akan melihat juga
pemahaman orang Israel tentang makan bersama. Di Timur Tengah makan bersama
punya makna yang sangat dalam. Makan bersama maknanya ialah: memiliki kwalitas
hidup yang sama. Ada pemahaman di antara mereka bahwa makanan yang saya
makanlah yang membuat saya hidup. Oleh karena itu, jika saya makan dengan orang
lain, maka makanan yang samalah yang membuat kami hidup. Sebuah kisah dari
kalangan Arab nomaden di sana diutarakan di sini sebagai ilustrasi.
Alkisah, adalah seorang wanita
yang keluar dari kemahnya di satu hari. Ia pergi menuju oase yang ada di
perkemahan mereka. Tatkala ia sampai di oase, ia menemukan seorang pria sedang
terkapar dan dalam keadaan sekarat, karena luka-luka yang dialaminya. Wanita
itu membawa pria tersebut ke kemahnya dan merawat luka-lukanya. Dari dahi pria
itu, wanita ini mengeluarkan serpihan pedang yang nancap di sana. Lalu ia
memberikan pria itu makan.
Setelah wanita itu selesai
memberi perawatan kepada pria tadi, lalu orang datang ke kemahnya membawa mayat
suaminya. Di pinggang suaminya masih ada pedang yang sudah cacat. Tatkala
potongan besi yang diambil dari pria tadi dicocokkan kepada pedang suaminya,
maka keduanya menjadi satu kembali. Karena keberadaan pedang itu, mereka yakin
bahwa yang membunuih suami dari wanita itu adalah pria yang ditolongnya. Hukum
yang berlaku di Timur Tengah ialah: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa
ganti nyawa. Cf. Kel. 21:24. Maka wanita itu berhak untuk membunuh pria yang
sudah ditolongnya.
Namun ada masalah. Ia sudah
memberi pria itu makan. Makanan yang dimakan pria itulah yang memberi ia hidup.
Makanan itu juga yang membuat wanita itu hidup. Membunuh pria itu menurut
pemahaman mereka, sama artinya membunuh diri sendiri. Mereka memiliki hidup
yang sama. Oleh karena itu pria itu tidak boleh dibunuh. Sebagai jalan keluar,
mereka menaikkan pria itu ke atas seekor unta, lalu dihalau ke padang gurun.
Ketika mereka mengira bahwa makanan itu telah habis dari perut pria itu, dia
dikejar lagi untuk dibunuh. Pemahaman seperti itu ada juga di dalam budaya
Israel yang diserap Alkitab.
Konsep makan bersama juga
dikenakan di dalam ibadah korban di Bait Allah. Dalam kitab Imamat kita baca,
orang Israel makan daging korban keselamatan itu di hadapan Allah di Bait
Allah. “Dan daging korban syukur yang menjadi korban keselamatannya itu
haruslah dimakan pada hari dipersembahkannya itu. Sedikit pun dari padanya
janganlah ditinggalkan sampai pagi. Jikalau korban sembelihan yang
dipersembahkan itu merupakan korban nazar atau korban sukarela, haruslah itu
dimakan pada hari mempersembahkannya dan yang selebihnya boleh juga dimakan
pada keesokan harinya. Tetapi apa yang masih tinggal dari daging korban
sembelihan itu sampai hari yang ketiga, haruslah dibakar habis dengan api”.
(Im. 7:15-17). Makan bersama bagi orang Yahudi mempunyai makna teologis.
Pemahaman makan bersama itu
mewarnai ibadah Paskah orang Yahudi. Tatkala orang Yahudi menikmati domba
Paskah, itu berarti mereka turut ambil bagian di dalam karya keselamatan yang
sedang di kerjakan Allah. Dalam perspektif seperti itu, kita melihat peristiwa
Perjamuan yang diselenggarakan Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya. Tetapi ada
perbedaan yang sangat signifikan. Yesus memulai satu era baru dalam sejarah
keselamatan umat manusia. Ia memulai perjalanan yang sama sekali baru. Tatkala
kita menikmati Perjamuan Kudus, maka di lubuk hati kita yang paling dalam, kita
turut ambil bagian di dalam karya Yesus Kristus Tuhan kita.
Perjamuan Kudus
Tatkala Yesus memecahmecahkan
roti itu di hadapan para murid, Ia menunjuk kepada diri-Nya sendiri sebagai
korban di kayu salib. Yesus mengatakan: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan karena
kamu”. Setiap kali kita mengikuti Perjamuan Kudus, itu berarti kita diikut
sertakan di dalam karya penyelamatan Yesus Kristus yang dikerjakan-Nya di kayu
salib. Sama seperti orang Yahudi yang merayakan Paskah. Mereka bukan hanya
merayakan Paskah, tetapi turut ambil bagian di dalam pejalanan orang Israel
keluar dari Mesir dan berangkat ke negeri Kanaan. Kita yang menikmati roti itu,
menikmati mati bersama dengan Kristus, serta bangkit bersama dengan Dia.
Demikian juga dengan anggur itu.
Tuhan Yesus berkata: “Ambillah dan minumlah. Cawan ini adalah perjanjian baru
dalam nama-Ku, yang ditumpahkan untuk keampunan dosamu”. Yesus mengatakan bahwa
di dalam perjanjian itu ada satu perjanjian yang diungkapkan. Martin Luther
mengatakan bahwa Perjamuan Kudus itu adalah sebuah testamen (perjanjian).
Menurut Luther, sebuah testamen (wasiat) berisi unsur-unsur: pemberi wasiat
yang membuat persiapan akan kematiannya dan merumuskan keinginannya. Lalu surat
wasiat yang benar, yang memuat keinginan pemberi wasiat, meterai yang
mengkonfirmasikan keberlakuan keinginannya itu. Selanjutnya warisan yang
ditentukan dalam wasiat tersebut. Unsur yang terakhir ialah: orang yang
kepadanya warisan itu dihibahkan. Semua unsur itu terdapat di dalam Perjamuan
Kudus yang dilembagakan Kristus. Pemberi wasiat adalah Kristus yang
mempersiapkan kematian-Nya. Sementara wasiat itu adalah kata-kata Penetapan
Perjamuan tersebut. Metarainya ialah tubuh dan darah Kristus. Warisannya ialah:
pengampunan dosa. Pewaris adalah orang-orang dari segala abad yang mengikuti
Perjamuan Kudus.
Karakter seperti yang sudah
diungkapkan di atas, menunjuk kepada
Perjamuan yang adalah suatu pemberian dari Allah. Manusia tidak dapat membuat
dirinya menjadi pewaris dari warisan. Kita adalah penerima warisan. Untuk itu,
kita tidak membuat apa pun agar kita mendapat warisan tersebut. Jadi menikmati
Perjamuan itu berarti menikmati wasiat yang diberikan Allah. Itulah sebabnya
liturgi kita mengungkapkan seperti kalimat yang sudah dikutip di permulaan
wacana ini.
Di zaman Alkitab, perjanjian
diteguhkan melalui makan bersama. Saya pikir ada kesamaan dengan adat Batak.
Segala sesuatu dalam bentuk mengambil kesepakatan, semuanya dibicarakan setelah
makan bersama. Di atas ni sipanganon, indahan na las. Itulah ungkapan yang
biasa diungkapkan orang Batak. Jadi jangan pernah lupa akan hal itu, tatkala
menikmati Perjamuan Kudus. Kita makan bersama dengan Allah. Tuan rumah adalah
Kristus sendiri. Seluruh orang yang turut ambil bagian di dalam Perjamuan Kudus
itu adalah anggota keluarga Allah. Tatkala kita menikmati roti itu, kita
dipersatukan dengan seluruh orang percaya di segala abad, dan dimasukkan ke
dalam karya Yesus di kayu salib.
Makan roti dan minum anggur itu
juga menunjuk kepada kelepasan yang akan kita terima di masa yang akan datang.
Yesus mengatakan bahwa Ia tidak akan minum anggur lagi sampai tiba saatnya
kelak di dalam kerajaan Allah. “Akan tetapi Aku berkata kepadamu: mulai dari
sekarang Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku
meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku”
(Mat.26:29). Semuanya itu akan operasional melalui iman kita. Sama seperti iman
tidak mungkin dapat dipisahkan dari firman Allah, maka demikian juga Perjamuan
tidak akan dapat dipisahkan dari Penetapan Perjamuan itu sendiri. Kristus
adalah Tuhan di meja-Nya. Dia adalah
Host yang tidak terlihat di dalam perjamuan tersebut. Tentulah, jika perjamuan
itu dilaksanakan hanya sebagai ritus semata-mata, maka Dia tidak akan ada di
sana. Lalu segala sesuatu yang direpresentasikan perjamuan itu pun otomatis
tidak akan ada.
Roh Kudus yang hadir di dalam
perjamuan itu, Ia akan mendorong orang percaya yang turut ambil bagian di dalam
Perjamuan itu untuk mempersembahkan diri kepada Allah untuk melayani sesama di
dalam tubuh Kristus. Dalam melayani mereka yang berkekurangan di dunia yang
telah di damaikan Allah dengan diri-Nya. (I Kor. 10:17 dan Rom 12:1).
Di dalam Perjamuan itu ada
pembaharuan yang terus menerus antara Allah dan umat-Nya. Tuhan Yesus di dalam
Penetapan Perjanjian itu berkata: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”.
Kata ‘peringatan’ di sana maksudnya bukan hanya menunjuk kepada para murid agar
tidak lupa pada Yesus, tetapi juga bermakna sebaliknya. Allah mengingat janji-Nya
untuk memulihkan kerajaan. Semua hal ini dihadirkan di dalam Perjamuan Kudus.
Roti dan Anggur
Martin Luther mengatakan bahwa
roti itu tetap roti dan anggur itu tetap anggur. Namun itu bukan roti dan
anggur biasa, melainkan anggur yang sudah bercampur dengan firman Allah. Luther
nenyebut ajarannya itu dengan sebutan Consubstansiasi Tatkala pendeta mengatakan: “inilah
dagingku’, inilah tubuhku”, maka Kristus hadir di dalam ibadah itu. Kehadiran
Kristus adalah kehadiran di dalam firman. Kehadiran itu melalui pemberitaan
lisan. Tatkala firman diberitakan maka Kristus menyatakan diri-Nya. Firman
adalah esensi dari kehadiran Kristus, melalui firman itu, janji-Nya yang
mengatakan bahwa Ia akan menyertai orang percaya digenapi. Cf. Mat. 28:20, juga
Mat. 18:20. Jadi tatkala roti dan anggur itu dibagikan, maka dibagikan juga
tubuh dan darah Kristus. Benda duniawi dijadikan saluran kehadiran Kristus
secara konkrit dalam pengalaman kita.
Sebagai Tuan dalam Perjamuan itu,
Kristus berjanji menawarkan pemberian dalam bentuk roti dan anggur melalui
firman. Firman itu sendiri mempunyai kuasa untuk menganugerahkan
pemberian-pemberian surgawi di dalam bentuk yang duniawi. Itulah argumen yang
diutarakan Luther.
Di sini kita akan menyoroti
pandangan yang salah dari anggota jemaat terhadap roti dan anggur itu. mereka
melihat roti dan anggur itu sebagai sesuatu yang magis. Pola pikir seperti ini
dilatarbelakangi animisme, yang melihat adanya benda-benda bertuah. Kita sudah
katakan di atas, roti itu tetap roti, dan anggur itu tetap anggur. Firman Allah
yang menyertai roti itu yang membuatnya berbeda dengan roti dan anggur lain.
Namun kita harus menggarisbawahi firman itu di sini. Firman yang menyertai roti
dan anggur itu, tidak permanen di dalamnya. Firman itu diucapkan kepada mereka
yang menerima roti dan anggur. Oleh karena itu, roti dan anggur itu tidak
memiliki kekuatan magis. Sebab firman yang diucapkan itu, tidak berlaku bagi
orang yang tidak beriman. Jadi salah orang yang membawa roti itu ke rumah untuk
diberikan kepada orang yang sakit misalnya. Roti itu tidak ada bedanya dengan
roti lain yang ada di rumah.
Jika kita memegang pemahaman yang
salah tentang roti dan anggur itu, maka pada hakekatnya kita memberi celah
kepada Iblis. Ia akan merusak iman kita dengan jalan mempercayai roti dan
anggur itu dalam perspektif yang lain dari apa yang diajarkan Alkitab. Jika
demikian, maka semuanya itu adalah dosa. Sebab dosa pada hakekatnya adalah
sebuah penyimpangan dari kehendak Allah.
Manfaat Perjamuan Kudus
Tatkala kita menikmati Perjamuan
Kudus, maka di lubuk hati kita yang paling dalam seyogianya ada pemahaman bahwa
melalui Perjamuan Kudus itu kita menikmati satu komunitas yang kudus. Pengakuan
bahwa Gereja adalah satu persekutuan yang kudus berasal dari pemahaman makna
dari Perjamuan Kudus. Karena pemahaman ini, seharusnya mendorong kita untuk
turut ambil bagian di dalam Perjamuan Kudus. Hal yang sama diutarakan Gereja
kita melalui konfesinya. Di sana kita
baca: “Pesta las ni roha do na manddohoti Parpadanan na badia (Ulaon na badia),
ai patujolo ni parsaoran na manongtong I do i. Laos tanda hamuliateon d I
marningot panghophop ni Tuhanta Yesus Kristus, dohot dalam mangauhon asi ni
roha-Na”.
Manfaat kedua dari Perjamuan
Kudus adalah pengampunan dosa. Bandingkan dengan liturgi Gereja kita yang
mendahulukan pengakuan dosa dan berita pengampunan dosa sebelum makan roti dan
anggur. Firman Penetapan Perjamuan itu sangat jelas mengungkapkan hal tersebut.
Yesus berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku yang ditumpahkan bagi orang
banyak”. Martin Luther dalam Ketekhismus kecilnya juga menyuarakan hal yang
sama.
Eucharisti
Gereja Katolik menyebut perjamuan
itu dengan istilah misa, atau eucharisti. Kata yang kedua ini berasal dari
bahasa Yunani, yang artinya bersyukur. Kata ini diucapkan Tuhan Yesus di dalam
Penetapan Perjamuan Kudus. Pemahaman kita tentang perjamuan sangat berbeda
dengan pemahaman Katolik. Gereja Katolik memahami perjamuan itu adalah sebuah
persembahan manusia kepada Allah. Dalam perjamuan itu mereka memahami roti dan
anggur itu sungguh –sungguh berubah menjadi benar-benar daging dan darah
Kristus. Ajaran ini disebut namanya Transubstansiasi. Luther menolak ajaran
ini. Bagi Luther, ajaran ini sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab. Menurut
hemat saya secara pribadi, tidak mungkin roti dan anggur itu bisa berubah
menjadi tubuh dan darah Kristus sendiri. Buktinya, tatkala Yesus melakukan
Perjamuan Kudus itu dengan murid-murid-Nya, hal itu tidak terjadi. Yesus masih
ada dan belum pergi ke surga.
Refleksi Bagi Kita
Tuhan Yesus mengatakan di dalam
Injil Yohanes bahwa kita harus makan tubuh dan minum darah-Nya. "Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan
minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan
daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan
membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan
dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum
darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang
hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang
memakan Aku, akan hidup oleh Aku. (Yoh. 6:53-57). Dari pernyataan itu kita tahu
bahwa semua orang percaya harus menikmati Perjamuan Kudus itu.
Namun satu hal yang pasti
ditekankan di isni ialah: hanya melalui Roh Kudus semata-mata roti dan anggur
itu, yang kita terima dengan iman, mengandung apa yang diuraikan di atas. Roh
Kudus akan menghisabkan kita ke dalam kematian dan kebangkitan Kristus, serta
kekekalan di masa mendatang.
Oleh karena itu, nikmatilah
Perjamuan itu dengan ucapan syukur! Sebab di sana, kita menikmati kebaikan
Tuhan yang tidak ada taranya. Kita dijamu oleh Tuhan dengan jamuan yang sangat
bermakna. Namun ada satu hal yang menggelisahkan hati saya sekarang ini tentang
Perjamuan Kudus di Gereja kita. Simbol-simbol iman tidak lagi bermakna. Orang
yang membagikan anggur dan roti itu bukan lagi pendeta, melainkan orang yang di
sebelah saya. Memang pendeta masih mengatakan dari depan: “Inilah tuibuhku”.
Tetapi apa yang digambarkan oleh tindakan itu! Masihkah makna teologisnya
terpelihara? Kebutuhan akan sesuatu yang bersifat ‘praktis’ mendorong orang
untuk melupakan hal yang bersifat teologis. Itulah budaya abad modern ini.
Bagaimana pemahaman saudara ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar