02/12/11

ALAM BERCERITERA




JIKA ALAM BERCERITERA AKUPUN TURUT SERTA

Mzm. 19:1-7


Mazmur 19: 1-7 mengajarkan kepada kita bahwa alam semesta menceriterakan kemuliaan Allah. Bukankah seyogianya kita pun sebagai umat tebusan-Nya seharusnya juga terbeban untuk menceriterakan kemuliaan Allah itu di dalam kehidupan kita sehari-hari? Dalam perspektif seperti itu, kita akan menyoroti mazmur ini.

Kita semua familiar dengan syair nyanyian KJ No 64, “Bila kulihat bintang gemerlapan dan bunyi guruh riuh ku dengar…” Carl Gustaf Boberg tentulah diilhami mazmur 19 ini di dalam menuangkan ke dalam kertas, syair yang indah ini. Allah telah mengungkapkan diri-Nya kepada umat manusia tentang siapa Dia, melalui ciptaan-Nya. Ada orang yang mengatakan bahwa alam semesta juga merupakan sebuah kitab yang mengungkapkan siapa Allah. Allah memakai tiga sarana untuk mengungkapkan diri-Nya. Sarana pertama ialah: alam. Nas kita ini mengungkapkannya. Sarana kedua ialah: Hukum Taurat, hal ini diungkapkan pemazmur melalui ayat 8-14 dalam mazmur ini. Sementara sarana yang ketiga ialah: Yesus Kristus. Ketiga wahana ini hingga kini terus menampakkan kepada manusia siapa Allah itu sebenarnya. Penyingkapan kemuliaan Allah melalui firman Tuhan telah berlalu. Tidak ada lagi wahyu bagi kita sekarang ini, yang ada adalah pencerahan. Bahkan penyingkapan yang ketiga pun telah berakhir. Kristus telah duduk di sebelah kanan Allah di Sorga. Namun penyingkapan yang pertama, yakni melalui alam, tidak pernah berakhir. Alam terus menceriterakan kemuliaan Allah hingga hari ini.

Kata langit di dalam ayat 1 dalam bahasa Ibrani adalah dalam bentuk jamak. Alkitab berbahasa Inggris menyebutnya dengan kata ‘heavens’. Pemazmur menyebut hari dan malam untuk menekankan maksudnya di atas. Pemazmur mengatakan bahwa langit itu menceriterakan kemuliaan Allah. Selanjutnya ia mengatakan bahwa langit berceritera tentang kemuliaan Allah bukan dengan kata-kata. Sekalipun demikian, bukan berarti apa yang mereka ungkapkan tidak dapat ditangkap oleh mahluk yang ada di Bumi. Tidak ada satu orang pun di Bumi ini yang terlindung dari pengaruh siang dan malam. Pemazmur berbicara tentang matahari yang berjalan bagai pahlawan. Kita tahu, bahkan orang buta sekalipun dapat merasakan panasnya matahari. Oleh karena itu, semua orang dapat dijangkau olehnya. Hal itu jelas diungkapkan Pemazmur dalam ayat 5. Jika demikian, maka setiap orang perlu memberi respon terhadap pemberitaan mereka. Hal ini menjadi jelas berdasarkan uraian Paulus dalam Rom. 1: 18 dyb. Dalam ayat 21 Paulus mengatakan: “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya.”

Dari uraian Paulus dalam surat Roma itu, kita sadar bahwa pewahyuan ilahi melalui alam semesta, seyogianya menuntun kita ke dalam iman penyembahan dan ucapan syukur. Namun kenyataan yang ada ialah: manusia tidak melakukan apa yang seyogianya dia lakukan. Bahkan menurut Paulus, manusia itu tersesat. Manusia menggantikan Allah dengan sesuatu yang bukan Allah. Manusia menggantikan Dia yang seharusnya disembah menjadi sesuatu yang bukan ‘Sang Pencipta’.

Manusia sekarang ini pada umumnya tidak lagi dapat menghubungkan dirinya dengan alam dalam konteks penyembahan terhadap Sang Pencipta. Marilah kita melihat kenyataan di dalam kehidupan sehari hari. Para penggubah lagu, banyak menulis syair tentang keindahan alam di lingkungannya. Namun kita baca dalam lirik lagu mereka, tidak ada Allah Sang Pencipta dilibatkan di sana. Nahum Situmorang berbicara tentang Tanah Batak. Dalam lirik lagu tersebut, ia berbicara tentang matahari yang terbit dan menyinari Bumi serta memberi kehidupan bagi orang Batak. Namun kita tidak mendengar adanya Allah yang harus dipuji dan disembah di dalam syair lagu ‘O Tano Batak’. Penggubah lagu anak-anak AT Mahmud dalam lirik lagu ‘Pelangi’ masih menggoreskan penanya dengan mengakui bahwa pelangi itu adalah ciptaan Allah. Sebuah pertanyaan perlu diajukan kepada kita! Apakah dengan keberadaan hidup kita yang dikaruniakan Allah untuk dijalani juga menyuarakan kemuliaan Allah?

Pemazmur dalam Mzm. 116:12 mengajukan sebuah pertanyaan: “Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?” Ia menjawab sendiri dengan mengatakan dalam ayat 13, “Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama TUHAN”. Seyogianya kita pun mengajukan pertanyaan seperti pemazmur di atas;  sekaligus menjawabnya juga seperti pemazmur. Apa yang harus kita lakukan sebagai tanda syukur dan terima kasih kita terhadap Allah yang telah berkarya bagi keselamatan kita. Fanny J Crosby, seorang penulis syair terkenal menorehkan di dalam syairnya, “Ku suka menuturkan ceritera mulia…” Tidak semua ceritera itu harus disuarakan dengan kata-kata. Sama seperti langit yang menceriterakan kemuliaan Allah bukan dengan kata-kata, maka kita pun dapat menceriterakan ceritera mulia itu dalam bentuk lain.

Orang tua adalah model bagi anak-anaknya, suka atau tidak! Anak-anak dengan cepat dapat merasakan ceritera kehidupan yang kita ungkapkan melalui perbuatan. Sebuah pertanyaan perlu diajukan kepada kita: ceritera apa yang mereka rekam di lubuk hati mereka yang paling dalam tentang kehidupan kita? Mungkinkah rekaman itu akan mirip dengan ungkapan lirik dari lagu yang populer ini: “Di doa ibuku namaku di sebut, di doa ibu kudengar ada namaku disebut” Ada orang yang mengatakan bahwa lirik lagu itu diilhami kehidupan Susanah Wesley yang mempunyai anak 19 orang. Susanah menyediakan waktu satu jam tiap minggu untuk tiap-tiap anak. Karena itu ceritera hidupnya menjadi kemuliaan Allah di dalam hati anak-anaknya. Suatu hari anaknya bertanya kepada Susanah tentang apa makna dari dosa. Lalu ia memberikan defenisi dari dosa yang hingga hari ini dipakai para teolog di dalam menerangkan apa itu dosa. Bukankah Susannah Wesley memuliakan Allah dengan kehidupannya. Bukankah ia orang awam dan bukan pengkhotbah! Namun kisah hidupnya terus dibicarakan orang hingga sekarang ini. Kisah hidupnya dengan Allahnya bercerita hingga akhir zaman. Dua orang dari anak Susanah Wesley menjadi hamba Tuhan yang terkenal dan menjadi pendiri dari Gereja Metodis. Jika Susanah Wesley bisa, mengapa saya tidak bisa?

Kita rindu muncul keluarga-keluarga yang memuliakan Tuhan melalui kehidupan mereka, dimana kisah tentang mereka dengan Tuhannya menjadi panutan orang percaya di sepanjang zaman. Keluarga keluarga itu kita harapkan akan ada juga dari anggota jemaat HKBP, teristimewa dari jemaat Menteng. Akan muncul orang-orang seperti ‘Madam Guyon’ seorang mistikus Kristen yang terkenal, seperti ‘Corry Tenboom’ yang oleh karena imannya kepada Tuhan Yesus dipenjarakan Gestapo. Mereka ini bukanlah pendeta yang berkhotbah dan melayani satu jemaat. Tetapi mereka menceriterakan kemuliaan Allah melalui kehidupannya. Jika alam berceritera tentang kemuliaan Allah, maka aku pun turut serta di dalam hidup ini menceriterakan kemuliaan Allah itu. Ceritera itu tidak harus diungkapkan secara verbal. Hidup itu sendiri dapat menjadi sebuah ceritera yang dapat dibaca oleh semua orang. Hal itu disuarakan Paulus kepada Jemaat Korintus. Kamu adalah surat Kristus yang terbuka dan dapat dibaca oleh semua orang.


Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...