JIKA ALAM BERCERITERA AKUPUN TURUT
SERTA
Mzm.
19:1-7
Mazmur
19: 1-7 mengajarkan kepada kita bahwa alam semesta menceriterakan kemuliaan Allah.
Bukankah seyogianya kita pun sebagai umat tebusan-Nya seharusnya juga terbeban
untuk menceriterakan kemuliaan Allah itu di dalam kehidupan kita sehari-hari?
Dalam perspektif seperti itu, kita akan menyoroti mazmur ini.
Kita
semua familiar dengan syair nyanyian KJ No 64, “Bila kulihat bintang gemerlapan dan bunyi guruh riuh ku dengar…” Carl Gustaf
Boberg tentulah diilhami mazmur 19
ini di dalam menuangkan ke dalam kertas, syair yang indah ini. Allah telah
mengungkapkan diri-Nya kepada umat manusia tentang siapa Dia, melalui
ciptaan-Nya. Ada
orang yang mengatakan bahwa alam semesta juga merupakan sebuah kitab yang
mengungkapkan siapa Allah. Allah memakai tiga sarana untuk mengungkapkan
diri-Nya. Sarana pertama ialah: alam. Nas kita ini mengungkapkannya. Sarana
kedua ialah: Hukum
Taurat, hal ini diungkapkan
pemazmur melalui ayat 8-14 dalam mazmur ini. Sementara sarana yang ketiga
ialah: Yesus
Kristus. Ketiga wahana ini hingga
kini terus menampakkan kepada manusia siapa Allah itu sebenarnya. Penyingkapan
kemuliaan Allah melalui firman Tuhan telah berlalu. Tidak ada lagi wahyu bagi
kita sekarang ini, yang ada adalah pencerahan. Bahkan penyingkapan yang ketiga
pun telah berakhir. Kristus telah duduk di sebelah kanan Allah di Sorga. Namun
penyingkapan yang pertama, yakni melalui alam, tidak pernah berakhir. Alam
terus menceriterakan kemuliaan Allah hingga hari ini.
Kata
langit di dalam ayat 1 dalam bahasa Ibrani adalah dalam bentuk jamak. Alkitab berbahasa
Inggris menyebutnya dengan kata ‘heavens’.
Pemazmur menyebut hari dan malam untuk menekankan maksudnya di atas. Pemazmur mengatakan
bahwa langit itu menceriterakan kemuliaan Allah. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa langit berceritera tentang kemuliaan Allah bukan dengan kata-kata.
Sekalipun demikian, bukan berarti apa yang mereka ungkapkan tidak dapat
ditangkap oleh mahluk yang ada di Bumi. Tidak ada
satu orang pun di Bumi ini yang terlindung dari
pengaruh siang dan malam. Pemazmur berbicara tentang matahari yang berjalan
bagai pahlawan. Kita tahu, bahkan orang buta sekalipun dapat merasakan panasnya
matahari. Oleh karena itu, semua orang dapat dijangkau olehnya. Hal itu jelas
diungkapkan Pemazmur dalam ayat 5. Jika demikian, maka setiap orang perlu
memberi respon terhadap pemberitaan mereka. Hal ini menjadi jelas berdasarkan
uraian Paulus dalam Rom. 1: 18
dyb. Dalam ayat 21 Paulus mengatakan: “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah,
mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya.”
Dari
uraian Paulus dalam surat
Roma itu, kita sadar bahwa pewahyuan ilahi melalui alam semesta, seyogianya
menuntun kita ke dalam iman penyembahan dan ucapan syukur. Namun kenyataan yang
ada ialah: manusia tidak melakukan apa yang seyogianya dia lakukan. Bahkan
menurut Paulus, manusia itu tersesat. Manusia menggantikan Allah dengan sesuatu
yang bukan Allah. Manusia menggantikan Dia yang seharusnya disembah menjadi
sesuatu yang bukan ‘Sang Pencipta’.
Manusia
sekarang ini pada umumnya tidak lagi dapat menghubungkan dirinya dengan alam
dalam konteks penyembahan terhadap Sang Pencipta. Marilah kita melihat
kenyataan di dalam kehidupan sehari hari. Para
penggubah lagu, banyak menulis syair tentang keindahan alam di lingkungannya.
Namun kita baca dalam lirik lagu mereka, tidak ada Allah Sang Pencipta
dilibatkan di sana.
Nahum Situmorang berbicara tentang Tanah Batak.
Dalam lirik lagu tersebut, ia berbicara tentang matahari yang terbit dan
menyinari Bumi serta memberi kehidupan bagi orang Batak. Namun kita tidak
mendengar adanya Allah yang harus dipuji dan disembah di dalam syair lagu ‘O Tano Batak’. Penggubah lagu anak-anak
AT Mahmud dalam lirik lagu ‘Pelangi’
masih menggoreskan penanya dengan mengakui bahwa pelangi itu adalah ciptaan
Allah. Sebuah pertanyaan perlu diajukan kepada kita! Apakah dengan keberadaan
hidup kita yang dikaruniakan Allah untuk dijalani juga menyuarakan kemuliaan
Allah?
Pemazmur
dalam Mzm. 116:12 mengajukan sebuah pertanyaan: “Bagaimana akan kubalas kepada
TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?” Ia menjawab sendiri dengan mengatakan
dalam ayat 13, “Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama
TUHAN”. Seyogianya kita pun mengajukan pertanyaan seperti pemazmur di
atas; sekaligus menjawabnya juga seperti
pemazmur. Apa yang harus kita lakukan sebagai tanda syukur dan terima kasih
kita terhadap Allah yang telah berkarya bagi keselamatan kita. Fanny J
Crosby, seorang penulis syair
terkenal menorehkan di dalam syairnya,
“Ku suka menuturkan ceritera mulia…” Tidak semua ceritera itu harus
disuarakan dengan kata-kata. Sama seperti langit yang menceriterakan kemuliaan
Allah bukan dengan kata-kata, maka kita pun dapat menceriterakan ceritera mulia
itu dalam bentuk lain.
Orang
tua adalah model bagi anak-anaknya, suka atau tidak! Anak-anak dengan cepat
dapat merasakan ceritera kehidupan yang kita ungkapkan melalui perbuatan.
Sebuah pertanyaan perlu diajukan kepada kita: ceritera apa yang mereka rekam di
lubuk hati mereka yang paling dalam tentang kehidupan kita? Mungkinkah rekaman
itu akan mirip dengan ungkapan lirik dari lagu yang populer ini: “Di
doa ibuku namaku di sebut, di doa ibu kudengar ada namaku disebut” Ada orang yang mengatakan
bahwa lirik lagu itu diilhami kehidupan Susanah Wesley
yang mempunyai anak 19 orang. Susanah menyediakan waktu satu jam tiap minggu
untuk tiap-tiap anak. Karena itu ceritera hidupnya menjadi kemuliaan Allah di
dalam hati anak-anaknya. Suatu hari anaknya bertanya kepada Susanah tentang apa
makna dari dosa. Lalu ia memberikan defenisi dari dosa yang hingga hari ini
dipakai para teolog di dalam menerangkan apa itu dosa. Bukankah Susannah
Wesley memuliakan Allah dengan
kehidupannya. Bukankah ia orang awam dan bukan pengkhotbah! Namun kisah
hidupnya terus dibicarakan orang hingga sekarang ini. Kisah hidupnya dengan Allahnya
bercerita hingga akhir zaman. Dua orang dari anak Susanah Wesley
menjadi hamba Tuhan yang terkenal dan menjadi pendiri dari Gereja Metodis.
Jika Susanah Wesley
bisa, mengapa saya tidak bisa?
Kita
rindu muncul keluarga-keluarga yang memuliakan Tuhan melalui kehidupan mereka,
dimana kisah tentang mereka dengan Tuhannya menjadi panutan orang percaya di
sepanjang zaman. Keluarga keluarga itu kita harapkan akan ada juga dari anggota
jemaat HKBP, teristimewa dari jemaat Menteng. Akan muncul orang-orang seperti ‘Madam Guyon’ seorang mistikus Kristen yang terkenal, seperti ‘Corry Tenboom’ yang oleh karena imannya kepada Tuhan Yesus
dipenjarakan Gestapo. Mereka ini bukanlah pendeta yang berkhotbah dan melayani
satu jemaat. Tetapi mereka menceriterakan kemuliaan Allah melalui kehidupannya.
Jika alam berceritera tentang kemuliaan Allah, maka aku pun turut serta di
dalam hidup ini menceriterakan kemuliaan Allah itu. Ceritera itu tidak harus
diungkapkan secara verbal. Hidup itu sendiri dapat menjadi sebuah ceritera yang
dapat dibaca oleh semua orang. Hal itu disuarakan Paulus kepada Jemaat Korintus.
Kamu adalah surat
Kristus yang terbuka dan dapat dibaca oleh semua orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar