19/08/15

Anak ANak






ANAK-ANAK

Kita semua pernah menjadi anak-anak! Aku memuji teman-teman yang masih ingat akan pengalaman mereka semasa masih kanak-kanak. Ada seorang teman sekolah tatkala duduk dibangku Sekolah Rakyat (SR), menegor saya sebagai orang yang sombong, karena tidak sapa dia sebagai seorang teman lama. Aku sungguh-sungguh tidak ingat akan hal itu, namun beliau masih ingat dengan jelas. Berbahagialah mereka yang masih punya kenangan yang indah pada saat kecil. Dunia anak-anak adalah satu dunia yang sangat lain dari dunia orang dewasa. Yesus menjadikan anak-anak sebagai contoh bagi orang dewasa tentang kerajaan sorga.

Anak-anak menjadi bahan renungan bagi saya pada hari ini. Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari kehidupan seorang anak. Satu hal yang diajarkan Alkitab kepada saya tentang anak-anak ialah: Allah mengajar pemazmur sejak ia anak-anak. Mzm 71:17 “Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib”. Allah mengajar anak kecil. Itu suatu bahan renungan bagi saya. Bagaimana cara Allah mengajar seorang anak kecil? Pernah kulihat sebuah tayangan televisi yang menggambarkan seorang ibu muda yang baru melahirkan dan untuk pertama kalinya, anaknya diberi ASI. Tidak seperti biasanya, kepada sang bayi tidak disodorkan puting susu ibunya agar ia minum. Bayi itu diletakkan di dada ibunya, dekat dengan payudaranya. Dalam hitungan detik, sang anak yang baru lahir itu dapat menemukan puting susu ibunya, lalu ia minum makanan yang bernas untuk dia secara pribadi.

Dari mana bayi itu tahu apa yang menjadi targetnya? Nalarku mengatakan bahwa bayi tahu targetnya karena ia diberi Allah alat untuk mengetahui target itu, yakni instingnya. Jika insting yang mengendalikan organ tubuh kita, maka tidak mungkin kita gagal mencapai apa yang diinginkan! Allah mengajar anak-anak di seluruh dunia dengan insting yang diberikan-Nya untuk mencapai apa yang diinginkannya. Kita tahu, burung-burung di kutup Selatan akan berpindah ke daerah Utara, jika musim dingin tiba. Mereka tidak punya pengetahuan yang berdasarkan nalar dimana tempat itu. Tetapi insting yang diberikan Allah kepada binatang itu memampukan burung-burung itu menemukan tempat yang dia perlukan untuk mendapatkan makanan. Insting tidak pernah salah dalam menemukan apa yang diinginkannya.

Tatkala bayi itu bertumbuh, kepadanya diperkenalkan hal-hal yang akan direkam otaknya. Informasi itu dia simpan di dalam file yang tersedia di dalam otaknya. Para ahli mengatakan bahwa otak itu sungguh sangat luar biasa daya simpannya. Dalam masa pertumbuhan itu, file yang tersimpan di otak menjadi bahan pertimbangan bagi nalar untuk menentukan sikap terhadap apa yang dialami di sepanjang hidup. Anak-anak, sedikit demi sedikit meninggalkan instingnya, lalu bersandar pada file yang ada di dalam otaknya di dalam menentukan sikap dan dalam mencapai tujuan. Tatkala anak menjadi dewasa, mungkin ia tidak lagi memiliki insting yang sangat kental di dalam hidupnya. Aku katakan ‘mungkin’ sebab aku bukanlah seorang ilmuwan. Aku hanya membuat sebuah perenungan dengan memakai nalar yang dikaruniakan Allah bagi manusia. Dengan ‘hilangnya intensitas nalar’ manusia kehilangan apa yang harus dilakukan. Dengan insting, kita tahu apa yang akan dilakukan. Sebuah contoh dapat menerangkan apa yang saya maksud. Burung yang kita bicarakan tadi tahu apa yang harus dia lakukan tatkala musim dingin tiba. Kita melakukan sesuatu yang harus dilakukan tanpa nalar yang memberi komando. Kita melakukan hal itu sebagai sesuatu yang sudah seharusnya hal itu dilakukan. Insting yang menggerakkan kita melakukan hal itu.

Acap kali, apa yang kita lakukan senantiasa di dasarkan pada penalaran semata-mata. Orang yang hidup seperti itu, ia hidup di bawah pengaruh nalarnya. Jika nalar yang berbicara, maka acap dasar perhitungannya di dalam bertindak adalah untung ruginya. Orang modern bilang cost and benefit. Anak-anak tidak pernah mendasarkan tindakannya atas dasar cost and benefit. Mereka bertindak karena gerakan insting dan rasa yang ada di dalam file otaknya. Disitulah kelebihan anak-anak dengan orang dewasa. Yesus menjadikan anak kecil sebagai contoh kepada murid-murid-Nya. Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” Mat 18:3. Menjadi seorang yang dapat dikatakan memiliki keselamatan di dalam Yesus Kristus, ia harus memiliki dimensi anak-anak di dalam hidupnya.
 
Dalam rangka memungkinkan kita dapat menjalani kehidupan dengan dimensi anak-anak itu, Paulus mengatakan: kepada kita diberi Roh Kudus. Roh itu mengajar kita berseru kepada Allah dengan sebutan: “Ya Abba, ya Bapa”. Kata abba adalah kata yang pertama disuarakan oleh seorang anak yang baru lahir di wilayah Timur Tengah. Kata itu pada hakekatnya maknanya bukan bapa melainkan ‘papa’. Kita tidak pernah menyapa seseorang dengan sebutan papa. Pada umumnya kita menyapa orang lain itu dengan sebutan bapa. Kita menyebut papa hanya kepada satu orang saja, yakni orang tua kandung kita sendiri. Dalam kata ‘papa’ terdapat sejuta makna di dalamnya.

Bagi sorang anak kecil, papa adalah satu pribadi yang sangat luar biasa bagi dia. Karena dialah maka ia ada di dunia ini. Ia yang memungkinkan dia melanjutkan kehidupan ini. Nalarnya yang masih terbatas, tidak dapat memahami pribadi dari sang ‘papa’. Tetapi itu tidak perlu, instingnya memberitahukan kepadanya bahwa dia ini adalah ‘papa’ dan itu tidak mungkin salah. Nuansa seperti itu ada di dalam diri orang yang beriman, dimana imannya mengatakan kepadanya bahwa Allah itu adalah “PAPA” bagi dia. Roh Kudus yang memberi pengenalan itu kepadanya. Iman yang dikaruniakan Roh Kudus, memungkinkan dia mengenal sang “PAPA”. Pengenalan itu tidak mungkin salah. Sebab, sekali pun orang mengatakan bahwa Allah bukanlah Dia yang disembah orang Kristen, sebab nama itu adalah nama dewanya orang Arab kuno. Aku tidak akan mungkin salah menyerukan Allah itu sebagai Bapa. Sebab yang memberikan kepadaku pengenalan itu adalah Roh Kudus. Aku akan menjawab juga tuduhan orang yang mengatakan tidak boleh memanggil Bapa kita itu dengan sebuatan Allah, dengan argumen sebagai berikut: tentang yang kau katakan itu, aku tidak tahu. Tetapi ini yang aku tahu, aku mengenal siapa yang jadi Bapa bagiku. Cf Yoh 9:25.

Allah yang kita kenal itu bertindak sebagai “PAPA” bagi kita. Itu berarti, kehidupan kita seratus persen tergantung kepada Dia. Seorang papa di dunia ini tahu apa yang baik bagi anak-anaknya. Ia akan menyediakan segala sesuatu yang perlu bagi anaknya itu, tanpa anak itu meminta lebih dahulu. Hal yang sama diajarkan Yesus kepada kita di dalam Injil Matius. Masalah utama sekarang ialah: apakah di dalam hidup saya ada dimensi anak-anak seperti yang kita telah gambarkan di atas?

Seperti telah diuraikan di atas, kita semakin dewasa semakin tergantung pada nalar kita. Di sini nalar sudah menjadi penentu atas sikap dan respon kita terhadap segala sesuatu yang datang di dalam hidup ini. Saya tidak menafikan makna dari nalar. Kita harus memakai nalar di dalam mengikut Tuhan. Menurut hemat saya secara pribadi, nalar bagi kita menjadi semacam pertimbangan di dalam mengambil keputusan. Amsal mengatakan: “Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang, dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak. Kata perencanaan dalam ayat ini menunjuk kepada kemampuan nalar untuk mewujudkannya. Tetapi orang bijak ini menambahkan bahwa yang namanya penasihat tidak hanya satu. Penasihat dia katakan ‘banyak’. Penasihat kita tidak hanya nalar. Itu hanya salah satu dari para penasihat yang harus didengarkan. Iman adalah salah satu dan bahkan menjadi komandan dari para penasihat kita di dalam mengambil keputusan. Amsal tadi mengingatkan kita bahwa semakin banyak penasihat, maka semakin banyak kemungkinan akan menang dalam pertempuran. Penasihat yang lain menurut hemat saya ialah: intuisi kita.

Saya tidak dapat membedakan antara insting dan intuisi. Berdasarkan kamus KBBI, intuisi adalah sebuah kemampuan untuk mengetahui sesuatu tanpa proses belajar. Agak mirip juga dengan batasan yang mereka buat dengan kata insting. Nalar, insting, intuisi adalah penasihat yang dikomadoi iman di dalam memberi masukan tentang sesuatu hal yang harus diambil oleh orang percaya. Daud menjadi contoh bagi saya di dalam hal ini. Pernah ia berhadapan dengan pasukan Filistin. Ia bertanya kepada Tuhan, apa yang harus dia lakukan dalam menghadapi orang Filistin ini. Tuhan mengatakan kepadanya agar ia maju menghadapi mereka. Karena ia menuruti nasihat Tuhan, maka pasukannya mengalami kemenangan. Di lain waktu, ia diperhadapkan dengan persoalan yang sama. Secara manusiawi, nalarnya akan mengatakan: dulu engkau telah menghadapi masalah seperti ini. Firman Tuhan kepadamu ialah: maju. Oleh karena itu biarlah engkau maju. Bukankah pengalaman adalah guru paling baik? Namun, Daud tidak melakukan itu. Ia bertanya kepada Tuhan, lalu ia mendapat jawaban yang berbeda. Tuhan berfirman kepadanya agar ia menunggu pasukan Filistin. Karena ia taat kepada apa yang difirmankan Tuhan, maka Daud mengalami kemenangan dalam pertempuran tersebut. Daud tidak membiarkan pengalaman dan nalarnya yang menjadi penasihat satu-satunya di dalam mengambil keputusan. Imannya yang paling berperan di dalam mengambil keputusan. Keputusan iman tidak mungkin salah, tidak mungkin gagal.

Ada lagi sisi lain dari diri anak-anak yang menjadi pelajaran berharga bagiku. Anak-anak memiliki bahasa yang universal. Anak-anak dapat mengerti sesamanya. Aku pernah melihat anak orang asing dan anak pribumi bertemu satu sama lain. Mereka dapat bergaul akrab, sekalipun bahasa mereka berbeda satu sama lain. Bahkan mereka belum mampu mengucapkan bahasa ibu mereka sendiri. Namun, anak-anak itu dapat berkomunikasi satu sama lain. Bukankah hal seperti itu pada hakekatnya kita perlukan di dunia yang semakin terkotak-kotak ini? Saya bertanya dalam hati: mengapa anak-anak itu dapat berkomunikasi satu sama lain, pada hal mereka belum bisa mengungkapkan diri mereka sendiri dalam bahasa ibu mereka? Di situlah justru letak rahasianya. Anak-anak tidak pernah membuat diri sendiri sebagai pusat kehidupannya. Ia senantiasa melihat ke luar dan tidak pernah ke dalam. Para psikolog mungkin akan mengatakannya dengan istilah extrovert dan introvert. Saya pernah membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang psikolog di kota New York. Ia mengatakan dalam bukunya itu, seorang Kristen yang sesungguhnya adalah seorang yang extrovert.

Oleh karena anak-anak tidak pernah melihat kepada diri sendiri, tetapi melihat kepada orang lain di luar dirinya, maka tidak ada kecanggungan atas apa pun yang mereka hadapi. Orang yang ditemui itu menjadi sesuatu yang sangat menarik perhatian. Orang itu memperkaya pengalaman hidupnya, sehingga kehadirannya menjadi sesuatu yang berharga. Bukankah hal ini menjadi sesuatu yang sangat kita perlukan di dalam mewujudkan pelayanan kepada sesama? Tatkala kita telah bertumbuh menjadi dewasa, kendala yang paling besar dan pergumulan yang paling alot ialah: menghadapi diri sendiri. Resep yang ditemukan Paulus di dalam hidup yang menghasilkan buah bagi Tuhannya ialah: “bukan lagi aku yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Tentang dirinya sendiri Paulus mengatakan: “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Anak-anak tidak pernah berbicara seperti itu, sebab bukan dirinya yang menjadi pusat kehidupannya, melainkan orang yang ada di luar dirinya sendiri. Kita sangat membutuhkan dimensi anak-anak ini.

Itulah sisi dari dimensi anak-anak yang seyogianya ada di dalam kehidupan kita. Namun, kita tidak harus senantiasa dalam pengaruh dimensi anak-anak. Roh Kudus mengajar kita bukan hanya memanggil Allah itu ‘Abba’, tetapi Ia juga mengajar kita untuk memanggil Allah itu sebagai ‘bapa’. Orang Kristen berada di dua sisi ini. Ia di satu sisi panggil Allah itu ‘Abba’, sementara di sisi lain, kita memanggil Allah itu adalah ‘Bapa’. Jika orang di zaman PB memanggil seseorang itu bapa, tidak senantiasa maksudnya ialah: bapa secara jasmani, atau seseorang yang lebih tua dari kita. Istilah bapa diberikan juga kepada kepala suku, para pemimpin. Kita sadar, orang Katolik memanggil para pastor mereka ‘bapa’. Para pastor itu pun memanggil anggota jemaat sebagai ‘anak’. Orang Protentant memanggil pendetanya dengan sebutan Pak Pendeta. Tetapi pendeta itu sendiri tidak memanggil anggota jemaat dengan sapaan ‘anak’. Menurut hemat saya, orang Katolik lebih memahami makna kata bapa dalam bahasa Alkitab ketimbang orang Protestant.

Bapa dalam pemahaman orang purba, termasuk di dalamnya pemahaman orang Kristen mula-mula, adalah dia yang menjadi pemimpin kehidupan. Ia yang bertanggung jawab atas komunitas yang dia pimpin. Eksistensi dari mereka yang dia pimpin akan sangat dipengaruhi kemampuan dari sang pemimpin. Itulah sang bapa yang dikenal oleh orang Kristen purba. Itulah Allah yang mereka kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Allah itu adalah Dia yang memimpin kita berjalan di dalam perjalanan hidup ini. Eksistensi dari komunitas ini yang namanya ialah: Gereja ditentukan oleh sang Bapa. Karena Bapalah maka komunitas ini ada. Dia yang menentukan arah perjalanan dari komunitas ini. Ia yang membimbing komunitas ini berjalan. Ia yang menentukan arah dari perjalanan komunitas ini. Ia yang menopang adanya komunitas ini.

Jika aku mengakui Allah sebagai Bapa, itu berarti aku berada di dalam satu rombongan yang sedang berjalan bersama menuju kekekalan. Aku tidak dapat memisahkan diri dari rombongan itu. Sebab jika demikian aku tidak lagi mengakui Allah sebagai Bapa. Sebab Ia adalah Bapa dari rombongan ini. Jika Ia adalah Bapa, maka aku adalah anak. Itu berarti menjadi bagian dari rombongan. Rasanya kita lebih memikirkan posisi anak hanya dari sudut pandang biologis. Pada hal, kita menjadi anak bukan karena biologis. Kita menjadi anak karena kehendak Allah. Itu kata rasul Yohanes dalam Injilnya.

Berbahagilah mereka yang memiliki dimensi anak-anak seperti yang kita bicarakan. Sebab menurut Yesus, merekalah yang empunya kerajaan sorga. Sudahkah saudara memilikinya? Kasih karunia Allah akan memberikan kita dimensi ini! Selamat menikmatinya di dalam Kristus Yesus Tuhan kita.

23/03/15

Persekutuan


P E R S E K U T U A N

Kata Gereja kita serap dari bahasa Portugis, yakni Igreya. Orang Portugis menyerap kosa kata itu dari bahasa Spanyol. Kosa kata itu dalam bahasa Spanyol adalah Iglesias. Orang Spanyol menyerap kata itu dari bahasa Yunani, yakni: ekklesia. Kata ekklesia dalam bahasa Yunani terdiri dari dua kata, yakni ek dan kaleo. Ek artinya keluar, sementara kaleo artinya dipanggil. Jadi pada dasarnya kata ekklesia artinya ialah: orang-orang yang dipanggil keluar. Istilah itu sudah ada sebelum Gereja Tuhan didirikan di dunia ini. Orang Yunani yang direkrut menjadi serdadu dan dikumpulkan di dalam satu asrama di sebut dengan istilah ekklesia.

Tuhan Yesus mengambil alih istilah itu dan menerapkannya kepada semua orang yang percaya kepada-Nya dari seantero dunia ini. Mereka ini adalah orang-orang yang dipanggil keluar dari dunianya, keluar dari masyarakatnya, lalu dipersatukan dalam satu tujuan hidup yang baru, yakni hidup untuk Kristus Tuhan yang telah memanggil mereka. Kata orang, serdadu Romawi (petrorian) memiliki satu tujuan hidup, yakni: mati untuk kaisar. Orang Kristen yang dikumpulkan Yesus ini pun punya satu tujuan hidup, sebagaimana telah diutarakan di atas. Mereka tidak lagi hidup untuk diri sendiri, tetapi hidup untuk Tuhannya. Demikian Paulus mengatakannya: “Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” II Kor 5:15.

Alkitab memberi nama yang cukup banyak untuk sebutan bagi Gereja. salah satu dari sekian banyak itu, Paulus mengutarakannya dengan sebutan tubuh Kristus. Dengan istilah ini, kita memahami bahwa Gereja adalah satu persekutuan yang organis sifatnya. Tubuh hanya satu, tetapi ia punya banyak anggota. Jika kita melihat lebih detil, maka tubuh terdiri dari triliunan sel. Masing-masing anggota tubuh itu dipersatukan satu sama lain oleh sistim saraf. Tidak satu pun dari anggota itu yang tidak tergantung terhadap sesama anggota tubuh lainnya.

Tubuh adalah analogi yang dibuat Alkitab untuk mengajarkan kepada kita bahwa manusia yang hidup di dunia ini berada di dalam satu persekutuan. Kata persekutuan di dalam bahasa Yunani ialah: koinonia. Kata itu dapat diterjemahkan dalam kosa kata modern sekarang ini: go public. Milik umum, milik bersama, itulah makna dari persekutuan. Gereja Purba sebagaimana dituturkan Kitab Kisah Para Rasul, memiliki persekutuan dimana tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa harta itu adalah milik perorangan, tetapi semuanya adalah milik bersama. Itulah persekutuan.

Tatkala Musa mengikat perjanjian dengan bangsa Israel di Kadesy Barnea, Musa mengatakan: “Bukan hanya dengan kamu saja aku mengikat perjanjian dan sumpah janji ini, tetapi dengan setiap orang yang ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita, yang berdiri di hadapan TUHAN, Allah kita, dan juga dengan setiap orang yang tidak ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita” Ul 29:14-15. Menarik untuk menggarisbawahi pernyataan Musa ini. Ada orang yang tidak hadir pada waktu itu, tetapi ia turut ambil bagian dalam perjanjian tersebut. Mengapa ia turut ambil bagian dalam perjanjian itu pada hal ia tidak hadir. Lagi pula, totalitas orang Israel pada waktu itu hadir di sana.

Berdasarkan buku History of The Jew, seluruh orang Yahudi dan keturunannya, hadir di dalam perjanjian di Gunung Sinai itu. Perjanjian itu diulang lagi di zaman Ezra dan Nehemia. Persekutuan yang ada di hadapan Allah di Gunung Sinai itu dimensinya mencakup totalitas orang Yahudi yang pernah hidup di dunia ini di sepanjang zaman. Itulah persekutuan orang Yahudi di hadapan Allah.

Ada satu lagi yang perlu kita renungkan di sini. Penulis surat Ibrani mengatakan bahwa Lewi turut mempersembahkan perpuluhan kepada Melkisedek bersama Abraham leluhurnya. Pada hal, Lewi pada waktu itu belum lahir. Argumen penulis surat Ibrani ialah: ia ada di dalam tubuh leluhurnya itu (Ibr 7:9). Ini adalah wujud persekutuan yang kita bicarakan di atas. Bapa hidup di dalam anak, anak hidup di dalam bapa.

Sekarang kita lihat dalam konteks iman Kristen. Kita sudah katakan di atas, Gereja adalah tubuh Kristus. Tubuh Kristus hanya satu, Ia sendiri adalah kepala dari tubuh, sementara kita adalah anggotanya. Jika demikian keanggotaan dari tubuh Kristus yang satu itu, tidaklah hanya orang Kristen yang ada sekarang hidup di dunia ini, melainkan seluruh totalitas orang percaya yang telah mendahului kita, juga mereka yang akan lahir ke dalam dunia ini di dalam Yesus Kristus. Saya adalah salah satu dari sekian banyak anggota keluarga Allah di dalam Kristus, yang berasal dari segala etnik, suku, kaum dan bahasa, di segala zaman. Itulah persekutuan Kristen.

Kristus adalah kepala dari tubuh. Paulus mengatakan bahwa di dalam Dia, segala sesuatu yang ada di  sorga dan di bumi dipersatukan. Itulah rencana Allah dari sejak semula. Jika persekutuan orang Yahudi didasarkan pada perjumpaan bangsa itu dengan Allahnya di Gunung Sinai, persekutuan Kristen dimulai di Golgatha, tatkala Kristus disalibkan di sana. Paulus mengatakan :”Aku telah disalibkan bersama Kristus namun aku hidup...” Melalui babtisan, kita dipersatukan dengan Kristus yang disalib, dikuburkan. Bukan hanya itu, kita juga bangkit bersama dengan Dia, didudukkan bersama dengan Dia di sorga. Hal ini disuarakan Paulus dalam suratnya kepada Roma dan Filipi (Rom 6:3-4, Flp 2:6).

Di sini kita menemukan dua ranah tempat persekutuan dimulai. Gunung Sinai untuk orang Yahudi, dan Bukit Golgatha orang umat manusia di luar orang Yahudi. Mereka menyebutnya dengan istilah: goyim. Kedua persekutuan yang diikat Tuhan dengan umat manusia itu dimensinya bersifat kekal. Berbicara dalam konteks persekutuan, nama Allah disebut dalam PL adalah Yahweh Zebaoth. Nama ini diterjemahkan Alkitab: Tuhan Semesta Alam. KJV menerjemahkannya dengan Lord of Host.

Tidak akan ada host tanpa tamu-tamunya. Itu sebuah fakta. Jika host hadir, itu berarti para tamunya pun ada bersama dengan dia. Hal seperti itu dapat diterapkan kepada Allah kita. Jika Allah hadir, maka pasukan-Nya pun ada bersama dengan Dia. Jika Kristus hadir, maka seluruh anggota tubuh-Nya pun hadir di dalam kehadiran-Nya itu. Inilah sebuah fenomena iman yang sangat indah menurut hemat saya secara pribadi.

Allah hadir di dalam hidup saya. Bahkan Ia tinggal di dalam diri saya, sebab Ia telah membuat hidup saya menjadi Bait-Nya yang kudus. Jika Ia hadir bersama dengan seluruh pasukan-Nya, maka saya disertai oleh seantero orang beriman di segala zaman dan masa. Itu berarti segala kuasa yang ada di sorga dan di bumi menyertai saya di dalam perjalanan hidup ini. Bukankah Yesus sendiri mengatakan hal itu di dalam Amanat Agungnya?

Jika saya melihat bahwa perjalanan hidup ini bukanlah perjalanan hidup saya semata-mata, melainkan perjalanan hidup bersama Tuhan yang hadir di dalam hidup ini. Juga bersama dengan pasukan-Nya di segala zaman dan masa, maka dimensi kehidupan ini pun sangat berubah! Aku tidak pernah sendirian berjalan di dunia ini. Ada satu rombongan menyertai aku di dalam perjalanan.

Apa yang terjadi di dalam hidup saya, itu mempengaruhi persekutuan dengan Allah yang hadir di dalam hidup ini. Masalah yang kuhadapi itu bukan hanya masalahku, melainkan masalahku dengan Tuhan dan pasukannya yang hadir di dalam hidupku. Pemahaman ini didasarkan pada ungkapan yang dikatakan Paulus: “Hidup ini bukan lagi aku lagi, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Jika Kristus yang hidup, Ia hidup di dalam aku, maka Yesus tidak hadir sendirian di dalam aku, tetapi Ia dan rombongannya, yakni orang-orang yang percaya kepada nama-Nya. Itu pun bukan hanya orang percaya di zaman ini, tetapi dari seantero dunia yang ada.

Premis seperti yang sudah diutarakan di atas merubah pandangan kita atas dunia dan atas sesama. Alam semesta ini bukan sesuatu yang harus dieksploitasi, melainkan sebuah rumah tinggal bagi kita. Apa yang saya boleh ambil dari kekayaan alam ini, hanyalah secukupnya. Sebab kekayaan itu bukan hanya diperuntukkan bagiku, tetapi bagi sesama. Sesama itu bukan hanya mereka yang hidup sekarang ini, tetapi juga mereka yang akan lahir di masa mendatang. Ada orang yang mengatakan: apa yang kita pakai sekarang ini, itu adalah pinjaman dari anak-anak kita di masa mendatang. Bukankah mereka adalah bagian dari persekutuan kita di dalam Tuhan?

Kita familiar dengan doa yang diajarkan Tuhan Yesus kepada kita: “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. ‘Kami’ yang Tuhan maksudkan tentunya bukanlah aku dan seisi rumahku. ‘Kami’ yang dimaksud di sana ialah: seluruh komunitas kita, yakni umat manusia. Allah memberikan kepada kita sesuatu, pada dasarnya semuanya itu adalah dalam rangka persekutuan. Allah memberikan kepada saya kemampuan merenungkan perkara rohani. Allah memberikan kepada saya hal itu bukan supaya saya pintar sendiri. Semua itu harus dibagikan kepada sesama, agar sesama itu menjadi pintar sama seperti saya telah menikmatinya. Demikian juga dengan harta lainnya yang ada dalam bentuk materi.

Tetapi bukan hal seperti itu yang terlihat sekarang di dunia nyata. Kita melihat eksploitasi manusia atas manusia. Orang kaya semakin kaya, sementara orang miskin tambah miskin. Manusia hanya memikirkan diri sendiri. Inilah penyakit yang sangat mempengaruhi seluruh umat manusia sekarang ini. Pada hal, tidak ada seorang pun sekarang ini dapat hidup sendirian. Kita begitu tergantung kepada orang lain yang menopang kehidupan pribadi kita.

Pertobatan yang sesungguhnya yang diminta Tuhan untuk kita lakukan ialah: perpalingan dari diri sendiri, lalu masuk ke dalam persekutuan yang disediakan Allah bagi kita, yakni Gereja-Nya. Di sana kita dikuduskan, dibenarkan, diselamatkan dan diberi hikmat untuk menjalani kehidupan ini seturut kehendak Dia yang menjadi kepala dari persekutuan itu.
Tatkala aku memalingkan penglihatanku dari diri sendiri dan diarahkan kepada orang lain, maka aku diubahkan menjadi serupa dengan Kristus. Kristus yang mengalihkan perhatian-Nya kepada dari diri-Nya sendiri kepada orang lain. Salah satu fakta yang sangat indah dari hidup Yesus di dunia ini, Ia memberikan diri-Nya kepada semua orang. Ia menikmati persekutuan dengan semua orang, khususnya kaum marjinal. Ia memberikan pengharapan baru kepada orang yang tidak punya pengharapan. Ia menjadi sahabat bagi semua orang.

Orang Kristen dihadirkan Allah di dunia ini untuk menghadirkan persekutuan yang dapat menampung semua orang dari segala bangsa, kaum dan bahasa. Kita dipersatukan di hadapan tahta kasih karunia Allah.

Selamat menikmati persekutuan.

29/01/15

Manusiawi







MANUSIAWI
Ada pepatah orang Batak yang masih sangat relevan di dalam dunia modern ini. Pepatah itu berkata: “mata do guru roha sisean” makna ialah: mata menjadi guru, sementara hati berfungsi sebagai murid. Mata mengolah apa yang dilihat dan belajar dari apa yang dilihat itu. Apa yang disuarakan pepatah itu tetap relevan di dalam hidup kita sekarang ini. Mataku memandang sebuah tanaman hias di rumah seorang teman. Tuan rumah mengatakan bahwa tanaman tersebut mahal harganya. Saya mengajukan sebuah tanya tentang harga. Nyonya rumah menyebut sebuah jumlah yang menurut saya sesuatu yang fantastik. Sebuah tanaman hias seharga tujuh juta rupiah, menurut saya sesuatu yang fantastik. Tidak ada sesuatu yang menarik hati saya dari tanaman itu. Tetapi itulah sebuah kenyataan. Ada sesuatu di dalam tanaman itu yang membuat orang merasa sangat tertarik. Namun sesuatu yang dilihat orang itu, tak terlihat oleh saya. Sayang seribu kali sayang.
Hal yang sama juga dapat terjadi dalam aspek yang lain dalam hidup ini. Ada satu pernyataan orang yang menjadi bahan renungan di lubuk hati ini, yakni: ‘manusia yang manusiawi’. Jika simak kalimat itu dengan seksama, maka kita dapat mengatakan bahwa ada manusia yang tidak manusiawi. Oleh karena itu saya mencari makna kata manusiawi di dalam kamus. Kata ini di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikannya sebagai: bersifat manusia. Jika demikian artinya, maka kalimat yang sudah kita kutip di atas dapat mengindikasikan bahwa ada manusia yang tidak bersifat manusia. Bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita perkataan ini: ‘homo homini lupus’ manusia serigala bagi sesamanya. Ada orang yang memang hidup sebagai manusia yang tidak manusiawi.
Alangkah malangnya nasib kita yang hidup di dunia ini, jika kita adalah manusia, tetapi kita tidak manusiawi. Manusia yang tidak bersifat manusia. Manusia saja, titik. Saya kembali ke tanaman hias tadi. Tanaman itu secara tanaman, ia tidak ada bedanya dengan tanaman yang lain. Ia sama saja dengan tanaman lain yang tumbuh di kebun. Mengapa tanaman itu menjadi begitu berharga? Jawabannya ialah: tanaman itu dapat memberi makna yang lain bagi mereka yang memilikinya. Jika kita tidak memiliki makna hidup bagi orang lain, maka pada dasarnya kita hanyalah manusia saja. Sisi manusiawi itu akan kita dapatkan, tatkala kita dapat membuat hidup yang kita jalani itu bermakna bagi orang lain. Di sinilah relevansi dari perkataan Tuhan Yesus. Ia berkata: “Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. Ia datang untuk membuat hidup-Nya berarti bagi orang lain. Oleh karena itu, Yesus adalah manusia yang manusiawi bagi sesamanya.
Dietrich Boenhoffer, seorang  hamba Tuhan yang mati martir di zaman Nazi, mengatakan bahwa Yesus kristus itu adalah manusia yang memperuntukkan diri-Nya bagi orang lain. Jika kita adalah milik Kristus – kristen – maka kita pun akan mengikut Dia dengan memperuntukkan diri kita bagi orang lain. Tatkala kita mengikut jejak Kristus, pada saat itulah kita dapat mengatakan bahwa kita sama seperti Kristus. Pada saat itu pula kita dapat mengatakan bahwa hidup kita menjadi hidup yang manusiawi. Tetapi, jika hidup ini hanyalah di dalam rangka memuaskan keinginan kita sendiri. Jika kita hidup untuk diri kita sendiri, maka kita akan sangat berbeda dengan segala sesuatu yang ada di dalam alam ciptaan Tuhan ini.
Tidak ada satu pun dalam ciptaan ini yang ada demi dirinya sendiri. Matahari Bulan Bintang dan galaksi yang ada itu ada, bukan untuk dirinya sendiri. Burung-burung di udara ada bukan untuk dirinya sendiri. Binatang yang ada di padang rumput dan hutan belantara ada bukan untuk dirinya sendiri. Para malaikat pun ada bukan untuk dirinya sendiri.
Segala sesuatu itu ada demi Dia Sang Pencipta, yakni Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Kita pun seharusnya sama seperti yang lain itu. Kita ada untuk Allah yang menciptakan kita. Itulah hakekat manusiawi menurut hemat saya secara pribadi. Sudahkah aku hidup manusiawi?

11/01/15

Retak



Retak

Tidak ada yang kekal di dunia ini. Silih berganti kehidupan yang kita jalani. Belakangan ini, Jemaat dimana saya melayani sudah puluhan tahun, mengalami pergumulan yang cukup parah. Jemaat ini terkenal sebagai Jemaat yang dipuji orang di antara Jemaat yang ada di dalam sinode tersebut. Rasanya tidak enak menyebut namanya di dalam tulisan ini. Dahulu  Jemaat kami ini disebut orang sebagai salah satu penampakan wajah Jemaat dari sinode tersebut. Tetapi sekarang sudah retak.

Kesehatian yang dulunya dapat dipelihara, sekarang sudah berkeping-keping. Para pekerja di majelis Jemaat sudah saling memusuhi satu sama lain. Anggota Jemaat pun terbawa-bawa di dalam persoalan ini. Permasalahan bermula dari pendeta yang melayani di Jemaat tersebut memasuki masa pensiun. Sejumlah orangtua dari anggota Jemaat mengadakan upaya untuk memberikan kriteria pada pimpinan sinode untuk ditempatkan menjadi pendeta di Jemaat kami. Pada mulanya pimpinan Jemaat mengiyakan kriteria yang diusulkan. Namun kenyataannya pendeta yang dialokasikan di Jemaat ini tidak seturut kriteria yang diusulkan oleh para orangtua tersebut.

Persoalan berkembang meluas. Salah satu blunder yang dilakukan majelis Jemaat adalah mengadakan voting atas surat keputusan dari pimpinan sinode dari Gereja kami. Pada hal di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dari Sinode, tidak memberi ruang terhadap voting terhadap keputusan dari pimpinan sinode. Sejumlah besar anggota majelis menolak putusan tersebut. Inilah menjadi dasar dari sebagian besar anggota Jemaat untuk mempengaruhi anggota Jemaat.

Teman teman yang merasa menang voting ini menurut hemat saya, ingin menetapkan bahwa satu Jemaat tidak dapat diatur oleh pimpinan sinode, melainkan majelis jemaatlah yang menentukan perjalanan dari Jemaat tersebut. Hal ini telah menyalahi dasar dari berdirinya Jemaat itu secara keseluruhan. Ada pun wujud dari Jemaat kami tidaklah presbiterial sebagaimana dianut oleh beberapa sinode dari Jemaat Tuhan di negeri ini. Jemaat kami memiliki cirinya sendiri yang diwarisi dari para pendirinya.

Dahulu aku sangat bangga di hadapan orang lain, tentang keberadaan dari Jemaat kami yang sedang mengalami permasalahan ini. Aku tidak menyangka bahwa teman teman yang saya kenal dulunya sebagai orang yang lembut dan rohani, sekarang aku melihat perilaku mereka tidak lagi seperti yang saya kenal. Ternyata jika kita menemukan masalah di dalam kehidupan, aku muncul keberadaan kita yang tidak kita kenal sebelumnya.

Saya mengatakan bahwa pada hakekatnya kita punya kepribadian ganda. Karena kehidupan kita berjalan dengan baik dan hampir tidak punya masalah, maka sisi baik dari kehidupan kita yang beroperasi dalam keseharian yang kita jalani. Namun, tatkala pergumulan hidup datang, sesuatu yang kita tidak sukai muncul di dalam hidup ini, maka pribadi kita yang tidak kita kenal muncul dari dalam. Bukankah sering kita mendengar perkataan orang: “Wah aku tidak sangka, aku dapat melakukan hal seperti itu!”

Ada orang yang mengatakan bahwa kita masing masing memiliki transendensi diri sendiri. Keberadaan kita jauh lebih besar dari pada yang kita kenal. Ungkapan di atas adalah salah satu dari keabsahan dari premis yang barusan sudah diutarakan. Kebalikan dari perilaku yang diungkapkan di atas, kita juga tentunya pernah melihat seorang yang kita kenal ganas dan buas dalam kesehariannya, ternyata ia pun dapat melakukan sebuah perbuatan yang sangat lembut.

Bahkan di dunia binatang pun dapat kita melihat hal yang sama. Di bawah ini terlihat
sebuah gambar, bagaimana seekor gajah menujukkan belas kasihannya terhadap seekor anak kucing yang terperangkapdi dalam sebuah sungai yang deras.















Transendensi diri ini dapat kita pahami jika kita melihat diri kita dalam aspek diri kita secara holistik. Diri kita yang sesungguhnya adalah terdiri dari diri kita di masa dulu, diri kita di masa sekarang dan diri kita di masa depan. Totalitasnya itulah yang kelak akan diperhadapkan kepada pengadilan terakhir di akhir zaman. Kita telah mengenal diri kita di masa dulu, karena kita telah melaluinya. Kita sedang mengenal diri kita di masa sekarang. Tetapi kita belum mengenal diri kita di masa datang. Jadi pada hakekatnya pengenalan akan diri kita, tentang siapakah kita yang sebenarnya belumlah lengkap. Itulah yang saya maksud transendensi diri.

Teman-teman yang dulunya aku lihat lembut dan sopan, ternyata di dalam dirinya ada sesuatu  yang keras dan kasar. Tentunya hal yang sama pun ada di dalam diri saya sendiri. Saya sering menyesali diri sendiri, karena ternyata saya tidak seperti yang saya kenal. Ada kekasaran di dalam diri saya. Ternyata kita punya kepribadian yang ganda. Pribadi kita ternyata memang retak. Alkitab mengatakan bahwa di dalam diri kita, ada manusia lama, sekaligus juga ada manusia baru.

Rasul Petrus mengatakan: “ Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa. I Pet 2:11. Dari nas ini sangat jelas mengatakan bahwa ada dua pribadi di dalam diri kita. Keinginan daging berjuang melawan jiwa itu kata rasul Petrus. Di tempat lain Paulus mengatakan adanya keinginan daging dan keinginan roh. Dua-duanya saling berlawanan satu sama lain.

Kembali kepada masalah di Jemaat. Tuhan rasanya sedang mengungkapkan kepada dunia dan kepada kami, bahwa di dalam diri kami ada sisi gelap. Selama ini sisi terangnya yang dieksploitasi. Tiba saatnya Tuhan mau mengungkapkan bahwa pada hakekatnya kalian tidak sama seperti anggapan kalian terhadap diri sendiri. Pada hakekatnya kalian tidak dapat membanggakan diri sebagai  wajah dari Jemaat-Ku. Karena tandanya seseorang itu adalah murid Yesus Kristus adalah kasih. Kasih menutupi pelanggaran. Itu kata Petrus dan guru hikmat Raja Salomo. Tetapi di antara kami, kami sedang mengumbar kesalahan orang lain. Pada hal kesalahan itu belum tentu benar.

Tuhan kasihanilah kami. Ampunilah dosa dan kesalahan kami. Kebanggaan kami yang tidak berdasar sama sekali di hadapan-Mu.









05/01/15

Musibah





Musibah

Musibah dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Saya merenung tatkala berita jatuhnya pesawat terbang belakangan ini. Terbayang dilubuk hati yang paling dalam, betapa paniknya para penumpang menghadapi persoalan yang mereka hadapi. Dari laporan yang dibaca melalui media masa, maka pesawat terbang itu jatuh tanpa meledak di angkasa. Dari korban yang ditemukan, ada yang sudah sempat melepaskan safetybeltnya, tetapi ada juga korban yang masih terikat di kursinya.

Saya bertanya di dalam hati, sebuah pertanyaan yang tidak mungkin dapat dijawab oleh siapa pun juga. Karena pertanyaan itu ditujukan kepada para penumpang yang sudah menjadi korban kecelakaan tersebut. Namun tak apalah untuk merenungkannya. Tatkala mereka menghadapi persoalan itu, apakah yang terlintas di dalam hati mereka? Sebuah pertolongan, sebuah mujizat, atau sebuah penyerahan diri kepada Allah pemilik dari kehidupan ini?

Saya pernah mendengar sebuah peristiwa yang menjadi pelajaran berharga bagi saya secara pribadi. Tetapi tentulah juga bagi semua orang yang percaya kepada Allah Bapa yang kita kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Di satu saat diadakan sebuah pesta di lantai paling atas, dari sebuah gedung pencakar langit di Jakarta. Pada waktu pesta sedang berlangsung, maka terjadilah gempa. Tentulah sangat terasa di lantai paling atas dari gedung tersebut. Orang pun panik, lalu berhamburan ke arah tangga, karena lift tidak berfungsi. Orang tidak lagi memperdulikan orang lain, selain dari diri sendiri. Pada waktu orang sedang panik, ada seorang ibu yang bertelut di bawah meja sambil berdoa. Memang sudah diajarkan kepadanya, bahwa jika ada terjadi gempa, maka berlindunglah di bawah tiang atau meja.

Sang itu tadi tidak panik. Ia bertelut dan berdoa kepada Allah yang dia percayai. Ia sudah tua sementara tangga cukup tinggi. Ia mengenal dirinya, lalu ia menyerahkan diri kepada Tuhan yang dia percayai. Acara itu diselenggarakan orang percaya. Tetapi tatkala mereka menghadapi musibah, hal yang paling penting bagi mereka ialah keselamatan jiwanya. Mereka berusaha dengan kemampuan diri sendiri, untuk menyelamatkan diri. Sesuatu yang sangat wajar. Namun yang dipertanyakan ialah: dimanakah letak iman pada saat kita mengalami sebuah musibah. Sang ibu tadi menempatkan imannya di permukaan, pada saat musibah datang menghadang di hadapan mata.

Kembali kepada saudara-saudara yang menghadapi musibah di dalam pesawat terbang tadi!. Adakah di antara mereka yang menyerahkan diri kepada Tuhan pada detik detik terakhir ia berhadapan dengan maut? Tentulah kita tidak akan menghakimi mereka dengan sebuah kesimpulan. Ini hanyalah sebuah perenungan. Saya percaya, dalam sepersekian detik sebelum ajal, Allah dapat mengulurkan tangan-Nya kepada setiap orang yang ada di dalam pesawat itu. Allah tidak mengulurkan tangan-Nya agar orang tersebut, terhindar dari maut. Tidak! Tetapi Allah dapat menyelamatkan dia dari dosa dan pelanggarannya di sepanjang perjalanan hidup.

Tidak semua orang yang ada di dalam pesawat itu adalah orang Kristen. Berbagai pemeluk agama ada di dalam pesawat tersebut. Apakah hanya orang Kristen yang berseru kepada Dia yang dipercaya sebagai Allah semesta alam, khalik langit dan bumi? Tentu saja tidak demikian adanya. Namun pertanyaan yang muncul di dalam hati ialah: seruan yang mana yang didengar Allah? Rasul Paulus mengatakan: Barang siapa yang berseru kepada Nama Tuhan akan diselamatkan. Ia mengutip nas itu dari nubuatan dari Nabi Yoel, Yoel 2:32. Kita hanya mengenal satu Tuhan atas segala mahluk ciptaan dalam alam semesta itu. Yesus tidaklah hanya Tuhannya orang Kristen. Ia adalah Raja di atas segala raja dan Tuhan dari segala tuan.

Pertanyaannya sekarang ialah: jika seorang muslim berseru kepada Tuhan dan memohon agar ia diselamatkan. Ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan mati. Ia sadar bahwa ia tidak punya apa pun yang dapat ditampilkan di hadapan Allah demi keselamatan jiwanya. Ia sadar bahwa di dalam diri Allah ada pengampunan. Ia tidak tahu wujud dari pengampunan itu dalam bentuk apa, tetapi ia tahu bahwa di dalam diri Allah ada pengampunan. Ia memohon agar diampuni dosanya. Apakah Allah akan mengulurkan tangan-Nya untuk menarik orang itu dari keberdosaannya, dalam sepersekian detik sebelum menghembuskan nafas yang terakhir? Iman saya mengatakan bahwa orang itu akan diangkat Tuhan ke dalam keselamatan yang ada di dalam Yesus Kristus.

Ia memang tidak mengenal wujud dari Yesus Kristus. Tetapi Yesus Kristus adalah bagian dari orang berdosa yang dikaruniakan Allah dari surga. Sebab Yohanes berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga dikaruniakan-Nya Anak-Nya Yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya, tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal”. Yesus Kristus adalah pengampunan Allah bagi orang berdosa. Jika ada orang percaya bahwa ia tidak dapat mengandalkan amalnya di hadapan Allah. Ia hanya dapat mengandalkan pengampunan Allah semata-mata, maka orang itu mendapatkan pengampunan karena Yesus Kristus. Sekali pun wujud dari Yesus Kristus tidak dikenalnya.

Sebuah argumen diberikan di sini untuk dipertimbangkan. Seorang pemungut cukai datang ke Bait Allah untuk berdoa. Ia tidak berani memandang ke atas dalam berdoa, sama seperti orang Farisi yang ada di sisinya. Ia hanya menundukkan kepala sambil memukul-mukul dirinya. Ia memohon pengampunan Allah. Yesus mengatakan bahwa pemungut cukai itu dibenarkan, sementara orang Farisi itu tidak dibenarkan. Kata dibenarkan maksudnya dipandang tidak berdosa. Pemungut cukai itu dibenarkan, namun ia tidak mengenal Yesus Kristus. Namun satu hal yang harus kita garisbawahi ialah: kisah itu kita dapatkan dari Yesus Kristus. Yesus sendiri yang mengatakan bahwa orang itu dibenarkan Allah. Tentulah pembenaran Allah yang dimaksud ialah pembenaran oleh karena karya Yesus Kristus sendiri.

Hal yang sama berlaku bagi mereka yang memeluk agama lain. Allah hanya satu, dan Tuhan pun hanya satu. Itu yang disaksikan oleh Alkitab. Oleh karena itu pula, keselamatan pun hanyalah satu, yakni di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Lalu bagaimana dengan kita yang mengenal dan percaya kepada Yesus Kristus? Dimana letak perbedaan kita dengan mereka? Penulis surat Ibrani pernah berbicara tentang Jemaat sulung. dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna. Ibr 12:32.

Jika ada Jemaat anak-anak sulung, maka logikanya ada juga Jemaat lainnya. Mungkinkah ada anggota Jemaat yang bungsu? Alkitab tidak memberitahukannya kepada kita. Namun sangat jelas orang percaya akan memerintah bersama dengan Kristus. Jika ada yang memerintah, maka tentulah ada yang diperintah. Bukan urusan kita untuk meneliti apa yang akan diperbuat Allah bagi mereka yang diselamatkan-Nya hanya oleh karena pengampunan. Tetapi Allah telah menetapkan jumlah orang yang akan diselamatkan.

Semoga ada banyak orang yang  berseru kepada nama Tuhan di pesawat yang mengalami musibah itu. Lalu tatkala mereka telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, maka Allah akan mengumpulkan mereka ke dalam kelompok orang-orang yang telah mendapatkan pengampunan oleh karena kasih karunia-Nya. Pada hakekatnya kita pun tidak berbeda dengan mereka. Sebab kita pun diselamatkan hanya oleh kasih karunia belaka.

Hanya belas kasihan ditujukan kepada mereka yang pada detik detik terakhir dalam kehidupan ini, ada orang yang hanya memperdulikan kehidupan jasmani belaka. Mereka tidak dapat melihat kehidupan di seberang kubur. Kehidupan yang digambarkan Paulus sebagai satu kehidupan yang jauh lebih baik dari kehidupan di dunia ini. Bagi Paulus yang telah dibukakan mata hatinya oleh Roh Kudus, kematian adalah sebuah keuntungan.

Dari dalam kitab Wahyu kita menerima pesan ini: “Berbahagialah orang yang mati di dalam Tuhan, karena mereka akan beristirahat dari segala pekerjaannya. Pekerjaannya itu akan menyertai dia”. Mati adalah sebuah keberadaan istirahat. Bagi orang yang lelah, istirahat adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Lihatlah kematian dari sudut pandang iman, maka hal tersebut akan menyenangkan.

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...