19/08/15

Anak ANak






ANAK-ANAK

Kita semua pernah menjadi anak-anak! Aku memuji teman-teman yang masih ingat akan pengalaman mereka semasa masih kanak-kanak. Ada seorang teman sekolah tatkala duduk dibangku Sekolah Rakyat (SR), menegor saya sebagai orang yang sombong, karena tidak sapa dia sebagai seorang teman lama. Aku sungguh-sungguh tidak ingat akan hal itu, namun beliau masih ingat dengan jelas. Berbahagialah mereka yang masih punya kenangan yang indah pada saat kecil. Dunia anak-anak adalah satu dunia yang sangat lain dari dunia orang dewasa. Yesus menjadikan anak-anak sebagai contoh bagi orang dewasa tentang kerajaan sorga.

Anak-anak menjadi bahan renungan bagi saya pada hari ini. Ada banyak hal yang dapat dipelajari dari kehidupan seorang anak. Satu hal yang diajarkan Alkitab kepada saya tentang anak-anak ialah: Allah mengajar pemazmur sejak ia anak-anak. Mzm 71:17 “Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib”. Allah mengajar anak kecil. Itu suatu bahan renungan bagi saya. Bagaimana cara Allah mengajar seorang anak kecil? Pernah kulihat sebuah tayangan televisi yang menggambarkan seorang ibu muda yang baru melahirkan dan untuk pertama kalinya, anaknya diberi ASI. Tidak seperti biasanya, kepada sang bayi tidak disodorkan puting susu ibunya agar ia minum. Bayi itu diletakkan di dada ibunya, dekat dengan payudaranya. Dalam hitungan detik, sang anak yang baru lahir itu dapat menemukan puting susu ibunya, lalu ia minum makanan yang bernas untuk dia secara pribadi.

Dari mana bayi itu tahu apa yang menjadi targetnya? Nalarku mengatakan bahwa bayi tahu targetnya karena ia diberi Allah alat untuk mengetahui target itu, yakni instingnya. Jika insting yang mengendalikan organ tubuh kita, maka tidak mungkin kita gagal mencapai apa yang diinginkan! Allah mengajar anak-anak di seluruh dunia dengan insting yang diberikan-Nya untuk mencapai apa yang diinginkannya. Kita tahu, burung-burung di kutup Selatan akan berpindah ke daerah Utara, jika musim dingin tiba. Mereka tidak punya pengetahuan yang berdasarkan nalar dimana tempat itu. Tetapi insting yang diberikan Allah kepada binatang itu memampukan burung-burung itu menemukan tempat yang dia perlukan untuk mendapatkan makanan. Insting tidak pernah salah dalam menemukan apa yang diinginkannya.

Tatkala bayi itu bertumbuh, kepadanya diperkenalkan hal-hal yang akan direkam otaknya. Informasi itu dia simpan di dalam file yang tersedia di dalam otaknya. Para ahli mengatakan bahwa otak itu sungguh sangat luar biasa daya simpannya. Dalam masa pertumbuhan itu, file yang tersimpan di otak menjadi bahan pertimbangan bagi nalar untuk menentukan sikap terhadap apa yang dialami di sepanjang hidup. Anak-anak, sedikit demi sedikit meninggalkan instingnya, lalu bersandar pada file yang ada di dalam otaknya di dalam menentukan sikap dan dalam mencapai tujuan. Tatkala anak menjadi dewasa, mungkin ia tidak lagi memiliki insting yang sangat kental di dalam hidupnya. Aku katakan ‘mungkin’ sebab aku bukanlah seorang ilmuwan. Aku hanya membuat sebuah perenungan dengan memakai nalar yang dikaruniakan Allah bagi manusia. Dengan ‘hilangnya intensitas nalar’ manusia kehilangan apa yang harus dilakukan. Dengan insting, kita tahu apa yang akan dilakukan. Sebuah contoh dapat menerangkan apa yang saya maksud. Burung yang kita bicarakan tadi tahu apa yang harus dia lakukan tatkala musim dingin tiba. Kita melakukan sesuatu yang harus dilakukan tanpa nalar yang memberi komando. Kita melakukan hal itu sebagai sesuatu yang sudah seharusnya hal itu dilakukan. Insting yang menggerakkan kita melakukan hal itu.

Acap kali, apa yang kita lakukan senantiasa di dasarkan pada penalaran semata-mata. Orang yang hidup seperti itu, ia hidup di bawah pengaruh nalarnya. Jika nalar yang berbicara, maka acap dasar perhitungannya di dalam bertindak adalah untung ruginya. Orang modern bilang cost and benefit. Anak-anak tidak pernah mendasarkan tindakannya atas dasar cost and benefit. Mereka bertindak karena gerakan insting dan rasa yang ada di dalam file otaknya. Disitulah kelebihan anak-anak dengan orang dewasa. Yesus menjadikan anak kecil sebagai contoh kepada murid-murid-Nya. Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” Mat 18:3. Menjadi seorang yang dapat dikatakan memiliki keselamatan di dalam Yesus Kristus, ia harus memiliki dimensi anak-anak di dalam hidupnya.
 
Dalam rangka memungkinkan kita dapat menjalani kehidupan dengan dimensi anak-anak itu, Paulus mengatakan: kepada kita diberi Roh Kudus. Roh itu mengajar kita berseru kepada Allah dengan sebutan: “Ya Abba, ya Bapa”. Kata abba adalah kata yang pertama disuarakan oleh seorang anak yang baru lahir di wilayah Timur Tengah. Kata itu pada hakekatnya maknanya bukan bapa melainkan ‘papa’. Kita tidak pernah menyapa seseorang dengan sebutan papa. Pada umumnya kita menyapa orang lain itu dengan sebutan bapa. Kita menyebut papa hanya kepada satu orang saja, yakni orang tua kandung kita sendiri. Dalam kata ‘papa’ terdapat sejuta makna di dalamnya.

Bagi sorang anak kecil, papa adalah satu pribadi yang sangat luar biasa bagi dia. Karena dialah maka ia ada di dunia ini. Ia yang memungkinkan dia melanjutkan kehidupan ini. Nalarnya yang masih terbatas, tidak dapat memahami pribadi dari sang ‘papa’. Tetapi itu tidak perlu, instingnya memberitahukan kepadanya bahwa dia ini adalah ‘papa’ dan itu tidak mungkin salah. Nuansa seperti itu ada di dalam diri orang yang beriman, dimana imannya mengatakan kepadanya bahwa Allah itu adalah “PAPA” bagi dia. Roh Kudus yang memberi pengenalan itu kepadanya. Iman yang dikaruniakan Roh Kudus, memungkinkan dia mengenal sang “PAPA”. Pengenalan itu tidak mungkin salah. Sebab, sekali pun orang mengatakan bahwa Allah bukanlah Dia yang disembah orang Kristen, sebab nama itu adalah nama dewanya orang Arab kuno. Aku tidak akan mungkin salah menyerukan Allah itu sebagai Bapa. Sebab yang memberikan kepadaku pengenalan itu adalah Roh Kudus. Aku akan menjawab juga tuduhan orang yang mengatakan tidak boleh memanggil Bapa kita itu dengan sebuatan Allah, dengan argumen sebagai berikut: tentang yang kau katakan itu, aku tidak tahu. Tetapi ini yang aku tahu, aku mengenal siapa yang jadi Bapa bagiku. Cf Yoh 9:25.

Allah yang kita kenal itu bertindak sebagai “PAPA” bagi kita. Itu berarti, kehidupan kita seratus persen tergantung kepada Dia. Seorang papa di dunia ini tahu apa yang baik bagi anak-anaknya. Ia akan menyediakan segala sesuatu yang perlu bagi anaknya itu, tanpa anak itu meminta lebih dahulu. Hal yang sama diajarkan Yesus kepada kita di dalam Injil Matius. Masalah utama sekarang ialah: apakah di dalam hidup saya ada dimensi anak-anak seperti yang kita telah gambarkan di atas?

Seperti telah diuraikan di atas, kita semakin dewasa semakin tergantung pada nalar kita. Di sini nalar sudah menjadi penentu atas sikap dan respon kita terhadap segala sesuatu yang datang di dalam hidup ini. Saya tidak menafikan makna dari nalar. Kita harus memakai nalar di dalam mengikut Tuhan. Menurut hemat saya secara pribadi, nalar bagi kita menjadi semacam pertimbangan di dalam mengambil keputusan. Amsal mengatakan: “Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang, dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak. Kata perencanaan dalam ayat ini menunjuk kepada kemampuan nalar untuk mewujudkannya. Tetapi orang bijak ini menambahkan bahwa yang namanya penasihat tidak hanya satu. Penasihat dia katakan ‘banyak’. Penasihat kita tidak hanya nalar. Itu hanya salah satu dari para penasihat yang harus didengarkan. Iman adalah salah satu dan bahkan menjadi komandan dari para penasihat kita di dalam mengambil keputusan. Amsal tadi mengingatkan kita bahwa semakin banyak penasihat, maka semakin banyak kemungkinan akan menang dalam pertempuran. Penasihat yang lain menurut hemat saya ialah: intuisi kita.

Saya tidak dapat membedakan antara insting dan intuisi. Berdasarkan kamus KBBI, intuisi adalah sebuah kemampuan untuk mengetahui sesuatu tanpa proses belajar. Agak mirip juga dengan batasan yang mereka buat dengan kata insting. Nalar, insting, intuisi adalah penasihat yang dikomadoi iman di dalam memberi masukan tentang sesuatu hal yang harus diambil oleh orang percaya. Daud menjadi contoh bagi saya di dalam hal ini. Pernah ia berhadapan dengan pasukan Filistin. Ia bertanya kepada Tuhan, apa yang harus dia lakukan dalam menghadapi orang Filistin ini. Tuhan mengatakan kepadanya agar ia maju menghadapi mereka. Karena ia menuruti nasihat Tuhan, maka pasukannya mengalami kemenangan. Di lain waktu, ia diperhadapkan dengan persoalan yang sama. Secara manusiawi, nalarnya akan mengatakan: dulu engkau telah menghadapi masalah seperti ini. Firman Tuhan kepadamu ialah: maju. Oleh karena itu biarlah engkau maju. Bukankah pengalaman adalah guru paling baik? Namun, Daud tidak melakukan itu. Ia bertanya kepada Tuhan, lalu ia mendapat jawaban yang berbeda. Tuhan berfirman kepadanya agar ia menunggu pasukan Filistin. Karena ia taat kepada apa yang difirmankan Tuhan, maka Daud mengalami kemenangan dalam pertempuran tersebut. Daud tidak membiarkan pengalaman dan nalarnya yang menjadi penasihat satu-satunya di dalam mengambil keputusan. Imannya yang paling berperan di dalam mengambil keputusan. Keputusan iman tidak mungkin salah, tidak mungkin gagal.

Ada lagi sisi lain dari diri anak-anak yang menjadi pelajaran berharga bagiku. Anak-anak memiliki bahasa yang universal. Anak-anak dapat mengerti sesamanya. Aku pernah melihat anak orang asing dan anak pribumi bertemu satu sama lain. Mereka dapat bergaul akrab, sekalipun bahasa mereka berbeda satu sama lain. Bahkan mereka belum mampu mengucapkan bahasa ibu mereka sendiri. Namun, anak-anak itu dapat berkomunikasi satu sama lain. Bukankah hal seperti itu pada hakekatnya kita perlukan di dunia yang semakin terkotak-kotak ini? Saya bertanya dalam hati: mengapa anak-anak itu dapat berkomunikasi satu sama lain, pada hal mereka belum bisa mengungkapkan diri mereka sendiri dalam bahasa ibu mereka? Di situlah justru letak rahasianya. Anak-anak tidak pernah membuat diri sendiri sebagai pusat kehidupannya. Ia senantiasa melihat ke luar dan tidak pernah ke dalam. Para psikolog mungkin akan mengatakannya dengan istilah extrovert dan introvert. Saya pernah membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang psikolog di kota New York. Ia mengatakan dalam bukunya itu, seorang Kristen yang sesungguhnya adalah seorang yang extrovert.

Oleh karena anak-anak tidak pernah melihat kepada diri sendiri, tetapi melihat kepada orang lain di luar dirinya, maka tidak ada kecanggungan atas apa pun yang mereka hadapi. Orang yang ditemui itu menjadi sesuatu yang sangat menarik perhatian. Orang itu memperkaya pengalaman hidupnya, sehingga kehadirannya menjadi sesuatu yang berharga. Bukankah hal ini menjadi sesuatu yang sangat kita perlukan di dalam mewujudkan pelayanan kepada sesama? Tatkala kita telah bertumbuh menjadi dewasa, kendala yang paling besar dan pergumulan yang paling alot ialah: menghadapi diri sendiri. Resep yang ditemukan Paulus di dalam hidup yang menghasilkan buah bagi Tuhannya ialah: “bukan lagi aku yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Tentang dirinya sendiri Paulus mengatakan: “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Anak-anak tidak pernah berbicara seperti itu, sebab bukan dirinya yang menjadi pusat kehidupannya, melainkan orang yang ada di luar dirinya sendiri. Kita sangat membutuhkan dimensi anak-anak ini.

Itulah sisi dari dimensi anak-anak yang seyogianya ada di dalam kehidupan kita. Namun, kita tidak harus senantiasa dalam pengaruh dimensi anak-anak. Roh Kudus mengajar kita bukan hanya memanggil Allah itu ‘Abba’, tetapi Ia juga mengajar kita untuk memanggil Allah itu sebagai ‘bapa’. Orang Kristen berada di dua sisi ini. Ia di satu sisi panggil Allah itu ‘Abba’, sementara di sisi lain, kita memanggil Allah itu adalah ‘Bapa’. Jika orang di zaman PB memanggil seseorang itu bapa, tidak senantiasa maksudnya ialah: bapa secara jasmani, atau seseorang yang lebih tua dari kita. Istilah bapa diberikan juga kepada kepala suku, para pemimpin. Kita sadar, orang Katolik memanggil para pastor mereka ‘bapa’. Para pastor itu pun memanggil anggota jemaat sebagai ‘anak’. Orang Protentant memanggil pendetanya dengan sebutan Pak Pendeta. Tetapi pendeta itu sendiri tidak memanggil anggota jemaat dengan sapaan ‘anak’. Menurut hemat saya, orang Katolik lebih memahami makna kata bapa dalam bahasa Alkitab ketimbang orang Protestant.

Bapa dalam pemahaman orang purba, termasuk di dalamnya pemahaman orang Kristen mula-mula, adalah dia yang menjadi pemimpin kehidupan. Ia yang bertanggung jawab atas komunitas yang dia pimpin. Eksistensi dari mereka yang dia pimpin akan sangat dipengaruhi kemampuan dari sang pemimpin. Itulah sang bapa yang dikenal oleh orang Kristen purba. Itulah Allah yang mereka kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Allah itu adalah Dia yang memimpin kita berjalan di dalam perjalanan hidup ini. Eksistensi dari komunitas ini yang namanya ialah: Gereja ditentukan oleh sang Bapa. Karena Bapalah maka komunitas ini ada. Dia yang menentukan arah perjalanan dari komunitas ini. Ia yang membimbing komunitas ini berjalan. Ia yang menentukan arah dari perjalanan komunitas ini. Ia yang menopang adanya komunitas ini.

Jika aku mengakui Allah sebagai Bapa, itu berarti aku berada di dalam satu rombongan yang sedang berjalan bersama menuju kekekalan. Aku tidak dapat memisahkan diri dari rombongan itu. Sebab jika demikian aku tidak lagi mengakui Allah sebagai Bapa. Sebab Ia adalah Bapa dari rombongan ini. Jika Ia adalah Bapa, maka aku adalah anak. Itu berarti menjadi bagian dari rombongan. Rasanya kita lebih memikirkan posisi anak hanya dari sudut pandang biologis. Pada hal, kita menjadi anak bukan karena biologis. Kita menjadi anak karena kehendak Allah. Itu kata rasul Yohanes dalam Injilnya.

Berbahagilah mereka yang memiliki dimensi anak-anak seperti yang kita bicarakan. Sebab menurut Yesus, merekalah yang empunya kerajaan sorga. Sudahkah saudara memilikinya? Kasih karunia Allah akan memberikan kita dimensi ini! Selamat menikmatinya di dalam Kristus Yesus Tuhan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...