21/01/17



Hidup kita senantiasa dipengaruhi hari esok, hari kemarin dan hari ini.
Namun kita tidak pernah hidup pada hari kemarin dan esok hari.
Kita hanya dapat hidup pada hari ini
Kemarin itu kita jalani tatkala ia ada pada hari ini
Demikian juga dengan esok hari.

Menarik untuk disimak, Allah pun hidup pada hari ini
Bagi Dia tidak ada kemarin dan esok hari
Semuanya berada di hari ini.

Yesus mengajar kita untuk hidup pada hari ini
Dia ajarkan kepada kita doa ini:
Berikanlah kami hari ini makanan kami yang secukupnya.
Kesusahan sehari untuk sehari, kesusahan esok untuk esok hari.

Dengan demikian, Yesus mengajak kita untuk hidup seperti Allah
Hidup pada hari ini.
Tidakkah itu sesuatu yang luar biasa?
Kita hidup seperti Allah
Karena kita adalah anak-anak-Nya.

Dapatkah kita katakan: orang yang khawatir akan hari esok
Adalah orang yang tidak mengenal Allah?
Yesus mengajarkan bahwa hal hal yang perlu pada esok
Adalah orang yang tidak mengenal Allah.

Kenalkah saudara dengan Allah yang hidup hanya pada hari ini?

14/01/17

Dekat dan Jauh



DEKAT DAN JAUH

Masakan Aku ini hanya Allah yang dari dekat, demikianlah firman TUHAN, dan bukan Allah yang dari jauh juga? Sekiranya ada seseorang menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak melihat dia? demikianlah firman TUHAN. Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? demikianlah firman Tuhan”.
Yeremia 23:23-24

Natal sudah berlalu. Pada perayaan Natal, kita mendengar berita sukacita: Allah bersama kita. Kita mengenal dan melihat Allah yang begitu dekat dengan kita, bahkan tinggal bersama kita. Kedekatan Allah yang begitu rupa dapat ditafsirkan orang dengan berbagai macam cara. Ada orang yang merasa begitu dekat dengan Tuhan, sehingga ia kehilangan dimensi Allah yang juga jauh dari kehidupan kita.

Allah yang datang ke dalam kehidupan kita itu adalah Allah yang dekat dan sekaligus jauh. Salah satu dari sisi ini tidak boleh dihilangkan dari pengalaman hidup kita. Saya sering mendengar Allah disapa dengan selamat malam, siang dan pagi. Mereka menganggap Allah itu begitu dekat dengan mereka. Dalam pemahaman yang begitu dekatnya, maka Allah yang mereka kenal tidak lagi ada di dalam kejauhan. Kita memerlukan Allah yang juga menempati sisi yang jauh. Mengapa?

Dengan Allah berada di sisi yang jauh, itu berarti kita memahami ada jarak yang begitu jauh antara kita dengan Allah. Ia berada jauh dari apa yang kita pikirkan. Nabi Yesaya mengatakan: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” Yes 55:8-9. Hal ini jelas memberikan kepada kita bahwa ada jarak yang sangat jauh antara kita dengan Allah. Rancangan kita tidak dapat dibandingkan dengan rancangan Allah.

Tatkala Allah menempatkan diri ‘jauh’ dari kita, itu berarti Ia berada di dalam posisi yang dapat mengatasi segala permasalahan yang ada di dalam diri kita. Ia dapat melihat jauh ke depan kita, karena Jauh dari kita. Ia dapat melihat detil dari setiap masalah yang ada di dalam hidup ini. Ia dapat membuat antisipasi yang pas di dalam setiap masalah kita. Kita sangat membutuhkan Allah yang jauh, sebagaimana kita membutuhkan Dia sebagai Allah yang dekat dengan kita. Kedua sisi ini harus dipertahankan sedemikian rupa, agar kita menikmati proteksi yang tiada bandingnya dari Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.

Tatkala orang Yehuda memahami bahwa Allah itu dekat dengan mereka, karena tinggal di Bati Allah yang ada di Yerusalem, maka mereka memahami sesuatu yang aneh bagi kita sekarang ini. Allah tinggal di Bait-Nya yang kudus. Oleh karena itu, Ia tidak akan melihat apa saja yang dikerjakan oleh orang Israel di dalam keseharian mereka. Karena itulah, maka Allah menyuarakan firman-Nya melalui Nabi Yeremia, Ia juga adalah Allah yang jauh.

Pemahaman beribadah yang seperti itu, rasa-rasanya juga berlangsung hingga dewasa ini. Kita merasa telah menyenangkan hati Allah dengan ritus ibadah yang kita lakukan setiap minggu. Kita telah menikmati sukacita bersekutu dengan Allah di dalam ibadah kita. Kedekatan dengan Allah sangat kita rasakan di dalam ibadah yang kita lakukan dengan begitu antusias. Oleh karena itu, kita merasa bagian dari Allah di dalam hidup kita telah diserahkan kepada-Nya. Sekarang kita dapat melakukan bagian kita di dalam hidup itu sendiri. Untuk yang satu ini, kita yang menentukan apa yang dapat kita lakukan. Allah tidak perlu turut ambil bagian di dalamnya. Bukankah Allah telah dipuaskan di dalam ibadah yang kita lakukan di Gereja, atau di tempat-tempat tertentu?

Dikhotomi pemahaman yang kudus dan yang profan membuat kita memilah-milah kehidupan ini. Tatkala kita melakukan hal yang kudus menurut kita, maka apa yang dikehendaki Allah, itulah yang harus terlaksana di sana. Tetapi bagian hidup yang profan bukanlah urusan Allah, melainkan urusan kita sendiri. Pola seperti ini masih juga terasa di dalam kehidupan orang Kristen hingga dewasa ini. Ada seorang teman yang sangat aktif di dalam pelayanan menyuarakan kegalauan hatinya melihat perilaku dari teman-temannya sesama pelayan di dalam satu ibadah.

Tatkala ibadah sedang berjalan, maka teman-temannya itu begitu rohani. Rasa-rasanya mereka itu sudah dipenuhi oleh Roh Kudus, dengan bahasa roh yang begitu semarak. Namun, tatkala ibadah sudah selesai, tidak ada perbedaan mereka dengan mereka yang tidak turut ambil bagian di dalam ibadah tadi. Mereka serupa dengan orang dunia yang tidak perduli dengan Allah. Dalam ibadah, teman-temannya itu begitu dekat dengan Allah. Tetapi di luar ibadah, Allah seolah-olah tidak ada di dalam hidup mereka.




11/01/17

Musik Liturgi HKBP


Makalah yang disajikan penyaji di retreat Parhalado HKBP Menteng Jakarta

MUSIK LITURGI HKBP
Harta Karun Yang Terancam Punah?
                                                                       

Ada banyak segi dari musik liturgi, tetapi dalam tulisan ini akan dipilih unsur penting dalam musik Liturgi HKBP yaitu Buku Ende (Nomor 1-373). Buku Ende tergolong musik liturgi Gereja Barat (termasuk Protestant). Sekilas, perkembangan saat ini menunjukkan musik liturgi HKBP akan segera ‘punah’ dalam arti luas. Dia diserang dari luar dan dari dalam. Buku Ende, organ (poti marende – peti bernyanyi) dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan jaman. Selera kaum muda terutama mempunyai kebutuhan lain sesuai dengan selera musik jaman ini. Karena itu, dalam rangka “memenuhi kebutuhan jaman” maka terjadi penyesuaian, yang muncul dari luar dan juga dari dalam.
Dari luar dimasukkanlah nyanyian-nyanyian yang musik bercorak pop dan dekat dengan musik industri yang berasal dari mass culture dengan ciri hedonisme (mengutamakan kesenangan dan kepuasan). Isinya pendek-pendek dan umumnya mempunyai corak yang sama, yaitu berkaitan dengan keberadaan orang yang menyanyikan (sukacitanya, dukanya, indahnya, dan lainnya). Kebaktian dijalankan dengan istilah ‘liturgi alternatif’ atau ‘liturgi kontemporer’. Penampilannya pun disesuaikan, dimana ada song leaders dan MC (Master of Ceremony) yang selalu menafsirkan nyanyian itu dan menghangatkan suasana. Perlengkapan band pun dimasukkan mengiringi nyanyian, kalau tidak keyboard akan dimainkan sedemikian rupa sehingga memunculkan suasana khusus.
Dalam bagian lain, bagi mereka yang tidak menyanyikan nyanyian rohani pop, tetapi mempertahankan Buku Ende, terjadi perubahan dalam cara menyanyikan. Tempo dari setiap nyanyian dibuat hampir sama, sehingga semuanya terlihat mempunyai kecepatan yang sama. Bahkan ditambah lagi dengan nyanyian lain, yang bukan nyanyian pop, tetapi pada dasarnya bertentangan dengan makna teologis Buku Ende itu sendiri.
Terlihat semuanya seolah-olah tidak membawa persoalan, tetapi pada dasarnya, baik masukkan maupun perubahan di dalam, semuanyan itu mempengaruhi musik liturgi HKBP. Dengan demikian, makna dari musik liturgi yang sangat luas seginya, akan dibahas hanya sebagian kecil darinya untuk menunjukkan ‘ancaman’ tadi. Sekali lagi hendaknya disadari, corak musik yang disebutkan dalam tulisan ini adalah corak musik Barat untuk liturgi Gereja Barat (Protestant) seperti HKBP dan lainnya.

Buku Ende  Dan Pemberitaan Firman

Buku Ende memenuhi prinsip teologis akan musik liturgi, yaitu nyanyian choral dalam rangka memberitakan Firman Allah, sehingga pemberitaan keselamatan juga diberitakan melalui musik dan nyanyian. Ketika Martin Luther mengerjakan pengadaan chorale, dia menuliskan: “hal ini sebaiknya dikerjakan sehingga Injil Yesus Kristus, yang melalui rahmat Allah saat ini sedang diberitakan, dapat disebarkan di antara manusia.” Dalam suratnya pada Spalatinus, sekretaris Frederick Yang Bijaksana, Luther menulis: “Rencana kita adalah mengikuti teladan para nabi dan bapa-bapa gereja, dan mencipta mazmur bagi umat dalam bentuk yang sederhana, yaitu nyanyian-nyanyian rohani, sehingga Firman Allah tinggal di antara umat juga dalam bentuk musik.”
Kalimat singkat itu menunjukkan makna teologis dari musik liturgi itu, khususnya nyanyian dalam rangka kebaktian, yaitu hubungan antara nyanyian dan pemberitaan Firman. Untuk itulah teks dari nyanyian itu menjadi unsur yang sangat penting. Hal yang prinsip dalam pemberitaan Firman Allah melalui teks chorale terlihat dalam tiga hal: pertama, isi teks itu terutama merupakan garis vertikal yang dari atas ke bawah. Umat membutuhkan Firman yang memberi hidup itu, dan itu datang dari pihak Allah. Kedua, serentak dengan itu, teks nyanyian itu juga merupakan garis vertikal dari bawah ke atas, yaitu jawaban ucapan syukur serta pujian umat pada Allah. Ketiga, jemaat melayani sesamanya manusia melalui nyanyian itu. Seluruh  penjelasan ini dipenuhi dalam Buku Ende. Sebagai contoh, marilah kita ikuti alur dari teks nyanyian berikut, mulai dari ayat satu sampai empat, sambil memperhatikan, siapa yang berbicara pada siapa:

puji hamu Jahowa tutu
pardenggan basa
parasiroha salelengna i
pardenggan basa i. parasi roha i.

ingot tongtong, ale tondingkon
sude na denggan
na dipasonggop Debata tu ho
denggan basaNa do
na pangoluhon ho

nda tung adong pargogo tongon
na martudosan
tu Tuhan Debata di surgo i
sun hinagogo i sun hinagogo i

songkal tongtong Jahowa tongon
na marmulia
di sasude na tinompaNa i
hamuliaon ma di Tuhan Debata

Isi nyanyian di atas benar-benar merupakan pemberitaan Firman, merupakan khotbah. Setiap ayat menunjukkan garis vertikal dari atas ke bawah, yaitu apa yang diperbuat Allah pada manusia. Lalu kemudian ayat satu merupakan garis vertikal dari bawah ke atas, yaitu pujian, dari ayat dua sampai ayat empat, dari bawah ke atas dalam bentuk pengakuan (credo) dan isinya kalau diperhatikan adalah merupakan rumusan dogma (ajaran untuk dipercayai) yang dinyanyikan. Itulah sebabnya setiap credo dan dogma menjadi doxologi (pujian) di dalam liturgi!
Selain itu terlihat garis horisontal, yaitu dalam ayat satu, dimana penyanyi menunjukkan pada sesamanya manusia. Pada ayat dua, penyanyi berbicara pada dirinya sendiri, ayat tiga sampai empat merupaka kesaksian bagi seluruh yang ada diluar diri penyanyi itu. Akhir dari ayat empat itu “Hamuliaon ma di Tuhan Debata” (kemuliaan bagi Allah) mengingatkan nyanyian malaikat. Demikianlah setiap doxologi, adalah nyanyian bersama dengan malaikat. Melalui contoh ini, yang juga ditemukan dalam nyanyian lain di dalam Buku Ende, terlihatlah bahwa menyanyikan nyanyian kebaktian itu adalah berkotbah, artinya datangnya Firmah Tuhan pada umat.
Selanjutnya kotbah itu menjadi sapaan pada semua anggota jemaat, sehingga mereka mengikuti apa yang Rasul pesankan “ berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani”(Efesus 5:19), sehingga “perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya”(Kolose 5:19) di antara jemaat. Ke- 373 nyanyian dalam Buku Ende, boleh dianalisis dengan sudut pandang uraian diatas, dan kita akan semakin heran melihat harta karun yang secara rohani menjadi milik kita yang tidak ternilai. Gejala yang terlihat untuk ‘memunahkannya’ adalah pertanda makna teologis musik liturgi tidak lagi dipertimbangkan. Nyanyian dilihat dalam rangka memenuhi kebutuhan. Nyanyian sebagai kotbah, bukanlah untuk memenuhi kebutuhan, tetapi garis vertikal dari atas ke bawah menunjukkan nyanyian itu memberitakan bagaimana Allah turun dan membentuk manusia itu. Jadi musik liturgi membentuk kebutuhan, bukan sebaliknya kebutuhan membentuk musik liturgi.  

Buku Ende Sebagai Not Yang Membuat Teks Menjadi Hidup

Martin Luther menyebutkan, musik adalah anugerah Allah. Melalui tafsirannya akan Kitab Mazmur dia membuktikan hal ini. Mazmur sebagai Buku Doa, semuanya muncul dalam bentuk nyanyian. Mengapa doa ini harus dinyanyikan, menyingkapkan makna dari anugerah Allah itu. Setiap suasana sorgawi tersingkap, nyanyian terdengar dari sorga, di padang efrata, dalam wahyu yang disingkapkan bagi Yohanes, nyanyian-nyanyian sorgawi dari para malaikat terdengar. Itulah sebabnya, bila orang percaya bernyanyi, maka dia menyatukan suaranya dengan para malaikat. Hal inilah yang terdengar dalam Nyanyian ‘Te Deum’ yang sudah sangat tua itu, yang sebagian darinya diterjemahkan dalam Kidung Jemaat nomor lima dan Buku Ende nomor 21. Di sana disebut baik malaikat, maupun mereka yang sudah menang serta jemaat yang masih hidup sekarang bersama-sama memuji Tuhan: “kerubim dan serafim, memuliakan yang Trisuci; para rasul dan nabi, martir yang berjubah putih, G’reja yang kudus, Esa, kepada-Mu menyembah”.
Bila dihubungkan dengan dasar teologi, nyanyian seperti disebutkan di atas, maka terlihatlah bahwa nyanyian dan musik itu muncul dalam satu kesatuan dengan teologi. Itulah sebabnya seseorang yang mempelajari teologi menyentuh juga seni musik itu, walaupun dia mungkin tidak mampu memainkannya atau memahaminya. Melalui musik liturgi dinyatakanlah bahwa musik dan teologi sama-sama berakar dalam firman, keduanya datang dari Allah, dan keduanya berkaitan dengan pendengaran. Itulah sebabnya kembali kita dapat memahami Martin Luther yang menyebut musik adalah anugerah Allah dan menempatkannya sebagai yang tertinggi sesudah teologi. Kesatuannya semakin nyata didalam nyanyian itu: kata-kata itu menjadi hidup. Karena itulah dalam nyanyian liturgis, kata-kata itu mempunyai kehidupannya yang tidak terpisahkan dari melodi.
Tetapi dalam penyusunannya, melodi itu tunduk pada kata-kata. Melodi itu menjadi pelayan dari kata-kata, dari syair nyanyian itu. bila kita kembali pada penjelasan di atas, maka urutan pemahamannya adalah sebagai berikut: Firman Allah menjadi firman yang hidup kalau dia diberitakan dan dengan demikian dia membangkitkan iman. Karena musik (termasuk melodi dan not itu) ‘membuat syair menjadi hidup’, maka injil diberitakan juga melalui musik. Sehingga musik dan teologi menjadi pembawa dan penafsir Firman Allah, menjadi suara yang hidup dari injil itu sendiri. Seluruh penjelasan ini terpenuhi dalam Buku Ende. Bila kita ikuti misalnya hubungan antara melodi dari nyanyian berikut dengan syairnya, maka akan terlihat kesatuan musik dan teologi atau pemberitaan firman itu:

Buku Ende No. 183:1-4 “Na jumpang au na asi roha” (BL No. 105)

Na jumpang au na asi roha
Di au naung mago i hian
Tuhan Jesus parasiroha
Di au na lilu nahinan
Nuaeng hutanda Tuhanki
Parasi roha bolon i
Parasi roha bolon i

Dibahen godang ni dosangku
Tung hona uhum au tama
Hape ro Jesus dipadomu
Au muse dohot Debata
Mudarna na badia i
Pajongjong pardomuan i
Pajongjong pardomuan i

On pe holan asi ni roha
Sipangasahononhoni
Sipujionku do Jahowa
Dung ro na pamanathon i
Unduk huhut las rohangki
Mamuji asi roha i
Mamuji asi roha i

Ianggo i ndang taragohon
Bahenon ni manang aha pe
Sai asiMi hupangasahon
Di tangiangku sasude
Mate pe au pos rohangki
Marningot asi-asiMi
Marningot asi-asiMi

Alur syair itu benar-benar penguraian dari teologi reformasi berkaitan dengan ‘dibenarkan oleh iman’ (justification), khususnya aspek sola gratia (diselamatkan oleh karena anugerah). Anugerah itu dirangkai sedemikian indah dalam syair, sehingga ayat satu dikembangkan dalam ayat dua, demikian selanjutnya semakin memuncak pada ayat keempat, sampai pada kepastian keselamatan pada kalimat terakhir dari ayat yang keempat. Kalau kita masuk kedalam not nyanyian itu, maka kalimat pertama dan kedua, mempunyai melodi yang sama dengan kalimat kedua dan keempat. Terlihat dari rangkaian melodi itu, bahwa dia merupakan persiapan untuk not dari kalimat ketiga, empat dan lima. Not itu secara perlahan semakin meninggi dan diakhiri dengan not-not yang lebih tinggi di dalam “Parasi roha bolon I” (ayat 1), “pajongjong pardomuan” (ayat 2), mamujoi Asi roha i (ayat 3) dan “marningot asiasiMi” (ayat 4). Dari syair terlihat makna meningkat dari setiap bagian terakhir, juga fungsinya dalam menonjolkan dogma tentang sola gratia, dan akhirnya not-not itupun disusun untuk melayani pentingnya pemberitaan ini. Dogma itu menjadi doxologi !
Ke-373 Nyanyian dalam Buku Ende, boleh dianalisis dengan sudut pandang uraian diatas, dan kita akan semakin heran melihat harta karun yang secara rohani menjadi milik kita yang tidak ternilai. Gejala yang terlihat untuk ‘memunahkannya’, adalah pertanda makna teologis musik liturgi tidak lagi dipertimbangkan. Nyanyian dalam rangka memenuhi selera jaman akan musik. Seluruh nyanyian rohani dalam lagu pop, lebih menonjolkan melodinya. Seolah-olah melodi itu mengarahkan perhatian umat pada dirinya sendiri. Peletakan kata tidak sesuai lagi dengan tinggi rendahnya not. Dia menjadi ratu dari nyanyian itu, dan semua itu demi membuat manusia lebih gembira, lebih bersemangat dan memenuhi kebutuhan emosionalnya. Oleh karena itu, tidak pernah nyanyian rohani dalam bentuk lagu pop sebagai bagian dari musik liturgi. Mungkin bisa saja orang mengatakan: “musik pop seperti itu untuk nyanyian rohani membawa saya pada perasaan khusuk dalam beribadah. Oleh karena itu jangan tentukan mana yang cocok bagi saya dalam beribadah!”
Pernyataan seperti itu menunjukkan perhatian lebih diutamakan pada diri sendiri daripada Allah dan pemberitaan itu. Masalahnya tidak terletak, apakah nyanyian itu menyenangkan telinga kita atau ‘telinga’ Allah. Tidak lebih memperhatikan perasaan kita, tetapi bahwa Allah dipuji. Dan melodi dengan corak seperti diterangkan di atas, yang menunjukkan not melayani syair sesuai dengan hal tersebut, dimana Allah yang menjadi pusat perhatian.
Perbedaan yang berkaitan dengan pendengaran Allah dan pendengaran kita ini dimunculkan oleh perbedaan pemahaman nyanyian menurut para reformator sebagai nyanyian sakramental, berbeda dengan pemahaman kaum pietis/ evangelikal/ kharismatik dimana nyanyian adalah persembahan saja. Nyanyian sakramental mengakibatkan jemaat bernyanyi, mengajar dan memberitakan Injil pada sesamanya, sementara nyanyian sebagai korban persembahan, membuat jemaat membangkitkan dirinya sendiri sehingga hati dan perasaannya dipengaruhi sehingga mereka mampu untuk memuji. Usaha menggantikan Buku Ende dengan nyanyian pop, secara teologis merusak makna musik liturgi, mengabaikan pemberitaan Injil melalui musik. Nyanyian sebagai khotbah, bukanlah untuk memenuhi kebutuhan, tetapi garis vertikal dari atas ke bawah menunjukkan nyanyian itu memberitakan bagaimana Allah turun dan membentuk manusia itu. Jadi musik liturgi membentuk kebutuhan dan dengan demikian membentuk budaya. Membentuk zaman! Bukan sebaliknya, seolah-olah kita membiarkan zaman ini membentuk musik liturgi.

Pdt. Bonar Lumbantobing, Mth
Dosen STT HKBP Pematangsiantar

07/01/17


A Prayer[1]

Oh Lord, remember not only the men and women
Of good will, but also those of ill  will.
But do not remember all the suffering they inflicted on us;
Remember the fist fruits we have bought, thanks to
This suffering – our comradeship,
Our loyalty, our humility, our courage,
Our generosity, the greatness of heart
Wich has grown out of all this, when
They come to judgment let all the fruits
which  we have borne be their forgiveness.

Notes: This prayer came from unkwon author, who left beside the body of a dead child at the Ravensbruck death camp.



[1] Quoted from Lynn C. Baum, ed., A Book of Prayer

A Prayer

05/01/17


  1. Pengampunan

Pada suatu hari, di ruang pengadilan, wanita yang umurnya kira-kira 70 tahun ini, dengan wajah yang menggambarkan goresan penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun. Di kursi terdakwa, duduk Mr. Van der Broek, dinyatakan bersalah telah membunuh anak laki-laki dan suami wanita tersebut. Beberapa tahun yang lalu laki-laki itu datang ke rumah wanita itu. Ia mengambil anaknya, menembaknya dan membakar tubuhnya. Beberapa tahun kemudian, ia kembali lagi. Ia mengambil suaminya. Dua tahun wanita itu tidak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. 
Kemudian, van der Broek kembali lagi dan mengajak wanita itu ke suatu tempat di tepi sungai. Ia melihat suaminya diikat dan disiksa. Mereka memaksa suaminya berdiri di tumpukan kayu kering dan menyiramnya dengan bensin. Kata-kata terakhir yang didengarnya ketika ia disiram bensin adalah, “Bapa, ampunilah mereka.” Belum lama berselang, Mr. Van den Broek ditangkap dan diadili. Ia dinyatakan bersalah, dan sekarang adalah saatnya untuk menentukan hukumannya. Ketika wanita itu berdiri, hakim bertanya, “Jadi, apa yang Anda inginkan? Apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang ini yang secara brutal telah menghabisi keluarga Anda?” Wanita itu menjawab, “Saya menginginkan tiga hal. Pertama, saya ingin dibawa ke tempat suami saya dibunuh dan saya akan mengumpulkan debunya untuk menguburkannya secara terhormat.” 
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan,  “Suami dan anak saya adalah satu-satunya keluarga saya. Oleh karena itu permintaan saya kedua adalah, saya ingin Mr. Van den Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto (perumahan orang kulit hitam) dan melewatkan waktu sehari bersama saya hingga saya dapat mencurahkan padanya kasih yang masih ada dalam diri saya.”
“Dan, akhirnya,” ia berkata, “permintaan saya yang ketiga. Saya ingin Mr. Van den Broek tahu bahwa saya memberikan maaf bagi dia karena Yesus Kristus mati untuk mengampuni. Begitu juga dengan permintaan terakhir suami saya. Oleh karena itu, bolehkah saya meminta seseorang membantu saya ke depan hingga saya dapat membawa Mr. Van den Broek ke dalam pelukan saya dan menunjukkan padanya bahwa dia benar-benar telah saya maafkan.”
Ketika petugas pengadilan membawa wanita tua itu ke depan, Mr. Van den Broek sangat terharu dengan apa yang didengarnya hingga pingsan. Kemudian, mereka yang berada di gedung pengadilan – teman, keluarga, dan tetangga – korban penindasan dan ketidakadilan serupa – berdiri dan bernyanyi:

"Amazing grace, how sweet the sound that saved a wretch like me.
I once was lost, but now I'm found. 
Twas blind, but now I see.

03/01/17

Ilustrasi



1

Terpetik sebuah kisah, seorang pemburu berangkat ke hutan dengan membawa busur dan tombak. Dalam hatinya dia berkhayal mau membawa hasil buruan yang paling besar, yaitu seekor rusa. Cara berburunya pun tidak pakai anjing pelacak atau jaring penyerat, tetapi menunggu di balik sebatang pohon yang memang sering dilalui oleh binatang-binatang buruan.

Tidak lama ia menunggu, seekor kelelawar besar kesiangan terbang hinggap di atas pohon kecil tepat di depan si pemburu. Dengan ayunan parang atau pukulan gangang tombaknya, kelelawar itu pasti bisa diperolehnya. Tetapi si pemburu berpikir, "untuk ada merepotkan diri dengan seekor kelelawar? Apakah artinya dia dibanding dengan seekor rusa besar yang saya incar?"

Tidak lama berselang, seekor kancil lewat. Kancil itu sempat berhenti di depannya bahkan menjilat-jilat ujung tombaknya tetapi ia berpikir, "Ah, hanya seekor kancil, nanti malah tidak ada yang makan, sia-sia." Agak lama pemburu menunggu. Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki binatang mendekat, pemburupun mulai siaga penuh,tetapi ternyata, ah... kijang.

Ia pun membiarkannya berlalu. Lama sudah ia menunggu, tetapi tidak ada rusa yang lewat, sehingga ia tertidur. Baru setelah hari sudah sore, rusa yang ditunggu lewat. Rusa itu sempat berhenti di depan pemburu, tetapi ia sedang tertidur. Ketika rusa itu hampir menginjaknya, ia kaget. Spontan ia berteriak, "Rusa!!!" sehingga rusanya pun kaget dan lari terbirit-birit sebelum sang pemburu menombaknya. Alhasil ia pulang tanpa membawa apa-apa.

Banyak orang yang mempunyai idealisme terlalu besar untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya. Ia berpikir yang tinggi-tinggi dan bicaranya pun terkadang sulit dipahami. Tawaran dan kesempatan-kesempatan kecil dilewati begitu saja, tanpa pernah berpikir bahwa mungkin di dalamnya ia memperoleh sesuatu yang berharga.

Tidak jarang orang-orang seperti itu menelan pil pahit karena akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga dengan seseorang yang bergumul dengan pasangan hidup yang mengharapkan seorang gadis cantik atau perjaka tampan yang baik, pintar dan sempurna lahir dan batin, harus puas dengan tidak menemukan siapa-siapa.

Berpikir sederhana, bukan berarti tanpa pertimbangan logika yang sehat. Kita tentunya perlu mempunyai harapan dan idelaisme supaya tidak asal tabrak. Tetapi hendaknya kita ingat bahwa seringkali Tuhan mengajar anak-Nya dengan perkara-perkara kecil terlebih dahulu sebelum mempercayakan perkara besar dan lagipula tidak ada sesuatu di dunia yang perfect yang memenuhi semua idealisme kita. Berpikirlah sederhana.

2
Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah dilihat begitu kemegahannya, keagungannya dan kekuatannya.

Orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak, "Kuda ini bukan kuda bagi saya," ia akan mengatakan. "Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang. Ia adalah sahabat bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat." Orang itu miskin dan godaan besar. Tetapi ia tidak menjual kuda itu.

Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa datang menemuinya. "Orang tua bodoh," mereka mengejek dia,"Sudah kami katakan bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Kami sudah memperingatkanmu bahwa kamu akan di rampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya anda sudah menjualnya. Anda boleh minta harga apa saja. Harga setinggi apapun akan dibayar juga.

Sekarang kuda itu hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan. Orang tua itu menjawab, "Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya adalah penilaian. Apakah saya di kutuk atau tidak, bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?" Orang protes, "Jangan menggambarkan kita sebagai orang bodoh! Mungkin kita bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak di perlukan. Fakta sederhana bahwa kudamu hilang adalah kutukan." Orang tua itu berbicara lagi. "Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu.

Apakah itu kutukan atau berkat, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?" Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol; kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.

Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak di curi, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan, "Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami." Jawab orang itu, "Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia, tetapi jangan menilai.

Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita, bagaimana anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang anda tahu hanyalah sepotong! Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu."

"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang. Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul sekitar orang tua itu dan menilai.

"Kamu benar," kata mereka, "Kamu sudah buktikan bahwa kamu benar. Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk membantumu. Sekarang kamu lebih miskin lagi. Orang tua itu berbicara lagi. "Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutukan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong."

Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua tidak diminta karena ia terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka tidak akan melihat anak-anak mereka kembali "Kamu benar, orang tua," mereka menangis "Tuhan tahu kamu benar. Ini membuktikannya. Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya."

Orang tua itu berbicara lagi, "Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini: anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak adayang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu. Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari seluruh kejadian. Kecelakaan-kecelakaan dan kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman dari buku besar. Kita jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kita harus simpan dulu penilaian kita dari badai-badai kehidupan sampai kita ketahui seluruh cerita.

Saya tidak tahu dari mana si tukang kayu belajar menjaga kesabarannya. Mungkin dari tukang kayu lain di Galilea. Sebab tukang kayu itulah yang paling baik mengungkapkannya: "Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri." Ia yang paling tahu. Ia menulis cerita kita. Dan Ia sudah menulis bab terakhir.  

Ilistrasi


Ilustrasi

Terpetik sebuah kisah, seorang pemburu berangkat ke hutan dengan membawa busur dan tombak. Dalam hatinya dia berkhayal mau membawa hasil buruan yang paling besar, yaitu seekor rusa. Cara berburunya pun tidak pakai anjing pelacak atau jaring penyerat, tetapi menunggu di balik sebatang pohon yang memang sering dilalui oleh binatang-binatang buruan.

Tidak lama ia menunggu, seekor kelelawar besar kesiangan terbang hinggap di atas pohon kecil tepat di depan si pemburu. Dengan ayunan parang atau pukulan gangang tombaknya, kelelawar itu pasti bisa diperolehnya. Tetapi si pemburu berpikir, "untuk ada merepotkan diri dengan seekor kelelawar? Apakah artinya dia dibanding dengan seekor rusa besar yang saya incar?"

Tidak lama berselang, seekor kancil lewat. Kancil itu sempat berhenti di depannya bahkan menjilat-jilat ujung tombaknya tetapi ia berpikir, "Ah, hanya seekor kancil, nanti malah tidak ada yang makan, sia-sia." Agak lama pemburu menunggu. Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki binatang mendekat, pemburupun mulai siaga penuh,tetapi ternyata, ah... kijang.

Ia pun membiarkannya berlalu. Lama sudah ia menunggu, tetapi tidak ada rusa yang lewat, sehingga ia tertidur. Baru setelah hari sudah sore, rusa yang ditunggu lewat. Rusa itu sempat berhenti di depan pemburu, tetapi ia sedang tertidur. Ketika rusa itu hampir menginjaknya, ia kaget. Spontan ia berteriak, "Rusa!!!" sehingga rusanya pun kaget dan lari terbirit-birit sebelum sang pemburu menombaknya. Alhasil ia pulang tanpa membawa apa-apa.

Banyak orang yang mempunyai idealisme terlalu besar untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya. Ia berpikir yang tinggi-tinggi dan bicaranya pun terkadang sulit dipahami. Tawaran dan kesempatan-kesempatan kecil dilewati begitu saja, tanpa pernah berpikir bahwa mungkin di dalamnya ia memperoleh sesuatu yang berharga.

Tidak jarang orang-orang seperti itu menelan pil pahit karena akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga dengan seseorang yang bergumul dengan pasangan hidup yang mengharapkan seorang gadis cantik atau perjaka tampan yang baik, pintar dan sempurna lahir dan batin, harus puas dengan tidak menemukan siapa-siapa.

Berpikir sederhana, bukan berarti tanpa pertimbangan logika yang sehat. Kita tentunya perlu mempunyai harapan dan idelaisme supaya tidak asal tabrak. Tetapi hendaknya kita ingat bahwa seringkali Tuhan mengajar anak-Nya dengan perkara-perkara kecil terlebih dahulu sebelum mempercayakan perkara besar dan lagipula tidak ada sesuatu di dunia yang perfect yang memenuhi semua idealisme kita. Berpikirlah sederhana.

2
Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah dilihat begitu kemegahannya, keagungannya dan kekuatannya.

Orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak, "Kuda ini bukan kuda bagi saya," ia akan mengatakan. "Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang. Ia adalah sahabat bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat." Orang itu miskin dan godaan besar. Tetapi ia tidak menjual kuda itu.

Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa datang menemuinya. "Orang tua bodoh," mereka mengejek dia,"Sudah kami katakan bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Kami sudah memperingatkanmu bahwa kamu akan di rampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya anda sudah menjualnya. Anda boleh minta harga apa saja. Harga setinggi apapun akan dibayar juga.

Sekarang kuda itu hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan. Orang tua itu menjawab, "Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya adalah penilaian. Apakah saya di kutuk atau tidak, bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?" Orang protes, "Jangan menggambarkan kita sebagai orang bodoh! Mungkin kita bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak di perlukan. Fakta sederhana bahwa kudamu hilang adalah kutukan." Orang tua itu berbicara lagi. "Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu.

Apakah itu kutukan atau berkat, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?" Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol; kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.

Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak di curi, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan, "Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami." Jawab orang itu, "Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia, tetapi jangan menilai.

Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita, bagaimana anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang anda tahu hanyalah sepotong! Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu."

"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang. Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul sekitar orang tua itu dan menilai.

"Kamu benar," kata mereka, "Kamu sudah buktikan bahwa kamu benar. Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk membantumu. Sekarang kamu lebih miskin lagi. Orang tua itu berbicara lagi. "Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutukan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong."

Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua tidak diminta karena ia terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka tidak akan melihat anak-anak mereka kembali "Kamu benar, orang tua," mereka menangis "Tuhan tahu kamu benar. Ini membuktikannya. Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya."

Orang tua itu berbicara lagi, "Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini: anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak adayang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu. Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari seluruh kejadian. Kecelakaan-kecelakaan dan kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman dari buku besar. Kita jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kita harus simpan dulu penilaian kita dari badai-badai kehidupan sampai kita ketahui seluruh cerita.

Saya tidak tahu dari mana si tukang kayu belajar menjaga kesabarannya. Mungkin dari tukang kayu lain di Galilea. Sebab tukang kayu itulah yang paling baik mengungkapkannya: "Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri." Ia yang paling tahu. Ia menulis cerita kita. Dan Ia sudah menulis bab terakhir.  

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...