DEKAT DAN JAUH
“Masakan Aku ini hanya Allah yang dari dekat, demikianlah
firman TUHAN, dan bukan Allah yang dari jauh juga? Sekiranya ada seseorang
menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak melihat dia?
demikianlah firman TUHAN. Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? demikianlah
firman Tuhan”.
Yeremia 23:23-24
Natal sudah
berlalu. Pada perayaan Natal, kita mendengar berita sukacita: Allah bersama
kita. Kita mengenal dan melihat Allah yang begitu dekat dengan kita, bahkan
tinggal bersama kita. Kedekatan Allah yang begitu rupa dapat ditafsirkan orang
dengan berbagai macam cara. Ada orang yang merasa begitu dekat dengan Tuhan,
sehingga ia kehilangan dimensi Allah yang juga jauh dari kehidupan kita.
Allah yang
datang ke dalam kehidupan kita itu adalah Allah yang dekat dan sekaligus jauh.
Salah satu dari sisi ini tidak boleh dihilangkan dari pengalaman hidup kita.
Saya sering mendengar Allah disapa dengan selamat malam, siang dan pagi. Mereka
menganggap Allah itu begitu dekat dengan mereka. Dalam pemahaman yang begitu
dekatnya, maka Allah yang mereka kenal tidak lagi ada di dalam kejauhan. Kita
memerlukan Allah yang juga menempati sisi yang jauh. Mengapa?
Dengan Allah
berada di sisi yang jauh, itu berarti kita memahami ada jarak yang begitu jauh
antara kita dengan Allah. Ia berada jauh dari apa yang kita pikirkan. Nabi
Yesaya mengatakan: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu
bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari
bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari
rancanganmu” Yes 55:8-9. Hal ini jelas memberikan kepada kita bahwa ada jarak
yang sangat jauh antara kita dengan Allah. Rancangan kita tidak dapat
dibandingkan dengan rancangan Allah.
Tatkala Allah menempatkan
diri ‘jauh’ dari kita, itu berarti Ia berada di dalam posisi yang dapat
mengatasi segala permasalahan yang ada di dalam diri kita. Ia dapat melihat
jauh ke depan kita, karena Jauh dari kita. Ia dapat melihat detil dari setiap
masalah yang ada di dalam hidup ini. Ia dapat membuat antisipasi yang pas di
dalam setiap masalah kita. Kita sangat membutuhkan Allah yang jauh, sebagaimana
kita membutuhkan Dia sebagai Allah yang dekat dengan kita. Kedua sisi ini harus
dipertahankan sedemikian rupa, agar kita menikmati proteksi yang tiada
bandingnya dari Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.
Tatkala orang
Yehuda memahami bahwa Allah itu dekat dengan mereka, karena tinggal di Bati
Allah yang ada di Yerusalem, maka mereka memahami sesuatu yang aneh bagi kita
sekarang ini. Allah tinggal di Bait-Nya yang kudus. Oleh karena itu, Ia tidak
akan melihat apa saja yang dikerjakan oleh orang Israel di dalam keseharian
mereka. Karena itulah, maka Allah menyuarakan firman-Nya melalui Nabi Yeremia,
Ia juga adalah Allah yang jauh.
Pemahaman
beribadah yang seperti itu, rasa-rasanya juga berlangsung hingga dewasa ini.
Kita merasa telah menyenangkan hati Allah dengan ritus ibadah yang kita lakukan
setiap minggu. Kita telah menikmati sukacita bersekutu dengan Allah di dalam
ibadah kita. Kedekatan dengan Allah sangat kita rasakan di dalam ibadah yang
kita lakukan dengan begitu antusias. Oleh karena itu, kita merasa bagian dari
Allah di dalam hidup kita telah diserahkan kepada-Nya. Sekarang kita dapat
melakukan bagian kita di dalam hidup itu sendiri. Untuk yang satu ini, kita
yang menentukan apa yang dapat kita lakukan. Allah tidak perlu turut ambil
bagian di dalamnya. Bukankah Allah telah dipuaskan di dalam ibadah yang kita
lakukan di Gereja, atau di tempat-tempat tertentu?
Dikhotomi
pemahaman yang kudus dan yang profan membuat kita memilah-milah kehidupan ini.
Tatkala kita melakukan hal yang kudus menurut kita, maka apa yang dikehendaki
Allah, itulah yang harus terlaksana di sana. Tetapi bagian hidup yang profan
bukanlah urusan Allah, melainkan urusan kita sendiri. Pola seperti ini masih
juga terasa di dalam kehidupan orang Kristen hingga dewasa ini. Ada seorang
teman yang sangat aktif di dalam pelayanan menyuarakan kegalauan hatinya
melihat perilaku dari teman-temannya sesama pelayan di dalam satu ibadah.
Tatkala ibadah
sedang berjalan, maka teman-temannya itu begitu rohani. Rasa-rasanya mereka itu
sudah dipenuhi oleh Roh Kudus, dengan bahasa roh yang begitu semarak. Namun,
tatkala ibadah sudah selesai, tidak ada perbedaan mereka dengan mereka yang
tidak turut ambil bagian di dalam ibadah tadi. Mereka serupa dengan orang dunia
yang tidak perduli dengan Allah. Dalam ibadah, teman-temannya itu begitu dekat
dengan Allah. Tetapi di luar ibadah, Allah seolah-olah tidak ada di dalam hidup
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar