Makalah yang disajikan penyaji di retreat Parhalado HKBP Menteng Jakarta
Harta Karun Yang Terancam Punah ?
Dari
luar dimasukkanlah nyanyian-nyanyian yang musik bercorak pop dan dekat dengan
musik industri yang berasal dari mass
culture dengan ciri hedonisme
(mengutamakan kesenangan dan kepuasan). Isinya pendek-pendek dan umumnya
mempunyai corak yang sama, yaitu berkaitan dengan keberadaan orang yang
menyanyikan (sukacitanya, dukanya, indahnya, dan lainnya). Kebaktian dijalankan
dengan istilah ‘liturgi alternatif’ atau ‘liturgi kontemporer’. Penampilannya
pun disesuaikan, dimana ada song leaders
dan MC (Master of Ceremony) yang
selalu menafsirkan nyanyian itu dan menghangatkan suasana. Perlengkapan band pun dimasukkan mengiringi nyanyian,
kalau tidak keyboard akan dimainkan
sedemikian rupa sehingga memunculkan suasana khusus.
Dalam
bagian lain, bagi mereka yang tidak menyanyikan nyanyian rohani pop, tetapi mempertahankan Buku Ende, terjadi perubahan dalam cara menyanyikan. Tempo
dari setiap nyanyian dibuat hampir sama, sehingga semuanya terlihat mempunyai
kecepatan yang sama. Bahkan ditambah lagi dengan nyanyian lain, yang bukan
nyanyian pop, tetapi pada dasarnya
bertentangan dengan makna teologis Buku
Ende itu sendiri.
Terlihat
semuanya seolah-olah tidak membawa persoalan, tetapi pada dasarnya, baik
masukkan maupun perubahan di dalam,
semuanyan itu mempengaruhi musik liturgi HKBP. Dengan demikian, makna dari
musik liturgi yang sangat
luas seginya, akan dibahas hanya sebagian kecil darinya untuk menunjukkan
‘ancaman’ tadi. Sekali lagi hendaknya disadari, corak musik yang disebutkan
dalam tulisan ini adalah corak musik Barat untuk liturgi Gereja Barat
(Protestant) seperti HKBP dan lainnya.
Kalimat
singkat itu menunjukkan makna teologis dari musik liturgi itu, khususnya
nyanyian dalam rangka kebaktian, yaitu hubungan antara nyanyian dan pemberitaan
Firman. Untuk itulah teks dari nyanyian itu menjadi unsur yang sangat penting.
Hal yang prinsip dalam pemberitaan Firman Allah melalui teks chorale terlihat dalam tiga hal:
pertama, isi teks itu terutama merupakan garis vertikal yang dari atas ke
bawah. Umat membutuhkan Firman yang memberi hidup itu, dan itu datang dari
pihak Allah. Kedua, serentak dengan itu, teks nyanyian itu juga merupakan garis
vertikal dari bawah ke atas, yaitu jawaban ucapan syukur serta pujian umat pada
Allah. Ketiga, jemaat melayani sesamanya manusia melalui nyanyian itu. Seluruh penjelasan ini dipenuhi dalam Buku Ende .
Sebagai contoh, marilah kita ikuti alur dari teks nyanyian berikut, mulai dari
ayat satu sampai empat, sambil memperhatikan, siapa yang berbicara pada siapa:
puji hamu Jahowa tutu
pardenggan basa
parasiroha salelengna i
pardenggan basa i. parasi
roha i.
ingot tongtong, ale
tondingkon
sude na denggan
na dipasonggop Debata tu ho
denggan basaNa do
na pangoluhon ho
nda tung
adong pargogo tongon
na martudosan
tu Tuhan Debata
di surgo i
sun hinagogo i sun hinagogo
i
songkal tongtong Jahowa
tongon
na marmulia
di sasude na tinompaNa i
hamuliaon ma di Tuhan Debata
Isi
nyanyian di atas benar-benar
merupakan pemberitaan Firman, merupakan khotbah. Setiap ayat menunjukkan garis
vertikal dari atas ke bawah, yaitu apa yang diperbuat Allah pada manusia. Lalu
kemudian ayat satu merupakan garis vertikal dari bawah ke atas, yaitu pujian,
dari ayat dua sampai ayat empat, dari bawah ke atas dalam bentuk pengakuan (credo) dan isinya kalau diperhatikan
adalah merupakan rumusan dogma
(ajaran untuk dipercayai) yang dinyanyikan. Itulah sebabnya setiap credo dan dogma menjadi doxologi
(pujian) di dalam liturgi!
Selain
itu terlihat garis horisontal, yaitu dalam ayat satu, dimana penyanyi
menunjukkan pada sesamanya manusia. Pada ayat dua, penyanyi berbicara pada
dirinya sendiri, ayat tiga sampai empat merupaka kesaksian bagi seluruh yang
ada diluar diri penyanyi itu. Akhir dari ayat empat itu “Hamuliaon ma di Tuhan Debata ”
(kemuliaan bagi Allah) mengingatkan nyanyian malaikat. Demikianlah setiap
doxologi, adalah nyanyian bersama dengan malaikat. Melalui contoh ini, yang
juga ditemukan dalam nyanyian lain di dalam Buku Ende ,
terlihatlah bahwa menyanyikan nyanyian kebaktian itu adalah berkotbah, artinya
datangnya Firmah
Tuhan pada umat.
Selanjutnya
kotbah itu menjadi sapaan pada semua anggota jemaat, sehingga mereka mengikuti
apa yang Rasul pesankan “ berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam
mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani”(Efesus 5:19 ), sehingga “perkataan Kristus diam dengan
segala kekayaannya”(Kolose 5:19 )
di antara jemaat. Ke- 373 nyanyian dalam Buku
Ende, boleh dianalisis dengan sudut pandang uraian diatas, dan kita akan
semakin heran melihat harta karun yang secara rohani menjadi milik kita yang
tidak ternilai. Gejala yang terlihat untuk ‘memunahkannya’ adalah pertanda
makna teologis musik liturgi tidak lagi dipertimbangkan. Nyanyian dilihat dalam
rangka memenuhi kebutuhan. Nyanyian sebagai kotbah, bukanlah untuk memenuhi
kebutuhan, tetapi garis vertikal dari atas ke bawah menunjukkan nyanyian itu
memberitakan bagaimana Allah turun dan membentuk manusia itu. Jadi musik
liturgi membentuk kebutuhan, bukan sebaliknya kebutuhan membentuk musik
liturgi.
Buku Ende Sebagai Not Yang Membuat Teks Menjadi
Hidup
Bila
dihubungkan dengan dasar teologi, nyanyian seperti disebutkan di atas, maka terlihatlah bahwa nyanyian dan
musik itu muncul dalam
satu kesatuan dengan teologi. Itulah sebabnya seseorang yang mempelajari
teologi menyentuh juga seni musik itu, walaupun dia mungkin tidak mampu
memainkannya atau memahaminya. Melalui musik liturgi dinyatakanlah bahwa musik
dan teologi sama-sama berakar dalam firman, keduanya datang dari Allah, dan
keduanya berkaitan dengan pendengaran. Itulah sebabnya kembali kita dapat
memahami Martin
Luther yang menyebut musik adalah
anugerah Allah dan menempatkannya sebagai yang tertinggi sesudah teologi.
Kesatuannya semakin nyata didalam nyanyian itu: kata-kata itu menjadi hidup.
Karena itulah dalam nyanyian liturgis, kata-kata itu mempunyai kehidupannya
yang tidak terpisahkan dari melodi.
Tetapi
dalam penyusunannya, melodi itu tunduk pada kata-kata. Melodi itu menjadi
pelayan dari kata-kata, dari syair nyanyian itu. bila kita kembali pada
penjelasan di atas, maka urutan pemahamannya adalah sebagai berikut: Firman
Allah menjadi firman yang hidup kalau dia diberitakan dan dengan demikian dia
membangkitkan iman. Karena musik (termasuk melodi dan not itu) ‘membuat syair
menjadi hidup’, maka injil diberitakan juga melalui musik. Sehingga musik dan
teologi menjadi pembawa dan penafsir Firman Allah, menjadi suara yang hidup
dari injil itu sendiri. Seluruh penjelasan ini terpenuhi dalam Buku Ende .
Bila kita ikuti misalnya hubungan antara melodi dari nyanyian berikut dengan
syairnya, maka akan terlihat kesatuan musik dan teologi atau pemberitaan firman
itu:
Buku Ende No. 183:1-4 “Na jumpang au na asi roha” (BL No. 105)
Na jumpang au na asi roha
Di au naung mago i hian
Tuhan Jesus parasiroha
Di au na lilu nahinan
Nuaeng hutanda Tuhanki
Parasi roha bolon i
Parasi roha bolon i
Dibahen godang ni dosangku
Tung hona uhum au tama
Hape ro Jesus dipadomu
Au muse dohot Debata
Mudarna na badia i
Pajongjong pardomuan i
Pajongjong pardomuan i
On pe holan asi ni roha
Sipangasahononhoni
Sipujionku do Jahowa
Dung ro na pamanathon i
Unduk huhut las rohangki
Mamuji asi roha i
Mamuji asi roha i
Ianggo i ndang taragohon
Bahenon ni manang aha pe
Sai asiMi hupangasahon
Di tangiangku sasude
Mate pe au pos rohangki
Marningot asi-asiMi
Marningot asi-asiMi
Alur
syair itu benar-benar penguraian dari teologi reformasi berkaitan dengan
‘dibenarkan oleh iman’ (justification),
khususnya aspek sola gratia (diselamatkan
oleh karena anugerah). Anugerah itu dirangkai sedemikian indah dalam syair,
sehingga ayat satu dikembangkan dalam ayat dua, demikian selanjutnya semakin
memuncak pada ayat keempat, sampai pada kepastian keselamatan pada kalimat
terakhir dari ayat yang keempat. Kalau kita masuk kedalam not nyanyian itu,
maka kalimat pertama dan kedua, mempunyai melodi yang sama dengan kalimat kedua
dan keempat. Terlihat dari rangkaian melodi itu, bahwa dia merupakan persiapan
untuk not dari kalimat ketiga, empat dan lima .
Not itu secara perlahan semakin meninggi dan diakhiri dengan not-not yang lebih
tinggi di dalam “Parasi roha bolon I” (ayat 1), “pajongjong pardomuan” (ayat
2), mamujoi Asi roha i (ayat 3) dan “marningot asiasiMi” (ayat 4). Dari syair
terlihat makna meningkat dari setiap bagian terakhir, juga fungsinya dalam
menonjolkan dogma tentang sola gratia, dan akhirnya not-not itupun disusun untuk melayani
pentingnya pemberitaan ini. Dogma itu menjadi doxologi !
Ke-373 Nyanyian dalam Buku
Ende, boleh dianalisis dengan sudut pandang uraian diatas, dan kita akan
semakin heran melihat harta karun yang secara rohani menjadi milik kita yang
tidak ternilai. Gejala yang terlihat untuk ‘memunahkannya’, adalah pertanda
makna teologis musik liturgi tidak lagi dipertimbangkan. Nyanyian dalam rangka
memenuhi selera jaman akan musik. Seluruh nyanyian rohani dalam lagu pop, lebih menonjolkan melodinya.
Seolah-olah melodi itu mengarahkan perhatian umat pada dirinya sendiri.
Peletakan kata tidak sesuai lagi dengan tinggi rendahnya not. Dia menjadi ratu
dari nyanyian itu, dan semua itu demi membuat manusia lebih gembira, lebih
bersemangat dan memenuhi kebutuhan emosionalnya. Oleh karena itu, tidak pernah
nyanyian rohani dalam bentuk lagu pop
sebagai bagian dari musik liturgi. Mungkin bisa saja orang mengatakan: “musik
pop seperti itu untuk nyanyian rohani membawa saya pada perasaan khusuk dalam
beribadah. Oleh karena itu jangan tentukan mana yang cocok bagi saya dalam
beribadah!”
Pernyataan seperti itu menunjukkan perhatian lebih
diutamakan pada diri sendiri daripada Allah dan pemberitaan itu. Masalahnya
tidak terletak, apakah nyanyian itu menyenangkan telinga kita atau ‘telinga’
Allah. Tidak lebih memperhatikan perasaan kita, tetapi bahwa Allah dipuji. Dan
melodi dengan corak seperti diterangkan di atas, yang menunjukkan not melayani
syair sesuai dengan hal tersebut, dimana Allah yang menjadi pusat perhatian.
Perbedaan yang berkaitan dengan pendengaran Allah dan pendengaran
kita ini dimunculkan oleh perbedaan pemahaman nyanyian menurut para reformator
sebagai nyanyian sakramental, berbeda
dengan pemahaman kaum pietis/ evangelikal/
kharismatik dimana nyanyian adalah persembahan saja. Nyanyian sakramental mengakibatkan jemaat
bernyanyi, mengajar dan memberitakan Injil pada sesamanya, sementara nyanyian
sebagai korban persembahan, membuat jemaat membangkitkan dirinya sendiri
sehingga hati dan perasaannya dipengaruhi sehingga mereka mampu untuk memuji.
Usaha menggantikan Buku Ende dengan
nyanyian pop, secara teologis merusak
makna musik liturgi, mengabaikan pemberitaan Injil melalui musik. Nyanyian
sebagai khotbah, bukanlah untuk memenuhi kebutuhan, tetapi garis vertikal dari
atas ke bawah menunjukkan nyanyian itu memberitakan bagaimana Allah turun dan
membentuk manusia itu. Jadi musik liturgi membentuk kebutuhan dan dengan demikian
membentuk budaya. Membentuk zaman! Bukan sebaliknya, seolah-olah kita
membiarkan zaman ini membentuk musik liturgi.
Pdt.
Bonar Lumbantobing, Mth
Dosen
STT HKBP Pematangsiantar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar