Retak
Tidak ada yang kekal di dunia ini. Silih berganti
kehidupan yang kita jalani. Belakangan ini, Jemaat dimana saya melayani sudah
puluhan tahun, mengalami pergumulan yang cukup parah. Jemaat ini terkenal sebagai
Jemaat yang dipuji orang di antara Jemaat yang ada di dalam sinode tersebut. Rasanya
tidak enak menyebut namanya di dalam tulisan ini. Dahulu Jemaat kami ini disebut orang sebagai salah
satu penampakan wajah Jemaat dari sinode tersebut. Tetapi sekarang sudah retak.
Kesehatian yang dulunya dapat dipelihara, sekarang
sudah berkeping-keping. Para pekerja di majelis Jemaat sudah saling memusuhi
satu sama lain. Anggota Jemaat pun terbawa-bawa di dalam persoalan ini. Permasalahan
bermula dari pendeta yang melayani di Jemaat tersebut memasuki masa pensiun. Sejumlah
orangtua dari anggota Jemaat mengadakan upaya untuk memberikan kriteria pada
pimpinan sinode untuk ditempatkan menjadi pendeta di Jemaat kami. Pada mulanya
pimpinan Jemaat mengiyakan kriteria yang diusulkan. Namun kenyataannya pendeta yang
dialokasikan di Jemaat ini tidak seturut kriteria yang diusulkan oleh para orangtua
tersebut.
Persoalan berkembang meluas. Salah satu blunder yang dilakukan
majelis Jemaat adalah mengadakan voting atas surat keputusan dari pimpinan
sinode dari Gereja kami. Pada hal di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
dari Sinode, tidak memberi ruang terhadap voting terhadap keputusan dari
pimpinan sinode. Sejumlah besar anggota majelis menolak putusan tersebut. Inilah
menjadi dasar dari sebagian besar anggota Jemaat untuk mempengaruhi anggota Jemaat.
Teman teman yang merasa menang voting ini menurut hemat
saya, ingin menetapkan bahwa satu Jemaat tidak dapat diatur oleh pimpinan
sinode, melainkan majelis jemaatlah yang menentukan perjalanan dari Jemaat tersebut.
Hal ini telah menyalahi dasar dari berdirinya Jemaat itu secara keseluruhan. Ada
pun wujud dari Jemaat kami tidaklah presbiterial sebagaimana dianut oleh
beberapa sinode dari Jemaat Tuhan di negeri ini. Jemaat kami memiliki cirinya
sendiri yang diwarisi dari para pendirinya.
Dahulu aku sangat bangga di hadapan orang lain, tentang
keberadaan dari Jemaat kami yang sedang mengalami permasalahan ini. Aku tidak menyangka
bahwa teman teman yang saya kenal dulunya sebagai orang yang lembut dan rohani,
sekarang aku melihat perilaku mereka tidak lagi seperti yang saya kenal. Ternyata
jika kita menemukan masalah di dalam kehidupan, aku muncul keberadaan kita yang
tidak kita kenal sebelumnya.
Saya mengatakan bahwa pada hakekatnya kita punya
kepribadian ganda. Karena kehidupan kita berjalan dengan baik dan hampir tidak punya
masalah, maka sisi baik dari kehidupan kita yang beroperasi dalam keseharian yang
kita jalani. Namun, tatkala pergumulan hidup datang, sesuatu yang kita tidak sukai
muncul di dalam hidup ini, maka pribadi kita yang tidak kita kenal muncul dari
dalam. Bukankah sering kita mendengar perkataan orang: “Wah aku tidak sangka,
aku dapat melakukan hal seperti itu!”
Ada orang yang mengatakan bahwa kita masing masing
memiliki transendensi diri sendiri. Keberadaan kita jauh lebih besar dari pada yang
kita kenal. Ungkapan di atas adalah salah satu dari keabsahan dari premis yang barusan
sudah diutarakan. Kebalikan dari perilaku yang diungkapkan di atas, kita juga
tentunya pernah melihat seorang yang kita kenal ganas dan buas dalam kesehariannya,
ternyata ia pun dapat melakukan sebuah perbuatan yang sangat lembut.
Bahkan di dunia binatang pun dapat kita melihat hal yang
sama. Di bawah ini terlihat
sebuah
gambar, bagaimana seekor gajah menujukkan belas kasihannya terhadap seekor anak
kucing yang terperangkapdi dalam sebuah sungai yang deras.
Transendensi diri ini dapat kita pahami jika kita melihat
diri kita dalam aspek diri kita secara holistik. Diri kita yang sesungguhnya
adalah terdiri dari diri kita di masa dulu, diri kita di masa sekarang dan diri
kita di masa depan. Totalitasnya itulah yang kelak akan diperhadapkan kepada pengadilan
terakhir di akhir zaman. Kita telah mengenal diri kita di masa dulu, karena kita
telah melaluinya. Kita sedang mengenal diri kita di masa sekarang. Tetapi kita
belum mengenal diri kita di masa datang. Jadi pada hakekatnya pengenalan akan
diri kita, tentang siapakah kita yang sebenarnya belumlah lengkap. Itulah yang saya
maksud transendensi diri.
Teman-teman yang dulunya aku lihat lembut dan sopan,
ternyata di dalam dirinya ada sesuatu yang
keras dan kasar. Tentunya hal yang sama pun ada di dalam diri saya sendiri. Saya
sering menyesali diri sendiri, karena ternyata saya tidak seperti yang saya
kenal. Ada kekasaran di dalam diri saya. Ternyata kita punya kepribadian yang ganda.
Pribadi kita ternyata memang retak. Alkitab mengatakan bahwa di dalam diri
kita, ada manusia lama, sekaligus juga ada manusia baru.
Rasul Petrus mengatakan: “ Saudara-saudaraku yang
kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau, kamu
menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa. I
Pet 2:11. Dari nas ini sangat jelas mengatakan bahwa ada dua pribadi di dalam diri
kita. Keinginan daging berjuang melawan jiwa itu kata rasul Petrus. Di tempat
lain Paulus mengatakan adanya keinginan daging dan keinginan roh. Dua-duanya
saling berlawanan satu sama lain.
Kembali kepada masalah di Jemaat. Tuhan rasanya sedang
mengungkapkan kepada dunia dan kepada kami, bahwa di dalam diri kami ada sisi
gelap. Selama ini sisi terangnya yang dieksploitasi. Tiba saatnya Tuhan mau
mengungkapkan bahwa pada hakekatnya kalian tidak sama seperti anggapan kalian terhadap
diri sendiri. Pada hakekatnya kalian tidak dapat membanggakan diri sebagai wajah dari Jemaat-Ku. Karena tandanya
seseorang itu adalah murid Yesus Kristus adalah kasih. Kasih menutupi
pelanggaran. Itu kata Petrus dan guru hikmat Raja Salomo. Tetapi di antara
kami, kami sedang mengumbar kesalahan orang lain. Pada hal kesalahan itu belum
tentu benar.
Tuhan kasihanilah kami. Ampunilah dosa dan kesalahan
kami. Kebanggaan kami yang tidak berdasar sama sekali di hadapan-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar