Alur narasi dari tulisan ini menurut saya ialah Gedung Gereja, Altar, Kebaktian, Persekutuan. Di dalam Acara Kebaktian yang adalah manifestasi Persekutuan, kita mengikuti acara acara khusus, yakni Baptisan. Setelah itu Sidi, setelah itu Pernikahan, Perjamuan Kudus dan lain sebagainya.
BAPTISAN YANG SAYA PAHAMI
Oleh St. Hotman Ch. Siahaan
Pendahuluan
Tulisan ini didasarkan pada
pemahaman pribadi, namun itupun dilatar-belakangi pemahaman sebagai seorang
Sintua di HKBP Menteng, Jl. Jambu 46 Jakarta. Tulisan yang dituangkan dalam
makalah ini, dibuat setelah mengamati dan mempelajari pelaksanaan baptisan di
gereja HKBP. Apa yang diutarakan dalam makalah ini, tidaklah dapat di klaim
sebagai pandangan resmi HKBP, sekalipun didasarkan pada upacara baptisan yang
diselenggarakan di HKBP. Hal itu terjadi disebabkan pemahaman ini adalah
pemahaman pribadi. Namun sebuah harapan disimpulkan di dalam hati, yaitu:
semoga uraian ini bermanfaat untuk mengingatkan makna dari baptisan yang kita
alami itu. Semoga.
Acara Pendahuluan
Sebelum acara pembaptisan
dilaksanakan, biasanya para orangtua dikumpulkan lebih dahulu dalam satu
pertemuan. Hal seperti itu terjadi di HKBP Menteng, Jl. Jambu 46 Jakarta. Saya
tidak tahu apakah jemaat yang lain melakukan hal yang sama. Secara pribadi saya
tidak tahu apa yang diajarkan di dalam pertemuan itu. Biasanya Guru Huria
(sekarang setelah jabatan Guru Huria tidak ada lagi di HKBP, tentunya pendeta)
yang memimpin pertemuan tersebut: Seyogyanya, saat itu dipergunakan untuk memberi
penjelasan secara teologis, makna dari baptisan, bagi para orangtua. Saya
pribadi pernah memimpin pertemuan seperti itu. Di dalam pertemuan tersebut,
saya mengevaluasi alasan para orangtua untuk membawa anaknya ke dalam
pembaptisan. Ada di antara mereka yang datang untuk kesekian kalinya membawa
anaknya untuk dibaptis. Tetapi jawaban mereka tetap tradisional, bukan karena
panggilan iman. Sangat menyedihkan. Mereka melakukan hal yang sangat Sakral
itu, dengan pengertian yang tidak pas.
Sebelum acara untuk para orangtua
ini diadakan, di dalam kebaktian kita, diumumkan bahwa di minggu yang akan
datang, baptisan kudus akan diselenggarakan di dalam ibadah minggu tersebut.
Saya melihat warta ini adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upacara
pembaptisan. Melalui warta tersebut, Gereja Tuhan menyampaikan panggilan Allah,
untuk menerima kasih karunia Ilahi. Saya membawa anak ke dalam baptisan kudus,
adalah karena panggilan Allah, melalu Gereja-Nya. Panggilan seperti itu
disuarakan Petrus di Yerusalem, pada hari Pentakosta. “Sebab bagi kamulah janji
itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak orang
yang dipanggil oleh Tuhan Allah kita’ (Kis. 2:39). Gereja adalah partner Allah
di dunia ini, yang memanggil orang untuk datang ke perjamuan yang disediakan
Allah (cf. Luk. 14:15-24).
Panggilan Gereja untuk memanggil
orangtua, agar membaptis anaknya, kita dapatkan dari Tuhan Yesus di dalam
amanat agung-Nya. Sangat jelas kita baca di sana bahwa Gereja diutus untuk
mengajar dan membaptis.
Agenda Pembaptisan
Acara pembaptisan di mulai dengan nyanyian.
Biasanya nyanyiannya diambil dari Buku Ende No. 146
O Jesus naeng tardidi do
poso-poso on.
Sai ro ma mangaligi, huhut
manjolo on.
Diboan natorasna nasida be tuson
Ai naeng pasahotna tu Ho dakdanak
on
Ai di bagasan dosa do tubu on
sude
Isara ni ompuna, nang natorasna
pe
Mudar-Mu do naung durus, manesa
dosa i
I ma umbahen binoan dakdanak on
tuson
Mangido haluaon di pandidion on
Asi roham; o Tuhan di angka on
sude,
Tu buku hangoluan surathon ma
sude
Dari lirik lagu tersebut di atas,
kita dapat mengerti apa pengertian HKBP tentang makna dari baptisan. Baptisan
adalah suatu respon manusia terhadap karya Allah. Upacara itu dilaksanakan
dalam sisi manusia; sementara sisi manusia ini sangat ditekankan oleh
gereja-gereja yang menganjurkan baptisan dewasa. Bagi mereka, baptisan adalah
suatu proklamasi. Manusia itu memproklamirkan kepada dunia ini, bahwa ia adalah
orang percaya. Hanya orang dewasalah yang dapat memproklamirkan imannya. Oleh
karena itu, mereka menolak baptisan anak-anak. Anak itu tidak mungkin mampu
untuk memproklamirkan imannya. Untuk membenarkan argumentasi itu mereka
mengutip perkataan Tuhan Yesus yang berkata: “Siapa yang percaya dan dibaptis
akan diselamatkan” (Mark. 16:16). Tentang tuduhan bahwa anak-anak tidak mungkin
beriman, Luther, dalam Katekhismus Besar, mengatakan: “Baptisan tidak terikat
pada iman kita, melainkan dengan firman”.
Lalu ia membuat contoh tentang
orang Yahudi yang tidak percaya kepada Yesus, tetapi ia dibaptis. Luther
berkata: “Baptisannya tetap sah. Sebab, air bersama dengan Firman itu ada dalam
baptisan tersebut, meskipun orang Yahudi itu tidak menerimanya sebagaimana
mestinya”. Dari pandangan Luther tersebut, kita melihat bahwa baptisan itu
adalah karya Allah. Allahlah yang berkarya di dalam baptisan itu melalui
Firma-Nya. Manusia hanya melaksanakannya. HKBP mengungkapkannya di dalam ibadah
pembaptisan. Dari Buku Ende No. 147: 2-3 kita tahu bahwa baptisan bagi HKBP
adalah suatu tindakan Allah dalam rangka melahirkan kita untuk yang kedua
kalinya.
Marsaringar hata on di bagasan
roha nami;
Manang ise na dison so hian
manduahali
Sian ginjang tinubuhon, ndang
tarbaen tu hangoluan
Ala ni hapogan di hami ro tu Ho,
o Tuhan,
Asa sahat ma tu Ho poso-poso on
Sai suan hangoluan tu rohana, asa
gong di Ho ibana.
Allah, dan bukan manusia yang
berkarya, di dalam baptisan melalui Firman-Nya. Jadi baptisan dengan alasan
proklamasi, seperti yang disuarakan teman-teman seiman lainnya, tidak boleh
mengklaim bahwa hanya mereka yang benar, sementara babtisan yang kita
laksanakan tidak dapat diterima. Jika demikian halnya, apakah iman tidak
diperlukan di dalam baptisan? Perlu! Iman Gerejalah yang memanggil anggota
jemaat untuk membawa anak itu ke dalam pembaptisan. Mari kita simak ayat
pertama dari BE No. 147 tadi. Jemaatlah yang membawa anak itu ke dalam
pembaptisan, bukan hanya orangtua dari si anak. “Jesus hami ro dison,
mangihuthon na nidokmu (garis bawah dari saya). Iman jemaat itulah yang membawa
anak ke dalam pembaptisan, sebab ada kata “hami”, kami. Dalam hal ini,
pandangan yang diutarakan di atas adalah pandangan saya secara pribadi. Belum
pernah kudengar Pendeta HKBP mengatakan pernyataan seperti itu. Jadi makna dari
nyanyian pertama itu adalah pernyataan iman dari Gereja Tuhan.
Setelah bernyanyi, jemaat
menaikkan doa melalui pendeta. Adapun doa yang dinaikkan adalah sesuai dengan
apa yang dituliskan di dalam agenda, sebagai berikut : “Ya Bapa Kami Yang di
Surga, kami datang membawa anak-anak ini kepada-Mu. Kasihanilah dan terimalah
mereka menjadi anak-anak-Mu. Berkati dan kuatkan mereka di dalam perjalanannya
menuju kehidupan yang kekal di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Amin”. Dari doa
itu kita mengerti dan dikuatkan dalam iman, tentang makna dari apa yang sedang
kita ungkapkan di atas, yaitu jemaatlah yang membawa anak-anak itu, bersama
orangtuanya untuk dibaptis. Baptisan adalah sarana bagi kita untuk masuk ke
dalam keluarga Allah. Melalui baptisan itu kita diterima menjadi anak-anak
Allah.
Kita dilahirkan kembali di dalam
kerajaan Allah melalui baptisan itu. Berdasarkan Yoh. 1:13, kita dijadikan
anak, bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh
keinginan seorang laki-laki melainkan dari Allah. Manusia tidak bisa melahirkan
dirinya sendiri. Ia dilahirkan ke dunia ini oleh orang lain. Demikian juga
halnya dengan kerajaan Allah. Saya dilahirkan oleh Allah menjadi anggota
kerajaan-Nya, melalui baptisan kudus.
Setelah doa itu dinaikkan oleh
jemaat kepada Allah tentang pembaptisan, maka nasihat dan bimbingan pun
diberikan kepada orangtua. Ada tiga nas firman Tuhan yang dikutip dalam
bimbingan itu. Nas pertama ialah: “ Karena itu pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.
Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat.
28:19-20), Nas kedua: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan,
tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” ( Mark. 16:16), Nas ketiga:
“Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan
anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab
orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti
seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak
itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka” (Mark.
10:14-16). Dari ketiga kutipan ayat tersebut di atas, kita dapat kesimpulan
sebagai berikut: Gereja membawa anak itu ke dalam pembaptisan, sebagai satu
respon ketaatan kepada Amanat Agung Yesus Kristus, agar pergi ke seluruh dunia,
menjadikan segala bangsa menjadi murid-Nya. Baptisan itu juga dilaksanakan di
dalam iman, yaitu iman jemaat tersebut. Di sisi lain, baptisan dilaksanakan,
mengingat perkataan Tuhan Yesus, supaya anak-anak jangan dihalangi untuk datang
kepada Tuhan.
Bagi Gereja yang membaptis hanya
orang-orang dewasa, mereka membuat satu upacara terhadap anak-anak, dimana
upacara seperti itu tidak diajarkan oleh Tuhan Yesus untuk dilakukan umat-Nya.
Upacara itu mereka sebut dengan nama “Penyerahan kepada Tuhan”. Mungkin latar
belakangnya adalah Markus 10:14-16 ini juga. Acara itu dilakukan oleh karena
adanya kebutuhan, yaitu: “Bagimana jika anak itu mati sebelum dibaptis?” “Dia
ke surga atau ke neraka?”Agar kita bisa menjawabnya, maka dibuatlah acara
penyerahan tersebut. Di seluruh kitab Injil, dan surat-surat, kita tidak
menemukan acara seperti itu dilaksanakan oleh gereja Purba.
Gereja kita memahami ayat “Jangan
menghalang-halangi mereka, sebab orang seperti itulah yang empunya kerajaan
sorga”, adalah sebagai berikut: jangan menghalangi mereka untuk ambil bagian di
dalam perjanjian kekal, antara Allah dengan umat-Nya di dalam Kristus. Janji
itu ialah keselamatan, masuk ke dalam keselamatan melalui mati bersama dengan
Kristus, dan bangkit dari antara orang mati bersama dengan Kristus. Mati dan
bangkit itu kita alami di dalam baptisan (Roma 6:3-4). Itu artinya datang
kepada Kristus menurut Gereja kita HKBP.
Namun bagi mereka yang membaptis
dewasa, lain artinya. Anak-anak hanya diserahkan dan diberkati oleh pendeta.
Berkat apakah yang lebih indah di dalam iman kita, selain dari berkat
keselamatan! Saya tidak tahu, berkat apa yang mereka berikan kepada anak itu,
pada waktu mereka membawa anak-anak tersebut pada acara penyerahan. Bagi kita,
arti dari ungkapan “jangan menghalangi anak-anak datang kepada-Ku”, bermakna:
jangan menghalangi mereka menjadi anggota keluarga Allah. Sementara jalan masuk
ke dalam keanggotaan keluarga Allah adalah baptisan. Dengan baptisan, kita
dibuat menjadi anggota dari tubuh Kristus, dan mengambil bagian dalam Roh
Kudus.
Rasul Paulus di samping berbicara
tentang iman sebagai dasar dari pembenaran; tentang ke–anak–an haanahon,
sonship’ , tentang penerimaan Roh Kudus; ia juga berbicara tentang baptisan.
Paulus menguraikan bahwa melalui baptisan itu, kita dibuat menjadi anggota
tubuh Kristus. Tubuh adalah istilah yang dipakai Paulus untuk menggambarkan
kesatuan Kristus dengan umat-Nya, dimana orang Kristen adalah anggota dari
tubuh yang terlihat. Jalan masuk ke dalam tubuh Kristus yang terlihat adalah
baptisan. Satu catatan tambahan bagi kita, dapat sebutkan ialah: untuk masuk ke
dalam pelayanan-Nya, Yesus dibaptis lebih dahulu di sungai Yordan. Baptisan itu
menjadi tanda bagi Dia untuk masuk ke dalam pelayanan-Nya. Sama seperti itu
berlaku bagi kita. Jalan masuk ke dalam keluarga Allah ialah baptisan.
Setelah nasihat dan bimbingan
bagi orangtua diucapkan, pendeta meminta agar para orangtua mengucapkan
pengakuan Iman Rasuli. Satu pertanyaan perlu diajukan, mengapa mereka perlu
mengucapkan dua kali pengakuan iman rasuli itu? Pertama mereka mengucapkannya
bersama-sama anggota jemaat, dan yang kedua kalinya pada waktu pembaptisan
anak! Saya mengerti makna dari pengakuan iman yang kedua itu adalah pengakuan
iman dari si anak yang akan dibaptis. Pemahaman ini adalah pemahaman pribadi,
sebab tentang hal ini tidak pernah ada yang mengajarkan hal seperti itu kepada
saya. Hal ini adalah hasil dari satu perenungan pribadi. Apakah memang demikian
pemahaman para pendeta kita, saya tidak tahu. Saya pun belum pernah menanyakan
hal itu secara pribadi kepada mereka.
Pemahaman itu timbul dari
renungan atas Ibrani 7:4-10. Di sana kita baca tatkala Abraham mempersembahkan
perpuluhannya kepada Melkisedek, penulis surat Ibrani mengatakan bahwa Lewi pun
turut mempersembahkan korban perpuluhan kepada Melkisedek (ayat 4). Padahal
kita tahu Lewi belum lahir, Ishak pun
belum ada, Yakub pun belum ada, mengapa demikian? Doktrin yang ada di dalam
pemahaman orang Yahudi, yaitu bapa hidup di dalam anak, dan anak hidup di dalam
bapa adalah jawabannya. Sayang, kita tidak lagi melihat doktrin Alkitab yang
sangat berharga ini.
Saya mengajak kita sekalian untuk
sejenak melihat umat Israel, tatkala mereka mengikat perjanjian dengan Allah di
Kadesy Barnea. Musa jadi perantara antara Allah dan Israel pada waktu itu. Musa
berkata, “Bukan hanya dengan kamu saja aku mengikat perjanjian dan sumpah janji
ini, tetapi dengan setiap orang yang ada di sini pada hari ini bersama-sama
dengan kita, yang berdiri di hadapan TUHAN, Allah kita, dan juga dengan setiap
orang yang tidak ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita”. Ul.
29:41-15. Ada orang yang tidak ada pada hari itu, tetapi mereka juga turut
mengikat perjanjian dengan Allah! Pertanyaan nya ialah siapakah mereka itu?
Jawabannya ialah: mereka adalah generasi penerus Israel di sepanjang zaman.
Sekalipun mereka tidak hadir di Kadesy Barnea, namun mereka turut ambil bagian
di dalam perjanjian dengan Allah. Bagaimana caranya? Mereka hadir melalui
kehadiran bapa leluhur mereka. Leluhur mereka pun hadir di sini melalui
kehadiran keturunannya. Jadi doktrin: bapa hidup di dalam anak, anak di dalam
bapa, benar-benar abadi dalam budaya Israel. Jadi apa yang benar secara doktrin
Alkitab, benar juga di dalam Yesus Kristus!
Atas dasar argumen di atas, saya
memahami bahwa anak itulah yang mengaku imannya di dalam orangtuanya. Sudah
kita katakan di atas, iman jemaat yang menjadi dasar dari baptisan itu. Karena
anak itu belum dapat mengucapkan imannya, sementara orangtuanya adalah anggota
dari tubuh Kristus, maka ia ada di dalam orangtuanya. Itulah makna dari
pengakuan iman yang kedua tersebut. Dalam pemahaman seperti itu, saya memahami
katekisasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari upacara pembaptisan.
Gereja di barat menyebut
katekisasi itu dengan istilah confirmation. Kata itu artinya ialah penegasan,
pengesahan. Dalam katekisasi itu, ia menegaskan kembali apa yang sudah ia
lakukan dahulu, pada waktu ia dibaptis, yaitu mengaku iman percayanya. Secara
obyektif ia mengaku imannya di dalam diri orangtuanya, pada waktu ia di baptis.
Pengakuan itu sekarang diucapkannya secara subyektif, dilaksanakan pada waktu
ia diteguhkan menjadi anggota sidi jemaat. Mungkin ada orang yang bertanya?
Mengapa harus di saat peneguhan sidi itu mereka mengaku iman tersebut? Bukankah
mereka dapat mengaku imannya di dalam
kebaktian biasa? Memang. Ia juga bisa
mengaku di hadapan jemaat. Namun, secara formal tetap diperlukan, karena dengan
jalan demikian, ia mengutarakan pengakuan secara pribadi kepada jemaat,
walaupun ia telah mengutarakan pengakuan secara pribadi itu kepada Allah dalam
kebaktian Minggu.
Namun sangat disayangkan, banyak
dari anak-anak kita yang diteguhkan menjadi anggota sidi jemaat, tidak sampai
ke dalam kebenaran subyektif dari apa yang dipercayainya. Tetapi di sini bukan
tempatnya untuk membahas hal tersebut.
Setelah pengakuan iman tersebut,
menyusul kemudian pertanyaan kepada orangtua. Ada tiga pertanyaan diajukan
kepada mereka. Sebelum kita sampai kepada materi pertanyaan tersebut, kita
soroti lebih dahulu bentuk dari pertanyaan tersebut. Saya melihat bentuk
pertanyaan dan jawaban yang disediakan, adalah dalam bentuk pengangkatan sumpah
jabatan. Dari bentuk pertanyaan itu kita tahu bahwa kita terikat pada bentuk
yang sudah dipersiapkan. Kita hanya mengikuti apa yang sudah disediakan
sebelumnya. Hal ini suatu tanda bahwa kita terikat pada apa yang dipercayai
orang Kristen para pendahulu kita. Bentuk pertanyaan ini harus kita ingat, itu
setara dengan sumpah, walaupun kita katakan itu bukan bersumpah. Kepada kita
diajukan pertanyaan yang mengarah kepada tanggung jawab kita sebagai orangtua.
Jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan kepada kita ialah: kita yang menghendaki anak itu dibaptis ke dalam
nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Kita bersedia membimbing anak itu agar
mereka mengetahui dan melakukan firman Allah. Kita bersedia menyuruh anak
tersebut ke gereja dan membesarkan mereka dalam pengajaran Kristen Protestan,
agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup di dalam Yesus Kristus.
Saya ragu, para orangtua tidak
terlalu memahami makna dari jawabannya itu. Jikalau kita renungkan baik-baik,
betapa beratnya tugas tersebut. Sebab adalah tanggung-jawab kita untuk membuat
anak itu mengetahui dan melakukan firman Allah. Kita bertanggung jawab untuk
membesarkan mereka dalam pengajaran Kristen Protestan. Bukan hanya itu, mereka
harus menjadi anggota jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus ! Di sisi lain,
kita banyak melihat para orangtua tidak perduli tentang pendidikan iman bagi
anak-anaknya. Ada yang menyerahkan pendidikan iman anak-anak itu kepada guru
sekolah minggu. Ada yang tidak mempersoalkan anaknya itu dibesarkan di dalam
ajaran Pentakosta, padahal ia telah berjanji seperti yang sudah dibicarakan di
atas. Alangkah naifnya jika kita tidak perduli dengan apa yang sudah kita
janjikan di hadapan Allah, dan para malaikat-Nya, juga di hadapkan orang-orang
kudus-Nya.
Sebelum kita melanjut kepada
acara baptisan, sejenak kita menyoroti makna dari berdirinya seorang Sintua,
yang menemani para orangtua berdiri di hadapan Allah, dan di hadapan jemaat.
Apa arti dari berdirinya seorang Sintua di sana? Juga apa artinya dengan adanya
seroang sintua berdiri di dekat bejana pembaptisan? Di beberapa jemaat HKBP di
Jakarta, saya melihat mereka tidak melakukan hal seperti itu, bahkan jemaat
HKBP Menteng saja yang menempatkan bejana pembaptisan di altar, sepanjang yang
saya tahu. Memang sejak dari awal, HKBP gurunya tidak satu, melainkan
bermacam-macam. Terlepas dari semuanya itu, makna berdirinya kedua Sintua itu
pun, tidak ada penjelasan resmi yang saya terima dari Pendeta HKBP. Apa yang
dituliskan di sini, adalah penghayatan pribadi. Pribadi yang mencintai HKBP dan
mencoba memahami HKBP. Saya memahami hal itu sebagai rasa tanggung jawab atas
apa yang dilakukan oleh para orangtua, yang membawa anaknya ke dalam
pembaptisan kudus. Sintua berdiri di samping para orangtua yang mengaku iman
percaya anak-anaknya. Sintua berdiri di sisi para orangtua menerima berkat dari
pembaptisan tersebut.
Gereja menyertai anggota
jemaatnya di sepanjang perjalanan hidupnya. Gereja menemani anggota jemaat
takala dia dibaptis, gereja menemani mereka tatkala berduka dan bergembira,
tatkala menikah, bukankah kita juga menyertai orang itu ketika dihantarkan
untuk masuk ke tempat peristirahatan terakhir! Saya ragu, apakah demikian
pengertian teman-teman sintua, atau ada bentuk pemahaman yang lain, saya tidak
tahu. Dari sudut pandang yang sudah kita bicarakan di atas, maka kita lihat
baptisan itu bukanlah hanya urusan pribadi orang yang dibaptis dan orang
tuanya. Pertanyaan sekarang yang perlu diajukan kepada kita ialah: seberapa
banyak kira-kira orang yang memahami baptisan itu dalam perspektif seperti yang
kita bicarakan? Jika kita melihat Gereja adalah penampakan tubuh Kristus
sebagaimana diutarakan HKBP dalam Aturan dan Paraturannya, dan kita adalah
anggotanya, maka kita tidak dapat memisahkan diri dari satu sama lain.
Setelah pengucapan janji yang
berbentuk sumpah tadi, Pendeta mengatakan “marilah kita menyerahkan mereka
kepada Tuhan melalui pembaptisan kudus”. Kita melihat dari ucapan pendeta
tentang pemahaman jemaat kita tentang baptisan, yaitu masuk ke dalam “en
christo”, masuk menjadi anggota tubuh Kristus.
Pada saat pendeta membaptis anak
tersebut, tangan kanan sang bapa dari anak yang dibaptis itu menatang kepala
dari si anak! Apa makna dari tindakan ini? Hal ini adalah satu bagian kecil
yang sering terlupakan. Saya ragu, banyak orangtua tidak memahami maknanya. Hal
itu terlihat dari orang-orang yang saya tanya secara pribadi pada orangtua yang
membawa anaknya untuk dibaptis. Tangan yang menatang kepala anak itu bermakna
tanggung jawab. Tindakan itu adalah simbol dari sebuah janji secara pribadi,
bahwa apa yang diucapkan secara sumpah janji tadi, akan dilaksanakan, bagi si
anak yang dibaptis! Catatan bagi kita, tangan orangtua harus dilepaskan tatkala anak itu diberkati.
Berkat itu berlaku untuk si anak yang dibabtis. Orangtua tidak turut ambil
bagian di sana. Mungkin hal itu tersembunyi dari mata hati kita, karena itu
kita melakukannya tanpa memahami maknanya!
Pendeta takkala membabtis
menyebut nama anak tersebut, dan membabtis ia ke dalam nama Allah Bapa dan nama
Anak-Nya Tuhan Yesus Kristus, dan ke dalam nama Roh Kudus. Pendeta tidak
menyebutkan marga dari si anak. Mengapa? Karena keselamatan adalah masalah pribadi,
sementara marga adalah milik grup, korps yang lebih luas. Keselamatan diberikan
Allah kepada pribadi bukan kepada kelompok. Baptisan bukanlah pikiran manusia
melainkan berasal dari Allah, hal itu sudah kita katakan di atas. Pada saat
kita dibaptis dengan air yang bercampur dengan firman Allah, kita dimasukkan ke
dalam Yesus Kristus. Kita dimasukkan ke dalam kematian-Nya, disalibkan bersama
Dia, agar kita menjadi anggota dari tubuh-Nya yang bangkit. Bukan manusia yang
berperan di sana, melainkan Allah sendiri melalui Firman-Nya.
Rasul Paulus mengatakan dalam 1
Kor. 1:30: “Tetapi oleh Dia kamu berada di dalam Kristus Yesus …” Dia, yaitu Allahlah yang membuat kita ada di
dalam Kristus. Allah membuat kita di dalam Kristus, melalui Firman-Nya. Firman
itu menyuruh kita untuk membaptis dan mengajar! Pemahaman Gereja kita tentang
baptisan: baptisan adalah air bercampur firman. Firman bekerja tatkala baptisan
itu dilaksanakan.
Paulus dalam surat Roma 6:3-4
mengatakan bahwa melalui baptisan, kita mati bersama Kristus, dan kita juga
sudah dibangkitkan bersama dengan Dia, dan hidup di dalam Dia. Tidak ada
seorang pun yang dapat membuat dirinya bangkit bersama dengan Kristus, itu
adalah karya Allah, dan baptisan itu juga adalah karya Allah.
Berbicara tentang baptisan, Martin Luther berkata bahwa di dalam baptisan ada perintah dan janji. Sehingga di Kathekismus besar ia berkata: “Beginilah caranya memandang baptisan dan membuatnya berguna bagi kita: bila dosa atau hati nurani menekan kita, hendaknya kita memperoleh kekuatan dan penghiburan dari pada-Nya dan berkata: apapun yang terjadi, aku telah di baptis! Karena aku tahu aku dibaptis, aku memiliki hidup kekal bagi tubuh dan jiwaku” Bagi Luther, baptisan itu adalah sesuatu yang sangat berharga! Bagaimana dengan saudara? Bagi Luther baptisan itu seperti pakaian sehari-hari, ia berkata “Setiap orang mesti memandang baptisan sebagai pakaiannya sehari-hari yang harus dikenakan senantiasa”. Luther juga menghubungkan baptisan dengan pertobatan. Ia berkata: “Kalaupun kita jatuh dan berbuat dosa, pintu baptisan selalu terbuka, sehingga kita dapat mengatasi lagi manusia lama …
Jadi, pertobatan tidak lain daripada berpaling
dan kembali kepada baptisan; kita mengulangi dan melakukan lagi, apa yang sudah
kita mulai sebelumnya namun kita lepaskan”. Jadi baptisan itu bukanlah sesuatu
yang terjadi dahulu pada waktu saya masih bayi. Baptisan adalah sesuatu yang
mengikuti saya di sepanjang jalan hidup, sama seperti air dari batu yang
dipukul Musa di padang gurun, mengikuti mereka dari belakang, demikianlah
baptisan kita pun mengikuti kita dari belakang. Jika kita jatuh ke dalam dosa,
kita jatuh ke dalam air baptisan itu. Di sana kita dibaharui lagi oleh firman
yang kita imani. Itulah makna baptisan yang kita pahami. Mudah-mudahan itu pemahaman
resmi, dari Gereja HKBP, di mana di sana saya menerima baptisan itu.
Setelah dibaptiskan, si anak
mendapat penumpangan tangan Pedeta. Melalui penumpangan tangan ini, si anak
mendapat berkat dari Allah. Adapun berkat itu berbunyi: “Tuhan memelihara engkau
pada saat engkau memasuki kerajaan-Nya sampai selama-lamanya”. Penumpangan
tangan itu juga merupakan penerimaan jemaat atas anak itu; ia diterima menjadi
anggota persekutuan anak-anak Tuhan. Pendeta bertindak sebagai perwakilan dari
jemaat untuk menerima anak tersebut. Setelah usai pembaptisan, para orangtua
dan anak yang dibaptis diminta untuk bangkit berdiri.
Jemaat berdoa untuk para orangtua
dan anak yang dibaptis itu. Isi dari doa itu adalah: anak itu telah diserahkan
kepada Tuhan, dan Allah telah menerima dia menjadi anak Allah dan anggota
keluarga Allah. Penerimaan itu membuat anak menjadi warga Kristen di dunia ini,
dan menjadi pewaris kehidupan kekal. Setelah itu jemaat berdoa agar para
orangtua mendapatkan curahan kasih Allah. Orangtua harus dapat membuat
anak-anak yang dibaptis itu menjadi sama-sama pewaris hidup yang kekal.
Saya takut, orangtua mungkin
tidak terlalu memperhatikan makna dari doa itu. Seperti yang dikatakan di atas,
itu adalah doa dari jemaat, pendeta hanya mengucapkannya. Setelah doa itu,
jemaat memberi respon dengan nyanyian. Biasanya nyanyian yang diperuntukkan
untuk itu adalah Buku Ende No. 147:5-6
Parmahani on tongtong, Ho
parmahan di huria;
On pe jalo ruasmon, baen pintor
huhut badia.
Dame lehon tu rohana dohot
haporseaonna.
Sahat ma tu rohami, Jesus,
pangidoannami,
Togu i tu surgo i, sai oloi ma
sangkapnami
Nang goarna i, o Tuhan baen tu
buku hangoluan !
Satu catatan kecil yang sering
terlihat dari acara pembaptisan di jemaat, yaitu: anak tersebut, karena sering
menangis, sudah dibawa keluar gedung gereja. Ironis menurut saya, sebab jemaat
memohon agar Tuhan menggembalakan anak itu (marmahani) tetapi dia yang mau
digembalakan itu sudah tidak ada lagi di dalam ibadah. Mungkin ada orang yang
mengatakan: toh Tuhan tahu. Ya memang Tuhan tahu, tapi di sana ada pemahaman
yang sangat kasat mata, yaitu mereka tidak melihat makna dari ritus pembaptisan
tersebut. Atau memang kita tidak memerlukan bentuk seperti itu lagi ?
Hal yang pasti ialah: jemaat
memberi respon atas baptisan itu dengan sebuah harapan: agar Tuhan
mengembalakan anak yang dibaptis itu, agar Tuhan memberi dia damai dalam hati
dan memberi iman. Jemaat juga berdoa agar Tuhan menuliskan namanya dalam Kitab
Kehidupan. Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah “Apakah saya dalam
menyanyikan lirik dari buku ende itu, hati ini pun menginginkan demikian ? Atau
yang lain? Namun satu hal yang pasti menurut saya itulah makna baptisan secara
doktrin, demikianlah saya memahaminya, mungkin orang lain melihat dari sudut yang
lain. Alangkah agung dan dalamnya makna dari baptisan kita itu, semoga tulisan
singkat ini dapat memberi sumbangsih dalam pemahaman kita.
Soli Deo Gloria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar