20/07/20

Baptisan Yang Saya Pahami

 Alur narasi dari tulisan ini menurut saya ialah Gedung Gereja, Altar, Kebaktian, Persekutuan. Di dalam Acara Kebaktian yang adalah manifestasi Persekutuan, kita mengikuti acara acara khusus, yakni Baptisan. Setelah itu Sidi, setelah itu Pernikahan, Perjamuan Kudus dan lain sebagainya.




BAPTISAN YANG SAYA PAHAMI

Oleh St. Hotman Ch. Siahaan

 

Pendahuluan

Tulisan ini didasarkan pada pemahaman pribadi, namun itupun dilatar-belakangi pemahaman sebagai seorang Sintua di HKBP Menteng, Jl. Jambu 46 Jakarta. Tulisan yang dituangkan dalam makalah ini, dibuat setelah mengamati dan mempelajari pelaksanaan baptisan di gereja HKBP. Apa yang diutarakan dalam makalah ini, tidaklah dapat di klaim sebagai pandangan resmi HKBP, sekalipun didasarkan pada upacara baptisan yang diselenggarakan di HKBP. Hal itu terjadi disebabkan pemahaman ini adalah pemahaman pribadi. Namun sebuah harapan disimpulkan di dalam hati, yaitu: semoga uraian ini bermanfaat untuk mengingatkan makna dari baptisan yang kita alami itu. Semoga.

 

Acara Pendahuluan

Sebelum acara pembaptisan dilaksanakan, biasanya para orangtua dikumpulkan lebih dahulu dalam satu pertemuan. Hal seperti itu terjadi di HKBP Menteng, Jl. Jambu 46 Jakarta. Saya tidak tahu apakah jemaat yang lain melakukan hal yang sama. Secara pribadi saya tidak tahu apa yang diajarkan di dalam pertemuan itu. Biasanya Guru Huria (sekarang setelah jabatan Guru Huria tidak ada lagi di HKBP, tentunya pendeta) yang memimpin pertemuan tersebut: Seyogyanya, saat itu dipergunakan untuk memberi penjelasan secara teologis, makna dari baptisan, bagi para orangtua. Saya pribadi pernah memimpin pertemuan seperti itu. Di dalam pertemuan tersebut, saya mengevaluasi alasan para orangtua untuk membawa anaknya ke dalam pembaptisan. Ada di antara mereka yang datang untuk kesekian kalinya membawa anaknya untuk dibaptis. Tetapi jawaban mereka tetap tradisional, bukan karena panggilan iman. Sangat menyedihkan. Mereka melakukan hal yang sangat Sakral itu, dengan pengertian yang tidak pas.

Sebelum acara untuk para orangtua ini diadakan, di dalam kebaktian kita, diumumkan bahwa di minggu yang akan datang, baptisan kudus akan diselenggarakan di dalam ibadah minggu tersebut. Saya melihat warta ini adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upacara pembaptisan. Melalui warta tersebut, Gereja Tuhan menyampaikan panggilan Allah, untuk menerima kasih karunia Ilahi. Saya membawa anak ke dalam baptisan kudus, adalah karena panggilan Allah, melalu Gereja-Nya. Panggilan seperti itu disuarakan Petrus di Yerusalem, pada hari Pentakosta. “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak orang yang dipanggil oleh Tuhan Allah kita’ (Kis. 2:39). Gereja adalah partner Allah di dunia ini, yang memanggil orang untuk datang ke perjamuan yang disediakan Allah (cf. Luk. 14:15-24).

Panggilan Gereja untuk memanggil orangtua, agar membaptis anaknya, kita dapatkan dari Tuhan Yesus di dalam amanat agung-Nya. Sangat jelas kita baca di sana bahwa Gereja diutus untuk mengajar dan membaptis.

 

Agenda Pembaptisan

    Acara pembaptisan di mulai dengan nyanyian. Biasanya nyanyiannya diambil dari Buku Ende No. 146

O Jesus naeng tardidi do poso-poso on.

Sai ro ma mangaligi, huhut manjolo on.

 

Diboan natorasna nasida be tuson

Ai naeng pasahotna tu Ho dakdanak on

 

Ai di bagasan dosa do tubu on sude

Isara ni ompuna, nang natorasna pe

 

 Alai o Tuhan Jesus, silehon tua i,

Mudar-Mu do naung durus, manesa dosa i

 

I ma umbahen binoan dakdanak on tuson

Mangido haluaon di pandidion on

 

Asi roham; o Tuhan di angka on sude,

Tu buku hangoluan surathon ma sude

 

Dari lirik lagu tersebut di atas, kita dapat mengerti apa pengertian HKBP tentang makna dari baptisan. Baptisan adalah suatu respon manusia terhadap karya Allah. Upacara itu dilaksanakan dalam sisi manusia; sementara sisi manusia ini sangat ditekankan oleh gereja-gereja yang menganjurkan baptisan dewasa. Bagi mereka, baptisan adalah suatu proklamasi. Manusia itu memproklamirkan kepada dunia ini, bahwa ia adalah orang percaya. Hanya orang dewasalah yang dapat memproklamirkan imannya. Oleh karena itu, mereka menolak baptisan anak-anak. Anak itu tidak mungkin mampu untuk memproklamirkan imannya. Untuk membenarkan argumentasi itu mereka mengutip perkataan Tuhan Yesus yang berkata: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan” (Mark. 16:16). Tentang tuduhan bahwa anak-anak tidak mungkin beriman, Luther, dalam Katekhismus Besar, mengatakan: “Baptisan tidak terikat pada iman kita, melainkan dengan firman”.

Lalu ia membuat contoh tentang orang Yahudi yang tidak percaya kepada Yesus, tetapi ia dibaptis. Luther berkata: “Baptisannya tetap sah. Sebab, air bersama dengan Firman itu ada dalam baptisan tersebut, meskipun orang Yahudi itu tidak menerimanya sebagaimana mestinya”. Dari pandangan Luther tersebut, kita melihat bahwa baptisan itu adalah karya Allah. Allahlah yang berkarya di dalam baptisan itu melalui Firma-Nya. Manusia hanya melaksanakannya. HKBP mengungkapkannya di dalam ibadah pembaptisan. Dari Buku Ende No. 147: 2-3 kita tahu bahwa baptisan bagi HKBP adalah suatu tindakan Allah dalam rangka melahirkan kita untuk yang kedua kalinya.

 

Marsaringar hata on di bagasan roha nami;

Manang ise na dison so hian manduahali

Sian ginjang tinubuhon, ndang tarbaen tu hangoluan

 

Ala ni hapogan di hami ro tu Ho, o Tuhan,

Asa sahat ma tu Ho poso-poso on

Sai suan hangoluan tu rohana, asa gong di Ho ibana.

 

Allah, dan bukan manusia yang berkarya, di dalam baptisan melalui Firman-Nya. Jadi baptisan dengan alasan proklamasi, seperti yang disuarakan teman-teman seiman lainnya, tidak boleh mengklaim bahwa hanya mereka yang benar, sementara babtisan yang kita laksanakan tidak dapat diterima. Jika demikian halnya, apakah iman tidak diperlukan di dalam baptisan? Perlu! Iman Gerejalah yang memanggil anggota jemaat untuk membawa anak itu ke dalam pembaptisan. Mari kita simak ayat pertama dari BE No. 147 tadi. Jemaatlah yang membawa anak itu ke dalam pembaptisan, bukan hanya orangtua dari si anak. “Jesus hami ro dison, mangihuthon na nidokmu (garis bawah dari saya). Iman jemaat itulah yang membawa anak ke dalam pembaptisan, sebab ada kata “hami”, kami. Dalam hal ini, pandangan yang diutarakan di atas adalah pandangan saya secara pribadi. Belum pernah kudengar Pendeta HKBP mengatakan pernyataan seperti itu. Jadi makna dari nyanyian pertama itu adalah pernyataan iman dari Gereja Tuhan.

Setelah bernyanyi, jemaat menaikkan doa melalui pendeta. Adapun doa yang dinaikkan adalah sesuai dengan apa yang dituliskan di dalam agenda, sebagai berikut : “Ya Bapa Kami Yang di Surga, kami datang membawa anak-anak ini kepada-Mu. Kasihanilah dan terimalah mereka menjadi anak-anak-Mu. Berkati dan kuatkan mereka di dalam perjalanannya menuju kehidupan yang kekal di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Amin”. Dari doa itu kita mengerti dan dikuatkan dalam iman, tentang makna dari apa yang sedang kita ungkapkan di atas, yaitu jemaatlah yang membawa anak-anak itu, bersama orangtuanya untuk dibaptis. Baptisan adalah sarana bagi kita untuk masuk ke dalam keluarga Allah. Melalui baptisan itu kita diterima menjadi anak-anak Allah.

Kita dilahirkan kembali di dalam kerajaan Allah melalui baptisan itu. Berdasarkan Yoh. 1:13, kita dijadikan anak, bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki melainkan dari Allah. Manusia tidak bisa melahirkan dirinya sendiri. Ia dilahirkan ke dunia ini oleh orang lain. Demikian juga halnya dengan kerajaan Allah. Saya dilahirkan oleh Allah menjadi anggota kerajaan-Nya, melalui baptisan kudus.

Setelah doa itu dinaikkan oleh jemaat kepada Allah tentang pembaptisan, maka nasihat dan bimbingan pun diberikan kepada orangtua. Ada tiga nas firman Tuhan yang dikutip dalam bimbingan itu. Nas pertama ialah: “ Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat. 28:19-20), Nas kedua: “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” ( Mark. 16:16), Nas ketiga: “Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka” (Mark. 10:14-16). Dari ketiga kutipan ayat tersebut di atas, kita dapat kesimpulan sebagai berikut: Gereja membawa anak itu ke dalam pembaptisan, sebagai satu respon ketaatan kepada Amanat Agung Yesus Kristus, agar pergi ke seluruh dunia, menjadikan segala bangsa menjadi murid-Nya. Baptisan itu juga dilaksanakan di dalam iman, yaitu iman jemaat tersebut. Di sisi lain, baptisan dilaksanakan, mengingat perkataan Tuhan Yesus, supaya anak-anak jangan dihalangi untuk datang kepada Tuhan.

Bagi Gereja yang membaptis hanya orang-orang dewasa, mereka membuat satu upacara terhadap anak-anak, dimana upacara seperti itu tidak diajarkan oleh Tuhan Yesus untuk dilakukan umat-Nya. Upacara itu mereka sebut dengan nama “Penyerahan kepada Tuhan”. Mungkin latar belakangnya adalah Markus 10:14-16 ini juga. Acara itu dilakukan oleh karena adanya kebutuhan, yaitu: “Bagimana jika anak itu mati sebelum dibaptis?” “Dia ke surga atau ke neraka?”Agar kita bisa menjawabnya, maka dibuatlah acara penyerahan tersebut. Di seluruh kitab Injil, dan surat-surat, kita tidak menemukan acara seperti itu dilaksanakan oleh gereja Purba.

Gereja kita memahami ayat “Jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang seperti itulah yang empunya kerajaan sorga”, adalah sebagai berikut: jangan menghalangi mereka untuk ambil bagian di dalam perjanjian kekal, antara Allah dengan umat-Nya di dalam Kristus. Janji itu ialah keselamatan, masuk ke dalam keselamatan melalui mati bersama dengan Kristus, dan bangkit dari antara orang mati bersama dengan Kristus. Mati dan bangkit itu kita alami di dalam baptisan (Roma 6:3-4). Itu artinya datang kepada Kristus menurut Gereja kita HKBP.

Namun bagi mereka yang membaptis dewasa, lain artinya. Anak-anak hanya diserahkan dan diberkati oleh pendeta. Berkat apakah yang lebih indah di dalam iman kita, selain dari berkat keselamatan! Saya tidak tahu, berkat apa yang mereka berikan kepada anak itu, pada waktu mereka membawa anak-anak tersebut pada acara penyerahan. Bagi kita, arti dari ungkapan “jangan menghalangi anak-anak datang kepada-Ku”, bermakna: jangan menghalangi mereka menjadi anggota keluarga Allah. Sementara jalan masuk ke dalam keanggotaan keluarga Allah adalah baptisan. Dengan baptisan, kita dibuat menjadi anggota dari tubuh Kristus, dan mengambil bagian dalam Roh Kudus.

Rasul Paulus di samping berbicara tentang iman sebagai dasar dari pembenaran; tentang ke–anak–an haanahon, sonship’ , tentang penerimaan Roh Kudus; ia juga berbicara tentang baptisan. Paulus menguraikan bahwa melalui baptisan itu, kita dibuat menjadi anggota tubuh Kristus. Tubuh adalah istilah yang dipakai Paulus untuk menggambarkan kesatuan Kristus dengan umat-Nya, dimana orang Kristen adalah anggota dari tubuh yang terlihat. Jalan masuk ke dalam tubuh Kristus yang terlihat adalah baptisan. Satu catatan tambahan bagi kita, dapat sebutkan ialah: untuk masuk ke dalam pelayanan-Nya, Yesus dibaptis lebih dahulu di sungai Yordan. Baptisan itu menjadi tanda bagi Dia untuk masuk ke dalam pelayanan-Nya. Sama seperti itu berlaku bagi kita. Jalan masuk ke dalam keluarga Allah ialah baptisan.

Setelah nasihat dan bimbingan bagi orangtua diucapkan, pendeta meminta agar para orangtua mengucapkan pengakuan Iman Rasuli. Satu pertanyaan perlu diajukan, mengapa mereka perlu mengucapkan dua kali pengakuan iman rasuli itu? Pertama mereka mengucapkannya bersama-sama anggota jemaat, dan yang kedua kalinya pada waktu pembaptisan anak! Saya mengerti makna dari pengakuan iman yang kedua itu adalah pengakuan iman dari si anak yang akan dibaptis. Pemahaman ini adalah pemahaman pribadi, sebab tentang hal ini tidak pernah ada yang mengajarkan hal seperti itu kepada saya. Hal ini adalah hasil dari satu perenungan pribadi. Apakah memang demikian pemahaman para pendeta kita, saya tidak tahu. Saya pun belum pernah menanyakan hal itu secara pribadi kepada mereka.

Pemahaman itu timbul dari renungan atas Ibrani 7:4-10. Di sana kita baca tatkala Abraham mempersembahkan perpuluhannya kepada Melkisedek, penulis surat Ibrani mengatakan bahwa Lewi pun turut mempersembahkan korban perpuluhan kepada Melkisedek (ayat 4). Padahal kita tahu  Lewi belum lahir, Ishak pun belum ada, Yakub pun belum ada, mengapa demikian? Doktrin yang ada di dalam pemahaman orang Yahudi, yaitu bapa hidup di dalam anak, dan anak hidup di dalam bapa adalah jawabannya. Sayang, kita tidak lagi melihat doktrin Alkitab yang sangat berharga ini.

Saya mengajak kita sekalian untuk sejenak melihat umat Israel, tatkala mereka mengikat perjanjian dengan Allah di Kadesy Barnea. Musa jadi perantara antara Allah dan Israel pada waktu itu. Musa berkata, “Bukan hanya dengan kamu saja aku mengikat perjanjian dan sumpah janji ini, tetapi dengan setiap orang yang ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita, yang berdiri di hadapan TUHAN, Allah kita, dan juga dengan setiap orang yang tidak ada di sini pada hari ini bersama-sama dengan kita”. Ul. 29:41-15. Ada orang yang tidak ada pada hari itu, tetapi mereka juga turut mengikat perjanjian dengan Allah! Pertanyaan nya ialah siapakah mereka itu? Jawabannya ialah: mereka adalah generasi penerus Israel di sepanjang zaman. Sekalipun mereka tidak hadir di Kadesy Barnea, namun mereka turut ambil bagian di dalam perjanjian dengan Allah. Bagaimana caranya? Mereka hadir melalui kehadiran bapa leluhur mereka. Leluhur mereka pun hadir di sini melalui kehadiran keturunannya. Jadi doktrin: bapa hidup di dalam anak, anak di dalam bapa, benar-benar abadi dalam budaya Israel. Jadi apa yang benar secara doktrin Alkitab, benar juga di dalam Yesus Kristus!

Atas dasar argumen di atas, saya memahami bahwa anak itulah yang mengaku imannya di dalam orangtuanya. Sudah kita katakan di atas, iman jemaat yang menjadi dasar dari baptisan itu. Karena anak itu belum dapat mengucapkan imannya, sementara orangtuanya adalah anggota dari tubuh Kristus, maka ia ada di dalam orangtuanya. Itulah makna dari pengakuan iman yang kedua tersebut. Dalam pemahaman seperti itu, saya memahami katekisasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari upacara pembaptisan.

Gereja di barat menyebut katekisasi itu dengan istilah confirmation. Kata itu artinya ialah penegasan, pengesahan. Dalam katekisasi itu, ia menegaskan kembali apa yang sudah ia lakukan dahulu, pada waktu ia dibaptis, yaitu mengaku iman percayanya. Secara obyektif ia mengaku imannya di dalam diri orangtuanya, pada waktu ia di baptis. Pengakuan itu sekarang diucapkannya secara subyektif, dilaksanakan pada waktu ia diteguhkan menjadi anggota sidi jemaat. Mungkin ada orang yang bertanya? Mengapa harus di saat peneguhan sidi itu mereka mengaku iman tersebut? Bukankah mereka dapat mengaku  imannya di dalam kebaktian biasa? Memang.  Ia juga bisa mengaku di hadapan jemaat. Namun, secara formal tetap diperlukan, karena dengan jalan demikian, ia mengutarakan pengakuan secara pribadi kepada jemaat, walaupun ia telah mengutarakan pengakuan secara pribadi itu kepada Allah dalam kebaktian Minggu.

Namun sangat disayangkan, banyak dari anak-anak kita yang diteguhkan menjadi anggota sidi jemaat, tidak sampai ke dalam kebenaran subyektif dari apa yang dipercayainya. Tetapi di sini bukan tempatnya untuk membahas hal tersebut.

Setelah pengakuan iman tersebut, menyusul kemudian pertanyaan kepada orangtua. Ada tiga pertanyaan diajukan kepada mereka. Sebelum kita sampai kepada materi pertanyaan tersebut, kita soroti lebih dahulu bentuk dari pertanyaan tersebut. Saya melihat bentuk pertanyaan dan jawaban yang disediakan, adalah dalam bentuk pengangkatan sumpah jabatan. Dari bentuk pertanyaan itu kita tahu bahwa kita terikat pada bentuk yang sudah dipersiapkan. Kita hanya mengikuti apa yang sudah disediakan sebelumnya. Hal ini suatu tanda bahwa kita terikat pada apa yang dipercayai orang Kristen para pendahulu kita. Bentuk pertanyaan ini harus kita ingat, itu setara dengan sumpah, walaupun kita katakan itu bukan bersumpah. Kepada kita diajukan pertanyaan yang mengarah kepada tanggung jawab kita sebagai orangtua.

Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada kita ialah: kita yang menghendaki anak itu dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Kita bersedia membimbing anak itu agar mereka mengetahui dan melakukan firman Allah. Kita bersedia menyuruh anak tersebut ke gereja dan membesarkan mereka dalam pengajaran Kristen Protestan, agar mereka menjadi anggota jemaat yang hidup di dalam Yesus Kristus.

Saya ragu, para orangtua tidak terlalu memahami makna dari jawabannya itu. Jikalau kita renungkan baik-baik, betapa beratnya tugas tersebut. Sebab adalah tanggung-jawab kita untuk membuat anak itu mengetahui dan melakukan firman Allah. Kita bertanggung jawab untuk membesarkan mereka dalam pengajaran Kristen Protestan. Bukan hanya itu, mereka harus menjadi anggota jemaat yang hidup dalam Yesus Kristus ! Di sisi lain, kita banyak melihat para orangtua tidak perduli tentang pendidikan iman bagi anak-anaknya. Ada yang menyerahkan pendidikan iman anak-anak itu kepada guru sekolah minggu. Ada yang tidak mempersoalkan anaknya itu dibesarkan di dalam ajaran Pentakosta, padahal ia telah berjanji seperti yang sudah dibicarakan di atas. Alangkah naifnya jika kita tidak perduli dengan apa yang sudah kita janjikan di hadapan Allah, dan para malaikat-Nya, juga di hadapkan orang-orang kudus-Nya.

Sebelum kita melanjut kepada acara baptisan, sejenak kita menyoroti makna dari berdirinya seorang Sintua, yang menemani para orangtua berdiri di hadapan Allah, dan di hadapan jemaat. Apa arti dari berdirinya seorang Sintua di sana? Juga apa artinya dengan adanya seroang sintua berdiri di dekat bejana pembaptisan? Di beberapa jemaat HKBP di Jakarta, saya melihat mereka tidak melakukan hal seperti itu, bahkan jemaat HKBP Menteng saja yang menempatkan bejana pembaptisan di altar, sepanjang yang saya tahu. Memang sejak dari awal, HKBP gurunya tidak satu, melainkan bermacam-macam. Terlepas dari semuanya itu, makna berdirinya kedua Sintua itu pun, tidak ada penjelasan resmi yang saya terima dari Pendeta HKBP. Apa yang dituliskan di sini, adalah penghayatan pribadi. Pribadi yang mencintai HKBP dan mencoba memahami HKBP. Saya memahami hal itu sebagai rasa tanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh para orangtua, yang membawa anaknya ke dalam pembaptisan kudus. Sintua berdiri di samping para orangtua yang mengaku iman percaya anak-anaknya. Sintua berdiri di sisi para orangtua menerima berkat dari pembaptisan tersebut.

Gereja menyertai anggota jemaatnya di sepanjang perjalanan hidupnya. Gereja menemani anggota jemaat takala dia dibaptis, gereja menemani mereka tatkala berduka dan bergembira, tatkala menikah, bukankah kita juga menyertai orang itu ketika dihantarkan untuk masuk ke tempat peristirahatan terakhir! Saya ragu, apakah demikian pengertian teman-teman sintua, atau ada bentuk pemahaman yang lain, saya tidak tahu. Dari sudut pandang yang sudah kita bicarakan di atas, maka kita lihat baptisan itu bukanlah hanya urusan pribadi orang yang dibaptis dan orang tuanya. Pertanyaan sekarang yang perlu diajukan kepada kita ialah: seberapa banyak kira-kira orang yang memahami baptisan itu dalam perspektif seperti yang kita bicarakan? Jika kita melihat Gereja adalah penampakan tubuh Kristus sebagaimana diutarakan HKBP dalam Aturan dan Paraturannya, dan kita adalah anggotanya, maka kita tidak dapat memisahkan diri dari satu sama lain.

Setelah pengucapan janji yang berbentuk sumpah tadi, Pendeta mengatakan “marilah kita menyerahkan mereka kepada Tuhan melalui pembaptisan kudus”. Kita melihat dari ucapan pendeta tentang pemahaman jemaat kita tentang baptisan, yaitu masuk ke dalam “en christo”, masuk menjadi anggota tubuh Kristus.

Pada saat pendeta membaptis anak tersebut, tangan kanan sang bapa dari anak yang dibaptis itu menatang kepala dari si anak! Apa makna dari tindakan ini? Hal ini adalah satu bagian kecil yang sering terlupakan. Saya ragu, banyak orangtua tidak memahami maknanya. Hal itu terlihat dari orang-orang yang saya tanya secara pribadi pada orangtua yang membawa anaknya untuk dibaptis. Tangan yang menatang kepala anak itu bermakna tanggung jawab. Tindakan itu adalah simbol dari sebuah janji secara pribadi, bahwa apa yang diucapkan secara sumpah janji tadi, akan dilaksanakan, bagi si anak yang dibaptis! Catatan bagi kita, tangan orangtua  harus dilepaskan tatkala anak itu diberkati. Berkat itu berlaku untuk si anak yang dibabtis. Orangtua tidak turut ambil bagian di sana. Mungkin hal itu tersembunyi dari mata hati kita, karena itu kita melakukannya tanpa memahami maknanya!

Pendeta takkala membabtis menyebut nama anak tersebut, dan membabtis ia ke dalam nama Allah Bapa dan nama Anak-Nya Tuhan Yesus Kristus, dan ke dalam nama Roh Kudus. Pendeta tidak menyebutkan marga dari si anak. Mengapa? Karena keselamatan adalah masalah pribadi, sementara marga adalah milik grup, korps yang lebih luas. Keselamatan diberikan Allah kepada pribadi bukan kepada kelompok. Baptisan bukanlah pikiran manusia melainkan berasal dari Allah, hal itu sudah kita katakan di atas. Pada saat kita dibaptis dengan air yang bercampur dengan firman Allah, kita dimasukkan ke dalam Yesus Kristus. Kita dimasukkan ke dalam kematian-Nya, disalibkan bersama Dia, agar kita menjadi anggota dari tubuh-Nya yang bangkit. Bukan manusia yang berperan di sana, melainkan Allah sendiri melalui Firman-Nya.

Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Kor. 1:30: “Tetapi oleh Dia kamu berada di dalam Kristus Yesus …”  Dia, yaitu Allahlah yang membuat kita ada di dalam Kristus. Allah membuat kita di dalam Kristus, melalui Firman-Nya. Firman itu menyuruh kita untuk membaptis dan mengajar! Pemahaman Gereja kita tentang baptisan: baptisan adalah air bercampur firman. Firman bekerja tatkala baptisan itu dilaksanakan.

Paulus dalam surat Roma 6:3-4 mengatakan bahwa melalui baptisan, kita mati bersama Kristus, dan kita juga sudah dibangkitkan bersama dengan Dia, dan hidup di dalam Dia. Tidak ada seorang pun yang dapat membuat dirinya bangkit bersama dengan Kristus, itu adalah karya Allah, dan baptisan itu juga adalah karya Allah.

Berbicara tentang baptisan, Martin Luther berkata bahwa di dalam baptisan ada perintah dan janji. Sehingga di Kathekismus besar ia berkata: “Beginilah caranya memandang baptisan dan membuatnya berguna bagi kita: bila dosa atau hati nurani menekan kita, hendaknya kita memperoleh kekuatan dan penghiburan dari pada-Nya dan berkata: apapun yang terjadi, aku telah di baptis! Karena aku tahu aku dibaptis, aku memiliki hidup kekal bagi tubuh dan jiwaku” Bagi Luther, baptisan itu adalah sesuatu yang sangat berharga! Bagaimana dengan saudara? Bagi Luther baptisan itu seperti pakaian sehari-hari, ia berkata “Setiap orang mesti memandang baptisan sebagai pakaiannya sehari-hari yang harus dikenakan senantiasa”. Luther juga menghubungkan baptisan dengan pertobatan. Ia berkata: “Kalaupun kita jatuh dan berbuat dosa, pintu baptisan selalu terbuka, sehingga kita dapat mengatasi lagi manusia lama … 


Jadi, pertobatan tidak lain daripada berpaling dan kembali kepada baptisan; kita mengulangi dan melakukan lagi, apa yang sudah kita mulai sebelumnya namun kita lepaskan”. Jadi baptisan itu bukanlah sesuatu yang terjadi dahulu pada waktu saya masih bayi. Baptisan adalah sesuatu yang mengikuti saya di sepanjang jalan hidup, sama seperti air dari batu yang dipukul Musa di padang gurun, mengikuti mereka dari belakang, demikianlah baptisan kita pun mengikuti kita dari belakang. Jika kita jatuh ke dalam dosa, kita jatuh ke dalam air baptisan itu. Di sana kita dibaharui lagi oleh firman yang kita imani. Itulah makna baptisan yang kita pahami. Mudah-mudahan itu pemahaman resmi, dari Gereja HKBP, di mana di sana saya menerima baptisan itu.

Setelah dibaptiskan, si anak mendapat penumpangan tangan Pedeta. Melalui penumpangan tangan ini, si anak mendapat berkat dari Allah. Adapun berkat itu berbunyi: “Tuhan memelihara engkau pada saat engkau memasuki kerajaan-Nya sampai selama-lamanya”. Penumpangan tangan itu juga merupakan penerimaan jemaat atas anak itu; ia diterima menjadi anggota persekutuan anak-anak Tuhan. Pendeta bertindak sebagai perwakilan dari jemaat untuk menerima anak tersebut. Setelah usai pembaptisan, para orangtua dan anak yang dibaptis diminta untuk bangkit berdiri.

Jemaat berdoa untuk para orangtua dan anak yang dibaptis itu. Isi dari doa itu adalah: anak itu telah diserahkan kepada Tuhan, dan Allah telah menerima dia menjadi anak Allah dan anggota keluarga Allah. Penerimaan itu membuat anak menjadi warga Kristen di dunia ini, dan menjadi pewaris kehidupan kekal. Setelah itu jemaat berdoa agar para orangtua mendapatkan curahan kasih Allah. Orangtua harus dapat membuat anak-anak yang dibaptis itu menjadi sama-sama pewaris hidup yang kekal.

Saya takut, orangtua mungkin tidak terlalu memperhatikan makna dari doa itu. Seperti yang dikatakan di atas, itu adalah doa dari jemaat, pendeta hanya mengucapkannya. Setelah doa itu, jemaat memberi respon dengan nyanyian. Biasanya nyanyian yang diperuntukkan untuk itu adalah Buku Ende No. 147:5-6

 

Parmahani on tongtong, Ho parmahan di huria;

On pe jalo ruasmon, baen pintor huhut badia.

 

Dame lehon tu rohana dohot haporseaonna.

Sahat ma tu rohami, Jesus, pangidoannami,

 

Togu i tu surgo i, sai oloi ma sangkapnami

Nang goarna i, o Tuhan baen tu buku hangoluan !

 

Satu catatan kecil yang sering terlihat dari acara pembaptisan di jemaat, yaitu: anak tersebut, karena sering menangis, sudah dibawa keluar gedung gereja. Ironis menurut saya, sebab jemaat memohon agar Tuhan menggembalakan anak itu (marmahani) tetapi dia yang mau digembalakan itu sudah tidak ada lagi di dalam ibadah. Mungkin ada orang yang mengatakan: toh Tuhan tahu. Ya memang Tuhan tahu, tapi di sana ada pemahaman yang sangat kasat mata, yaitu mereka tidak melihat makna dari ritus pembaptisan tersebut. Atau memang kita tidak memerlukan bentuk seperti itu lagi ?

Hal yang pasti ialah: jemaat memberi respon atas baptisan itu dengan sebuah harapan: agar Tuhan mengembalakan anak yang dibaptis itu, agar Tuhan memberi dia damai dalam hati dan memberi iman. Jemaat juga berdoa agar Tuhan menuliskan namanya dalam Kitab Kehidupan. Pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah “Apakah saya dalam menyanyikan lirik dari buku ende itu, hati ini pun menginginkan demikian ? Atau yang lain? Namun satu hal yang pasti menurut saya itulah makna baptisan secara doktrin, demikianlah saya memahaminya, mungkin orang lain melihat dari sudut yang lain. Alangkah agung dan dalamnya makna dari baptisan kita itu, semoga tulisan singkat ini dapat memberi sumbangsih dalam pemahaman kita.

 

Soli Deo Gloria.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...