HUKUM PERTAMA
Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku.
Hidup ini adalah sesuatu yang sangat kompleks. Kita sering lupa bahwa kehidupan memiliki multi dimensi. Satu hal yang kita akan pegang teguh di dalam memahami 10 Hukum Musa yang diterimanya di gunung Sinai, ialah: senantiasa ada dua sisi dari setiap firman yang disampaikan kepadanya. Jika firman itu bentuknya larangan, maka pada hakekatnya firman itu juga memiliki sisi suruhan.
Umpama kata dikatakan: jangan berhenti, di dalam perintah jangan berhenti itu, terdapat juga perintah lain, inklusif di dalamnya perintah agar jalan terus. Alkitab dengan jelas memberikan kepada kita pemahaman yang harus ditimba orang percaya dari firman itu sendiri, tidak harus senantiasa harfiah belaka.
Kita melihat Rasul Paulus memahami makna dari perintah dalam Hukum Taurat dalam dimensi yang tidak harfiah. Ia berkata kepada jemaat Korintus sebagai berikut: “Sebab dalam hukum Musa ada tertulis: "Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik!" Lembukah yang Allah perhatikan? Atau kitakah yang Ia maksudkan? Ya, untuk kitalah hal ini ditulis, yaitu pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya” (9:9-10).
Jelas dari ayat tersebut, Paulus memberi makna baru dalam arti harfiah dari ayat tersebut. Orang yang hanya memahami makna harfiah, maka dengan penuh keyakinan ia dapat berkata: “aku tidak pernah melanggar firman Tuhan ini di sepanjang hidupku”. Hal itu dikatakannya karena ia tidak hidup lagi di dalam dunia pertanian, melainkan dalam masyarakat perkotaan. Namun dari sudut pandang Paulus, rasul Tuhan itu, orang tersebut belum melakukan firman tersebut, karena ia tidak memberikan hak karyawannya dalam masalah upah kerja.
Dengan pemahaman seperti itu, maka marilah kita mendekati hukum pertama ini. Jelas hukum ini merupakan sebuah larangan bagi orang Israel, juga bagi kita orang Kristen! Jika Allah menghendaki agar tidak adanya ilah lain di dalam hidup kita di hadapan Dia, maka sangat jelas Ia menghendaki agar yang ada di dalam hidup ini hanya Dia semata-mata. Dia ada di dalam hidup kita. Sejenak kita akan menyoroti makna kata ada!
Jika ada sebuah rapat diadakan,maka absensi akan dibacakan. Satu satu nama dari orang yang diharapkan akan disebutkan. Orang yang disebutkan namanya akan menyahut dengan sebutan ‘hadir’ atau ‘ada’. Apa makna ada di sana? Ada bukan hanya sekedar hadir. Ada artinya, ia hadir untuk turut ambil bagian dan berpartisipasi di dalam rapat tersebut. Ada juga pelayan yang hadir di dalam rapat itu. Ia ada di sana, bukan dalam rangka turut ambil bagian dalam rapat. Lain dengan perserta. Jadi kata ada maksudnya ialah: hadir untuk turut ambil bagian dalam kegiatan yang sedang diadakan. Ia akan berperan aktif di dalam kegiatan tersebut. Seperti itulah Allah ada di dalam hidup kita. Ia ada dalam rangka turut ambil bagian di dalam perjalanan hidup ini. Ia bahkan memimpin di depan. Itulah Allah kita yang ada di dalam hidup kita.
Tatkala memibicarakan mukaddimah, kita telah menyinggung Allah yang ada di dalam hidup kita. Sekarang dari sudut pandang diri sendiri, saya harus membuat sebuah konfirmasi akan adanya Allah di dalam hidup saya. Konfirmasi itu bentuknya dengan menolak akan adanya sesuatu yang lain dari Allah di dalam hidup saya. Saya tidak membiarkan adanya ilah di dalam diri saya sendiri, sebab Allah sudah ada di sana.
Sisi lain dari perintah jangan ada ialah: biarkan Ia ada di dalam hidupmu. Bukan kita yang membuat Allah ada di dalam hidup kita ini. Ia yang ada itu yang mengadakan Dia ada di dalam hidup kita. Oleh karena itu, biarkan Dia ada dan senantiasa ada di dalam hidup kita. Jika saya membiarkan Allah ada di dalam saya, maka tidak akan ada kesempatan bagi ilah-ilah lain jadi ada di dalam diri saya.
Sejenak kita akan menyoroti ilah di sini. Ilah untuk orang Israel kuno mestilah beda dengan ilah bagi kita di zaman ini. Tetapi ilah tetap ilah. Ilah itu adalah dia yang kita puja dan kita sembah di dalam kehidupan yang nyata. Oleh karena ketakutan orang pada zaman dahulu terhadap kuasa yang besar dan mengacap kehidupan, maka orang menyembah ilah, agar dapat terhidar dari bahaya yang sedang mengancam.
Sekarang ilah bentuknya sudah sangat lain. Ilah di zaman modern ini sudah berubah bentuk. Ia bukan lagi dewa atau dewi yang dipuja, melainkan sesuatu mengenai diri sendiri yang diproyeksikan ke depan dan menjadi pujaan hati. Ilah sekarang ialah: uang, jabatan, karir, dan lain sebagainya. Jika di zaman dahulu ilah itu adalah dewa dewi, maka sekarang ilah itu sudah menjadi manusia itu sendiri.
Kita sekarang memakai kata yang lebih halus untuk kata ilah: ialah: idola. Lihatlah para remaja dunia yang mengagungkan para penyanyi pop sebagai idola mereka. Kita sebagai orang tua pun tidak terlalu khawatir tentang hal seperti itu, sebab itu hanyalah idola. Pada hal hukum itu mengatakan jangan ada ilah – juga idola – bagi di hadapanku.
Rasul Paulus mengatakan di dalam surat Efesus bahwa keserakahan sama dengan penyembahan berhala. Berhala adalah ilah. Jadi dengan memiliki keserakahan, maka pada dasarnya kita tidak lagi menjadikan Allah ada di dalam hidup kita. Posisi-Nya kita gerser dari kehidupan ini dan memberikannya kepada sesuatu yang bukan Allah.
Tindakan seperti ini tentunya sangat mendukakan hati Allah. Kita ada, karena Allah ada. Alangkah bejatnya moral kita dengan menggantikan Yang Ada itu dengan sesuatu yang lain dimana pada hakekatnya dia bukalah yang ada. Penyembahan ilah senantiasa mendukakan hati Allah yang ada di dalam diri kita.
Salah satu keberdosaan manusia yang disoroti Paulus dalam surat kepada Jemaat Roma ialah: manusia mengganti Allah dengan sesuatu yang bukan Allah. Oleh karena keberdosaannya itu. Maka manusia mulai kehilangan kewajaran hidup. Allah bukan lagi sesuatu yang wajar untuk disembah. Manusia menggantikannya dengan sesuatu yang bentuknya lain. Ada banyak kewajaran hidup yang hilang dari komunitas manusia sekarang ini, karena mereka menolak Allah Yang Ada di dalam kehidupan mereka.
Alangkah tidak tahu dirinya manusia itu yang menolak Allah yang dalam kasih-Nya yang begitu besar telah tinggal di dalam kehidupan manusia yang pada dasarnya harus dibinasakan karena keberdosaannya. Inti dari penyembahan ilah lain selain dari Allah ialah: ketidakadaan kasih kepada Dia Yang Ada di dalam hidupnya.
Manusia lebih mencintai dirinya sendiri dari pada Dia Yang ada di dalam dirinya, kita kenal sebagai kasih. Kasih-Nyalah yang mendorong Dia untuk menyelamatkan kita yang telah dipilih-Nya dari semula untuk didiami-Nya dalam kehidupan ini, serta menjadikan kita ada di dalam Dia. Jauhkanlah segala macam ilah dari dalam hidupmu, sebab hal itu mendukakan hati dari Dia Yang Ada di dalam hidupmu sendiri yang adalah kasih.
Jika kita melihat Allah ada di dalam hidup kita, dimana pun kita ada, maka perilaku kita pun akan disesuaikan dengan adanya Dia sang Ada di antara kita. Marilah kita melihat Dia ada di dalam kehidupan kita. Dengan jalan demikian kita telah melakukan apa yang disuarakan oleh hukum yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar