ANAK-ANAK
Kita semua
pernah menjadi anak-anak! Aku memuji teman-teman yang masih ingat akan
pengalaman mereka semasa masih kanak-kanak. Ada seorang teman sekolah tatkala
duduk dibangku Sekolah Rakyat (SR), menegor saya sebagai orang yang sombong,
karena tidak sapa dia sebagai seorang teman lama. Aku sungguh-sungguh tidak
ingat akan hal itu, namun beliau masih ingat dengan jelas. Berbahagialah mereka
yang masih punya kenangan yang indah pada saat kecil.
Dunia anak-anak adalah satu dunia yang sangat lain dari dunia orang dewasa.
Yesus menjadikan anak-anak sebagai contoh bagi orang dewasa tentang kerajaan
sorga.
Anak-anak
menjadi bahan renungan bagi saya pada hari ini. Ada banyak hal yang dapat
dipelajari dari kehidupan seorang anak. Satu hal yang diajarkan Alkitab kepada
saya tentang anak-anak ialah: Allah mengajar pemazmur sejak ia anak-anak. Mzm
71:17 “Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang
aku memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib”. Allah mengajar anak kecil. Itu suatu
bahan renungan bagi saya. Bagaimana cara Allah mengajar seorang anak kecil?
Pernah kulihat sebuah tayangan televisi yang menggambarkan seorang ibu muda
yang baru melahirkan dan untuk pertama kalinya, anaknya diberi ASI. Tidak
seperti biasanya, kepada sang bayi tidak disodorkan puting susu ibunya agar ia
minum. Bayi itu diletakkan di dada ibunya, dekat dengan payudaranya. Dalam
hitungan detik, sang anak yang baru lahir itu dapat menemukan puting susu
ibunya, lalu ia minum makanan yang bernas untuk dia secara pribadi.
Dari mana bayi
itu tahu apa yang menjadi targetnya? Nalarku mengatakan bahwa bayi tahu
targetnya karena ia diberi Allah alat untuk mengetahui target itu, yakni
instingnya. Jika insting yang mengendalikan organ tubuh kita, maka tidak
mungkin kita gagal mencapai apa yang diinginkan! Allah mengajar anak-anak di
seluruh dunia dengan insting yang diberikan-Nya untuk mencapai apa yang
diinginkannya. Kita tahu, burung-burung di kutup Selatan akan berpindah ke daerah
Utara, jika musim dingin tiba. Mereka tidak punya pengetahuan yang berdasarkan
nalar dimana tempat itu. Tetapi insting yang diberikan Allah kepada binatang
itu memampukan burung-burung itu menemukan tempat yang dia perlukan untuk
mendapatkan makanan. Insting tidak pernah salah dalam menemukan apa yang
diinginkannya.
Tatkala bayi itu
bertumbuh, kepadanya diperkenalkan hal-hal yang akan direkam otaknya. Informasi
itu dia simpan di dalam file yang tersedia di dalam otaknya. Para ahli
mengatakan bahwa otak itu sungguh sangat luar biasa daya simpannya. Dalam masa
pertumbuhan itu, file yang tersimpan di otak menjadi bahan pertimbangan bagi
nalar untuk menentukan sikap terhadap apa yang dialami di sepanjang hidup.
Anak-anak, sedikit demi sedikit meninggalkan instingnya, lalu bersandar pada
file yang ada di dalam otaknya di dalam menentukan sikap dan dalam mencapai
tujuan. Tatkala anak menjadi dewasa, mungkin ia tidak lagi memiliki insting
yang sangat kental di dalam hidupnya. Aku katakan ‘mungkin’ sebab aku bukanlah
seorang ilmuwan. Aku hanya membuat sebuah perenungan dengan memakai nalar yang
dikaruniakan Allah bagi manusia. Dengan ‘hilangnya intensitas nalar’ manusia
kehilangan apa yang harus dilakukan. Dengan insting, kita tahu apa yang akan
dilakukan. Sebuah contoh dapat menerangkan apa yang saya maksud. Burung yang
kita bicarakan tadi tahu apa yang harus dia lakukan tatkala musim dingin tiba.
Kita melakukan sesuatu yang harus dilakukan tanpa nalar yang memberi komando.
Kita melakukan hal itu sebagai sesuatu yang sudah seharusnya hal itu dilakukan.
Insting yang menggerakkan kita melakukan hal itu.
Acap kali, apa
yang kita lakukan senantiasa di dasarkan pada penalaran semata-mata. Orang yang
hidup seperti itu, ia hidup di bawah pengaruh nalarnya. Jika nalar yang
berbicara, maka acap dasar perhitungannya di dalam bertindak adalah untung
ruginya. Orang modern bilang cost and
benefit. Anak-anak tidak pernah mendasarkan tindakannya atas dasar cost and benefit. Mereka bertindak
karena gerakan insting dan rasa yang ada di dalam file otaknya. Disitulah
kelebihan anak-anak dengan orang dewasa. Yesus menjadikan anak kecil sebagai
contoh kepada murid-murid-Nya. Ia berkata: "Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu
tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” Mat 18:3. Menjadi seorang yang dapat
dikatakan memiliki keselamatan di dalam Yesus Kristus, ia harus memiliki
dimensi anak-anak di dalam hidupnya.
Dalam rangka
memungkinkan kita dapat menjalani kehidupan dengan dimensi anak-anak itu,
Paulus mengatakan: kepada kita diberi Roh Kudus. Roh itu mengajar kita berseru
kepada Allah dengan sebutan: “Ya Abba, ya Bapa”. Kata abba adalah kata yang
pertama disuarakan oleh seorang anak yang baru lahir di wilayah Timur Tengah.
Kata itu pada hakekatnya maknanya bukan bapa melainkan ‘papa’. Kita tidak
pernah menyapa seseorang dengan sebutan papa. Pada umumnya kita menyapa orang
lain itu dengan sebutan bapa. Kita menyebut papa hanya kepada satu orang saja,
yakni orang tua kandung kita sendiri. Dalam kata ‘papa’ terdapat sejuta makna
di dalamnya.
Bagi sorang anak
kecil, papa adalah satu pribadi yang sangat luar biasa bagi dia. Karena dialah
maka ia ada di dunia ini. Ia yang memungkinkan dia melanjutkan kehidupan ini.
Nalarnya yang masih terbatas, tidak dapat memahami pribadi dari sang ‘papa’.
Tetapi itu tidak perlu, instingnya memberitahukan kepadanya bahwa dia ini
adalah ‘papa’ dan itu tidak mungkin salah. Nuansa seperti itu ada di dalam diri
orang yang beriman, dimana imannya mengatakan kepadanya bahwa Allah itu adalah
“PAPA” bagi dia. Roh Kudus yang memberi pengenalan itu kepadanya. Iman yang
dikaruniakan Roh Kudus, memungkinkan dia mengenal sang “PAPA”. Pengenalan itu
tidak mungkin salah. Sebab, sekali pun orang mengatakan bahwa Allah bukanlah
Dia yang disembah orang Kristen, sebab nama itu adalah nama dewanya orang Arab
kuno. Aku tidak akan mungkin salah menyerukan Allah itu sebagai Bapa. Sebab
yang memberikan kepadaku pengenalan itu adalah Roh Kudus. Aku akan menjawab
juga tuduhan orang yang mengatakan tidak boleh memanggil Bapa kita itu dengan
sebuatan Allah, dengan argumen sebagai berikut: tentang yang kau katakan itu,
aku tidak tahu. Tetapi ini yang aku tahu, aku mengenal siapa yang jadi Bapa
bagiku. Cf Yoh 9:25.
Allah yang kita
kenal itu bertindak sebagai “PAPA” bagi kita. Itu berarti, kehidupan kita
seratus persen tergantung kepada Dia. Seorang papa di dunia ini tahu apa yang
baik bagi anak-anaknya. Ia akan menyediakan segala sesuatu yang perlu bagi
anaknya itu, tanpa anak itu meminta lebih dahulu. Hal yang sama diajarkan Yesus
kepada kita di dalam Injil Matius. Masalah utama sekarang ialah: apakah di
dalam hidup saya ada dimensi anak-anak seperti yang kita telah gambarkan di
atas?
Seperti telah diuraikan di atas, kita semakin dewasa
semakin tergantung pada nalar kita. Di sini nalar sudah menjadi penentu atas
sikap dan respon kita terhadap segala sesuatu yang datang di dalam hidup ini.
Saya tidak menafikan makna dari nalar. Kita harus memakai nalar di dalam
mengikut Tuhan. Menurut hemat saya secara pribadi, nalar bagi kita menjadi
semacam pertimbangan di dalam mengambil keputusan. Amsal mengatakan: “Karena hanya dengan perencanaan
engkau dapat berperang, dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak”. Kata
perencanaan dalam ayat ini menunjuk kepada kemampuan nalar untuk mewujudkannya.
Tetapi orang bijak ini menambahkan bahwa yang namanya penasihat tidak hanya
satu. Penasihat dia katakan ‘banyak’. Penasihat kita tidak hanya nalar. Itu
hanya salah satu dari para penasihat yang harus didengarkan. Iman adalah salah
satu dan bahkan menjadi komandan dari para penasihat kita di dalam mengambil
keputusan. Amsal tadi mengingatkan kita bahwa semakin banyak penasihat, maka
semakin banyak kemungkinan akan menang dalam pertempuran. Penasihat yang lain
menurut hemat saya ialah: intuisi kita.
Saya tidak dapat membedakan antara insting dan intuisi.
Berdasarkan kamus KBBI, intuisi adalah sebuah kemampuan untuk mengetahui
sesuatu tanpa proses belajar. Agak mirip juga dengan batasan yang mereka buat
dengan kata insting. Nalar, insting, intuisi adalah penasihat yang dikomadoi
iman di dalam memberi masukan tentang sesuatu hal yang harus diambil oleh orang
percaya. Daud menjadi contoh bagi saya di dalam hal ini. Pernah ia berhadapan
dengan pasukan Filistin. Ia bertanya kepada Tuhan, apa yang harus dia lakukan
dalam menghadapi orang Filistin ini. Tuhan mengatakan kepadanya agar ia maju
menghadapi mereka. Karena ia menuruti nasihat Tuhan, maka pasukannya mengalami
kemenangan. Di lain waktu, ia diperhadapkan dengan persoalan yang sama. Secara
manusiawi, nalarnya akan mengatakan: dulu engkau telah menghadapi masalah
seperti ini. Firman Tuhan kepadamu ialah: maju. Oleh karena itu biarlah engkau
maju. Bukankah pengalaman adalah guru paling baik? Namun, Daud tidak melakukan
itu. Ia bertanya kepada Tuhan, lalu ia mendapat jawaban yang berbeda. Tuhan
berfirman kepadanya agar ia menunggu pasukan Filistin. Karena ia taat kepada
apa yang difirmankan Tuhan, maka Daud mengalami kemenangan dalam pertempuran
tersebut. Daud tidak membiarkan pengalaman dan nalarnya yang menjadi penasihat
satu-satunya di dalam mengambil keputusan. Imannya yang paling berperan di
dalam mengambil keputusan. Keputusan iman tidak mungkin salah, tidak mungkin
gagal.
Ada lagi sisi lain dari diri anak-anak yang menjadi
pelajaran berharga bagiku. Anak-anak memiliki bahasa yang universal. Anak-anak
dapat mengerti sesamanya. Aku pernah melihat anak orang asing dan anak pribumi
bertemu satu sama lain. Mereka dapat bergaul akrab, sekalipun bahasa mereka
berbeda satu sama lain. Bahkan mereka belum mampu mengucapkan bahasa ibu mereka
sendiri. Namun, anak-anak itu dapat berkomunikasi satu sama lain. Bukankah hal
seperti itu pada hakekatnya kita perlukan di dunia yang semakin terkotak-kotak
ini? Saya bertanya dalam hati: mengapa anak-anak itu dapat berkomunikasi satu
sama lain, pada hal mereka belum bisa mengungkapkan diri mereka sendiri dalam
bahasa ibu mereka? Di situlah justru letak rahasianya. Anak-anak tidak pernah
membuat diri sendiri sebagai pusat kehidupannya. Ia senantiasa melihat ke luar
dan tidak pernah ke dalam. Para psikolog mungkin akan mengatakannya dengan
istilah extrovert dan introvert. Saya pernah membaca sebuah buku yang ditulis
oleh seorang psikolog di kota New York.
Ia mengatakan dalam bukunya itu, seorang Kristen yang sesungguhnya adalah
seorang yang extrovert.
Oleh karena anak-anak tidak pernah melihat kepada diri
sendiri, tetapi melihat kepada orang lain di luar dirinya, maka tidak ada
kecanggungan atas apa pun yang mereka hadapi. Orang yang ditemui itu menjadi
sesuatu yang sangat menarik perhatian. Orang itu memperkaya pengalaman
hidupnya, sehingga kehadirannya menjadi sesuatu yang berharga. Bukankah hal ini
menjadi sesuatu yang sangat kita perlukan di dalam mewujudkan pelayanan kepada
sesama? Tatkala kita telah bertumbuh menjadi dewasa, kendala yang paling besar
dan pergumulan yang paling alot ialah: menghadapi diri sendiri. Resep yang
ditemukan Paulus di dalam hidup yang menghasilkan buah bagi Tuhannya ialah: “bukan
lagi aku yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”. Tentang dirinya
sendiri Paulus mengatakan: “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan
aku dari tubuh maut ini?” Anak-anak tidak pernah berbicara seperti itu, sebab
bukan dirinya yang menjadi pusat kehidupannya, melainkan orang yang ada di luar
dirinya sendiri. Kita sangat membutuhkan dimensi anak-anak ini.
Itulah sisi dari dimensi anak-anak yang seyogianya ada di
dalam kehidupan kita. Namun, kita tidak harus senantiasa dalam pengaruh dimensi
anak-anak. Roh Kudus mengajar kita bukan hanya memanggil Allah itu ‘Abba’,
tetapi Ia juga mengajar kita untuk memanggil Allah itu sebagai ‘bapa’. Orang
Kristen berada di dua sisi ini. Ia di satu sisi panggil Allah itu ‘Abba’,
sementara di sisi lain, kita memanggil Allah itu adalah ‘Bapa’. Jika orang di
zaman PB memanggil seseorang itu bapa, tidak senantiasa maksudnya ialah: bapa
secara jasmani, atau seseorang yang lebih tua dari kita. Istilah bapa diberikan
juga kepada kepala suku, para pemimpin. Kita sadar, orang Katolik memanggil
para pastor mereka ‘bapa’. Para pastor itu pun memanggil anggota jemaat sebagai
‘anak’. Orang Protentant memanggil pendetanya dengan sebutan Pak Pendeta.
Tetapi pendeta itu sendiri tidak memanggil anggota jemaat dengan sapaan ‘anak’.
Menurut hemat saya, orang Katolik lebih memahami makna kata bapa dalam bahasa
Alkitab ketimbang orang Protestant.
Bapa dalam pemahaman orang purba, termasuk di dalamnya
pemahaman orang Kristen mula-mula, adalah dia yang menjadi pemimpin kehidupan.
Ia yang bertanggung jawab atas komunitas yang dia pimpin. Eksistensi dari
mereka yang dia pimpin akan sangat dipengaruhi kemampuan dari sang pemimpin.
Itulah sang bapa yang dikenal oleh orang Kristen purba. Itulah Allah yang
mereka kenal di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Allah itu adalah Dia yang
memimpin kita berjalan di dalam perjalanan hidup ini. Eksistensi dari komunitas
ini yang namanya ialah: Gereja ditentukan oleh sang Bapa. Karena Bapalah maka
komunitas ini ada. Dia yang menentukan arah perjalanan dari komunitas ini. Ia
yang membimbing komunitas ini berjalan. Ia yang menentukan arah dari perjalanan
komunitas ini. Ia yang menopang adanya komunitas ini.
Jika aku mengakui Allah sebagai Bapa, itu berarti aku
berada di dalam satu rombongan yang sedang berjalan bersama menuju kekekalan.
Aku tidak dapat memisahkan diri dari rombongan itu. Sebab jika demikian aku
tidak lagi mengakui Allah sebagai Bapa. Sebab Ia adalah Bapa dari rombongan
ini. Jika Ia adalah Bapa, maka aku adalah anak. Itu berarti menjadi bagian dari
rombongan. Rasanya kita lebih memikirkan posisi anak hanya dari sudut pandang
biologis. Pada hal, kita menjadi anak bukan karena biologis. Kita menjadi anak
karena kehendak Allah. Itu kata rasul Yohanes dalam Injilnya.
Berbahagilah mereka yang memiliki dimensi anak-anak
seperti yang kita bicarakan. Sebab menurut Yesus, merekalah yang empunya
kerajaan sorga. Sudahkah saudara memilikinya? Kasih karunia Allah akan
memberikan kita dimensi ini! Selamat menikmatinya di dalam Kristus Yesus Tuhan
kita.