12/07/11

Makan



M A K A N

“Dan orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan duduk makan di dalam Kerajaan Allah” Lukas 13:29.

Makan bagi orang Israel adalah satu acara yang sangat penting. Acara itu adalah salah satu ritus keagamaan yang sangat diperhatikan oleh orang yang memelihara kebenaran keagamaan. Dalam mempersiapkan makan, orang akan mempersoalkan apakah makanan yang disajikan itu telah melalui ritus yang harus dilakukan. Di samping itu, tentunya apakah makanan itu adalah makanan yang halal, dan tidak najis. Di zaman Tuhan Yesus, orang Farisi yang sangat kekat di dalam menerapkan Hukum Taurat, sangat memperhatikan masalah makan. Mereka tidak akan makan bersama dengan orang yang mereka tidak kenal. Hanya orang-orang yang masuk ke dalam komunitas mereka yang akan diajak makan bersama.

Orang Farisi salah satu gerakan keagamaan yang hidup di zaman Tuhan Yesus, sangat memperhatikan penerapan hukum Taurat hingga hal-hal yang paling kecil, termasuk masalah makan. Sebelum mereka makan, senantiasa ada upacara pembersihan tubuh lebih dahulu. Hal itu disebabkan makanan yang akan dimakan haruslah tahir, bersih. Untuk upacara pembersihan itu mereka menyimpan air di dalam bak yang dipahat dari batu. Ada pemahaman mereka bahwa batu itu tidak membuat kotor air yang ditampungnya. Sedemikian teliti mereka memperhatikan persiapan untuk makan. Inilah yang membuat acara acara makan adalah acara yang sangat penting. Hal itu memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh serius.

Ini juga menjadikan apa yang dipercakapkan di waktu makan adalah masalah penting. Makan bersama menjadi sangat bermakna bagi orang Yahudi. Tetapi bukan hanya mereka saja. Seluruh etnis di Timur Tengah memiliki pemahaman seperti itu. Aku pernah mendengar seorang pengkhotbah menuturkan kisah tentang makan di kalangan orang Arab nomaden di sana. Seorang ibu pada satu pagi keluar dari kemahnya menuju sumur yang ada di perkemahan mereka. Tatkala ia sampai di sumur itu, ia menemukan seorang pria tergeletak di sana dalam keadaan sekarat. Di dahinya ada serpihan mata pedang yang masih menempel.

Tergerak oleh belas kasihan, ibu tadi menolong pria tersebut. Ia menuntun pria yang sedang sekarat itu masuk ke dalam kemahnya. Ia merawat luka pria tersebut dan memberinya makan. Tak berapa lama, serombongan pria dari sukunya menggotong mayat suaminya. Kepadanya diberikan juga pedang suaminya yang sudah meninggal. Ia memperhatikan pedang suaminya yang sudah tidak utuh lagi mata pedangnya. Ia mencocokkan serpihan yang dia dapat dari dahi orang yang ditolongnya. Ternyata cocok dan pas dipadankan dengan pedang suaminya. Ia dan sesama sukunya mengambil kesimpulan: suaminya berkelahi dengan pria yang dia tolong dan pria itu yang membunuh suaminya. Hukum di Timur Tengah, juga disuarakan Hukum Musa: “mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa”.

Perempuan itu berhak untuk membunuh pria tersebut, karena ia telah membunuh suaminya. Namun ada masalah bagi dia. Ia telah memberi pria itu makan. Makanan yang ada di dalam perut pria itu, sama dengan makanan yang juga ada dalam perut wanita tadi, sebab mereka telah makan bersama. Pemahaman mereka, makanan itulah yang  membuat mereka hidup. Pemahaman seperti itu membuat mereka melarang untuk membunuh orang tersebut yang telah makan bersama mereka. Sebab jika orang tersebut dibunuh, itu sama saja artinya membunuh diri sendiri. Sedemikian dalam pemahaman mereka tentang makan.

Makan bersama mempunyai arti menikmati hidup yang kwalitasnya sama dengan orang yang menyediakan makanan tersebut. Pemahaman ini membuat orang di Timur Tengah tidak sembarang mau makan bersama seseorang yang mereka tidak kenal. Bagi orang Farisi yang sudah kita bicarakan di atas, mereka hanya mau makan dengan orang yang sekelas dengan mereka. Makan bersama juga menandakan orang yang diundang makan itu adalah orang yang dihormati. Itulah sebabnya orang Farisi sangat marah melihat Yesus yang dianggap sebagai rabbi, makan bersama dengan orang berdosa dan pemungut cukai. Kedua kelas masyarakat ini, menurut anggapan orang Farisi, mereka adalah masyarakat yang paling berdosa, oleh karena itu harus dihindari.

Kebalikan dari pemahaman orang Farisi tersebut, Yesus justru mau makan dengan semua orang yang disingkirkan dari pergaulan keagamaan. Pemungut cukai, pelacur dan orang berdosa lainnya diterimanya duduk bersama dengan Dia dan makan bersama. Setiap orang yang diundang makan bersama oleh seorang public figure tentunya menjadi satu kehormatan tersendiri. Hal seperti itu di zaman ini juga masih berlaku, apalagi di masa ribuan tahun yang lalu. Kesediaan Tuhan Yesus untuk makan bersama di rumah orang berdosa menjadi sesuatu yang sangat bermakna bagi mereka yang disingkirkan masyarakat agamis itu.

Dengan makan bersama orang orang berdosa, Yesus menjungkirbalikkan pemahaman orang pada zaman-Nya tentang kehormatan. Sebab hanya orang yang dihormatilah yang diundang untuk makan bersama. Dalam masyarakat seperti zaman Tuhan Yesus hidup, tidak ada kehormatan bagi orang berdosa. Mereka dianggap bukan sebagai anggota masyarakat agamis. Berbanding terbalik dengan apa yang dianggap orang banyak, Yesus menerima orang berdosa sebagai satu pribadi yang terhormat. Yesus menerima mereka bukan karena perilaku mereka sendiri, tetapi karena mereka adalah manusia. Dosa tidak boleh membuat manusia itu tidak lagi manusia. Ia tetap manusia. Hal ini sangat membesarkan hati dari setiap orang yang turut ambil bagian satu meja dengan Tuhan Yesus.

Apa yang dilakukan Tuhan Yesus pada waktu itu, sungguh satu kabar baik bagi banyak orang berdosa di masyarakat. Berita itu tersiar ke seantero wilayah itu. Hal yang sama pada hakekatnya kita dapat lakukan di dunia ini. Bagi kita sekarang, makan bersama dengan Tuhan dinyatakan dalam Perjamuan Kudus. Anehnya, Gereja sekarang ini pun membatasi orang yang boleh makan bersama dengan  Tuhan Yesus. Kita juga sama seperti orang Farisi, kita menolak orang berdosa untuk makan bersama Tuhan. Kita juga menolak anak-anak datang makan bersama dengan Tuhan. Sungguh sangat bertentagan dengan apa yang dilakukan Tuhan ribuan tahun yang lalu. 

Kita yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus, pada hakekatnya harus dapat mengundang orang berdosa untuk makan bersama kita di rumah Tuhan, juga di rumah kita masing masing. Tentunya seturut kemampuan kita. Penulis surat Ibrani menasihati jemaat untuk suka memberi tumpangan kepada orang asing. Ia menekankan di dalam suratnya itu, ada orang yang menjamu malaikat yang mengambil rupa sebagai orang asing yang diberi tumpangan oleh tuan rumah. Sebelum kita benar-benar melakukannya, maka diperlukan persiapan yang matang, agar kita dapat memiliki satu pemahaman yang sangat kental akan makna makan bersama di dalam kehidupan keluarga kita. Pengajaran yang terus menerus dan dipraktekkan membuat terciptanya pemahaman yang diharapkan itu.

Salahkah jika bermimpi satu hari kelak, ada beberapa orang Kristen yang mengatakan dalam doa: “berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” mewujudkannya dengan memberi tempat kepada seorang anak yatim piatu untuk duduk di meja makan mereka. Itu berarti anak yatim itu akan menikmati hidup bersama dengan orang tua asuh mereka. Sekarang ini, anak asuh wujudnya memberi sejumlah uang kepada seorang anak untuk melanjutkan sekolahnya. Yang dibiayai bukanlah seluruh kehidupan anak tersebut, melainkan sebagian kecil dari kehidupannya. Itu pun pada hakekatnya harus disyukuri. Namun pemberian itu belumlah dalam artian makan bersama, sebagaimana telah kita utarakan makna rohaninya di atas.

Sayang, kehidupan modern yang kita jalani sekarang ini, telah membuat hidup kita sangat terkotak-kotak. Orang yang tinggal serumah pun sudah jarang makan bersama disebabkan kesibukan yang amat sangat. Ada orang bilang, orang Yahudi orthodoks hingga hari ini masih menyediakan satu piring kosong untuk Elia, tatkala mereka makan malam. Jika anak kecil keluarga dengan sembarangan duduk di kursi yang tersedia, orang tuanya akan mengingatkan anak tersebut. Nak, kursi itu disediakan untuk Elia, jangan-jangan ia datang dan belum makan. Meja makan dijadikan sebagai mezbah untuk beribadah kepada Allah. Waktu makan menjadi satu kesempatan untuk menanamkan pengajaran iman kepada generasi penerus. Alangkah indahnya.

Zaman memang sudah berubah. Jika kita mengenang masa kecil, semua anggota keluarga telah duduk bersama di sekeliling meja makan, barulah makan bersama dilakukan. Ibu yang membagikan makanan ke masing-masing piring yang ada di hadapan kita. Setelah semua terhidang, maka ucapan syukur dinaikkan kepada Allah untuk makanan yang telah tersedia. Aku pernah melihat keluarga Kristen di Amerika saling berpegangan tangan di dalam menaikkan doa syukur tersebut. Kepala keluarga yang menaikkan syukurnya kepada Allah untuk makanan dan minuman yang tersedia. Suasana makan bersama seperti yang diuraikan di atas menjadi gambaran yang dipakai Alkitab untuk menggambarkan akan apa yang terjadi di masa kekekalan kelak, tatkala Tuhan telah datang untuk menghakimi semua umat manusia seturut Injil-Nya.

Nas kita membicarakan adanya perjamuan makan di akhir zaman. Orang yang akan turut ambil bagian di dalam perjamuan makan itu berasal dari segala penjuru mata angin. Itu berarti dari segala tempat yang ada di dunia ini. Kitab Wahyu menyuarakan dari segala etnis, suku kaum dan bahasa. Itu tidak ada satu pun suku yang ada di dunia ini yang tidak turut ambil bagian di dalam makan bersama tersebut.

Pada waktu itu, seluruh umat manusia berada dalam satu keluarga, yakni keluarga Allah. Semua makan bersama dengan Allah. Hal makan bersama ini telah disuarakan Tuhan Yesus di dalam kitab Wahyu. “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku” Why 3:20. Jika Tuhan di dunia ini telah mengundang kita makan bersama dengan Dia dalam Perjamuan Kudus, bagaimana mungkin Ia tidak mengundang kita untuk makan bersama dengan Dia dalam kerajaan-Nya yang kekal? Di sini kita telah jadi anak-Nya, menurut Paulus, tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah yang ada di dalam Kristus (Rom 8:38-39).

Makan bersama bisa menjadi jalan bagi kita untuk membagikan Injil kepada sesama kita. Tidak semua kita dapat memberitakan Injil dengan perkataan. Tetapi kita semua dapat memberitakan Injil dengan perbuatan. Tatkala menuliskan renungan ini, di relung hari ini terbersit syair dari satu puisi yang sangat aku kagumi. Sebagian dari lrik syair yang tidak tahu siapa pengarangnya berbunyi:

The eye’s a better pupil and more willing than the ear;
Fine counseling is confusing, but example’s always clear.
The best of all the preachers are the men who live their creed;
For to see the good in action is what everybody needs.
I can soon learn how to do it if you let me see it done.
I can watch your hands in action, but your tongue too qiuck may run

Mengundang orang makan bersama dengan kita di dalam rumah, dapat menjadi kabar baik bagi sesama yang belum mengenal Injil Yesus Kristus.

Selamat mecoba!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...