12/10/11

Sahabat



S A H A B A T

Ada pepatah orang Inggris yang mengatakan: “A friend in need is a friend indeed”. Sahabat dalam duka pada hakekatnya, dialah sahabat yang sesungguhnya. Seorang teman mengalami dukacita, tatkala orang tuanya dipanggil Tuhan dari dunia yang fana ini. Kepadaku hal itu diberitahukan. Lalu dengan bergegas, aku pun mendatangi rumah duka. Lalu seperti biasanya, kita duduk di kursi yang telah disediakan. Aku membawa buku bacaan, sehingga dapat melewatkan waktu, tanpa harus gelisah dibuatnya. Aku duduk di ruangan itu sambil sesekali menengok teman yang sedang berduka. Aku tidak melakukan apa pun di sana, selain duduk dan menyertai dia di dalam kedukaannya. Waktupun berlalu, ternyata aku sudah menghabiskan waktu di sana selama lima jam. Setelah itu aku pun permisi kepada sahabatku itu, mohon pamit pulang ke rumah.

Almarhum meninggal pukul empat pagi hari. aku datang ke rumah duka pukul delapan pagi. Karena almarhum akan dikuburkan pada esok hari, maka aku pun datang lagi pada malam harinya. Seperti biasa, aku hanya duduk dan menyertai dia dalam kedukaannya. Aku pulang dari rumah duka pada pukul sebelas malam. Besok harinya aku datang lagi jam sepuluh pagi. Di pagi hari itu dilaksanakan upacara adat sebagaimana biasanya dilaksanakan suku mereka. Aku melihat semua acara itu dengan rasa empati terhadap temanku yang berduka. Sepatah kata pun tidak ada keluar dari mulutku. Tetapi hatiku turut merasakan apa yang dia alami. 

Aku menemani sahabatku itu hingga orang tuanya dikuburkan di Taman Pemakaman Umum (TPU). Setelah acara pemakanan selesai, aku pamitan dengan sahabatku itu. Lalu ia berkata: “Terima kasih bang, kehadiran abang selama dua hari ini, sangat menghibur hati kami”. Seperti yang telah aku katakan di atas, aku tidak berbuat apa-apa di rumah duka. Hanya duduk menyertai mereka yang berduka. Tetapi ternyata, apa yang aku lakukan punya makna bagi orang yang berduka. Kehadiran kita untuk duduk bersama dengan orang yang berduka, menjadi satu penghiburan yang sungguh bermakna dengan mereka.

Tatkala kita berpikir tentang pelayanan, sering kali kita memahaminya sebuah aktifitas. Jika kita tidak berbuat apa-apa, maka kita merasa tidak berbuat sesuatu. Seperti contoh yang sudah diutarakan di atas. Jika kita hadir di rumah duka itu, maka pertanyaan kita ialah: ngapain aku ada di sini. Dari pada bengong-bengong di sini, maka lebih baik aku berbuat sesuatu. Pada hal, sekalipun kita hanya bengong di rumah duka itu, kehadiran kita punya makna bagi orang yang sedang berduka.

Jika kita hadir di rumah duka, kita akan beraktifitas. Memberikan kata-kata penghiburan. Lalu setelah itu kita pergi mengerjakan aktifitas yang lain. Kita telah dapat berkata kepada diri sendiri: ‘aku telah menghibur keluarga itu’. Kita tidak perlu bertanya di dalam hati kita: ‘apa benar, keluarga yang berduka itu terhibur oleh karena kata-kata penghiburan yang kita katakan?’ Kita akan mengatakan: ‘itu bukan urusanku, itu adalah urusan dia!’ Jika demikian adanya, maka pada hakekatnya kita bukan sahabat dari orang yang berduka.

Sahabat yang sejati, ia turut ambil bagian di dalam kehidupan sahabatnya. Jika sahabat itu bersukacita, ia turut menikmati sukacita sahabat tersebut. Jika sahabat itu berdukacita, ia pun turut ambil bagian di dalam dukacita tersebut. Itulah sebabnya Paulus mengatakan agar kita “menangis dengan orang yang menangis, tertawa dengan orang yang tertawa”.

Ada lagi pengalaman yang sangat bermakna dalam hidup ini tentang melayani seseorang. Pada malam yang sudah larut, ponsel saya berdering. Aku pun meraihnya. Kepada teman-temanku telah kukatakan bahwa mereka dapat menghubungi aku kapan saja, bahkan bila pun waktu sudah sangat larut malam. Aku teringat akan perumpamaan Tuhan Yesus tentang seorang sahabat kedatangan tamu pada malam hari. ia mengetuk pintu rumah sahabatnya pada malam hari itu juga. Pintu diketok, maka pintu pun dibukakan.

Di seberang terdengar suara yang berat disebabkan hati yang sesak, oleh karena kesedihan yang dia rasakan. Lalu dia mencoba menumpahkan isi hatinya kepadaku  lewat ponselnya. Aku mendengarkan keluhannya dengan sabar. Di sana sini aku memberikan komentar singkat, sehingga ia memahami, bahwa saya peduli dengan apa yang sedang diperbincangkannya. Kami ngobrol selama dua jam di malam itu. Setelah bicara selama dua jam, disertai interupsi saya di sana sini, percakapan pun berakhir.
Ia berkata: “Terima kasih bang, karena sudah sedia mendengarkan curahan hati yang sedang sesak. Aku sudah menemukan jalan keluarnya dari percakapan kita tadi!” Aku tidak menasihati dia tentang masalah yang dia hadapi. Aku hanya bertanya dan bertanya lagi bagaimana pandangan dia tentang masalah tersebut. Bagaimana seharusnya masalah tersebut dihadapi. Ia menemukan sendiri jawabannya. Aku hanya mendengarkan isi hatinya dan berempati dengan masalah yang dihadapinya. 

Dalam kisah yang dituturkan itu, aku tidak banyak berbuat. Tetapi tatkala kita tidak berbuat apa-apa secara fisik, pada hakekatnya kita berbuat secara kejiwaan. Orang yang menderita membutuhkan teman yang turut bersama dia mengalami derita itu. Tatkala orang turut ambil bagian di dalam deritanya, maka derita itu pun berkurang di lubuk hatinya.

Tuhan Yesus pun menerapkan hal yang sama terhadap orang-orang yang percaya kepada-Nya. Ia mengatakan kepada Saul: “Akulah Yesus yang engkau aniaya itu!” kita tahu, Saulus tidak pernah menganiaya Yesus secara fisik. Orang yang percaya kepada Yesus yang dia aniaya. Tetapi Yesus mengatakan Dialah yang dianiaya oleh Saulus. Yesus empati terhadap setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Tatkala Yesus melayani di dunia ini, Ia sibuk membagikan diri-Nya menjadi sahabat orang yang terpinggirkan di masyarakat. Ia menjadi sahabat pemungut cukai dengan orang berdosa. Ia memberikan diri-Nya, waktu-Nya kepada orang yang terpinggirkan itu. Ia membawa kesembuhan bagi orang yang terpinggirkan itu. Jika kita menyebut diri sebagai orang Kristen, pengikut Kristus, maka sudah sangat wajar jika kita memberikan diri kita kepada orang yang membutuhkannya, sebagaimana Kristus telah melakukannya lebih dulu.

Sayang seribu kali sayang, kita sangat sibuk dengan diri kita sendiri, sehingga tidak ada lagi waktu untuk orang lain. Jika kita tidak menjadi pusat perhatian, tatkala kita tidak bisa mengaktualisasi diri kita di dalam satu acara tertentu, maka acara itu sangat membosankan bagi kita. Masalahnya, kita sibuk dengan diri kita sendiri! Padahal, kita tidak dapat hidup sendirian di dunia ini. Bayangkanlah, jika saudara hanya sendirian di dunia ini, bukankah hal itu satu penderitaan yang amat sangat! Tuhan telah menetapkan bahwa kita hidup di dunia ini dengan sesama. 

Bertobat pada hakekatnya berpaling dari diri sendiri dan mengarahkannya kepada Yesus. Allah ingin membuat kita sama seperti Yesus. Agar hal itu dapat terjadi, maka kita harus berpaling dari diri sendiri. Kita bukan lagi pusat dari segala sesuatu, melainkan orang lain. Di dalam diri orang lain, aku menemukan Tuhan! Sahabat ada di mana-mana, maka Tuhan pun ada di mana-mana. 

Ada satu kisah tukang sepatu dari Rusia yang mengesankan hati. Dikisahkan Ivan, sang tukang sepatu bermimpi dijumpai Tuhan Yesus di dalam mimpinya. Tuhan berkata kepada Ivan: “Aku akan mampir di rumahmu esok pagi”. Ia sangat bersukacita mendengar kabar itu, lalu ia terbangun dari tidurnya. Ia segera membangunkan isterinya dan mengatakan bahwa Tuhan Yesus akan datang ke rumah mereka esok pagi.

Isterinya bertanya: “Jam berapa Ia datang?” Ivan lupa bertanya kepada Tuhan tentang hal itu. Lalu mereka mempersiapkan sarapan pagi yang mewah untuk tamu terhormat tersebut. Tunggu punya tunggu, Tuhan tidak datang juga. Lalu mereka sepakat mengambil kesimpulan, mungkin pada saat makan siang. Lalu mereka bergegas untuk mempersiapkan makan siang yang mewah pula. Tunggu punya tunggu, Tuhan tidak datang juga. Mereka kecewa. Tetapi masih ada harapan satu lagi. Di saat makan malam tiba, Tuhan akan datang. Bukankah Ia sudah berjanji! Makan malam yang mewah pun disajikan.

Tetapi Tuhan tetap tidak datang. Lalu dalam kekecewaan berat, mereka tidur dan didera kelelahan. Setelah tidur nyenyak, kembali Ivan didatangi Tuhan di dalam mimpi. Tuhan Yesus berkata: “Tiga kali Aku datang tadi siang ke rumahmu, tetapi engkau menolak Aku” demikian kata Tuhan! Lalu Ivan membantah dan berkata: “Kapan Tuhan datang dan kami tidak terima. Bukankah kami sudah menunggu kedatangan Tuhan?”

Yesus berkata: “Aku datang pagi hari dalam diri seorang anak kecil. Aku meminta makanan yang engkau sediakan itu, tetapi engkau menolak Aku”. Memang pada pagi hari itu ada seorang anak meminta makanan itu, tetapi Ivan mengatakan: “Itu untuk Tuhan Yesus. Pergi sana”. Yesus melanjutkan perkataan-Nya: “Aku datang padamu pada siang hari dalam diri seorang pengemis, engkau pun menolak Aku. Bahkan demikian juga dalam malam hari. Aku datang dalam diri seorang yang kemalaman, engkau tetap menolak Aku”.

Ivan tertunduk dan dengan rasa malu ia berkata: “Seandainya aku tahu, itu adalah Tuhan, aku pasti menyambut-Mu”. Tuhan Yesus pernah berfirman: “Apa yang engkau perbuat terhadap orang yang paling kecil ini, engkau perbuat untuk Aku”. Kisah itu menuturkan kepada kita, Tuhan hadir di dalam kehidupan kita bukan hanya melalui Roh Kudus-Nya yang tinggal di dalam hati kita. Ia juga hadir di dalam hidup ini melalui teman-teman yang ada di sekitar kita. Jika kita bersahabat dengan mereka, pada hakekatnya kita sedang membina persahabatan dengan Tuhan sendiri.

Rasul Paulus pun menerapkan persahabatan dengan semua orang yang dilayaninya. Ia turut merasakan penderitaan orang yang dia layani. Hal ini terlihat di dalam suratnya kepada jemaat Korintus, “dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita” II Kor 11:28-29. Paulus meniru Tuhannya. Ia memposisikan diri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari orang-orang yang ada di dalam kehidupannya, di dalam pelayanannya.

Tatkala kita memusatkan perhatian kita kepada orang lain, maka kita akan semakin serupa dengan Kristus. Sebab Kristus juga memusatkan perhatian-Nya kepada orang lain. Ia sendiri berkata: “Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya bagi banyak orang”. Perpalingan dari diri sendiri kepada orang lain membuat kita semakin diubahkan di dalam keserupaan kita dengan Kristus.

Manusia sekarang ini senantiasa mempertanyakan kepada dirinya sendiri: ‘apa yang akan saya dapatkan melalui kegiatan tersebut’. Di sisi lain, seorang sahabat senantiasa mempertanyakan dirinya: “Apa yang akan saya berikan kepada sahabatku”. Saya terkesan dengan apa yang disuarakan oleh Pelihat Hanani kepada Raja Asa yang dicatat oleh kitab II Taw 16:9 “...mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia”. Aku memahami firman itu dengan pengertian: Tuhan mencari orang yang ingin dijadikan-Nya sahabat-Nya. Ia adalah kasih. Kasih senantiasa memerlukan obyek yang dikasihi. Oleh karena itu Allah membutuhkan manusia untuk dijadikan-Nya sebagai sahabat.

Ia ingin tinggal bersama sahabat-Nya itu. Ia ingin berjalan bersama dengan sahabat-Nya itu di sepanjang perjalanan hidup yang diperuntukkan-Nya bagi sang sahabat. Ia ingin menikmati persahabatan itu dalam artian yang sesungguhnya. Apa yang aku utarakan ini bukanlah isapan jempol semata-mata. Nyanyian orang percaya di sepanjang zaman mengutarakan hal yang sama juga. 

“Yesus kawan yang sejati, bagi kita yang lemah,
tiap hal boleh dibawa dalam doa pada-Nya.
Oh, betapa kita susah dan percuma berlelah,
bila kurang pasrah diri dalam doa padanya.

Marilah kita menantikan kehadiran Sang Sahabat Yang Sejati itu di dalam hidup ini. Ia datang bukan dengan kemegahan dan kemuliaan surgawi-Nya. Itu akan kita lihat dalam hari penghakiman kelak. Sekarang Ia datang di dalam diri sesama kita yang membutuhkan pertolongan. Lihatlah di sekelilingmu, siapa tahu Tuhan ada di sana dan sedang menantikan uluran tanganmu untuk memberikan pertolongan dari hati seorang sahabat.

Mungkin Ia datang di dalam diri orang yang sedang berduka. Atau juga mungkin datang di dalam diri orang yang sedang bersukacita. Lirik lagu ini menjadi bermakna bagi jiwa yang menantikan Tuhan:
Open our eyes Lord
we want to see Jesus,
to reach out and touch Him,
 and say that we love Him.
Open our ears Lord
and help us to listen,
open our eyes Lord,
we want to see Jesus.

2 komentar:

  1. sedih tapi cukup bermakna
    ini pengalaman pribadi ya pak ???

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah mampir di site ini.
    Apa yang dituliskan di sini adalah sebuah pengalaman pribadi.

    Salam

    BalasHapus

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...