BELAS KASIHAN
Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."
Tuhan Yesus pernah mengatakan kepada orang Farisi: “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa" Mat 9:13. Tuhan Yesus mengatakan hal itu, disebabkan orang Farisi mempertanyakan kesediaan Yesus makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa. Bagi orang Farisi, status sangat penting. Mereka adalah kelompok yang sangat peduli dengan aturan-aturan ritus keagamaan. Menurut mereka, kelepasan bangsa Israel atas penjajahan orang Roma akan berakhir, tatkala orang Israel menaati dengan sempurna Hukum Taurat.
Salah satu dari ketaatan akan Hukum Taurat itu ialah: mengenai makan dan minum yang diatur dalam Hukum Taurat. Orang berdosa dan para pemungut cukai biasanya tidak memelihara hukum mengenai kenajisan dan ketahiran dari sesuatu yang mereka makan. Yesus turut ambil bagian dengan mereka, menjadikan Ia tidak layak menjadi pengajar, atau seorang ‘rabbi’. Yesus menolak pendapat mereka itu dengan mengatakan nas yang sudah kita kutip di atas.
Farisiisme tetap hidup di zaman kita sekarang ini. Ada banyak orang yang sangat mementingkan pelaksanaan hukum secara syariah keagamaan. Mereka berpikir, dengan melakukan syariah keagamaan itu, maka keselamatan pun akan didapat. Pada hal, pandangan ini telah ditolak Tuhan Yesus dua ribu tahun yang lalu. Keselamatan bukan karena usaha manusia. Keselamatan adalah kasih karunia Allah di dalam diri Yesus Kristus Tuhan kita.
Sebagai tanda dari keselamatan yang sudah kita terima dan sudah mulai dinikmati di dalam dunia ini, maka kita menunjukkan belas kasihan Allah yang sudah kita terima dan nikmati itu. Belas kasihan itu ditujukan kepada orang lain, yang belum menikmati belas kasihan Allah. Tuhan Yesus mengatakan: “Berbahagialah orang yang murah hati, karena mereka akan mendapatkan kemurahan”.
Celakanya, orang-orang yang menyebut dirinya sudah menikmati keselamatan, tetap tidak mendemonstrasikan kemurahan hati itu. Hal itu terlihat dari banyaknya tulisan yang mengekspose mengenai hukum syariah keagamaan kita. Aku banyak melihat di dunia maya, bersiliweran tulisan yang mementingkan babtisan misalnya. Orang itu mengatakan mereka yang membabtis anak-anak sesat. Ada lagi orang yang mementingkan Sabat. Sabat bukan pada hari minggu melainkan pada hari sabtu. Mereka mengutip perkataan Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa ia datang bukan untuk merombak Hukum Taurat. Ada orang yang mengatakan sesat Gereja yang menahbiskan perempuan jadi pendeta. Hal-hal ini begitu pentingnya bagi mereka yang mempersoalkannya. Hal-hal itu lebih penting dari belas kasihan.
Saya membaca di buku Sejarah Tuhan tulisan Karen Armstrong, pernyataan Rabbi Yohanan tentang Bait Allah yang sudah dirobohkan orang Roma. Armstrong menulis: “Ketika Rabi Yohannan ben Zakkei tiba dari Yerusalem, Rabi Yoshua mendatanginya dan diceritakan bahwa Kuil telah dihancurkan. "Celakalah kita!" seru Rabi Yoshua, "tempat penebusan dosa-dosa orang Israel telah dirobohkan!" "Anakku," jawab Rabi Yohannan, "janganlah berduka. Kita memiliki tempat penebusan lain yang sama ampuhnya. Apakah itu? Itulah perbuatan baik, karena telah dikatakan: Yang Aku kehendaki adalah kasih sayang, bukan pengurbanan.'
Rabbi itu sangat sadar bahwa korban penghapus dosa haruslah dipersembahkan di Bait Allah di Yerusalem. Tetapi di sisi penerapan, ia dapat melihat wujud lain dari penghapusan dosa itu. Ada orang mengatakan: “lihatlah apa yang tersirat dan jangan hanya yang tersurat”. Teman-teman yang mementingkan babtisan dewasa menghubungkan babtisan anak kepada sesuatu yang bersifat kafir. Mereka menghubungkan hal itu dengan pertobatan dan pembabtisan Kaisar Konstantine. Demikian juga dengan perubahan Sabat dari hari Sabtu kepada hari Minggu. Orang mengatakan bahwa hal itu adalah dalam rangka menyembah dewa matahari. Masih banyak hal lain yang mereka utarakan yang mengatakan bahwa praktek ibadah orang Kristen sekarang pada dasarnya tidak benar. Merekalah yang benar, yang lain sesat.
Sungguh luar biasa Rasul Paulus. Tatkala ia berhadapan dengan penyembah berhala di kota Atena, ia tidak membombardir penyembah berhala itu dengan segala kesalahan mereka. Ia dengan penuh belas kasihan berkata: “Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu”. Ia memulai dengan sesuatu yang mereka miliki. Lalu ia membangun argumennya dalam rangka menjelaskan Injil kepada mereka. Sama sekali tidak ada penghujatan kepada apa yang orang Atena lakukan selama ini.
Berangkat dari kepeduliaan terhadap kebutuhan orang lain, Paulus memberitakan Injil yang seharusnya menjadi kebutuhan orang Atena. Paulus tidak mempersoalkan perbedaan, melainkan ia menekankan kesamaan kita akan perlunya beribadah kepada Sang Pencipta. Pola seperti itu jika kita lakukan di dalam rangka membawa syalom Allah ke dalam dunia yang sudah sangat rusak ini, sungguh sangat dibutuhkan. Adakah belas kasihan di dalam hati kita melihat keadaan orang yang ada di sekitar kita?
Tatkala Yesus melihat orang banyak, bagaikan domba yang tidak punya gembala, maka hatinya tergerak oleh belas kasihan. Henri Nouwen dalam bukunya Kauubah ratapku menjadi tarian membuat batasan tentang belas kasihan. Nouwen mengatakan: “Belas kasihan mempunyai akar kata yang sesunggunya berarti ‘ikut menderita’; maka berbelaskasihan berarti berbagi dalam pergumulan ‘penderitaan’ orang lain.
Jika kita menerima batasan tentang belas kasihan itu, maka sekarang kita mempertanyakan kepada diri sendiri: sejauh mana aku telah meniru Tuhan Yesus yang berbelas kasihan kepada orang banyak yang aku lihat? Pandanglah ke sekelilingmu, lihatlah betapa banyak orang yang membutuhkan belas kasihan kita. Bukankah Yesus sendiri mengatakan: “Ladang sudah menguning!”.
Marilah kita melihat sekeliling kita. Jumlah orang miskin di negeri ini dikatakan orang sekitar tiga puluh juta jiwa. Bukankah hal itu suatu jumlah yang sangat fantastis! Kita sibuk mendiskusikan siapa yang benar dan siapa yang sesat di antara kita, sementara Tuhan kita sendiri sibuk memperhatikan dengan belas kasihannya orang-orang miskin yang tidak cukup makan dan minumnya. Tidakkah hati kita trenyuh mendengar berita ada orang terinjak-injik hanya karena ia berharap akan mendapatkan sejumlah uang. Itu pun hanya pas untuk menyambung hidup pada hari itu atau mungkin sampai hari esok!
Ada beberapa keluarga yang aku kenal, mereka punya prinsip sebagai berikut: jika aku dapat menyekolahkan anakku ke perguruan tinggi, maka aku pun wajib untuk menyekolahkan anak orang lain sampai ke perguruan tinggi. Itulah wujud dari terima kasihku kepada Tuhan. Itulah wujud dari belas kasihanku kepada ‘sesama anakku’ yang seharusnya mendapatkan pendidikan sama seperti anakku. Itulah wujud dari mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang orang yang aku ceriterakan ini tidak mempersalahkan apakah orang yang ditolong itu beribadah pada hari Sabtu atau pada hari Minggu.
Mereka juga tidak mempertanyakan apakah mereka itu dibabtis selam atau percik. Mereka pun tidak mempersoalkan Alkitab terjemahan mana yang mereka baca. Mereka mewujudkan iman mereka di dalam tindakan nyata. Mereka juga tidak bertanya apakah mereka berbahasa roh atau tidak. Mereka hanya berbuat. Selebihnya diserahkan kepada Roh Kudus untuk menindak lanjutinya di dalam lubuk hati orang yang ditolong.
Pandanglah pengrusakan lingkungan yang dibuat orang pemilik modal. Hutan dibabat, sehingga ada kemungkinan akan tambah gurun pasir di dunia ini, oleh karena perambahan hutan yang tidak terkendali. Pemanasan global bukan lagi isapan jempol semata-mata. Tidakkah kita berbelaskasihan kepada alam yang turut menderita karena ulah keserakahan manusia? Ada orang yang mengatakan bahwa daerah Afrika Utara dulunya adalah sebuah hutan belantara yang amat lebat. Tetapi kerakusan orang Roma yang mengeksploitasi lingkungan hidup di sana menjadikan daerah itu menjadi padang gurun. Tidakkah peristiwa seperti dapat juga terjadi di abad ke dua puluh satu ini?
Karen Armstrong dalam bukunya The Bible A Biography mengatakan bahwa syalom pada hakekatnya artinya bukanlah damai, melainkan wholeness, completeness. Tugas kita di dunia ini ialah: membawa damai, membawa syalom. Sebab demikianlah yang diutarakan Yesus di dalam Khotbah di Bukit. Tugas kita tidak hanya membuat hati orang tentram, karena bila ia mati, ia akan masuk surga, oleh karena penebusan Tuhan Yesus Kristus. Kita punya tugas untuk membawa keutuhan dan kelengkapan ke tengah-tengah dunia ini. Hal itu tidak akan dapat tercipta jika kita sudah bertobat dan tidak merokok lagi, dibabtis dengan babtisan selam dan dewasa, beribadah pada hari Sabtu bukan pada hari Minggu, membaca hanya Alkitab versi KJV. Iman yang tidak bertindak adalah iman yang mati.
Dietrich Boenhoffer mengatakan ada dua anugerah yang dikenal orang Kristen. Anugerah pertama dia sebut namanya, anugerah yang murah. Sementara anugerah yang kedua ia sebut namanya anugerah yang mahal. Anugerah yang murah tidak laku, hanyalah anugerah yang mahal yang berlaku. Sejanjutnya ia mengatakan: “Hanya orang yang percaya yang taat, dan hanya orang yang taat yang percaya”. Ibarat bandul lonceng jam dinding, iman dan taat adalah satu kesatuan yang simultan ada di dalam hidup orang percaya. Ketaatan senantiasa terlihat di dalam tindakan kita. Apakah kita benar-benar adalah orang percaya? Rasul Yakobus mengatakan: “Tunjukkan imanmu tanpa perbuatan, maka aku akan menunjukkan imanku dari perbuatan-perbuatanku”.
Untuk itu setiap orang percaya yang punya karunia di dalam hidupnya sebagai seorang lawyer, ia akan berjuang untuk menerapkan syalom Allah di dalam tata hukum di negera ini. Itu yang menjadi bisnis utamanya. Bukan mempersoalkan perbedaan. Jika ia seorang karyawan. Apa kata seorang anak Tuhan yang bekerja di perusahaan yang merusak lingkungan hidup? Apa kata seorang bankir yang adalah anak Tuhan terhadap masalah perbankan yang dihadapi bangsa dan negara ini? Bukankah kita harus membawa keutuhan dan kelengkapan di dalam ranah kehidupan yang kita geluti?
Ada orang yang sudah merasa telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya, jika ia telah beribadah sebagaimana diajarkan gerejanya kepadanya. Ia telah memberi perpuluhannya kepada Gereja, bahkan ia menjadi penyumbang terbesar di gerejanya. Sementara di kantor ia sama sekali tidak menunjukkan belas kasihannya kepada sesamanya yang dia pimpin. Ia tidak menunjukkan belas kasihannya kepada stakeholdernya. Ia hanya peduli terhadap dirimya sendiri. Urusannya ialah: dirinya sendiri. Orang yang ada di sekitarnya adalah alat semata-mata di dalam rangka mencapai tujuan hidup yang telah ditetapkannya untuk dia capai. Jika demikian, apakah ia pengikut Kristus? Mungkin Tuhan akan berkata kepada dia kelak: “Aku tidak mengenal engkau, enyahlah engkau wahai pembuat kejahatan. Sebab tatkala Aku telanjang, engkau tidak memberi aku pakaian, tatkala Aku dipenjara, engkau tidak menengok aku.”
Wahai saudara-saudara yang tinggal di negeri maju, seperti dunia pertama dan dunia kedua. Saudara menikmati kenikmatan hidup dan tidak mengenal akan makna dari kelaparan dan ketidakadaan jaminan sosial dari negera. Tidakkah saudara sadar akan doa yang diajarkan Tuhan Yesus: “berilah kami makanan kami yang secukupnya”. Siapakah ‘kami’ menurut saudara? Bukankah maksudnya adalah sesama manusia? Jika demikian, apa yang saudara perbuat bagi dunia ketiga sebagai wujud dari belas kasihan saudara kepada kami yang menderita di dunia ketiga ini karena kelaparan, karena kemiskinan karena ketiadaan jaminan sosial dari negera?
Tatkala kita melakukan peran kita sebagaimana didisain Allah untuk kita lakoni, maka Roh Kudus akan memampukan kita melakukan tugas tersebut. Ia hadir di dalam hidup kita, agar kita mampu melakukan tugas yang diembankan untuk kita. Marilah kita melakukannya, agar dunia sekitar kita semakin syalom, semakin utuh dan komplit. Itu semua demi hormat dan syukur kita kepada Dia yang telah menyelamatkan kita.
Alangkah indahnya jika orang lain mengenal kita sebagai orang yang berbelas kasihan. Lirik lagu ini menjadi sungguh bermakna: “And they’ll know we are Christian by our love.” Mereka mengenal kita dari belas kasihan kita kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar