12/08/11

Berhutang



BERHUTANG!

Rasul Paulus menyebut dirinya orang yang berhutang. Salah seorang putra Batak yang terbaik pun pernah menulis sebuah buku yang judulnya ia berhutang. Tentunya sang Jendral yang mengatakan dirinya ia berhutang itu, dipengaruhi suara Rasul Paulus yang menyebut dirinya berhutang kepada segala lapisan masyarakat.
Karena rasa berhutang inilah maka teman-teman yang juga mengidap rasa berhutang, peduli dengan segala sesuatu yang membawa kemajuan di segala bidang kehidupan bagi orang Batak, khususnya orang Batak kristen. Saya bertanya di dalam hati, tentang rasa berhutang ini. Apakah setiap orang Kristen Batak yang telah mendapat kasih karunia di dalam kehidupan ini masih merasa berhutang kepada sesama, kepada segala lapisan masyarakat khususnya di tanah air tercinta ini?
Aku mengenang dalam ingatan sekilas lintas kisah yang seyogianya menumbuhkan rasa berhutang, ditinjau dari sudut kesejarahan masyarakat Batak Toba. Pertama, kita mulai dari penyerbuan yang dilakukan oleh Tuanku Rao. Ia datang ke tanah Batak (Tapanuli Selatan), menjarah dan menawan orang Batak di sana. Setelah menaklukkan daerah tersebut, ia menempatkan tentara pendudukan di daerah yang telah dijarah. Akibatnya orang Batak di selatan itu hampir seluruhnya menjadi pemeluk agama Islam.
Pada tahap berikutnya ia datang lagi ke daerah Toba. Tuanku Rao dan pasukannya menjarah harta penduduk. Namun pada waktu itu, penyakit kolera mewabah. Karena takut penyakit tersebut menular kepada pasukannya, maka Tuanku Rao tidak menempatkan pasukan pendudukan di tanah Batak daerah Toba. Seandainya Tuanku Rao meninggalkan pasukan pendudukan, seperti yang dia lakukan di Tapanuli Selatan, maka hal yang sama pun akan terjadi terhadap masyarakat di Toba. Karena terpengaruh oleh pasukan pendudukan yang nota bene beragama Islam, lama kelamaan, penduduk yang berada di dalam pengawasan mereka ini akhirnya memeluk agama islam.
Untunglah, sebab jika tidak, saya pun tidak akan mengenal Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Hatiku mengatakan bahwa hal itu adalah sesuai dengan rencana Allah. Kedua, Pemerintah Hindia Belanda uyang menjajah negeri ini pun, tidak masuk ke tanah Batak, wilayah Utara, yakni daerah Toba. Pertimbanan mereka ialah: di daerah tersebut tidak ada keuntungan finansial yang di dapat. Daerah Toba adalah satu daerah  yang tidak terlalu subur dan bergunung-gunung itu.
Jika seandainya Pemerintah Hindia Belanda masuk menjajah daerah ini, setelah Tuanku Rao, maka orang Toba pun akan memeluk agama Islam. Mengapa demikian? Kita tahu bersama, tatkala Pemerintah Hindia Belanda menjajah satu daerah, maka mereka akan membawa pegawai negeri mereka untuk menjalankan pemerintahan di daerah yang dijajah. Orang-orang yang menjadi pegawai negeri itu, pastilah diambil dari orang Batak yang sudah muslim. Kita tahu bersama, pada waktu itu, Tapanuli Selatan sudah menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda. Para nenek dan kakek kita itu pun akan ikut jadi muslim.
Mereka tentu akan dipengaruhi orang Batak yang datang dari Selatan. Hidup mereka pun tentunya lebih baik dari hidup penduduk setempat. Karena kakek dan nenek kita telah memeluk agama Islam, maka aku pun tidak ada kesempatan untuk mengenal Yesus.
Syukur pada Allah, setelah genap waktunya, cf (Gal 4:4) Allah mengutus hamba-Nya Nomensen untuk datang ke tanah Batak. Injil lebih dahulu datang ke tanah Batak, barulah penjajah Belanda. Orang Batak telah diperhamba Injil lebih dahulu, baru kemudian di jajah oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penjajahan Injil itu membuat orang Batak dibebaskan dari kebodohan dan keterbelakangan. Sekarang kita telah menikmati kemajuan. tidak dapat disangkal bahwa kemajuan itu adalah dampak dari Injil. Berdasarkan pandangan sekilas lintas tersebut, bukankah kita orang yang berhutang?
Di zaman Nomensen dkk, Gereja berada di depan masyarakat Batak untuk menuntun orang Batak maju menapaki jalan kemajuan. Sekarang Gereja telah berada di barisan paling belakang dari perjalanan menuju kemajuan. Mengapa? Menurut hemat saya secara pribadi, orang Batak Kristen yang telah menikmati kemajuan yang sangat pesat, tidak mau lagi membayar hutangnya kepada Allah, sama seperti apa yang disuarakan sang jendral yang kita bicarakan di atas.
Momensen dkk adalah anak pada zaman itu. Mereka sebagai anak zaman, tentunya tidak akan luput dari impian zaman yang mereka sedang jalani. Tetapi ada satu panggilan dari surga yang merasuk di dalam hati mereka. Panggilan itu memenuhi hati mereka sedemikian rupa, sehingga mereka mampu mengorbankan impian yang ada di dalam hati, yang ditanamkan zaman di lubuk hati mereka yang paling dalam. Mereka sama seperti Musa yang melihat pendertaan bersama umat Allah, lebih besar dari pada apa yang ditawarkan oleh dunia ini.
Ada seorang pendeta HKBP pernah mengatakan kepada saya, bahwa Ephorus HKBP yang namanya Verwiebe pada hakekatnya sangat dipengaruhi oleh Hitler dengan Nazinya. Di hati mereka yang paling dalam tertanam apa yang didengungkan oleh Hitler: Jerman di atas segala-galanya. Namun demi Injil, Verwiebe Ephorus HKBP yang menggantikan Warneck mengorbankan impiannya itu demi orang Batak di Toba. Mengingat itu, aku merasa berhutang.
Pdt DR Yan Aritonang di dalam bukunya: Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak mengatakan bahwa RMG – badan misi di Barmen – yang mengutus para penginjilnya ke tanah Batak memiliki hutang kepada Pemerintah Hindia Belanda. RMG membuka sekolah-sekolah di tiap kampung di dalam rangka pekabaran Injil. Para guru yang mengajar di sekolah-sekolah itu mendapat bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk membayar para guru tersebut. Karena RMG tidak mampu membayar hutangnya itu, maka Pemerintah Hindia Belanda memutihkan hutang tersebut hingga dua kali. Itu adalah utangnya  orang Batak, karena yang diajar pada waktu itu adalah orang Batak!
Jika saya meminjam apa yang dikatakan saudara Gurgur Manurung, seorang kandidat doktor lingkungan hidup dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), uang yang dipakai oleh Pemerintah Hindia Belanda itu adalah uang rakyat Indonesia. Jadi, rakyat Indonesia telah membantu orang Batak menjadi pintar, melalui sekolah-sekolah yang didirikan Nomensen dkk. Karena orang Batak itu menjadi pintar, maka mereka mereguk kemajuan zaman hingga sekarang ini. Tetapi keringat kaum kuli di tanah yang dijajah Pemerintah Hindia Belanda turut ambil bagian di dalam membiayai pendidikan bagi orang Batak tersebut. Mungkin kita tidak tahu akan hal itu, atau tidak sadar akan hal itu. Namun itu adalah satu fakta.
Marilah kita dulu kembali sejenak kepada Paulus yang menyuarakan ia adalah orang berhutang. Secara pribadi dan secara kebangsaan, Paulus tidak ada hutang untuk orang Roma yang menerima suratnya itu. Ia merasa berhutang, oleh karena Injil yang telah ia terima. Alasan ia berhutang ialah: kasih Allah yang menyelamatkan dia. Inilah batu penjuru dari rasa berhutang kita kepada orang lain. Hutang itu menurut Paulus harus dibayar kepada setiap lapisan masyarakat. Ia mengatakan bahwa ia berhutang kepada orang Yunani dan orang Yahudi, orang terpelajar. Itu berarti semua lapisan masyarakat dari setiap strata kehidupan.
Aku pernah membaca tulisan saudara Gurgur Manurung tentang lingkungan hidup. Di dalam tulisan itu, ia mengatakan bahwa sumber daya alam yang kita habiskan sekarang, pada dasarnya semuanya itu adalah sesuatu yang kita pinjam dari generasi yang akan datang. Jika kita menghabiskannya sekarang, maka kita akan berhutang kepada generasi yang akan datang. Sungguh, masalah hutang ini, adalah sesuatu yang sangat luas cakupannya. Mungkin karena sangat luasnya, maka kita lebih baik mengabaikannya saja. Jika kita mengabaikannya, maka pada dasarnya kita berdosa kepada Allah, dan juga berdosa kepada diri sendiri.
Saya menyoroti satu sisi dari kehidupan ini, dimana kemungkinan besar, kita lupa untuk membayar hutang kita. Anak-anak! Apakah setiap orang tua membayar utangnya kepada anak-anaknya? Musa berkata kepada setiap orang Israel di padang gurun, bahwa setiap orang tua harus mempergunakan kesempatan untuk mengajarkan perintah Tuhan itu kepada anak-anaknya. Tatkala ia ada di rumah, tatkala ia duduk, tatkala ia berjalan. Ia harus menuliskan firman itu di tangan di dahi di atas sotoh pintu rumah dan di pintu gerbang! Anak-anak berhak untuk mendapatkan pengajaran firman Tuhan di setiap kesempatan di dalam hidupnya. Karena itu adalah firman Allah, maka ketetapan Tuhan itu adalah sebuah hutang orang tua kepada anak.
Orang Batak sangat menghargai pendidikan. Oleh karena itu, orang Batak sangat mengharapkan agar anaknya dapat mencapai pendidikan yang tinggi. Hal itu dimotori juga pepatah orang Batak yang sudah diwarisi sejak zaman purbakala:

Na bisuk nampuna hata                Mereka yang pintar yang punya omongan,
na oto tu pargadisan.                             yang bodoh terjual.

Di latarbelakangi pepatah yang sudah mendarah daging, juga di dorong oleh kemajuan zaman. Orang Batak, khususnya di daerah perkotaan sangat mendorong anak anak mereka belajar. Bahkan untuk orang-orang yang mampu, mereka memberi pelajaran tambahan bagi anak-anaknya. Ada les pelajaran sekolah, ada les ketrampilan dan lain sebagainya. Namun saya bertanya di dalam hati: ada les untuk pelajaran iman tidak? Setahu saya tidak ada seorang pun orang Batak di Jakarta yang menyuruh anaknya untuk belajar Alkitab kepada orang tertentu.
Berbeda dengan teman-teman dari muslim. Sejak dini, mereka sudah disuruh orang tuanya untuk belajar membaca Al-Qur’an. Sekalipun anak itu tidak mengerti apa yang dia pelajari, namun orang tuanya bahkan membayar guru ngaji agar anaknya diterima menjadi perserta di dalam pengajian bagi anak-anak tersebut. Orang muslim lebih tahu membayar hutang iman kepada anak-anaknya ketimbang orang Kristen.
Saya sudah tiga puluh dua tahun menggeluti pelayanan kepada remaja dan pemuda di Gereja kami pada khususnya. Di sepanjang masa itu, ada banyak pengalaman yang pahit tentang orang tua yang tidak peduli dengan pengajaran firman Allah kepada anak-anaknya. Pernah saya menanyakan kepada anak remaja yang dulunya sungguh sangat rajin datang mengikuti kegiatan pemuridan di Gereja bagi anak-anak remaja.
Tatkala saya menayakan apa sebabnya ia tidak lagi datang, maka jawabannya ialah: sibuk les ini itu kak! Tidak ada lagi waktu dia untuk belajar Alkitab. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar ilmu yang akan membuat dia menjadi orang besar di dunia ini kelak. Tetapi apakah dengan jalan demikian anak itu akan besar juga di dalam kerajaan Allah?
Di Gereja kami, tatkala anak-anak dibabtis, aku senantiasa memperhatikan formula yang dipakai Gereja untuk membabtis anak-anak tersebut. Pada mulanya, orang tua ditanyakan pendeta beberapa hal kepada orang tua, sebagai syarat anak mereka itu akan menerima babtisan kudus. Salah satu yang dipertanyakan ialah: “Apakah saudara-saudara bersedia membimbing anak-anak ini, agar mereka mengetahui dan melakukan firman Allah?” para orang tua itu menjawab: “Ya, saya bersedia!”
Saya memahami, kebaktian itu disaksikan oleh Allah di surga, bahkan Ia hadir di sana. Menurut Paulus, para malaikat pun hadir di sana. Penulis surat Ibrani mengatakan bahwa hidup kita di dunia ini dikelilingi para saksi iman. Mereka semua mendengar bahwa orang tua itu berjanji akan mengajar anaknya agar anak-anak itu mengetahui dan melakukan firman Allah. Janji pada hakekatnya harus ditepati.oleh karena itu, janji adalah utang.
Kenyataan kulihat, justru sebaliknya. Anak-anak disuruh les anu, les itu, tetapi tak satu pun dari sekian banyak les itu adalah les Alkitab. Maka muncul pertanyaan di dalam hati: apakah para orang tua yang membawa anaknya untuk dibabtis, mengiyakan pertanyaan itu hanya sekedar agar anaknya dibabtis? Alangkah sedihnya jika demikian. Pada hal, itu adalah utang yang harus dibayar. Anak-anak bukan hanya sekedar tahu. Janji itu mengatakan bahwa anak-anak itu harus tahu dan harus melakukan firman Allah yang dia tahu! Bagaimana mungkin anak itu dapat melakukan firman Allah, jika orang tuanya pun tidak melakukan firman Allah itu? Orang Batak punya sebuah pepatah yang mengatakan: “tunas tidak jauh dari pohonnya”. Jika pohon tidak tahu dan tidak melakukan firman Allah,  bagaimana mungkin anaknya dapat tahu dan melakukan firman Allah?
Paulus berhutang, oleh karena itu ia membuat dirinya sebagai contoh tentang bagaimana seseorang beriman kepada Kristus. Kepada Timoteus yang dia sebut sebagai anaknya yang sah di dalam iman, ia berkata: “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku. Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita di Antiokhia dan di Ikonium dan di Listra. Semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku dari padanya (II Tim 3:10-11). Dari mana anak dapat meniru berjalan bersama dengan Tuhan jika tidak dari orang tuanya?
Aku pernah menemui seorang remaja yang tidak mau lagi datang ke Gereja, pada hal dulunya ia rajin datang ke Gereja. Ketika aku tanya kepadanya mengapa ia tidak lagi datang? Jawabannya sangat menyedihkan hati saya. Ia berkata: “Ngapain datang ke Gereja! Bapaku menyuruh aku datang ke Gereja, tetapi ia tidak pernah datang ke Gereja. Ya udah! Ikut aja dia tidak usah datang ke Gereja”. Sedih mendengar jawaban seperti itu. Orang tua itu tidak mau membayar hutangnya. Atau ia pikir hutangku ialah: menyuruh dia datang ke Gereja. Jika ia tidak mau, ya udah! Aku tidak merasa berhutang lagi. Pertanyaan yang perlu diajukan kepada orang yang mengatakan perkataan seperti itu ialah: apa memang tidak berhutang lagi?
Bagaimana dengan sisi lain? Sekarang banyak orang Kristen yang jadi mualaf. Aku pernah melihat seorang bapa yang menghadiri pesta pernikahan anaknya dengan orang muslim dan menjadi muslim. Di televisi, sang bapak itu dengan nada riang berceritera tentang pesta pernikahan anaknya. Tidak ada rasa duka di dalam hati si bapa, mengetahui bahwa anaknya tidak lagi di dalam kasih karunia yang menyelamatkan dari Allah. Saya tetap percaya, jika seseorang telah dipilih Allah, maka ia tetap di dalam kasih karunia Allah, sekalipun ia menjadi mualaf. Allah akan bertindak mencari dia, sehingga ia tetap di dalam kasih karunia-Nya. Namun, tidak ada kesedihan di dalam diri sang bapa terlihat. Apakah sang bapa itu tidak merasa berhutang?
Aku juga merenungkan akan hutang orang tua kepada anaknya. Tatkala Allah mempercayakan kepada sepasang suami isteri kesempatan untuk menjadi orang tua bagi anak-anak yang dipercayakan Allah kepada mereka. Bukankah anak-anak itu adalah hutang? Hidup mereka di masa depan sekarang dipercayakan Tuhan di tangan kita. Bahkan di generasi demi generasi yang akan datang, ada sangkut pautnya dengan apa yang kita lakukan kepada mereka di sini dan kini. Jika kita tidak mendidik mereka di jalan Tuhan sewaktu masih dini, bukankah hal itu akan mempengaruhi mereka di masa depan?
Keteladanan hidup sangat diperlukan di dalam pengajaran tentang iman harap dan kasih! Tuhan kita Yesus Kristus telah membuat dirinya menjadi teladan bagi kita untuk diikuti. Paulus mengatakan dalam surat Efesus: “Jadilah penurut-penurut Allah…” Ef. 5:1. RSV menerjemahkannya dengan “Be imitators of God”. Berdasarkan RSV itu, Paulus meminta agar kita menjadi peniru-peniru Allah. Paulus meniru Tuhan Yesus. Lalu ia meminta orang lain meniru Tuhan seperti ia meniru Tuhan. Itulah pengajaran yang sangat pas itu anak-anak. Seharusnya setiap orang tua, membuat dirinya menjadi contoh bagi anak-anaknya di dalam beriman kepada Tuhan. Di atas kita sudah kutip bagaimana Paulus membuat dirinya sebagai contoh bagi anak rohaninya yang sah.
Saya berharap, semua orang tua adalah bapa rohani juga bagi anak-anaknya. Saya pernah mendengar perkataan seorang remaja kepada orang tuanya di hadapan saya. Remaja itu berkata: “pak, ini bang Hotman Siahaan, ia menjadi bapa rohani bagi saya”. Saya sedih mendengar perkataan itu. Seharusnya yang menjadi bapa rohani bagi dia ialah bapa kandungnya. Itulah hutang kepada anak. Memang, tidak semua orang tua dikaruniakan kemampuan untuk mengajarkan sesuatu kepada anak-anaknya. Tetapi, keteladanan hidup bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari di bangku sekolah. Di Amerika ada seorang pendeta membuat survei di kalangan mahasiswa, tentang apa yang diharapkannya di masa datang setelah ia selesai belajar di kampus.
Ada banyak jawaban yang diberikan kepadanya. Tetapi ada seorang pemuda yang memberi jawaban yang sangat berbeda dan cukup mengagetkan pendeta tersebut. Anak muda itu mengatakan: “Kelak saya ingin sama seperti bapa saya”. Lalu si pendeta mengajukan pertanyaan ulang, bapamu profesinya apa, sehingga kamu mau sama seperti dia. Anak muda itu menjawab petani biasa, dan tidak ada yang istimewa di dirinya ditinjau dari sudut pandang material dan prestasi yang biasa dibuat orang sebagai tolok ukur. Pendeta heran, jika demikian mengapa engkau mau sama seperti dia? Anak muda itu menjawab: bapak harus berkenalan lebih dahulu dengan dia, baru akan melihat keistimewaannya. Ia sama seperti Kristus.
Di dalam diri bapanya, si anak melihat Kristus yang bertindak dan berbicara. Pada hal, bapanya itu bukan seorang pendeta dan bukan seorang penginjil. Ia adalah anggota jemaat biasa di Gereja di mana ia menjadi anggota. Alangkah indahnya, jika semua orang tua dapat dilihat anak-anaknya sama seperti Kristus Yesus. Paulus menyuarakan itu di dalam surat Filipi, Flp 2:5-11
 “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!”
RSV menerjemahkannya ayat 5 sebagai berikut: “Have this mind among yourself, wich is yours in Christ Jesus” pikiran yang ada di dalam Kristus itu menurut Paulus adalah kita punya. Paulus berhutang. Ia membayar hutangnya itu dengan jalan membuat dirinya menjadi contoh di dalam hal iman kasih dan pengharapan akan Allah. Marilah kita juga membayar hutang kita kepada semua orang, sebagaimana Roh Kudus mengungkapkannya kepada kita.
Selamat membayar hutang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...