22/09/11

Taman



TAMAN
Ada sebuah ungkapan dalam kehidupan di perkotaan: “taman adalah paru paru kota”. Hal ini diungkapkan karena pohon-pohon di taman itu menyerap gas karbondioksida, lalu mengeluarkan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia. Karbondioksida yang dikeluarkan kenderaan bermotor berbahaya bagi tubuh manusia. Itulah sebabnya pemerintah kota mengupayakan pengadaan taman-taman kota. Salah satu taman kota yang paling besar di kota Jakarta ialah: Taman Monumen Nasional (Monas). Lokasinya berada di pusat kota Jakarta.
Aku sering ke taman ini pada pagi hari untuk berolah raga. Udara pagi sangat nikmat dihirup di bawah pohon yang rindang di taman tersebut. Biasanya pada sore hari, di taman ini ada banyak pasangan muda mudi yang memadu kasih, sambil duduk di bawah pohon yang teduh. Mereka duduk berdua sambil ngobrol, entah apa yang mereka sedang bicarakan. Tatkala memperhatikan mereka, hati ini mengatakan: “Itulah manusia. Mereka berpasang-pasangan”. Lalu hati ini merenungkan firman Allah yang mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia itu laki-laki dan perempuan. Mahluk yang namanya manusia ialah: laki-laki dan perempuan. Mungkin jika hanya laki-laki di dunia ini, atau perempuan, maka namanya bukanlah manusia.
Tatkala merenungkan hal ini, sambil duduk di bangku yang disediakan pengelola taman di bawah pohon yang rindang, sambil melihat begitu banyaknya pasangan yang sedang memadu kasih di taman itu, hati ini mengingat Adam dan Hawa di Taman Eden. Sebelum kejatuhan mereka ke dalam dosa, Alkitab  mengatakan: “Mereka keduanya telanjang, manusia itu dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” Kej 2:25. Ada orang yang mengatakan: mereka merasa tidak malu disebabkan kemuliaan Allah menerangi keberadaan mereka. Kemuliaan itu begitu sempurna sehingga manusia itu tidak melihat adanya kekurangan di dalam kehidupan pasanganya. Mereka berpakaian kemuliaan. Itulah yang membuat mereka tidak malu. Kasih mereka berdua begitu sempurna sehingga Adam tidak melihat adanya kekurangan di dalam diri Hawa, demikian juga sebaliknya.
Menurut kesaksian Alkitab, tatkala Adam melihat Hawa ia bekata: “Inilah dia tulang dari tulangku, daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia berasal dari laki-laki” Kej 2:23. Dari ungkapan itu kita tahu, Adam menemukan dirinya di dalam diri Hawa yang baru dibawa Tuhan kepadanya. Aku memahami manusia itu seharusnya menemukan dirinya di dalam kehidupan orang lain. Dalam skala kecil, setiap pasangan yang menjadi suami isteri, seyogianya menemukan di dalam kehidupan pasangannya dirinya sendiri, ada di dalam diri dia yang menjadi pasangan hidupnya. Penemuan diri sendiri di dalam diri pasangan kita menimbulkan kepuasan batin. Adam mengalami hal ini. Menurut hemat saya secara pribadi. Ungkapan pernyataannya yang sudah dikutip di atas merupakan sebuah pernyataan dalam keadaan ekstasi. Jika kita mengatakannya dengan sebuah pernyataan modern, mungkin Adam mengatakannya: “Binggo, ini dia bagian dari diriku sendiri”.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan bahwa dari sejak semula, mereka yang telah mengikatkan diri dalam hubungan suami isteri, tidak boleh diceraikan manusia. Sebab mereka telah dipersatukan Allah. Jika kita renungkan bersama, bagaimana mungkin kita mau berpisah dari diri kita sendiri? Jika mereka harus berpisah, maka bagian dari diri pasanganya itu tetap ada di dalam dirinya. Jika ia menikah lagi maka pernikahan mereka itu tidak kudus lagi, sebab ada bagian dari diri orang lain yang bukan lagi bagian dari hidupnya ada di dalam dirinya sendiri. Sementara itu bagian itu asing di dalam kehidupan orang yang menjadi pasangan barunya. Yesus mengatakan bahwa orang orang ini hidup di dalam perzinahan (Mat 19:9).
Tatkala daku memandang pasangan-pasangan yang sedang memadu kasih itu, sebuah tanya mucul di dalam hati: berapa banyak di antara mereka ini yang akan berakhir di pelaminan? Berapa banyak di antara mereka yang terus menikmati kehidupan rumah tangga yang langgeng, hingga kematian memisahkan mereka kelak? Bukan barang langka perceraian sekarang ini, bahkan di kalangan orang yang menyebut dirinya orang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Itulah manusia, mereka tidak dapat memelihara keindahan hidup di dalam persekutuan yang telah ditetapkan bagi mereka untuk dijalani. Banyak orang memulai persekutuan mereka dengan sesuatu yang indah di taman. Tetapi mereka berakhir dalam kegersangan hidup. Sebuah tanya yang tak seorang pun dapat menjawabnya, selain Allah sendiri tentunya.
Hati ini kembali menerawang ke Taman Eden. Banyak para penafsir mengatakan bahwa pemahaman orang Yahudi di zaman Alkitab, tentang sejarah sungguh sangat berbeda dengan pemahaman kita sekarang ini. Kita memandang sejarah sebagai satu rangkaian peristiwa di masa dulu. Peristiwa itu tidak ada relasinya secara langsung dengan kita yang hidup sekarang ini. Berbeda dengan orang Yahudi, mereka melihat sejarah dalam tatanan moral dan tatanan waktu. Orang Yahudi memakai kata masyal  yang artinya perumpamaan bagi kisah yang mereka sedang tuturkan. Di dalamnya sarat pengajaran moral, juga mencakup masalah iman. Tatkala mereka menuturkan tentang Taman Eden, maka dibenak mereka ada pengajaran moral/iman yang harus digali dari kisah yang dituturkan itu.
Bagi orang Yahudi, taman itu bukanlah hanya sebuah peristiwa yang mendapat tempat di ruang waktu tertentu. Di sana diajarkan penciptaan dan adanya ular yang menyesatkan manusia. kisah itu dituturkan bukan hanya sebuah peristiwa di masa lalu. Melainkan peristiwa itu terjadi juga di dalam kekinian mereka.
Ada anggapan orang Yahudi, sisi lain dari Taman Eden itu ialah Bait Allah di Yerusalem. Fungsi bait Allah pun adalah dalam rangka penciptaan kembali, dan dikalahkannya si ular tua melalui ibadah korban. Pada hari raya pendamaian, tatkala imam besar masuk ke ruang maha kudus, darah dipercikkan ke tahta kasih karunia Allah, yakni tutup pendamaian peti perjanjian, maka seluruh dosa orang Israel diampuni. Mereka dicipta ulang kembali menjadi manusia baru. Di dalam kehadiran Bait Allah di Yerusalem, orang Israel memahami bahwa surga dan dunia menyatu di dalam Bait Allah tersebut. Hal itu dipahami sedemikian rupa, karena Allah sendiri hadir di dalam  Bait-Nya yang kudus tersebut.
Yerusalem dipahami sebagai perluasan dari pelataran Bait Allah. Para nabi banyak bertutur tentang Yerusalem menjadi pusat pemetintahan Allah di zaman akhir. Bangsa-bangsa akan datang berduyun-duyun membawa persembahan dan belajar mengenal Allah Israel, itulah gambaran yang dipahami oleh Israel purba tentang Taman Edan yang identik dengan bait Allah yang ada di Yerusalem.
Saya memahami dari sudut pandang iman Kristen, Yerusalem sebagai tempat di mana Bait Allah hadir dilambangkan oleh Gereja Tuhan di dunia ini. Seharusnya kita juga dapat melihat Gereja adalah sebuah taman sama seperti Taman Eden. Di Taman Eden ada empat sungai yang mengalir untuk mengairi taman tersebut. Sungai yang membawa kehidupan bagi seluruh tanaman yang ada di dalamnya. Tidakkah kita dapat melihatnya sebagai lambang dari Roh Kudus yang mengalir di dalam kehidupan setiap orang percaya yang ada di dalam persekutuan Gereja kita?
Angka empat berbicara tentang bumi. Para malaikat melihat bahwa bumi penuh dengan kemuliaan Allah. Pemazmur melihat bahwa bumi penuh dengan kasih setia Tuhan. Roh Kudus juga disebut dengan Roh Kemuliaan dan Roh Kasih karunia. Tidakkah hal itu setara dengan karya Roh Kudus di dalam Gereja Tuhan?
Di Taman Eden Tuhan menempatkan segala tumbuhan yang menjadi makanan dari manusia pertama itu. Di Gereja pun ada roti kehidupan yang akan mengenyangkan seluruh anggota persekutuan. Di sana pun Allah menumbuhkan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang benar serta pohon kehidupan. Dalam persekutuan jemaat Tuhan pun hal itu ditermukan. Kita diminta agar tidak mengambil buah pohon kehidupan itu sama seperti Adam. Tetapi kita akan meniru Tuhan kita Yesus Kristus dengan jalan menunjukkan ketaatan-Nya terhadap kehendak Bapa yang mengutus Dia datang ke dunia ini.
Dalam konteks manusia, di taman itu Allah berfirman bahwa tidak baik bagi manusia itu sendiri saja. Kita sering memahami nas ini dalam koteks pernikahan. Tetapi kita sedang memahani Taman Eden sebagai satu taman persekutuan. Jika dilihat dari konteks persekutuan, maka memang tidak baik bagi manusia untuk hidup sendiri saja. Di atas kita telah membicarakan saat yang sangat indah bagi Adamm tatkala ia bertemu dengan Hawa. Ia menemukan bagi dari dirinya ada di dalam diri  Hawa. Bukankah seharusnya kita dapat menemukan bagian dari diri kita di dalam teman-teman sepersekutuan di dalam Gereja? Bukankah kita sesama anak-anak Allah? Kita adalah sesama dalam artian iman. Kita adalah satu tubuh di dalam Kristus dengan Kristus sebagai kepala. Seharusnya kita dapat menemukan bagian dari diri kita di dalam seluruh anggota persekutuan.
Pohon pohon yang ada di taman itu membawa keteduhan dan oksigen yang segar. Di sana terjadi pemurnian hidup. Itulah Gereja Tuhan. Itulah Taman Eden yang dihadirkan Tuhan di sini sekarang ini. Memang di sana ada masih ular tua. Tetapi ular tua itu kepalanya telah diremukkan Tuhan Yesus melalui kematian-Nya di kayu salib.
Alangkah indahnya jika setiap Gereja yang didirikan Tuhan di dunia ini dapat menghadirkan Taman Eden yang sesungguhnya dalam perspektif iman. Orang akan datang ke taman itu sebagaimana telah disinyalir dalam permulaan tulisan ini. Orang akan memadu kasih di sana dan menemukan pribadi yang menjadi bagian dari dirinya sendiri. Di sana orang menemukan ekstasi rohani. Bukan eslstasi karena obat-obat terlarang. Itu tugas kita sekalian. Kita diminta tuk turut ambil bagian dalam rangka menghadirkan kesegaran hidup melalui persekutuan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...