20/01/12

Paduan Suara





PADUAN SUARA DALAM  GEREJA

Pendahuluan

Menyanyi adalah bagian yang tak terpisahkan dalam ibadah Kristen. Dalam Gereja kita HKBP, menyanyi adalah pelayanan yang sangat dinikmati oleh sebagian besar anggota jemaat. Jika paduan suara menyanyi di setiap kebaktian, maka kita akan mengatakan bahwa kegiatan mereka itu hidup. Tanpa kita mempertimbangkan apakah sikap hati mereka menampakkan kehidupan Kristen dalam hidup ini atau tidak.


Kita tahu dari sejarah gereja, dari sejak semula, orang Kristen mula-mula itu telah mengenal bermacam-macam nyanyian. Hal itu terlihat jelas dalam Kol. 3:16. Paulus menasihati jemaat agar menyanyi dengan nyanyian mazmur, nyanyian pujian dan nyanyian rohani. Ini menandakan bahwa jemaat mula-mula itu sangat akrab dengan nyanyian dalam ibadah. Satu hal yang pasti tentang pola yang dipakai para rasul untuk memahami karya Yesus Kristus ialah: mereka mendasarkan pemahaman itu dengan firman Allah yang tertulis dalam Perjanjian Lama. Kita menemukan banyak kutipan ayat-ayat dari Perjanjian Lama yang dipakai para rasul dalam menjelaskan karya Yesus Kristus di kayu salib. Oleh karena itu sangat aman bagi kita untuk memahami makna dari nyanyian di jemaat di dalam terang firman Allah dalam Perjnjian Lama.

Ibadah Korban

Dalam kitab I Tawarikh 25, di sana  diatur mereka yang harus menyanyi di Bait Allah. Para penyanyi itu adalah imam. Tugas seorang imam di Bait Allah ialah mempersembahkan kurban. Oleh karena itu menyanyi adalah bagian dari ibadah korban. Karena itu marilah kita sejenak menyoroti pelaksanaan ibadah kurban di Bait Allah.


Kita tahu ibadah kurban di Bait Allah diatur begitu ketat, tak satu pun kurban yang ada cacat celanya.  Semua kurban yang dipersembahkan di Bait Allah itu menunjuk kepada Yesus Kristus, yang menurut para penulis Perjanjian Baru adalah Anak Domba Allah yang tidak ada cacat celanya, dan yang mati untuk menghapus dosa dunia. Jika kurban itu menunjuk kepada  Yesus Kristus, maka seharusnya kurban pujian kita pun harusnya menunjuk kepada Kristus juga.


Sebuah pertanyaan diajukan kepada kita, apa dan siapa yang dinyatakan nyanyian yang kita nyanyikan dalam kebaktian? Pemazmur mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas puji-pujian Israel. (Mzm. 22:4) ini satu pernyataan yang perlu kita pertimbangkan, tatkala kita bernyanyi di dalam kebaktian kita. Siapa yang tinggal dalam pujian kita? Diri kita atau  Allah?

Ada lagi satu hal yang perlu dicatat dalam persembahan yang dipersembahkan orang Israel di dalam Perjanjian Lama. Mereka hanya mempersembahkan sesuatu yang berasal dari hasil jerih lelah mereka. Hal ini memberikan pengertian kepada kita, bahwa persembahan yang dipersembahkan adalah hasil dari pergumulan hidup mereka sendiri. Sebab apa yang memberi kita hidup, yang berasal dari pekerjaan kita, itulah yang dapat dipersembahkan kepada Tuhan di Bait Allah.


Hal yang sama dapat dikenakan dalam pujian. Tatkala kita bernyanyi, apakah itu adalah gambaran dari pengalaman dan penghayatan kita, atau yang lain? Ada orang yang bernyanyi dalam bahasa Inggris di dalam satu kebaktian. Mereka tidak tahu apa arti dari lirik yang mereka ucapkan, tetapi memang nyanyian itu enak di dengar. Bagaimana mereka menghayati apa yang  mereka tidak mengerti? Filosopi mereka dalam menyanyi tentulah bukan  karena iman, tetapi demi kenikmatan telinga semata-mata.


Kita harus sadar bahwa yang kita persembahkan di dalam nyanyian kita adalah kehidupan itu sendiri. Sesuatu yang menyentuh hidup. Paduan suara di dalam satu kebaktian gereja adalah juga setara dengan pengkhotbah. Mereka memberitakan Injil yang hidup, bukan Injil yang dikemas dalam kemasan yang indah tetapi tidak tersentuh oleh para pendengar.

Persembahan Yang Terbaik

Pelajaran lain yang dapat kita timba dari kitab Tawarikh di atas ialah: para penyanyi itu dilatih lebih dahulu bernyanyi dan mereka harus sampai ke taraf ahli, barulah mereka diperbolehkan untuk bernyanyi di Bait  Allah. Hal itu sejajar dengan prinsip yang sudah diatur lebih dahulu, yaitu semua persembahan kepada Allah tidak boleh ada cacat celanya. Sering kali kita mendengar ucapan di tengah-tengah anggota jemaat, bahwa yang penting adalah hati dalam memuji Allah. Suara fals juga tidak apa-apa!


Memang Allah melihat ke dalam hati kita. Namun hal itu bukan menjadi alasan untuk tidak mempersiapkan korban yang tak bercacat kepada Allah. Hati memang sangat perlu. Tetapi jika kita menghormati Allah yang telah begitu mengasihi kita; dan yang sangat menawan hati kita, bagaimana mungkin kita tidak memberikan yang terbaik bagi Dia? ketidakadaan pengenalan akan Allah yang telah berkarya luar biasa di dalam hidup ini menjadi latar belakang dari alasan di atas.


Menurut hemat saya secara pribadi Allah hanya menerima persembahan kita jika kita persembahkan itu menurut kehendak-Nya. Rasul Paulus mengatakan dalam Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu berasal dari Dia, dan oleh Dia dan bagi Dia, bagi diadah kemuliaan sampai selama-lamanya.” Allah tidak hanya melihat hasil dari perbuatan kita, melainkan Allah tetap mempermasalahkan bagaimana kita melakukannya. Segala sesuatu yang tidak berpadanan dengan kehendaknya adalah dosa. Yesus pun tatkala Dia hidup di dunia ini, Ia tidak memberlakukan kehendak-Nya, melainkan kehendak Dia yang mengutus-Nya. (Yoh. 5:30).


Hal lain yang kita timba dari kitab Tawarikh di atas ialah, mereka menyanyi hanya untuk Tuhan. Tak seorang pun yang mendengar pujian mereka. Sebab mereka menyanyi di Bait Allah. Sementara kita tahu orang Israel biasa hanya boleh sampai di pelataran bait Allah. Dalam ruang-ruang yang ada di Bait Allah hanya dapat dimasuki oleh kaum imam. Sebuah pertanyaan perlu kita ajukan terhadap diri sendiri, maukah paduan suara di dalam gereja menyanyi dengan begitu serius tanpa ada orang yang menontonnya? Di biara–biara Katolik para biarawan dan biarawati itu menyanyi di kapel mereka. Tidak ada anggota jemaat yang mendengar mereka, karena mereka menyanyi untuk Tuhan.


Sebuah contoh tentang pujian yang diutarakan Perjanjian Baru terdapat dalam Kol 3:16. “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu” Paulus menghendaki jemaat menyanyikan bermacam-macam nyanyian. Ada nyanyian mazmur, ada nyanyian rohani ada nyanyian puji-pujian. Di akhir ayat itu dia mengatakan agar semuanya itu dilakukan di dalam hati, tanpa ada seorang pun yang mendengarkannya, sebab dipersembahkan di dalam hati. Hal itu bukan berarti tidak diperkenankan menyanyi di dalam kebaktian. Kita hanya mau menekankan bahwa pujian itu dipersembahkan kepada Allah, bukan untuk manusia.


Contoh lain kita lihat dalam kitab Wahyu, Why. 5:9 “Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: "Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa”. Orang yang telah diselamatkan itu memuji Allah karena apa yang telah diperbuat-Nya bagi orang percaya. Mereka menyanyi di Surga, di sana pujian diberikan hanya kepada Allah. Pokok puji-pujian mereka pun adalah karya penebusan Kristus, Sang Anak Domba yang telah duduk di atas tahta kemuliaan-Nya.


Demikian juga kita baca dalam Why. 14:3. orang – orang tebusan itu menyanyikan nyanyian baru yang tidak ada seorang pun yang mengerti makna nyanyian itu selain dari mereka yang telah ditebus. Ada satu hal yang menarik kita baca dalam Alkitab tentang mereka yang menyanyi. Para malaikat tidak dapat mengerti akan makna nyanyian orang-orang tebusan itu. Bukankah itu sesuatu yang luar biasa?


Di dunia ini pun mungkin saja hal ini terjadi. Orang yang belum mengalami penebusan Allah secara pribadi, tidak akan mengerti mengapa kita menuntut orang untuk menyanyi dalam kondisi seperti yang kita minta. Hanya orang yang telah ditebus yang mengerti. Ada banyak pujian yang diberikan kepada Allah yang dicatat Alkitab. Para malaikat diberitakan memuji Allah. Tapi satu hal yang pasti, hanya orang tebusan yang disebut Alkitab menyanyi memuji Allah. Dalam kitab Nabi Yesaya kita baca para Serafim memuji Allah, tetapi mereka tidak disebut menyanyi memuji Allah. Demikian juga para malaikat di Padang Efrata, tatkala Yesus lahir ke dunia. Mereka memuji Allah, tetapi tidak dengan nyanyian. Demikian juga kita baca dalam kitab Wahyu pasal 5, malaikat tidak disebut menyanyi. Hanya orang–orang tebusan yang dapat memuji Allah dengan  nyanyian. Menyanyi memuji Allah, adalah hak prerogatifnya anak-anak tebusan Allah. Bukankah itu merupakan hak istimewa ?


Wahyu 15:3-4 juga memberitakan nyanyian orang–orang tebusan di Surga. Di sana kita lihat pokok puji-pujian mereka adalah keadilan dan kebenaran Allah yang sudah menjadi nyata. Jadi sangat jelas puji-pujian kita berceritera tentang karya Allah di dalam hidup orang beriman. Masihkah itu yang menjadi motivasi kita di dalam menyanyi di kebaktian gereja kita?


Budaya selebriti rasa-rasanya telah menyelusup masuk ke dalam relung relung hati kita yang paling dalam, sehingga apa yang kita tampilkan bukan lagi Injil dengan segala kesederhanaannya. Kita ingin menampakkan paduan suara yang megah, yang mengundang tepuk tangan yang meriah, yang mengenakkan telinga kita. Tak peduli apakah hal itu menyentuh lubuk hati yang paling dalam atau tidak, itu tidak lagi menjadi  soal.

Dampak Nyanyian

Tiba saatnya bagi kita untuk menelusuri pengaruh nyanyian bagi para pendengar. Dari kitab Mazmur kita tahu bahwa nyanyian sangat besar pengaruhnya bagi umat Israel. Pemazmur mengatakan bahwa Allah bertahta di atas puji-pujian Israel. Itu berarti Allah hadir bahkan tinggal di tengah-tengah umat yang memuji Dia. Itulah sebabnya Israel menetapkan para imam harus bernyanyi di Bait Allah di Yerusalem siang dan malam. Pada awal pengalaman bangsa itu di tepi Sungai Yordan, di bawah pimpinan Yosua, mereka melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana sorak sorai mereka dapat merobohkan tembok Yeriko. Itu menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi mereka, sehingga di belakang hari, mereka memasukkan puji-pujian sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam ibadahnya kepada Allah.


Pada waktu penahbisan Bait Allah di Yerusalem, para imam bernyanyi, lalu Bait Allah dipenuhi dengan awan. Itu adalah simbol dari kehadiran Allah. Hal ini menguatkan apa yang sudah kita katakan di atas, bahwa Allah bertahta di atas puji-pujian Israel. Pengalaman Raja Yosafat juga menjadi perhatian kita dalam hal pengaruh puji-pujian bagi para pendengar. Tatkala Raja Yosafat berperang melawan bani Amon dan bani Moab, raja menyuruh para imam maju di depan pasukannya, serta menyanyi memuji Allah. (II Taw 20). Kita tahu, tatkala para imam itu bernyanyi, maka terjadilah kekacauan di pihak musuh dan akhirnya mengalami kekalahan. Betapa besar pengaruh puji-pujian.


Lain lagi pengalaman dari pemazmur dalam Mzm. 149. Pemazmur ini mengalami nyanyian puji-pujiannya seperti pedang bermata dua. Pemazmur mengatakan puji-pujiannya dapat melaksanakan pembalasan terhadap bangsa bangsa, dapat juga membelenggu dan merantai para raja-raja. Alangkah indahnya jika paduan suara yang menyanyi dalam kebaktian gereja kita juga menghasilkan hal-hal yang sudah kita bicarakan di atas. Bukankah dengan jalan demikian akan ada kebangunan rohani di seluruh HKBP!

Citra Nyanyian

Bagian terakhir yang akan kita bicarakan tentang nyanyian ialah citra. Setiap nyanyian membawa citra tersendiri. Citra itu dibangun melalui penghayatan dan penguasaan teknik menyanyi dari anggota paduan suara. Tatkala paduan suara menyanyi, proses pembentukan citra itu pun terjadi. Citra terbentuk melalui nyanyian. Satu pertanyaan perlu diajukan kepada kita, citra apakah yang dibangun oleh paduan saudara di dalam gereja yang saudara layani?


Dalam rangka memahami citra yang akan terbentuk di dalam kebaktian yang dimungkinkan oleh satu paduan suara, maka perlu kita memahami citra yang seharusnya terbentuk. Kita tahu, Allah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Sudah kita katakan di atas, mereka yang menyanyi itu adalah imam-imam perjanjian baru; orang orang yang telah dipulihkan citranya melalui penebusan Yesus Kristus. Melalui penebusan itu orang percaya dijadikan sebagai representasi Kristus (Rom.8:29). Keberadaan seperti Kristus itu bersinar di dalam dan melalui para penyanyi paduan suara tersebut. Oleh karena itu, setiap paduan suara menyanyi, mereka menghadirkan Surga di dalam kebaktian tersebut.


Sebagai orang yang telah ditentukan Allah menjadi pengemban citra-Nya di dunia ini, orang Kristen, dalam hal ini para penyanyi harus sadar, apapun yang dilakukannya, khususnya tatkala dia menyanyi, maka ada satu citra yang terbentuk. Jika nyanyian itu satu nyanyian yang bermutu, maka Allah direpresentasikan dengan baik. Orang bisa berjumpa dengan Allah. Tetapi jika nyanyian itu dinyanyikan sembarangan, maka kita mempresentasikan Allah dalam keadaan buruk. Bagaimana dengan paduan suara yang saudara ikuti?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...