PADUAN SUARA DALAM GEREJA
Pendahuluan
Menyanyi adalah bagian yang tak terpisahkan dalam ibadah
Kristen. Dalam Gereja kita HKBP, menyanyi adalah pelayanan yang sangat
dinikmati oleh sebagian besar anggota jemaat. Jika paduan suara menyanyi di
setiap kebaktian, maka kita akan mengatakan bahwa kegiatan mereka itu hidup.
Tanpa kita mempertimbangkan apakah sikap hati mereka menampakkan kehidupan
Kristen dalam hidup ini atau tidak.
Kita tahu dari sejarah gereja, dari sejak semula, orang
Kristen mula-mula itu telah mengenal bermacam-macam nyanyian. Hal itu terlihat
jelas dalam Kol. 3:16. Paulus menasihati jemaat agar menyanyi dengan nyanyian
mazmur, nyanyian pujian dan nyanyian rohani. Ini menandakan bahwa jemaat
mula-mula itu sangat akrab dengan nyanyian dalam ibadah. Satu hal yang pasti
tentang pola yang dipakai para rasul untuk memahami karya Yesus Kristus ialah:
mereka mendasarkan pemahaman itu dengan firman Allah yang tertulis dalam
Perjanjian Lama. Kita menemukan banyak kutipan ayat-ayat dari Perjanjian Lama
yang dipakai para rasul dalam menjelaskan karya Yesus Kristus di kayu salib.
Oleh karena itu sangat aman bagi kita untuk memahami makna dari nyanyian di
jemaat di dalam terang firman Allah dalam Perjnjian Lama.
Ibadah Korban
Dalam kitab I Tawarikh 25, di sana diatur mereka yang harus menyanyi di Bait
Allah. Para penyanyi itu adalah imam. Tugas seorang imam di Bait Allah ialah
mempersembahkan kurban. Oleh karena itu menyanyi adalah bagian dari ibadah
korban. Karena itu marilah kita sejenak menyoroti pelaksanaan ibadah kurban di
Bait Allah.
Kita tahu ibadah kurban di Bait Allah diatur begitu
ketat, tak satu pun kurban yang ada cacat celanya. Semua kurban yang dipersembahkan di Bait
Allah itu menunjuk kepada Yesus Kristus, yang menurut para penulis Perjanjian
Baru adalah Anak Domba Allah yang tidak ada cacat celanya, dan yang mati untuk
menghapus dosa dunia. Jika kurban itu menunjuk kepada Yesus Kristus, maka seharusnya kurban pujian
kita pun harusnya menunjuk kepada Kristus juga.
Sebuah pertanyaan diajukan kepada kita, apa dan siapa
yang dinyatakan nyanyian yang kita nyanyikan dalam kebaktian? Pemazmur
mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas puji-pujian Israel. (Mzm. 22:4) ini
satu pernyataan yang perlu kita pertimbangkan, tatkala kita bernyanyi di dalam
kebaktian kita. Siapa yang tinggal dalam pujian kita? Diri kita atau Allah?
Ada lagi satu hal yang perlu dicatat dalam persembahan
yang dipersembahkan orang Israel di dalam Perjanjian Lama. Mereka hanya
mempersembahkan sesuatu yang berasal dari hasil jerih lelah mereka. Hal ini
memberikan pengertian kepada kita, bahwa persembahan yang dipersembahkan adalah hasil dari pergumulan hidup
mereka sendiri. Sebab apa yang memberi kita hidup, yang berasal dari pekerjaan
kita, itulah yang dapat dipersembahkan kepada Tuhan di Bait Allah.
Hal yang sama dapat dikenakan dalam pujian. Tatkala kita
bernyanyi, apakah itu adalah gambaran dari pengalaman dan penghayatan kita,
atau yang lain? Ada orang yang bernyanyi dalam bahasa Inggris di dalam satu
kebaktian. Mereka tidak tahu apa arti dari lirik yang mereka ucapkan, tetapi
memang nyanyian itu enak di dengar. Bagaimana mereka menghayati apa yang mereka tidak mengerti? Filosopi mereka dalam
menyanyi tentulah bukan karena iman,
tetapi demi kenikmatan telinga semata-mata.
Kita harus sadar bahwa yang kita persembahkan di dalam
nyanyian kita adalah kehidupan itu sendiri. Sesuatu yang menyentuh hidup.
Paduan suara di dalam satu kebaktian gereja adalah juga setara dengan
pengkhotbah. Mereka memberitakan Injil yang hidup, bukan Injil yang dikemas
dalam kemasan yang indah tetapi tidak tersentuh oleh para pendengar.
Persembahan Yang Terbaik
Pelajaran lain yang dapat kita timba dari kitab Tawarikh
di atas ialah: para penyanyi itu dilatih lebih dahulu bernyanyi dan mereka
harus sampai ke taraf ahli, barulah mereka diperbolehkan untuk bernyanyi di
Bait Allah. Hal itu sejajar dengan
prinsip yang sudah diatur lebih dahulu, yaitu semua persembahan kepada Allah
tidak boleh ada cacat celanya. Sering kali kita mendengar ucapan di tengah-tengah
anggota jemaat, bahwa yang penting adalah hati dalam memuji Allah. Suara fals
juga tidak apa-apa!
Memang Allah melihat ke dalam hati kita. Namun hal itu
bukan menjadi alasan untuk tidak mempersiapkan korban yang tak bercacat kepada
Allah. Hati memang sangat perlu. Tetapi jika kita menghormati Allah yang telah
begitu mengasihi kita; dan yang sangat menawan hati kita, bagaimana mungkin
kita tidak memberikan yang terbaik bagi Dia? ketidakadaan pengenalan akan Allah
yang telah berkarya luar biasa di dalam hidup ini menjadi latar belakang dari
alasan di atas.
Menurut hemat saya secara pribadi Allah hanya menerima
persembahan kita jika kita persembahkan itu menurut kehendak-Nya. Rasul Paulus
mengatakan dalam Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu berasal dari Dia, dan oleh
Dia dan bagi Dia, bagi diadah kemuliaan sampai selama-lamanya.” Allah tidak
hanya melihat hasil dari perbuatan kita, melainkan Allah tetap mempermasalahkan
bagaimana kita melakukannya. Segala sesuatu yang tidak berpadanan dengan
kehendaknya adalah dosa. Yesus pun tatkala Dia hidup di dunia ini, Ia tidak
memberlakukan kehendak-Nya, melainkan kehendak Dia yang mengutus-Nya. (Yoh.
5:30).
Hal lain yang kita timba dari kitab Tawarikh di atas
ialah, mereka menyanyi hanya untuk Tuhan. Tak seorang pun yang mendengar pujian
mereka. Sebab mereka menyanyi di Bait Allah. Sementara kita tahu orang Israel
biasa hanya boleh sampai di pelataran bait Allah. Dalam ruang-ruang yang ada di
Bait Allah hanya dapat dimasuki oleh kaum imam. Sebuah pertanyaan perlu kita
ajukan terhadap diri sendiri, maukah paduan suara di dalam gereja menyanyi
dengan begitu serius tanpa ada orang yang menontonnya? Di biara–biara Katolik
para biarawan dan biarawati itu menyanyi di kapel mereka. Tidak ada anggota
jemaat yang mendengar mereka, karena mereka menyanyi untuk Tuhan.
Sebuah contoh tentang pujian yang diutarakan Perjanjian
Baru terdapat dalam Kol 3:16. “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala
kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan
menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian
dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu” Paulus
menghendaki jemaat menyanyikan bermacam-macam nyanyian. Ada nyanyian mazmur,
ada nyanyian rohani ada nyanyian puji-pujian. Di akhir ayat itu dia mengatakan
agar semuanya itu dilakukan di dalam hati, tanpa ada seorang pun yang
mendengarkannya, sebab dipersembahkan di dalam hati. Hal itu bukan berarti
tidak diperkenankan menyanyi di dalam kebaktian. Kita hanya mau menekankan
bahwa pujian itu dipersembahkan kepada Allah, bukan untuk manusia.
Contoh lain kita lihat dalam kitab Wahyu, Why. 5:9 “Dan
mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: "Engkau layak menerima
gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah
disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari
tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa”. Orang yang telah diselamatkan
itu memuji Allah karena apa yang telah diperbuat-Nya bagi orang percaya. Mereka
menyanyi di Surga, di sana pujian diberikan hanya kepada Allah. Pokok
puji-pujian mereka pun adalah karya penebusan Kristus, Sang Anak Domba yang
telah duduk di atas tahta kemuliaan-Nya.
Demikian juga kita baca dalam Why. 14:3. orang – orang
tebusan itu menyanyikan nyanyian baru yang tidak ada seorang pun yang mengerti
makna nyanyian itu selain dari mereka yang telah ditebus. Ada satu hal yang
menarik kita baca dalam Alkitab tentang mereka yang menyanyi. Para malaikat
tidak dapat mengerti akan makna nyanyian orang-orang tebusan itu. Bukankah itu
sesuatu yang luar biasa?
Di dunia ini pun mungkin saja hal ini terjadi. Orang
yang belum mengalami penebusan Allah secara pribadi, tidak akan mengerti
mengapa kita menuntut orang untuk menyanyi dalam kondisi seperti yang kita
minta. Hanya orang yang telah ditebus yang mengerti. Ada banyak pujian yang
diberikan kepada Allah yang dicatat Alkitab. Para malaikat diberitakan memuji
Allah. Tapi satu hal yang pasti, hanya orang tebusan yang disebut Alkitab
menyanyi memuji Allah. Dalam kitab Nabi Yesaya kita baca para Serafim memuji
Allah, tetapi mereka tidak disebut menyanyi memuji Allah. Demikian juga para
malaikat di Padang Efrata, tatkala Yesus lahir ke dunia. Mereka memuji Allah,
tetapi tidak dengan nyanyian. Demikian juga kita baca dalam kitab Wahyu pasal
5, malaikat tidak disebut menyanyi. Hanya orang–orang tebusan yang dapat memuji
Allah dengan nyanyian. Menyanyi memuji
Allah, adalah hak prerogatifnya anak-anak tebusan Allah. Bukankah itu merupakan
hak istimewa ?
Wahyu 15:3-4 juga memberitakan nyanyian orang–orang
tebusan di Surga. Di sana kita lihat pokok puji-pujian mereka adalah keadilan
dan kebenaran Allah yang sudah menjadi nyata. Jadi sangat jelas puji-pujian
kita berceritera tentang karya Allah di dalam hidup orang beriman. Masihkah itu
yang menjadi motivasi kita di dalam menyanyi di kebaktian gereja kita?
Budaya selebriti rasa-rasanya telah menyelusup masuk ke
dalam relung relung hati kita yang paling dalam, sehingga apa yang kita
tampilkan bukan lagi Injil dengan segala kesederhanaannya. Kita ingin
menampakkan paduan suara yang megah, yang mengundang tepuk tangan yang meriah,
yang mengenakkan telinga kita. Tak peduli apakah hal itu menyentuh lubuk hati
yang paling dalam atau tidak, itu tidak lagi menjadi soal.
Dampak
Nyanyian
Tiba saatnya bagi kita untuk menelusuri pengaruh
nyanyian bagi para pendengar. Dari kitab Mazmur kita tahu bahwa nyanyian sangat
besar pengaruhnya bagi umat Israel. Pemazmur mengatakan bahwa Allah bertahta di
atas puji-pujian Israel. Itu berarti Allah hadir bahkan tinggal di
tengah-tengah umat yang memuji Dia. Itulah sebabnya Israel menetapkan para imam
harus bernyanyi di Bait Allah di Yerusalem siang dan malam. Pada awal
pengalaman bangsa itu di tepi Sungai Yordan, di bawah pimpinan Yosua, mereka
melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana sorak sorai mereka dapat
merobohkan tembok Yeriko. Itu menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi
mereka, sehingga di belakang hari, mereka memasukkan puji-pujian sebagai bagian
yang tak terpisahkan dalam ibadahnya kepada Allah.
Pada waktu penahbisan Bait Allah di Yerusalem, para imam
bernyanyi, lalu Bait Allah dipenuhi dengan awan. Itu adalah simbol dari
kehadiran Allah. Hal ini menguatkan apa yang sudah kita katakan di atas, bahwa
Allah bertahta di atas puji-pujian Israel. Pengalaman Raja Yosafat juga menjadi
perhatian kita dalam hal pengaruh puji-pujian bagi para pendengar. Tatkala Raja
Yosafat berperang melawan bani Amon dan bani Moab, raja menyuruh para imam maju
di depan pasukannya, serta menyanyi memuji Allah. (II Taw 20). Kita tahu,
tatkala para imam itu bernyanyi, maka terjadilah kekacauan di pihak musuh dan
akhirnya mengalami kekalahan. Betapa besar pengaruh puji-pujian.
Lain lagi pengalaman dari pemazmur dalam Mzm. 149.
Pemazmur ini mengalami nyanyian puji-pujiannya seperti pedang bermata dua.
Pemazmur mengatakan puji-pujiannya dapat melaksanakan pembalasan terhadap
bangsa bangsa, dapat juga membelenggu dan merantai para raja-raja. Alangkah
indahnya jika paduan suara yang menyanyi dalam kebaktian gereja kita juga
menghasilkan hal-hal yang sudah kita bicarakan di atas. Bukankah dengan jalan
demikian akan ada kebangunan rohani di seluruh HKBP!
Citra
Nyanyian
Bagian terakhir yang akan kita bicarakan tentang
nyanyian ialah citra. Setiap nyanyian membawa citra tersendiri. Citra itu
dibangun melalui penghayatan dan penguasaan teknik menyanyi dari anggota paduan
suara. Tatkala paduan suara menyanyi, proses pembentukan citra itu pun terjadi.
Citra terbentuk melalui nyanyian. Satu pertanyaan perlu diajukan kepada kita,
citra apakah yang dibangun oleh paduan saudara di dalam gereja yang saudara
layani?
Dalam rangka memahami citra yang akan terbentuk di dalam
kebaktian yang dimungkinkan oleh satu paduan suara, maka perlu kita memahami
citra yang seharusnya terbentuk. Kita tahu, Allah menciptakan kita sesuai
dengan gambar dan rupa Allah. Sudah kita katakan di atas, mereka yang menyanyi
itu adalah imam-imam perjanjian baru; orang orang yang telah dipulihkan
citranya melalui penebusan Yesus Kristus. Melalui penebusan itu orang percaya
dijadikan sebagai representasi Kristus (Rom.8:29). Keberadaan seperti Kristus
itu bersinar di dalam dan melalui para penyanyi paduan suara tersebut. Oleh
karena itu, setiap paduan suara menyanyi, mereka menghadirkan Surga di dalam
kebaktian tersebut.
Sebagai orang yang telah ditentukan Allah menjadi
pengemban citra-Nya di dunia ini, orang Kristen, dalam hal ini para penyanyi
harus sadar, apapun yang dilakukannya, khususnya tatkala dia menyanyi, maka ada
satu citra yang terbentuk. Jika nyanyian itu satu nyanyian yang bermutu, maka
Allah direpresentasikan dengan baik. Orang bisa berjumpa dengan Allah. Tetapi
jika nyanyian itu dinyanyikan sembarangan, maka kita mempresentasikan Allah
dalam keadaan buruk. Bagaimana dengan paduan suara yang saudara ikuti?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar