Liturgi
Ada banyak orang yang mengatakan lbadahnya Gereja kita itu monoton. Tidak
menarik dan sangat dingin. Orang muda sekarang lebih menyukai ibadah yang
sangat menekankan perasaan yang diumbar di dalam ibadah tersebut. Saya sering
mengatakannya dengan sebutan ibadah ribut. Tetapi sebuah pertanyaan perlu
diajukan: apakah memang ibadah kita itu monoton dan dingin? Untuk mereka yang
tidak mengerti apa yang sedang kita lakukan di dalam ibadah itu memang orang
dapat mengatakannya sebagai ibadah yang monoton. Untuk itu marilah kita sejenak
membedah liturgi yang kita lakukan dalam ibadah.
Sebelum
kebaktian dimulai, biasanya parhalado berkumpul lebih dahulu di konsistori.
Pada hakekatnya bukanlah para petugas yang dijadwal pada hari itu yang harus
hadir di dalam konsistori, melainkan seluruh anggota parhalado yang datang ke
dalam kebaktian tersebut. Sebab parhalado adalah satu ‘corps,’ mereka
bertanggung jawab atas pelaksanaan kebaktian tersebut. Jadi sekalipun saya
tidak bertugas pada hari itu, saya wajib masuk ke konsistori, minimal untuk mendoakan
mereka yang bertugas pada hari itu. Itulah wujud dari tanggung jawab saya
kepada Allah, yang telah memanggil saya menjadi pelayan-Nya di jemaat tersebut.
Sekaligus itu adalah wujud dari tanggung jawab saya kepada ‘corps parhalado’. Sangat disayangkan,
banyak juga teman-teman sintua yang tidak menyadari hal itu.
Di
konsistori itu kita memeriksa seluruh acara yang akan kita selenggarakan,
tentang kelayakannya. Kemudian acara yang sudah kita periksa itu kita bawakan
ke hadiran Allah di dalam doa. Semua acara dari permulaan hinga akhir
disampaikan di dalam doa, seolah-olah kita mengatakan kepada Allah, inilah yang
akan kami lakukan di hadapan-Mu. Segala sesuatu yang tidak didoakan di dalam
konsistori, seyogianya tidak dapat dilakukan di dalam ibadah. Kecuali warta
yang sangat mendesak. Namun sangat disayangkan, sering kali kita melihat ada
acara tambahan disampaikan kepada liturgis di tengah-tengah kebaktian. Sering
kita melihat koor menyanyi sampai dua kali, pada hal di dalam daftar acara
hanya satu kali.
Setelah
parhalado berdoa, maka lonceng Gereja dibunyikan. Suatu pertanda bahwa seorang
Raja segala raja dan Tuhan segala Tuan akan memasuki tempat ibadah. Anggota
jemaat pun memberi respons terhadap bunyi lonceng itu dengan menaikkan doa-doa
pribadinya ke hadirat Allah. Maka parhalado pun memasuki ruangan. Ibadah siap
dilaksanakan. Di zaman dahulu kata
orang, jemaat telah menyanyi lebih dahulu, barulah parhalado masuk ke dalam
ruangan. Sebab ibadah pas dimulai pada saat liturgis mengungkapkan votum. Alangkah
indahnya, jemaat bangkit berdiri pada nyanyian pertama itu. Diiringi paduan
suara yang menyanyikan nyanyian yang menurut hemat saya jadi pembukaan ibadah
yang paling pas. Buku Ende nomor: 18.
Ungkap bahal na ummuli bagas ni Debatangki;
Ai tu si do au naeng muli ganup jumpang minggu i;
Hulului do di si bohi ni Debatangki.
Menurut liturgi tahun 1904, setiap
nyanyian yang pertama senantiasa dinyanyikan hingga seluruh bait dari nyanyian
tersebut habis dinyanyikan. Sekarang kita hanya menyanyikan tiga bait saja.
Untuk menyingkat waktu. Kita tidak lagi menikmati acara yang panjang panjang
dalam hal rohani.
Peran Nyanyian dalam ibadah
Gereja HKBP
Ibadah Gereja menurut Pdt DR AA Sitompul dalam bukunya:
Tata Ibadah Kebaktian Gereja ada di tiga tempat. Pertama di surga. Beliau
mendasarkannya dari Kitab Wahyu pasal 4 dan 5. Di surga ada kebaktian, dimana
pusat dari ibadah di surga itu ialah: Tuhan Yesus Kristus. Tempat yang kedua
ada di bumi, itu dilakukan orang Kristen di dalam ibadah mereka. Tatkala kita
melakukan ibadah, maka pusat dari ibadah itu ialah: Kristus yang telah berkarya
di dalam dunia ini. Ibadah kita itu merefleksikan ibadah yang ada di surga. Tempat yang ketiga ada di dalam
hati kita. Sama seperti setiap nyanyian memiliki cord, demikian juga ibadah itu pun memiliki kordnya. Surga
menyanyikan nada ‘sol’ ibadah kita menyanyikan nada ‘mi’, sementara hati kita
menyanyikan nada ‘do’. Maka terciptalah paduan nada yang ada dalam satu kunci, ‘sol, mi, do’. Ada
sinkronisasi ibadah di surga, bumi dan hati.
Ada perbedaan pandangan teologis antara Gereja HKBP
dengan Kharismatik tentang nyanyian. Gereja kita memandang nyanyian itu adalah
bagian dari pemberitaan Injil, sementara bagi Gereja yang berlatar
belakang Kharismatik melihat nyanyian adalah bagian dari
persembahan. Karena nyanyian adalah bagian dari pekabaran Injil, maka teks
menjadi sesuatu yang sangat penting, karena melalui teks itu,
Injil diberitakan. Itulah sebabnya dalam nyanyian Buku Ende teks nyanyian bisa sampai 13 bait. Sementara di nyanyian
pop rohani sekarang, teks tidak terlalu penting. Nyanyian itu dinyanyikan
berkali-kali, sebab inti dari nyanyian itu adalah persembahan. Itulah sebabnya
nyanyian pop rohani cenderung hanya satu ayat.
Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat Roma menekankan
betapa perlunya kita tahu tentang satu hal. Tatkala ia membahas kekudusan
hidup, maka ia berkali-kali mengatakan: “Tidak tahukah kamu” cf Rom 6:3, 6, 9.
Tatkala Jemaat Korintus berbuat dosa, bahkan orang kafir sekalipun tidak
melakukannya, Paulus mengatakan: “Tidak tahukah kamu...” I Kor 6:15. Hal ini
menjadi indikasi bagi kita bahwa kita pun sangat memerlukan pengetahuan yang
benar tentang makna dari nyanyian di dalam ibadah kita. Sehingga pengetahuan yang benar akan makna ibadah dan tempatnya nyanyian di dalam ibadah, maka kita dapat memberi respon
yang benar tentang nyanyian, serta nyanyian yang bagaimana yang akan kita
nyanyikan dalam ibadah kita.
Nyanyian dalam ibadah kita adalah bagian dari pekabaran
Injil. Tatkala Injil diberitakan, itu berarti Allah memanggil orang untuk masuk
ke dalam keselamatan. Injil yang diberitakan adalah sarana Allah untuk memanggil orang masuk ke dalam
pertobatan. Cf makna dari pengakuan iman rasuli bagian ketiga berdasarkan
katekhismus kecil Martin Luther. Luther mengatakan: “Bahwa
aku tidak dapat percaya kepada Tuhanku dari diriku sendiri. Aku dipanggil oleh
Tuhan melalui pemberitaan Injil, agar aku punya iman dan juga di dalam
kekudusan sebagaimana mestinya”. Nyanyian kita sebagai respons tetapi juga
sebagai satu pemberitaan Injil minimal bagi diri sendiri. Injil yang ditorehkan
dalam bentuk syair dari nyanyian tersebut, memanggil kita agar beriman dan
dalam kekudusan yang sebagaimana mestinya. Itulah makna nyanyian di dalam
kebaktian kita di Gereja.