Gunung Hermon
Tempat terakhir yang kami kunjungi ialah: gunung Hermon. Gunung ini berada di dataran tinggi Golan. Daerah ini pada dasarnya bukan lagi wilayah Israel. Tetapi daerah ini di anexasi Israel dari Siria setelah mereka memenangkan pertempuran enam hari, pada tahun 1967. Tatkala kami naik ke arah puncuk gunung, di tengah jalan, kami melihat rumah-rumah yang ditinggalkan begiru saja. Pak Sagala mengatakan bahwa daerah ini sekarang disebut dengan nama ghost city. Rumah-rumah ini ditinggalkan penghuninya begitu saja, karena perang pada tahun 1967 itu.
Selama di perjalanan, Pak Sagala banyak berceritera tentang Golan. Beliau berkata: penduduk yang tinggal di sini adalah suku Druze. Mereka adalah satu suku yang keluar dari agama Islam. Agama Druze adalah agama ke empat di Israel, setelah Yudaisme, islam, Kristen. Agama kelima adalah Bahai. Kuilnya kami lihat di Haifa. Aku mengambil foto di sana. Menurut Pak Sagala, orang Druze sangat baik secara moral. Beilau berceritera tentang pengalamannya secara pribadi dengan orang Druze.
Akhirnya kami tiba di pelataran parkir untuk mendaki ke gunung Hermon dengan memakai sky lift. Di sepanjang jalan, aku merenungkan dalam hati mazmur 133 yang berbicara tentang Gunung Hermon. Satu pertanyaan yang aku tuliskan di dalam catatanku ialah: apa hubungan Gunung Hermon dengan bukit Sion? Bukankah jaraknya jauh? Kami berkumpul untuk berdoa.
Aku membatalkan niat untuk naik ke puncak gunung itu, sebab aku ingin menikmati pemandangan ke arah gunung itu, sambil merenungkanmazmur 133 tadi. Tatkala aku melihat awan itu turun dari puncak gunung, aku bersorak dakam hati. Rasanya aku melihat alasan pemazmur mengatakan dalam mazmurnya itu: seperti embun di Gunung Hermon mengalir ke bukit Sion. Awan itu saya lihat sebagai kavod Yahweh, awan kemuliaan Allah. Bukankah orang Israel melihat awan itu di padang gurun?
Pemazmur dan saya melihat kemuliaan Allah turun dari gunung paling tinggi di wilayah ini. Aku melihat awan itu turun hingga menyentuh tubuh kami. Pemazmur akan pulang ke Sion, dimana ia menikmati persekutuan dengan sesama orang percaya. Kemuliaan Allah itu akan menyertai dia.
Aku pun akan pulang ke Jakarta. Aku akan membawa kemuliaan Allah itu turun ke Jakarta. Sungguh indah. Untung aku tidak naik ke atas. Sebab jika aku naik, mungkin aku tidak akan memikirkan hal itu, melainkan akan terganggu dengan ketinggian. Aku bersyukur kepada Tuhan untuk penglihatan ini. Tatkala aku bersyukur itu, seorang ibu dari rombongan kami meminta agar aku berdoa untuk pokok doa yang disodorkannya. Lalu kami pun berdoa. Dalam penghayatan bahwa aku masih di dalam kemuliaan Allah, aku yakin, Tuhan akan mengabulkan permohonan kami itu. Aku pun berceritera tentang penglihatan itu kepada sang ibu tadi dan menyakinkan dia, bahwa Allah akan mengabulkan doanya tadi.
Bukan kepada dia saja aku berceritera. Aku juga berceritera tentang penglihatan saya itu kepada seorang bapa yang tidak naik ke atas gunung. Ia sangat senang dengan penglihatan saya itu, sehingga itu juga menjadi penglihatan bagi dia. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik! Karena saya jadi ingat akan tim dari Rasul Paulus. Paulus melihat satu penglihatan, yakni ada orang Makedonia beseru-seru kepadanya dan berkata: “Menyeberanglah ke arah kami, selamatkanlah kami”. Paulus menceriterakan penglihatannya itu kepada rombongannya. Lalu mereka nmengambil kesimpulan bahwa mereka memang harus menyeberang. Penglihatan itu bukan lagi pengliharan Paulus, melainkan penglihatan rombongan tersebut.
Aku yang melihat makna awan yang turun itu. Lalu penglihatanku itu menjadi penglihatan sang ibu dan bapa tadi. Tatkala penglihatan ini dituliskan di sini dan dibaca oleh orang lain, saya berharap, apa yang saya lihat dilihat oleh orang itu juga, sehingga kita sama-sama menikmati kemuliaan Allah.
Di kota Amman, sang bapa tadi bersaksi kepada saya, bagaimana ia dihibur oleh Allah melalui penglihatan yang kami lihat di kaki gunung Hermon itu. Syujur kepada Allah yang memberikan penghiburan kepadanya. Juga kepada saudara yang membaca tulisan ini.
Caesaria Philippi
Setelah meninggalkan Gunung Hermon, kami mengunjungi Kota Caesaria Philippi. Kota ini terkenal sebagai kota dimana Tuhan Yesus membawa para murid retreat. Di kota ini Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan kepada para murid: “Menurut kata orang siapakah Aku?” Di kota ini di zaman Tuhan Yesus, ada sebuah kuil dewa orang Yunani, yakni Dewa Paniaz. Dewa ini adalah dewa gembala. Jika dewa itu masuk ke dalam domba-domba, maka domba itu akan kacau balau. keadaan ini disebut panic. Kata itu berasal dari kata Pan yang adalah nama dewa.
Dari keadaan seperti itu kita mewarisi kata panik sekarang ini. Di latarbelakangi keadaan seperti itu, saya memahami makna pertanyaan Tuhan Yesus kepada para murid di tempat ini. Menurut kamu, siapakah Aku? Apakah para murid akan panik di dalam memberi jawaban atas pertanyaan itu, sama seperti orang lainnya. Syukur, mereka tidak panik. Aku pun tidak panik di dalam memberi pernyataan tentang siapakah Yesus itu di dalam hidupku.
Menurut hemat saya secara pribadi, Yesus mengajar murid-murid-Nya dengan memakai segala sesuatu yang ada di sekitarnya sebagai sarana untuk mengajar. Para murid itu tentunya sangat paham akan makna dari dewa Pan yang disembah orang bukan Yahudi yang tinggal di tempat ini. Mereka tahu juga makna kekacauan yang dialami orang yang sedang trans oleh karena kerasukan dewa Pan. Hal ini menjadi latarbelakang bagi jawaban mereka terhadap Tuhan Yesus!
Daerah ini menjadi asal muasal air sungai Yordan. Kami menikmati air dari mata air sungai Yordan ini. Rasanya sangat nikmat. Segar! Daerah ini ramai dikunjungi orang. Saya semakin mengerti pengajaran kepada Yesus Kristus di tempat ini dalam hal Tuhan membawa mereka ke gunung kemuliaan itu. Pengakuan iman yang murni dan tidak di dasarkan atas ketidakpastian akan menuntun kita masuk ke dalam kemuliaan Allah di surga. Di tempat ini Roh Kudus membukakan mata hati saya untuk melihat makna itu. Hati ini pun bersyukur, karena telah melihat kebenaran yang begitu berharga. Karera mengabadikan panorama di tempat ini.
Di tempat ini saya memuji disiplin orang Israel untuk menjaga kebersihan lingkungan mereka. Ada peziarah berasal dari Asia yang kelihatannya akan membuang air kecil. Tiba-tiba penduduk Israel itu melarang orang tersebut. Ia berkata: tindakannya itu akan mengotori sumber air mereka. Ini adalah sebuah kesadaran yang tinggi akan makna lingkungan yang bersih. Kapan orang Indonesia akan tiba ke dalam kesadaran yang tinggi seperti itu? Orang Israel sekarang menyebut kota ini dengan nama Banias. Orang Arab yang sudah lama tinggal di tempat ini tidak dapat menyebut Panias. Mereka melafaskannya dengan Banias.
Sungai Jordan
Pagi hari kami keluar dari hotel untuk mengunjungi tempat yang terakhir di tanah suci, yakni sungai Yordan. Sebelum tiba di sungai Yordan, kami dibawa berkeliling melihat kota-kota bersejarah di tanah Israel. Namun, karena kami tidak turun dari bus, dan tidak ada untuk mengadakan perenungan,maka tempat itu berlalu begitu saja. Menurut Pak Sagala, kami telah mengunjungi secara sekilas wilayah Israel, mulai dari selatan padang gurun Yudea, hingga wilayah Dan. Itu berarti mulai Beryeba di selatan hingga Dan di utara. Kami juga melewati satu daerah yang namanya Kursi. Di tempat ini Tuhan Yesus mengusir setan dari seorang yang kerasukan dan babi-babi itu masuk ke dalam babi. Pak Sagala mengkaitkannya dengan ayat kursi di dalam Al- Qur’an. Namun aku lupa mencatatnya, sehingga tidak dapat diterangkan di sini bagaimana hal itu berkaitan satu sama lain.
Akhirnya kami tiba di sungai Yordan. Di sana aku melihat banyak orang yang dibaptis. Aku pikir, akan aa juga dari rombongan kami akan membaptiskan diri di tempat ini. Ternyata tidak ada. Kami mengadakan kebaktian di tempat ini. Pembimbing kami mengambil nas dari Kitab Injil, di mana Yohanes Pembaptis sedang membabtis beliau mengatakan bahwa baptisan yang benar ialah baptisan selam. Hati saya tidak lagi mengikuti pemberitaan firman itu, sebab hati ini Telah melanglang buana ke zaman Yosua. Yosua menyeberangkan orang Israel di sungai ini. Ia memerintahkan agar para imam berjalan di depan. Tatkala kaki mereka menginjak sungai Yordan ini maka air itu terbelah dua. Saya langsung mengingat nyanyian negro spiritual yang berbunyi Roll Jordan Roll. Aku mendendangkan lagu itu, sebab aku tidak menghafal syairnya. Namun setelah tiba di rumah, aku melihatnya kembali dan menuliskannya dalam tulisan ini.
Roll Jordan, roll
Roll Jordan, roll
I wanter go to heav'n when I die
To hear ol' Jordan roll
O brethern
Roll Jordan, roll
Roll Jordan, roll
I wanter go to heav'n when I die
To hear ol' Jordan roll
Oh, brothers you oughter been dere
Yes my Lord
A-sittin' in the Kingdom
To hear ol' Jordan roll
Sing it over
Oh, sinner you oughter been dere
Yes my Lord
A-sittin' in the Kingdom
To hear ol' Jordan roll
Tatkala mendendangkan lagu itu, saya merasakan orang menyeberang ke surga dengan menyanyikan lagu tersebut bersama seluruh orang Negro yang menderita di zamannya. Mereka menyanyi dengan bersukacita, karena mereka akan memasuki tanah perjanjian kekal. Sama seperti yang dialami orang Israel yang dipimpin oleh Yosua.
Saya juga teringat akan Naaman panglima perang Aram yang disuruh Nabi Elisa untuk mandi tujuh kali si sungai ini agar ia sembuh dari penyakit kustanya. Naaman berkata: “Bukankah Abana dan Parpar, sungai-sungai Damsyik lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir”? Sungai Yordan yang kami lihat memang tidak terlalu bagus. Demikian juga dengan sungai Yordan yang terlihat di dalam poster wisata. Kelebihan sungai Yordan bukan di dalam keadaan fisiknya, tetapi dalam kisah orang yang ada di dalamnya.
Sungai Yordan tidak hanya berbicara tentang baptisan. Ia membicarakan banyak hal. Ia berbicara tentang penyucian, sebagaimana dikisahkan ceritera Naaman. Di dalam Alkitab, penyakit kusta seperti yang dialami Naaman berbicara tentang ketidaktahiran, kenajisan. Naaman tahir kembali, tatkala ia mandi di sungai Yordan. Nyanyian Gereja menggambarkan sungai Yordan sebagai lambang dari kematian. Dimana hal itu harus dijalani untuk masuk surga, Kanaan sorgawi bagi orang beriman. Semua gambaran itu mengambang di lubuk hati, tatkala saya ada di sungai Yordan itu. Bergulunglah sungai Yordan, sebab umat Allah akan melewati engkau untuk masuk ke tanah perjanjian yang kekal.
Di tempat ini kami berdoa, setelah khotbah selesai. Di tempat ini pun pembimbing kami mengatakan permintaan maaf jika tugas mereka menjadi pembimbing mungkin tidak memenuhi apa yang kami butuhkan. Kita semua menikmati perjalanan ini. Oleh karena itu, tidak boleh ada sungut sungut, sebagaimana dilakukan orang Israel kepada Musa di padang gurun. Setelah menyelesaikan perjalanan ini, kami siap-siap meninggalkan tanah Israel menuju perbatasan dengan Yordania. Untuk kedua kalinya, kami masuk wilayah Yordania. Kami berangkat menuju kota Amman. Di sana kami menginap satu malam. Lalu tiba saatnya untuk kembali ke Jakarta. Syalom Yerusalem, see you in another year.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar