08/06/11

Debu



D E B U

Alkitab mengatakan, manusia diciptakan Allah dari debu. Kita familiar dengan ungkapan Alkitab yang mengatakan: “Engkau berasal dari tanah dan kembali ke tanah”. Jika kita berbicara tentang debu, maka dalam benak kita tidak mungkin mengingat debu sebagai satu satuan, sama seperti: seonggok tanah, sebuah batu, sebatang pohon. Kita tidak pernah mengatakan: sebutir debu! Segenggam debu, adalah kosa kata yang kita pakai untuk memberi satuan kepada debu. Debu adalah sesuatu yang tidak bermakna. Di zaman dahulu kala, debu adalah satuan materi yang paling kecil yang dikenal orang. Sekarang ini, para ilmuwan telah memperkenalkan kepada kita satuan dari benda yang paling kecil ialah: ‘quark’. Seandainya, quark telah ditemukan di zaman dahulu, kala, maka mungkin kata itu yang dipakai oleh penulis Alkitab. Bukan debu. Maka kita dapat membuat analogi, bahwa debu itu identik dengan quark.

Tatkala kita mengingat bahwa manusia diciptakan dari debu, maka seharusnya kita sadar, kita berasal dari satu komunitas. Komunitas debu. Kita tidak diciptakan Allah dari sepotong kayu, atau sebuah batu besar. Kita diciptakan dari sekumpulan benda yang sangat kecil. Kita berasal dari satu komunitas. Allah menciptakan manusia. Adam, sebagai manusia pertama, tidak dapat menemukan satu mahluk pun dari ciptaan Allah itu, yang dapat dijadikannya sebagai teman dalam satu persekutuan. Adam tidak dapat menciptakan sebuah komunitas bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, Allah menciptakan Hawa menjadi satu teman yang sepadan dengan Adam. 

Pelajaran yang berharga bagi kita dari fakta tersebut ialah: manusia diciptakan agar ia masuk ke dalam satu komunitas. Ia berasal dari satu komunitas, ia pun ditempatkan di dunia ini dalam satu komunitas. Bahkan, tatkala ia mati satu hari kelak, ia pun akan dimasukkan ke dalam satu komunitas. Catatan PL dalam melaporkan kematian seseorang ialah: “mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangnya." I Raja 1:21. Jadi kita berasal dari komunitas, ditempatkan dalam komunitas, serta berakhir dalam komunitas pula.

Tatkala memikirkan asal kita dari debu, maka sebuah pertanyaan muncul di hati ini: ‘apa maknanya bagi saya, asal muasalnya diri saya dari debu?’ Tatkala merenungkan hal itu, maka terlintas dalam hati kesadaran akan keterbatasan hidup. Hidup itu hanya sementara. Hidup akan berakhir, kembali ke tanah. Beberapa waktu yang lalu, aku menghadiri upacara penguburan jenazah yang sudah menjadi abu. Seorang putra Sumatera berkenala ke benua Amerika dan menjadi warga negara di sana. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di negeri Paman Sam, ketimbang kota kelahirannya di sumatera. Namun, di akhir hidupnya ia berpesan kepada keluarganya, agar ia dikuburkan di tanah kelahirannya di Sumatera. Keinginannya itu dilaksanakan. Ia dikremasi lebih dahulu, lalu di dalam sebuah kotak kecil, abu jenazahnya itu dibawa dari Amerika ke tanah kelahirannya di Sumatera.

Manusia yang berprestasi seperti dia, akhirnya, ia hanyalah setumpuk debu yang dikemas di dalam sebuah kotak. Tak lebih tak kurang. Kotak itu dibawa secara hati-hati dari Amerika, supaya kotak itu tidak jatuh dan ada kemungkinan debu jasadnya beterbangan kemana-mana. “Life is so fragile, handle with care” demikian bunyi sebuah sticker di sebuah mobil. Benar, hidup ini sungguh rapuh, haruslah ditangani dengan hati-hati. Hidup akan berakhir! Itulah sebuah produk dari asal muasal kita dari debu. Masalahnya ialah: hidup yang kita jalani itu bermaknakah bagi komunitas kita? Itulah masalah utama!

Setelah aku sadar, bahwa hidup ini akan berakhir, lagi pula akan menjadi debu; maka segala sesuatu yang ada di dalam hidup ini, tidak akan menyertai saya untuk selama-lamanya. Apakah yang akan menyertai saya untuk waktu yang lebih lama dari hidupku itu sendiri? Benda-benda yang aku miliki, tidak akan selamanya melekat di dalam diriku. Bilamana aku telah jadi debu, maka semua benda-benda itu berpindah kepemilikan. Apakah yang terus menyertai aku, sekalipun aku telah jadi debu?

Sesuatu yang tetap akan menyertai aku di dalam debu itu ialah: hidup yang kujalani selama di dunia ini, tetapi bermakna bagi orang lain. Orang lain akan mengingat aku, dan terus membicarakan aku, sekalipun aku tidak ada lagi di dunia ini. Orang terus memberi penghargaan kepadaku, oleh karena sesuatu yang aku perbuat di dalam hidup ini, bermakna bagi orang lain. Bilamana aku hidup untuk diriku sendiri, maka tidak akan ada orang yang akan mengingat aku di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Oleh karena itu, hidup yang bermakna ialah: jika kita hidup di dalam komunitas, dan komunitas itu terbangun sebagian adalah karena peran hidup kita.

Kebahagian yang sesungguhnya ialah: tatkala hidup kita bermakna bagi orang lain. Tuhan Yesus mengatakan hal ini dengan bahasa yang lain. “Terlebih berbahagia memberi dari pada menerima”. Itu berarti, aku ada demi komunitas. Aku ditempatkan di dalam komunitas. Jika aku membangun komunitas, maka pada hakekatnya aku membangun diriku sendiri. Hidup seperti ini disebut orang namanya pola hidup ‘holistik’.

Tatkala manusia pertama diciptakan, kepadanya diberikan kesempatan untuk memelihara Taman Eden. Taman itu harus dipelihara, bukan dikuasai. Taman Eden itu adalah bagian dari diri Adam. Ia ditempatkan Allah di sana bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai pemelihara. Tatkala kepada manusia diberi mandat untuk menguasai bumi, menurut hematku kosa kata menguasai bukanlah artinya mengeksploitasi demi kepentingan diri sendiri. Bumi ini bukan milik kita. Bumi dengan segala isinya adalah milik Tuhan. Demikian pemazmur mengatakannya. Jadi, bumi dikuasai di dalam rangka membuat bumi ini tetap ‘amat baik’ sebagaimana dilihat oleh Allah sendiri.

Tetapi lihatlah apa yang dikerjakan kaum kapitalis di dunia ini. Hutan dibabat semaunya saja, tanpa memikirkan kelestarian lingkungan. Mereka mengira bumi adalah milik mereka sendiri, yang dapat dieksploitasi sesuka hari mereka sendiri. Rasa-rasanya, orang-orang yang menyembah roh nenek-moyangnya lebih bersahabat dengan alam, ketimbang orang modern. Orang-orang itu merasakan benar, mereka adalah bagian dari alam itu sendiri. Oleh karena itu mereka mencoba agar kehidupan mereka lebih selaras dengan alam. Manusia adalah bagian dari komunitas ciptaan yang ditempatkan Allah di dunia ini. Orang-orang yang dicap sebagai manusia yang masih terbelakang, rasa-rasanya lebih berhikmat tentang kehidupan dalam komunitas ketimbang orang yang berpendidikan modern.

Ciri dari masyarakat modern ialah: individualisme. Tiap-tiap orang mengurus urusannya sendiri. Orang modern berpikir,mereka tidak butuh orang lain. Pada hal, hidup ini dapat dijalani dengan begitu nikmat, itu karena ada orang lain melakukan perannya. Bukan hanya orang yang melakukan perannya, tetapi alam pun melakukan perannya pula, sehingga dunia ini nikmat dijadikan tempat tinggal. Andaikan udara tidak bergerak, maka oksigen tidak akan ada. Dan jika hal itu tidak ada, maka kehidupan pun tidak akan ada. Demikian juga dengan air, musim dan lain sebagainya. Kita ada di dalam komunitas alam ciptaan Allah. Semuanya punya peran di dalam menopang kehidupan di dunia ini.

Pertanyaan diajukan ke dalam hati: apa peran saya di dalam hidup ini agar kesinambungan komunitas ini dapat dipertahankan? Alam melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya, agar manusia dan ciptaan lainnya dapat hidup dengan serasi selaras dan seimbang. Tetapi kenyataan yang terlihat, manusia justru berperan di dalam merusak kehidupan itu sendiri. Binatang membunuh binatang lainnya semata-mata di dalam rangka kelangsungan hidupnya. Setelah ia kenyang makan, ia membiarkan binatang lainnya itu berlalu di dalam damai sejahtera.

Bukan demikian dengan manusia. Sekalipun ia sudah memiliki sesuatu, keserakahan manusia membuat ia tidak pernah merasa puas. Seorang pria yang termasuk 10 orang terjaya di dunia ini pernah diwawancarai satu mass media ternama. Wartawan itu mengajukan pertanyaan kepada sang billioner: “Berapa jumlah uang yang bapak butuhkan sehingga dapat berkata: ‘aku tidak butuh lagi’. Lalu ia menyebutkan angka nominal dengan 12 nol di belakangnya. Orang kaya itu hanya mengatakan: ‘more’.

Kenyataan ini membuktikan pepatah orang di zaman dahulu sangat benar: “orang yang menginginkan harta, ibarat orang yang kehausan, lalu minum air laut”. Rasa hausnya itu tidak akan terpuaskan, sebab air laut yang asin itu membuat dia semakin haus. Tidakkah aneh, jika kita merenungkan fakta ini: orang Belanda datang ke negeri ini, mereka merampas tanah penduduk negeri, lalu mereka menyuruh penduduk negeri itu mengerjakan tanah yang dahulu tanah milik mereka. Lalu hasilnya menjadi bagian dari tuan tanah Belanda itu, sementara petani itu semakin menderita. Orang yang bekerja mengusahakan tanah, tetap miskin sementara mereka yang tidak bekerja atas tanah itu menikmati hasil tanah itu dan semakin kaya. Bukankah tanah itu miliknya Tuhan?

Musa telah mengajarkan kepada bangsa Israel, bahwa Tuhan adalah pemilik tanah. Semua orang harus mengembalikan tanah yang digadaikan kepadanya di tahun Yobel. Ini satu gambaran bahwa orang tidak diperbolehkan terus menerus berada di dalam ketidakmampuan. Semua orang harus mengambil perannya sehingga sesama di dalam komunitas dapat mengalami kebebasan. Semua orang harus berperan di dalam menopang kehidupan yang ada di planet ini.

Tatkala aku turut ambil bagian di dalam proses penopangan kehidupan sesama di dunia yang adalah milik Tuhan ini, maka hidup yang aku jalani itu pun akan bermakna. Segala perbuatan itu akan menyertai aku sekalipun hidup ini telah berakhir di dunia ini. Kitab Wahyu menyuarakan: “Berbahagialah mereka yang mati di dalam Tuhan, karena mereka akan beristirahat dari pekerjaannya; dan pekerjaannya itu akan mengikut dia dari belakang”.

Pekerjaan apa yang akan menyertai saudara di dalam perjalanan menuju kekekalan nanti? Jadikalah hidup ini sesuatu yang bermakna bagi komunitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...