10/06/11

Mengenal HKBP 1



Perpecahan dalam Gereja Tuhan
Karena kontroversi-kontroversi yang timbul dalam Gereja Tuhan, maka terjadilah kucil-mengucilkan yang akhirnya menjadi pemisahan atau perpecahan atau skisma yang dimulai dengan yang dikenal sebagai the great schism yaitu sewaktu Gereja Katolik Roma mengucilkan Gereja Katolik Timur yang berpusat di Konstantinopel (lebih dikenal dengan nama Gereja Ortodoks). Seterusnya berlanjut dengan perpecahan dalam Gereja Katolik Roma dengan timbulnya gerakan reformasi, maka berdirilah gereja-gereja Protestant. Di antara gereja-gereja Protestant itupun terjadi lagi perpecahan yang terus menerus, sehingga timbullah berbagai macam ragam gereja di dunia ini yang masing-masing mengklaim dirinya Gereja Tuhan yang esa, kudus dan am (katolik, universal). Dan semua gereja-gereja yang timbul ini selalu mengacu kepada Gereja Katolik, atau dengan kata lain, Protestan diperhadapkan dengan Gereja Katolik Roma. Tetapi di abad belakangan ini timbul lagi gerakan baru, yang jika diperbolehkan kita sebut saja gerakan Pentakostal, yang menambah warna dan ragam gereja Tuhan. Dan legitimasi masing-masing gereja selalu dipertanyakan (Yesus saya kenal, Paulus saya kenal, tetapi anda siapa?). Oleh karena itu masing-masing menyatakan siapa mereka (misalnya “Gereja kami adalah Gereja Ortodoks karena kami mempertahankan ajaran yang benar tentang Allah dan kami memuliakan-Nya dengan ibadat yang benar”; “our Church is a worshipping, confessing and witnessing Church”, “Gereja kami adalah Gereja apostolis dan konsiliar dsb.). Sehingga timbul pertanyaan, manakah Gereja yang benar (the true Church), apa ciri-cirinya.
Tanda-tanda Gereja yang benar
Tanda yang pertama:
·         Gereja adalah milik mutlak Kristus;
·         Gereja adalah satu (Esa) dan Am (katolik, universal, hatopan) yang mengakui:
·         satu Tuhan
·         satu Iman
·         satu Baptisan
·         satu Allah, Bapa dari semua
·         mendapat bagian dari Makanan yang sama (Perjamuan Kudus)
·         semua telah terkubur bersama Kristus dalam Baptisan
·         semua dibangkitkan bersama Kristus ke dalam kehidupan kekal.
Namun, jika hanya sampai disini saja, segala-galanya menjadi mengambang, bisa saja tidak keruan, karena ratifikasinya hanya di sorga. Semua ini adalah tanda Gereja yang tidak nampak (invisible). Harus ada tanda yang lain, yaitu dari segi pertimbangan empiris, yang dapat dikenal dalam ruang dan waktu, yang dapat diindera manusia, yang nampak (visible).
Tanda yang kedua:
·         Gereja harus kelihatan dan berbentuk lembaga sebagai perwujudan persekutuan orang-orang yang terpilih, komunitas orang-orang yang sudah ditebus dan yang dibenarkan karena Iman;
·         Misteri penyelamatan dari Allah itu disalurkan melalui yang empiris dan yang nampak, yaitu:
-    Alkitab
-    tata ibadah (upacara kebaktian)
-    pemberitaan Firman yang benar (truly preached)
-    pelayanan sakramen (duly administered)
-    jabatan-jabatan suci pelayanan kristiani, utamanua ada imam untuk melayankan sakramen
-    hari-hari suci
-    bangunan dan bentuk lain yang disucikan
-    pemeliharaan displin yang saleh.
Namun sampai disini, masih juga belum cukup, karena bisa timbul kebohongan atau kemunafikan. Tanda yang ketiga masih dibutuhkan.
Tanda yang ketiga:
·         Kehidupan baru orang-orang percaya harus tercermin dalam Persekutuan yang nampak
·         Hidup Persekutuan harus tercermin dalam kehidupan sosial yakni menjadi saluran berkat bagi dunia sekitar melalui:
-    kesaksian
-    pelayanan
Semua tanda-tanda di atas dimiliki oleh semua gereja-gereja yang berbagai ragam itu. Namun perbedaan sangat real dan besar sekali. Hal ini terjadi karena ada penekanan yang berlebihan pada tanda-tanda tertentu sedang tanda-tanda tertentu yang lain mengalami distorsi. Tanda-tanda yang mendapat penekanan dan mengalami distorsi berbeda-beda pada masing-masing gereja. Jadi semua gereja itu merupakan satu spektrum dimana Katolik Roma berada di sebelah kanan sekali dan Quaker atau Moron berada di yang paling kiri. Dan gereja-gereja yang lain berada di antara dua ekstrim ini. Spektrum ini bukan hanya dalam bentuk dan organisasi gerejanya, tetapi juga dalam tata ibadah, pemahaman akan dan pelayanan sakramen, jabatan gerejani dan sebagainya.
Tiga kutub
Keseluruhan perbedaan yang beragam yang menyebabkan berdirinya berbagai macam gereja dipengaruhi oleh tiga kutub dengan intensitas yang berbeda-beda. Yang pertama, Protestantisme klasik, terutama dalam bentuk Lutheran, memberikan penilaian yang sangat tinggi pada sakramen, tetapi emfasis utama adalah pada iman. Karena iman tumbuh dari mendengar, maka mimbar mendominasi keseluruhan perangkat eklesiastik. Dia juga mengenal dan berbicara tentang pekerjaan Roh Kudus, namun melakukannya dengan hati-hati. Dia sedikit malu-malu akan entusiasme dan enggan memberi tempat yang luas bagi ‘pengalaman spiritual’.
Yang kedua, Katolisisme menghargai khotbah dan mengakui perlunya iman, namun dia menempatkan pusat kehidupan agamani lebih besar kepada sakramen daripada sermon. Dia mengakui pekerjaan nyata Roh Kudus menguduskan orang-orang percaya, namun memberikan tempat yang menentukan lebih besar kepada tatanan sakramental yang berkesinambungan dalam Gereja.
Yang ketiga, kutub ini, yang sulit untuk menemukan nama yang tepat, tetapi jika diizinkan, disebut disini, kutub Pentakostal, mengakui pentingnya dan menghargai khotbah dan sakramen, namun dinilai dari effeknya dalam pengalaman, dan tidak tertarik pada masalah kesinambungan historis.[1]


Pernyataan umum
Oleh karena itu, dewasa ini sangat sulit rasanya membuat pernyataan kristiani yang dapat diterima secara universal, karena setiap ada pernyataan, langsung akan ada yang menentang. Dan ironisnya, setiap pernyataan yang dibuat yang dinyatakan berdasarkan Alkitab, ditentang oleh yang lain, juga berdasarkan Alkitab. Demikian juga kiranya di kalangan sesama anggota jemaat HKBP, sudah mulai sulit membuat pernyataan yang dapat diaminkan oleh seluruh anggota HKBP. Namun disini akan disajikan beberapa pernyataan mengenai gereja, yang tentunya tidak akan luput dari penentangan dari berbagai pihak (termasuk mungkin dari anggota jemaat HKBP sendiri), tetapi diperlukan nanti dalam membicarakan keberadaan HKBP.
1.  Allah, dengan segala misteri-Nya, memilih suatu bangsa untuk menggenapi rencana-Nya untuk dunia ini. Dan Dia memilih satu bangsa yang sangat kecil, insignifikan, bahkan bangsa budak, menjadi umat pilihan-Nya, yaitu bangsa Israel, budak bangsa Mesir. Bukan bangsa Israel yang memilih Allah menjadi Tuhan-Nya, tetapi Allah yang memilih bangsa itu dan menguduskannya, bukan karena bangsa itu kudus, tetapi Allah yang menguduskannya.
2.  Sejarah Kerajaan Allah bukanlah sejarah perkembangan suatu ide atau faham (isme), tetapi cerita bagaimana Allah memperlakukan bangsa pilihan itu Keseluruhan Perjanjian Lama adalah cerita tentang pemanggilan satu komunitas konkrit, yang nampak, visible, menjadi bangsa-Nya dan cerita tentang perlakuan Allah terhadap bangsa pilihan tersebut. Dan cerita tentang perlakuan Allah terhadap individu, hanya sejauh menyangkut nasib atau dalam rangka pemenuhan tujuan bangsa itu.
3.  Pada kepenuhan waktunya (di hagogok ni tingkina), Yesus lahir di dunia, mati dan bangkit kembali dan naik ke sorga untuk menggenapi rencana Allah. Dia datang tidak untuk mengganti hukum melainkan menggenapi­nya. Karena ketidak setiaan bangsa Israel, maka cabang baru dicangkok­kan, menjadi Israel yang baru.
4.  Gereja didirikan oleh Tuhan dan oleh karena itu, gereja mendapatkan karakternya dari Tuhan, bukan dari orang-orang yang ada di dalamnya. “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku yang memilih kamu .......” Umat Allah adalah orang-orang yang dipanggil dan dikumpulkan oleh Allah dalam Gereja (ecclesia), dikuduskan lalu ditugaskan. Gereja itu kudus bukan karena orang-orang yang ada di dalamnya kudus, melainkan karena Allah menguduskannya. Simul justus et percator berlaku juga pada Gereja sama seperti pada orang Kristen.
5.  Apa yang Tuhan kita, Yesus Kristus, tinggalkan bukanlah buku, atau credo, atau suatu sistem pemikiran (ide), atau aturan-aturan hidup, melainkan satu komunitas yang nampak, visible. Dia menyerahkan keseluruhan pekerjaan penyelamatan kepada komunitas itu. Pengikut-pengikut ini (para murid) tidaklah diberi pendidikan atau training yang intensif, melainkan hidup bersama-sama dengan Dia untuk mengenal-Nya dengan baik. “Siapa mengenal Aku, mengenal Dia yang mengutus Aku”.
Dari pernyataan itu disimpulkan, antara lain, bahwa:
1.  gereja bukanlah semacam pelengkap dari kehidupan spiritual seseorang[2];
2.  tidak mungkin seseorang menerima Kristus dan meniadakan Gereja-Nya; (Calvin: Adalah tidak mungkin bagi seseorang mempunyai Allah sebagai Bapa, kecuali jika dia juga mempunyai Gereja sebagai ibunya.)[3]
3.  keanggotaan seseorang pada gereja bukanlah pilihannya, tetapi Tuhan, Yang empunya gereja itu, yang memanggilnya ke dalam kerajaan-Nya dan menempatkannya di gereja tersebut. (Susa ma ho manandaki tura-tura/Susah bagimu menendang ke galah ransang, Kisah 26:14b.)

III. Tano Batak pra-kelahiran HKBP
Sejarah Tertulis
Catatan tertulis sejarah Tano Batak sebelum kelahiran HKBP, dapat kita baca dalam Almanak HKBP di bawah judul Angka Taon Siingoton), sebagai berikut:
1824            :        Penginjil Ward dan Burton dari Gereja Baptis Inggris datang ke Silindung sewaktu Nusantara di bawah kuasa Inggeris dengan Raffles sebagai Wakil Gubernur berkedudukan di Bengkulu.
1825 – 1829 : Tuanku Rau dari Bonjol memerangi orang Batak, Islam masuk ke Tapanuli (Selatan).
1834            : Penginjil Munson dan Lyman dari Kongsi Zending Amerika (Boston) datang ke Tano Batak untuk memberitakan Injil namun mereka mati terbunuh di Lobu Pining, Tapanuli Utara.
1840            : Frans Junghun, ahli bahasa, ilmu bumi dan etnologi, datang ke Tano Batak untuk mempelajari bahasa, tanah dan bangso Batak. Dari buku-buku yang ditulisnya, orang di Eropah mulai mengetahui tentang orang Batak.
1849            : H. N. Van der Tuuk datang untuk mempelajari bahasa Batak.
1857            : Pdt. Van Asselt dari Ermelo, Belanda, memulai pekerjaan di Tapanuli Selatan.
1858            : Tulisan dengan aksara Batak yang dilihat oleh Dr. Fabri, Pimpinan RMG, di negeri Belanda, menggerakkan hatinya untuk menyuruh para pendeta yang menganggur (ngongong) di Banjarmasin karena pengejaran yang mengerikan terjadi di Kalimantan, untuk pergi ke Tano Batak.
1862            : Nommensen tiba di Barus[4]

Masyarakat Batak
Perioda ini dapat dikatakan sebagai perioda persiapan untuk masuknya Injil ke Tano Batak. Pertama datang penginjil dari Gereja Baptis Inggeris. Mereka gagal dan kembali. Pada waktu itu orang Batak hidup dalam keadaan terisolasi dari dunia luar. Daerah pemukiman orang Batak terletak di dataran tinggi, di celah-celah pegunungan Bukit Barisan, di Sumatera Utara, yang berbatasan dengan Aceh di sebelah Utara dan dengan Minangkabau di sebelah Selatan, di sebelah Barat dengan pesisir Samudera Hindia yang dihuni oleh Melayu Pesisir dan di sebelah Timur dengan dataran rendah di Sumatera Timur.[5] Batak Toba bermukim di Tapanuli Utara dan Dairi. Tempat pemukiman itu sangat terpencil dan terisolasi sehingga hampir tidak ada hubungan dengan dunia luar. Mereka hidup disitu beranak cucu dalam keadaan damai dan sentosa dan tanpa ada gangguan dari luar. Mereka hidup dalam splendid isolation.
Mereka hidup dalam suatu tatanan kemasyarakatan tanpa pemerintahan dalam pengertian modern. Setiap desa (huta) merupakan satu unit pemerintahan independen dalam bentuk musyawarah desa, yang dikenal dengan nama partungkoan. Semua warga laki-laki kampung itu adalah anggota partungkoan. Tidak ada kepala desa atau raja. Yang disebut raja dalam bahasa Batak adalah orang yang sudah dituakan dan dihormati di satu-satu kampung karena bijaksana dan berperilaku yang terpuji sehingga menjadi panutan dan pengayom dalam masyarakat; dia bukan kepala pemerintahan. Jadi setiap kampung merupakan satu republik desa. Beberapa desa membentuk semacam federasi yang menangani masalah yang menyangkut kepentingan bersama. Federasi kecil ini biasanya masih terdiri dari sabahagian marga. Selanjutnya, persatuan lebih besar menyangkut satu marga yang berada di tempat itu. Dan persatuan yang lebih besar lagi adalah yang diberi nama bius dan sudah mencakup beberapa marga. Sebagai gambaran akan luasnya satu-satu bius, pemerintah Hindia Belanda memakai bius itu sebagai salah satu kriteria untuk menentukan daerah satu kecamatan.
Memang orang Batak pada umumnya mengakui Raja Sisingamangaraja sebagai raja orang Batak, namun dia lebih merupakan raja spiritual yang dianggap sakti dari pada raja soverein (berdaulat) dalam pengertian tata-negara Barat karena dia tidak mempunyai aparat pemerintahan sama sekali kecuali tentara dan panglima-panglima perang (pribadi).
Dalam terminologi antropologi lama, orang Batak digolongkan sebagai bangsa primitif dan menganut agama animisme. Tetapi belakangan ini istilah primitif itu tidak lagi dipergunakan, para ahli sekarang ini cenderung memakai istilah masyarakat mitis karena mereka berada dalam alam pemikiran mitis.[6]
Pada waktu itu cita-cita kehidupan mereka adalah mempunyai keturunan yang banyak, hidup berkecukupan dan panjang umur (gabe, maduma, leleng mangolu). Dalam keadaan yang demikian, Ward dan Burton datang. Mereka tidak merasa memerlukan apa-apa dari penginjil itu, karena mereka sudah puas dengan keadaan mereka waktu itu, kecuali jika mereka bertambah besar jumlahnya dan pencapaian cita-cita mereka itu lebih terjamin. Padahal Ward dan Burton menawarkan kerajaan sorga dan untuk mendapatkan itu mereka harus seperti anak kecil. Maka mereka menolak penginjil tersebut.

Perang Bonjol dan akibatnya
Tetapi tiba-tiba mereka diperhadapkan dengan suatu kekuatan besar yang mengerikan, yaitu tentara Bonjol yang terorganisir dengan rapi di bawah pimpinan Tuanku Rau, datang dari luar menyerbu mereka. Kekuatan semacam itu belum pernah mereka lihat, bahkan, barangkali, tidak terbayangkan sebelumnya. Mereka dikalahkan. Tidak terhitung jumlah orang yang mati terbunuh. Harta benda dan ternak mereka dijarah, kampung-kampung dibakar, sawah dirusak. Banyak orang ditawan dan konon dijadikan budak. Yang bertahan hidup adalah mereka yang sempat melarikan diri dan bersembunyi di gua-gua dan di hutan belantara.
Penderitaan mereka itu semakin parah dengan terjadinya kelaparan hebat dan berjangkitnya penyakit menular segera sesudah kepergian tentara Bonjol itu. Korban kelaparan dan penyakit itu juga sangat banyak.
Penderitaan itu membuat mereka berada dalam keadaan trauma berat. Mereka kehilangan pegangan karena selain ditimpa langit runtuh juga tanah tempat mereka berpijak pun seolah-olah longsor. Mereka, dalam keadaan traumatis oleh penderitaan yang ditimbulkan oleh penyerbuan, kelaparan dan penyakit menular tersebut, tentunya mencari-cari jalan keluar. Mereka dalam kegelapan mencari-cari pembebasan dari penderitaan itu, mancari-cari keselamatan. Satu-satunya jalan yang mereka ketahui adalah pergi ke datu. Tetapi mereka tidak menemukan keselamatan bahkan keadaan mereka semakin sulit. Karena mereka sedemikian tergantung pada para datu sehingga akhirnya mereka menjadi jatuh ke dalam kekuasaan para datu itu (digosa-gosa). Mereka menuruti apa saja yang dikatakan oleh datu, mereka tidak berani menentangnya biarpun permintaan datu itu sudah jauh di atas kewajaran.[7]
Berbarengan dengan pencarian keselamatan itu, juga mereka mencari biang keladi yang menjadi sebab musabab musibah tersebut. Mereka teringat akan kedatangan Ward dan Burton. Dalam keadaan demikian itu, Munson dan Lyman datang dari Boston, Amerika Serikat di Tano Batak. Mereka mati terbunuh di Lobu Pining, Tapanuli Utara.[8]

Pembakuan sastra Batak
Lalu Junghun datang ke Tano Batak untuk mempelajari bahasa, tanah dan bangso Batak. Melalui tulisan-tulisannya mulailah orang di Eropah mengeta­hui adanya bangso Batak. Nederlands Bijbelgenootschap (Perkumpulan Alkitab Belanda) menugaskan seorang ahli bahasa, bernama Dr. H. Neubron­ner van der Tuuk mempelajari bahasa Batak dalam rangka menterjemahkan Alkitab ke hata (bahasa) Batak. Dia tiba di Barus pada tahun 1851, untuk mempelajari bahasa Batak dan mengumpulkan cerita-cerita rakyat (turi-turian). Akhirnya dia menerbit­kan Kamus Bahasa Batak (dalam aksara Batak),[9] menulis buku tata bahasa Batak[10] dan 3 jilid buku kumpulan turi-turian dalam logat Toba, Mandailing dan Dairi.[11] Ketiga jilid itu ditulis dalam aksara Batak. Buku-buku ini terbit sekitar tahun 1860. Di samping itu, dia mulai menerjemahkan beberapa bagian dari Alkitab ke dalam bahasa Batak Toba (Kitab Keluaran (1859), Kitab Kejadian (1859), Kitab Injil Yohannes (1859), Kitab Injil Lukas (1859), Kitab Injil Markus (1867), Kitab Injil Mateus (1867), Kisah Para Rasul (1867).
Van der Tuuk, yang dinamai oleh orang Batak ‘Pandortuk’, sedang dia sendiri kadangkala memperkenalkan dirinya sebagai ‘Raja Tuk’ (yang berkecukupan), sedang nama julukannya ‘Si Balga Igung’ (Si Hidung Besar), adalah seorang ilmuwan yang brillian. Yang menarik mengenai kedatangannya ke Barus adalah kenyataan bahwa dia ditugaskan oleh Nederlands Bijbelgenootschap, padahal dia sendiri adalah seorang yang tidak percaya pada Tuhan (ateis).[12] Namun kenyataan tentang kepribadian van der Tuuk ini menjadi keuntungan yang sangat besar bagi orang Batak, karena dia bekerja sebagai seorang ilmuwan murni tanpa dipengaruhi prasangka-prasangka pribadi. Dia mempelajari secara ilmiah bahasa dan sastra Batak secara netral, mengumpulkan sastra Batak apa adanya. Dengan demikian dia membakukan bahasa Batak dan tata bahasanya serta aksaranya apa adanya sehingga keasliannya dipertahankan dan kita dapat mewarisinya secara utuh.

Peristiwa-peristiwa kebetulan?
Dalam pada itu ada terjadi pemberontakan (menurut versi Belanda) di Kalimantan dimana beberapa orang Penginjil RMG mati terbunuh[13] dan sebahagian lagi mengungsi dan menganggur (ngongong). Kebetulan sekali Dr. Fabri, Ketua RMG pergi ke Amsterdam dan melihat buku-buku Pandortuk maka tergerak hatinya untuk menyuruh para Penginjil itu pergi ke Tano Batak. Maka terjadilah rapat antara Penginjil Belanda dan Penginjil RMG di Sipirok pada tanggal 7 Oktober 1861. Dan lahirlah Gereja Batak yang dikemudian hari resmi bernama Huria Kristen Batak Protestant.
Pada masa itu, penjajah Belanda yang waktu itu dikenal di Tano Batak sebagai Gumponi (Kompeni) telah menegakkan kekuasaannya di pesisir Barat Tapanuli dan di Tapanuli Selatan termasuk Sipirok. Begitu juga di Sumatera Timur, Sumatera Utara. Namun tidak berniat untuk melebarkan kekuasaanya ke pedalaman, ke Tano Batak Toba. Juga melarang penginjil masuk kesana.[14]
Ada dua peristiwa yang menimbulkan pertanyaan besar. Yang pertama, menjadi tanda tanya mengapa pihak Bonjol tidak mengislamkan orang Batak. Kedatangan atau penyerbuan Tuanku Rau dengan pasukannya ternyata tidak mengislamkan Batak Toba, karena mereka pulang begitu saja meninggalkan Tano Batak Toba setelah berhasil membunuh Raja Sisingamangaraja sambil membakar desa-desa yang mereka lalui, menjarah harta benda serta membawa orang-orang yang dapat ditawan. Berbeda dengan di Tapanuli Selatan dimana terjadi pengislaman besar-besaran, sedang di Tano Batak Toba tidak dilakukan.
Yang kedua, juga menjadi tanda tanya mengapa penjajah kolonial Belanda (Gumponi) tidak berniat (ogah) memperluas kekuasaannya ke Tano Batak. Padahal mereka telah menguasai pantai Barat dan Timur Sumatera Utara dan Sumatera Barat dan sedang memperkokoh kekuasaannya di Aceh.
Mengapa Tuanku Rau tidak merasa perlu mengislamkan Batak Toba? Mengapa Belanda ogah menjajah Tano Batak Toba? Apakah karena puak Toba itu terlalu kecil, terlalu insignifikan, sehingga Tuanku Rau tidak merasa perlu mengislamkannya, not worth the effort. Apakah Belanda berpendapat demikian juga, makanya Belanda tidak merasa perlu menguasainya. Can’t be bothered; not worth it. Inilah satu bangso yang tidak masuk hitungan, sangat insignifikan, penjajah saja ogah menjajahnya!

Rencana Tuhan
Tetapi ternyata bangso yang tidak masuk hitungan itu diperhatikan oleh Tuhan. Sebagai orang percaya, sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa semua peristiwa itu terjadi dengan sepengetahuan Tuhan dan merupakan bagian dari rancangan-Nya. Rupanya semua peristiwa itu terjadi bukan secara kebetulan tetapi terjadi sejalan dengan rancangan Tuhan untuk mengangkat bangso itu menjadi bangso-Nya (gabe bangso-Na). Karena dengan melihat ke belakang kembali, peristiwa-peristiwa itu rupanya dipakai oleh Tuhan sebagai conditioning process untuk mempersiapkan bangso itu menerima Injil. Karena pada waktunya yang tepat (tingki halehetanna/hagogok ni tingkina) sampailah Injil ke Tano Batak dan bangso itu sendiri sudah terbuka untuk menerimanya. Dan lahirlah Gereja Batak dan bangso Batak yang tidak masuk hitungan itu, yang bukan bangso dahulu, menjadi bangso Tuhan (na so bangso hamu najolo, nuaeng gabe bangso ni Debata, once you were no people, now you are God’s people).


[1] Cf. Lesslie Newbigin: The Household of God, SCM Press (1957), hal. 30
[2] Op. cit. Lesslie Newbigin, hal. 29.
[3] Cf. Stephen Neill: Christian Faith To-day, Pelican Books (1955) hal. 171
[4] J. T. Nommensen: Ompu i DR. Ingwer Ludwig Nommensen (diterjemahkan oleh Ny. E. I. D. Nababan-Tobing) (1974), hal. 37
[5] Propinsi Sumatera Utara sekarang terdiri dari dua Keresidenan menurut pemerintahan Hindia Belanda dahulu, yaitu Keresidenan Tapanuli di sebelah Barat dan Keresidenan Sumatera Timur di sebelah Timur.
[6] Untuk mengetahui lebih banyak tentang alam pemikiran mitis, baca van Peursen: Strategi Kebudayaan.
[7] Dalam keadaan beginilah, sewaktu Nommensen tiba di Silindung, datu disitu sedang memerintahkan agar anak laki-laki, keturunan Guru Mangaloksa dipersembahkan kepada rohnya (sumangot) yang konon bersemayam di puncak Dolok Siatasbarita. Padahal pemujaan dengan mempersembahkan manusia tidak pernah terjadi sebelumnya. Op. cit. J. T. Nommensen.
[8] Kematian kedua Penginjil ini masih diliputi kontroversi, siapa sebenarnya yang membunuh, masih belum terungkap dengan tuntas. Sejak dahulu selalu dikatakan bahwa Raja Panggalamei yang membunuh, namun sesudah penjajahan Belanda berakhir, masalah ini mulai ditinjau kembali dan timbul kecurigaan bahwa Belanda sendirilah yang menyuruh suruhannya untuk membunuh mereka dalam rangka menghalangi Penginjil masuk ke Tano Batak sejalan dengan politik penjajahan mereka.
[9] Bataksch-Nederduitsch Woordenboek, Frederik Muller (Amsterdam), 1861
[10] Tobasche Spraakkunst, Amsterdam, 1867
[11] Bataksch Leesboek, Eerste stuk: Stukken in het Tobasch, Amsterdam, 1860, Tweede stuk: Stukken in het Mandailingsch, Amsterdam, 1861, Derde stuk: Stukken in het Dairisch, Amsterdam, 1861.
[12] W. A. Braasem: Proza en Poezie om het Heilige Meer der Bataks (1951), hal. 23: Qua persoon was Van der Tuuk, die eigenlijk niet veel anders dan een atheist was (“Ach, mijnheer Van der Tuuk is zo onbijbels!” kon zijn grote vakgenoot Matthes, de bijbelvertaler voor Zuid-Celebes, zo treurig zeggen).
[13] 3 pendeta bersama isteri mereka dan Pdt. Rott. Op. cit. J. T. Nommensen, hal. 36.
[14] Op. cit. J. T. Nommensen, hal. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...