TUHAN AJARLAH AKU BERDOA
Pendahuluan
Kita
semua pernah berdoa. Tidak ada seorang pun dari antara kita yang susah diminta
untuk berdoa di dalam satu pertemuan yang diselenggarakan oleh Gereja kita.
Namun satu hal yang pasti ialah: tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mengatakan
bahwa ia pintar berdoa. Walaupun ia dapat mengatakan hal itu dari lubuk hatinya
yang paling dalam, tetapi pandangan Alkitab bertentangan dengan apa yang
dikatakannya. Paulus berkata dalam surat Roma, “Kita tidak tahu bagaimana
seharusnya berdoa” Rom 8:26. Paulus memakai kata kita. Itu berarti ia pun turut
serta dalam kelompok yang tidak tahu bagaimana seharusnya berdoa. Oleh karena
itu, judul dari sesi ini sangat tepat. Tuhan ajarlah aku berdoa.
Rasul
Yakobus mengatakan bahwa doa orang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat
besar kuasanya Yak 5:16. Sebagai seorang yang melayani Tuhan, sebagai seorang
murid yang menggantungkan diri pada Tuhan dalam pelayanannya, maka kita sesungguhnya
adalah seorang pendoa yang tangguh. Kita akan belajar tentang doa dalam sesi
ini. Sebagai seorang yang beriman, dari Gereja Protestant, maka kita mengenal
doa itu adalah sebuah bentuk komunikasi dengan Tuhan. Dalam dan melalui doa,
kita mengutarakan isi hati kita kepada Tuhan. Tatkala kita mengutarakan isi
hati kita itu dalam doa, maka orang mengatakan kita sedang engekspresikan diri
kita kepada Allah melalui doa. Itulah bentuk doa yang kita kenal dan biasa
dilakukan oleh orang Protestant. Bagi orang beragama lain, seperti Yahudi,
Islam dan agama lainnya, termasuk Katolik, mereka mengenal sisi lain dari
sebuah doa. Orang menyebutnya dengan doa empaty. Perbedaan antara doa ekspresi
dan empati ialah: yang pertama, ada keinginan yang akan diutarakan kepada Allah.
Itu berarti hati lebih dahulu, baru kata-kata mengikut di belakang. Sementara
yang kedua bentuknya adalah sebaliknya, kata lebih dahulu, baru kemudian hati.
Ekspresi dan Empati
Tatkala
seseorang menaikkan doa permohonan, ia mengungkapkan apa isi hatinya,
pengharapannya kepada Allah yang dia puja dan dia sembah. Pengharapannya itu
adalah sesuatu yang lebih besar dari apa yang dia alami tatkala ia berdoa. Dari
sudut pandang filosofis, pengharapan yang lebih besar dari apa yang dialami
sekarang ini disebut namanya transendensi manusia. Seorang teolog dan filosof
Yahudi yang namanya Abraham J Heschel mengatakan demikian dalam bukunya Between God and Man. Allah adalah Dia
yang transendent bagi manusia. Jadi tatkala seseorang berdoa, pada hakekatnya
ia masuk ke dalam satu keadaan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Tatkala
kita berdoa, sebuah kesadaran bahwa kita memasuki aras yang transendent –
keadaan yang melampaui diri sendiri – menjadi tempat berpijak bagi diri
sendiri. Tatkala kita berdoa, kita berhadapan dengan Allah yang transendent.
Tatkala
kita berdoa, yang berbicara kepada Allah bukanlah mulut kita yang mengucapkan
kata-kata, tetapi hati kita yang berbicara kepada Allah. Itulah sebabnya Roh
Kudus harus menolong kita di dalam berdoa, sebab jika hanya kata-kata saja yang
keluar dari mulut kita, maka kata-kata itu tidak sampai ke aras transendent.
John Bunyan seorang hamba Tuhan yang besar dari Inggris mengatakan: “lebih baik
engkau datang kepada Allah tanpa kata-kata, tetapi dengan hati, ketimbang dengan
kata-kata tetapi tanpa hati”. Hati yang berbicara kepada Allah tanpa kata-kata
itulah sebuah doa empaty. Jalan mendapatkannya ialah: kata-kata yang
direnungkan di dalam hati, lalu kita tertangkap dengan sebuah kata dalam doa
itu. Abraham Heschel mengatakan: “sebuah pemikiran menjadi keinginan, keinginan
jadi kerinduan, kerinduan jadi hasrat, hasrat jadi penantian, penantian jadi
sebuah penglihatan. Langkah-langkah ini menjadi wujud dari sikap hati orang
yang berdoa”. Ada orang yang mengatakan lebih baik berdoa sejenak, tetapi
dengan doa yang bermakna, ketimbang doa panjang-panjang tetapi tanpa makna. Doa
dengan hati. Orang Batak di zaman dahulu mengatakan tarikan nafas panjang bisa
menjadi doa – hoi sada pe boi do gabe
tangiang.
Marilah
kita buat sebuah contoh. Siapakah orang yang paling pas mengutarakan deritanya
dalam doa? Menurut para ahli, orang itu ialah orang yang sudah sampai pada
level tidak lagi dapat mengatakan deritanya dengan kata-kata. Itulah orang yang
kita katakan di atas marhoi sada. Menurut
para ahli itu, orang tersebut baru di level satu. Orang yang berada di level
dua ialah: orang yang tidak dapat mengatakan sama sekali deritanya di hadapan
Allah. Namun ia datang tanpa kata-kata. Nabi Yesaya mengungkapkan hal ini; “Sebab beginilah firman Yang
Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Maha Kudus nama-Nya: "Aku bersemayam
di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk
dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan
untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk” Yes 57:15. Level yang
tertinggi yakni di level tiga ialah orang yang mengubah derita yang dialaminya
menjadi nyanyian atau tarian, sebagaimana diakui oleh pemazmur. “Aku yang meratap telah Kauubah menjadi
orang yang menari-nari...” Mzm 30:12. Orang Batak mengatakan: ndada tartangishon, inang na lambok malilu,
tumagonan ma tinortorhon o, among e”. Ungkapan seperti itu di hadirat Allah
merupakan sebuah doa empati yang punya makna. Jika kita pakai apa yang
dikatakan Abraham J Heschel di atas, itu berarti sudah sampai kepada ranah
penglihatan.
Tatkala saudara melihat sesuatu yang ditunjukkan Allah,
saudara menjadi bagian dari apa yang terlihat itu. Untuk dapat memahami maksud
dari pernyataan ini, kita buat sebuah contoh. Ada seorang balerina dari Uni
Soviet menarikan sebuah tarian ballet yang sungguh sangat mengagumkan penonton.
Hadirin membuat standing applause untuk penampilannya. Setelah pertunjukan
selesai, seorang wartawan mewawancarai sang balerina dan mengajukan pertanyaan:
“apa arti dari tarian tadi”? Tanya sang wartawan. Balerina itu menjawab: “Apa
artinya? Jika aku tahu artinya, aku tidak akan menarikannya”. Balerina itu
tidak tahu apa arti dari tariannya, tetapi ia menarikannya. Sesuatu yang lebih
besar dari dirinya telah ia tarikan. Ia menjadi bagian dari tari itu, tetapi ia
tidak mampu menerangkan apa arti dari tari itu sendiri. Pola seperti itu dapat
kita miliki melalui doa empati.
Tahu Siapa Dia
Ada
satu syarat yang mutlak harus dipenuhi tatkala kita berdoa, yakni: kita harus
tahu siapa yang kita hadapi. Kata tahu di sini maknanya kita mengerti! Tatkala
kita berdoa, ada sebuah kesadaran di lubuk hati kita yang paling dalam, kita
tahu siapa yang kita hadapi. Kita tahu bahwa kita berhadapan dengan Bapa bagi
kita di dalam Yesus Kristus Tuhan kita. Masalah yang perlu dibenahi ialah:
siapa itu Bapa bagi kita! Tahukah saudara bahwa ia adalah Bapa yang
sesungguhnya bagi saudara? Tahukah saudara apa artinya jika kita memanggil Dia
Bapa? Pemahaman ini bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari dalam sebuah kelas
khusus. Pemahaman ini didapatkan di dalam perjalanan hidup yang disertai Allah
sebagai Bapa bagi kita. Roh Kudus yang membukakan kepada kita pemahaman ini.
Jika kita tidak paham siapa yang kita hadapi tatkala kita berdoa, maka ketidakadaan
pemahaman itu akan membuat kwalitas doa kita pun setara dengan pemahaman kita. Jika saudara tahu bahwa Dia
yang saudara hadapi di dalam doa adalah satu pribadi yang jauh lebih besar dari
diri saudara sendiri, jauh melampaui apa yang dapat kita kenal dari pengalaman
kita di dunia ini, jauh lebih dari segala pengalaman orang di sepanjang zaman.
Ia yang kita hadapi itu mau menyapa kita sebagai anak, bukankah kwalitas doa kita
pun jauh lebih besar dari apa yang kita harapkan dan pikirkan? Paulus mengenal
Allah seperti itu, maka dia mengatakan: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh
lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata
dari kuasa yang bekerja di dalam kita Ef 3:20.
Tidak
cukup kita tahu bahwa Ia yang kita hadapai itu adalah Bapa. Kita juga harus
tahu siapa Bapa yang kita hadapi itu. Tatkala kita berdoa, kita tidak
berhadapan dengan suatu kuasa yang sangat besar, jauh lebih besar dari pada
yang dapat kita bayangkan. Jika demikian adanya, maka Dia yang kita hadapi itu
adalah sesuatu yang kita tidak kenal. Tatkala kita berdoa, kita harus sadar
bahwa yang kita hadapi itu adalah pribadi yang ada sama seperti saya ada. Jika
saya tidak dapat memahami bahwa Allah adalah pribadi yang ada sama seperti saya
ada, maka pada hakekatnya saya tidak berdoa sebagaimana yang diajarkan Alkitab
kepada kita. Orang-orang penyembah berhala berdoa kepada ilahnya dengan pola
pemahaman ilah itu adalah satu kekuatan yang sangat besar. Dia dapat memberkati
dan memberikan kepada saya sesuatu yang saya minta, dimana saya tidak dapat
memenuhinya. Kita tidak berdoa seperti itu.
Kita
di zaman modern ini memahami makna kata bapa sebagai sesuatu yang bersifat
pribadi. Bapa adalah orang tua kandung kita. Jika kita sapa orang lain sebagai
bapa, itu adalah sebuah sopan santun belaka. Orang-orang kudus di zaman Alkitab
memiliki pemahaman berbeda dengan kita sekarang ini. Kata bapa dibut
pertama-tama kepada pemimpin kelompok mereka. Sang bapa itu yang melindungi
keberadaan kelompok di mana kita berada. Apa yang terjadi terhadap bapa terjadi
juga kepada anak-anaknya. Jika bapa itu dihormati orang, maka seluruh
kelompoknya menerima kehormatan tersebut. Demikian juga sebaliknya. Jika saya
mengakui seseorang itu adalah bapa bagi saya, itu berarti saya menjadi bagian
dari orang yang ada di bawah asuhannya. Saya adalah anaknya. Jika saya tidak
mau mengakui bahwa ia adalah bapa bagi saya, itu berarti saya tidak berada di
dalam pengaruh orang itu lagi. Relasi seperti itu lebih terasa dalam istilah
bapa dalam konteks zaman purba.
Allah
itu adalah Bapa bagi kita. Ia yang membuat kita ada di dalam kelompoknya. Jadi,
tatkala kita menyerukan kata Bapa kepada Dia, itu berarti kita ada dalam sekumpulan
orang yang ada di dalam kuasanya. Kita tidak pernah sendirian tatkala kita
menyerukan Allah itu Bapa. Doa pribadi jadi bermakna jika doa itu dijadikan
menjadi doa kolektif. Itulah sebabnya kita perlu berdoa bersama. Doa seperti
itu sangat kurang dialami oleh orang Protestant. Orang Katolik dan orang
Pentakosta menikmati makna doa seperti ini. Kita mengalami doa kolektif hanya
dalam doa syafaat dalam kebaktian. Itu pun kita cepat bosan di dalam
mengikutinya.
Kita
berhadapan dengan satu pribadi yang ada sama seperti saya ada. Ia saya sebut
dengan sebutan ‘abba, ya bapa’. Jika orang Yahudi menyebut abba, makna dari
kata itu sendiri pada hakekatnya ialah ‘papa’. Kita hanya menyebut papa pada
satu orang, yaitu dia yang oleh karenanya, kita menjadi ada. Dengan Dia kita
sekarang berhadapan dalam doa. Jika kita menyebut Allah itu ‘papa’, itu berarti
Dia yang menyediakan segala sesuatu yang perlu bagi kita. Sama seperti papa di
dunia ini menyediakan segala sesuatu, demikianlah Allah yang kita sapa sebagai
‘papa’ menyediakan segala sesuatu. Tatkala kita sadar akan hal itu, bukankah
pada hakekatnya tidak perlu lagi kata-kata di hadapan dia yang adalah abba bagi
kita? Memahami Allah sebagai abba, menjadikan doa itu sebagai sesuatu yang
bersifat empati.
Jika
kita berdoa, pada hakekatnya kita tidak pernah sendirian datang kepada Tuhan.
Dari sudut pandang Tuhan, tatkala kita berdoa, pada moment yang sama, ada
ribuan, mungkin jutaan orang yang datang kepada Allah dalam doa. Topik ini
adalah sesuatu yang baru dalam pengalaman doa kita. Satu hal yang harus kita
sadari ialah: kita adalah bagian dari satu persekutuan Kristen, yang berasal
dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa. Pola pikir ini disebut orang dengan
istilah pola pikir yang holistik. Paulus
menggambarkannya dengan istilah tubuh Kristus. Kita pada hakekatnya berjumpa
dengan Allah dalam persekutuan orang-orang beriman yang datang kepada mereka di
dalam Yesus Kristus. Nyanyian Buku Unde HKBP nomor 545 menyuarakannya: na saor do hita be dibaen Tuhantai. Ibana do
tumobus au, rap dohot dongan i. Jika kita tidak pernah datang sendirian
di hadapan Allah yang adalah bapa bagi
kita, maka kita pun datang bukan hanya dengan masalah kita semata-mata.
Dalam
konteks melayani melalui doa, maka marilah kita belajar dari Imam Besar
Perjanjian Lama. Dalam Kitab Keluaran pasal 28-29 Musa berbicara tentang
pakaian Imam Besar. Kita tidak akan membahas seluruh pakaian imam besar itu.
Salah satu dari pakaian yang dikenakan kepada imam besar ialah sepotong kain
empat persegi. Di keempat ujungnya dibuatkan tali pengikat. Kain itu diikatkan
dengan ketat ke dada imam besar. Kepada kain empat persegi itu diikatkan dua
belas batu permata. Di tiap batu permata itu diukirkan nama suku Israel. Apa
artinya itu bagi kita? Kain empat persegi itu berbicara tentang hati kita. Di
hati itu ditanamkan nama dari orang yang kita layani. Nama itu sangat berharga
di mata kita. Ingat, batu permata yang ditaruh di sana. Sebuah pertanyaan perlu
diajukan kepada kita. Berhargakah nama dari orang yang saudara layani? Nama itu
diukirkan di patu permata itu sehingga tidak akan dapat dihapus oleh siapa pun.
Itulah tugas seorang imam besar. Itulah yang dilakukan Tuhan Yesus bagi kita.
Itu juga
yang kita lakukan dalam skala kecil bagi orang yang kita layani. Ada satu lagi
pakaian imam besar dalam bentuk yang mirip dengan tutup dada itu. Ada dua
potong kain di taruh di kedua bahu imam besar itu. Sama seperti tutup dada,
ditaruh sebuah batu permata di tiap bahu itu. Enam nama ditorehkan di batu yang
satu, enam lagi di batu yang lain. Itu berarti setiap nama itu didukung imam
besar di hadapan Allah. Itu juga yang dilakukan Yesus bagi kita, itu juga yang
kita lakukan kepada orang yang kita layani. Ingatlah apa yang disuaraka Allah
kepada bangsa Israel melalui nabi Yesaya, “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih
rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu
terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu” Yes 46:4. Kita membawa
nama itu di hadapan Allah dalam doa. Kain itu tidak pernah tanggal dari dada
dan bahu imam besar. Tatkala kita berdoa, nama itu menyertai kita. Kita tidak
hanya membawa orang itu dalam doa ekspresi, tetapi juga dalam doa empati kita.
Marilah
kita belajar dari orang kudus dalam Alkitab, tentang bagaimana mereka berdoa di
hadapan Allah. Kita mulai dari Nehemia. Diceriterakan dalam pasal 2 kitab
Nehemia, ia berdoa. Ia menaikkan sebuah doa, pada waktu raja sedang mengajukan
sebuah pertanyaan kepadanya. Raja bertanya, Nehemia harus memberi jawaban. Di
antara waktu yang sangat sedikit itu, Nehemia berdoa kepada Allah semesta
langit. Tidak ada kata-kata yang dia ucapkan, hanya hati yang naik ke hadirat
Allah. Di waktu kesesakan datang, dimana tidak ada waktu untuk berdoa dengan
kata-kata, kita dapat menaikkan doa sama seperti yang dinaikkan Nehemia. Untuk
mengerti apa yang dinaikkan Nehemia dalam doa tanpa kata-kata itu, maka baiklah
kita melihat doa yang diutarakannya dengan kata-kata dalam pasal satu. Doa
dalam pasal satu itu menjadi doa yang senantiasa dinaikkannya siang dan malam.
Doa ekspresi itu pada satu saat menjadi doa empati di hadapan Allah. Hasil dari
doa diamnya Nehemia itu ialah: Raja memerintahkan Nehemia menjadi bupati di
Yudea dan diberi tugas untuk membangun tembok Yerusalem. Itulah yang
dipergumulkan Nehemia selama ini. Allah memberi kesempatan kepadanya untuk
mewujudkannya.
Contoh Doa Dalam Alkitab
Contoh
yang kedua tentang sebuah permohonan di hadapan Allah. Kita membuat perempuan
Kanaan yang meminta agar Tuhan Yesus menyembuhkan anak perempuannya yang sedang
sakit/ kisahnya dituturkan dalam Injil Mat 15:21-28. Dalam dialog antara Yesus
dengan perempuan Kanaan ini ada sesuatu yang sangat penting bagi kita, tatkala
kita berdoa di hadapan Allah. Perempuan itu tidak menyalahkan Yesus, tatkala ia
dikategorikan dengan anjing. Memang orang Yahudi mempersamakan orang bukan
Yahudi sebagai orang yang tidak bersih, atau dengan perkataan lain najis.
Binatang naajis yang suka berkeliaran pada waktu itu adalah anjing, sehingga
orang Yahudi suka mempersamakan orang non Yahudi dengan anjing. Maksudnya
sangat jelas, orang itu bukan bagian dari persekutuan umat Allah. Tatkala Yesus
mengatakan bahwa tidak baik mengambil roti dari seorang anak dan memberikannya
kepada anjing, perempuan itu membenarkan apa yang dikatakan Tuhan Yesus. Tetapi
setelah itu ia memenuhi mulutnya dengan sebuah argumentasi. Ia mengatakan bahwa
sekalipun anjing itu tidak kebagian roti yang diperuntukkan bagi anak, tetapi
bukan berarti anjing itu tidak dapat sama sekali dari roti tersebut. Setiap
roti yang dimakan anak-anak akan ada remah-remahnya. Kesadaran inilah yang
mendorong perempuan tersebut meminta kepada Tuhan Yesus. Aku tidak minta
rotinya, seolah-olah ia mengatakan demikian. Aku memang tidak berhak untuk itu.
Tetapi setiap roti ada remah-remahnya. Itu untuk aku. Pemikiran seperti itu
yang ada di dalam benak perempuan Kanaan tadi . Yesus memuji perempuan itu
sebagai orang yang punya iman yang besar. Latihlah berdoa seperti itu di
hadapan Allah.
Contoh
yang ketiga dari pemazmur Daud. Dalam Mzm 70:6 ia berkata: “Tetapi aku ini
sengsara dan miskin ya Allah, segeralah datang! Engkaulah yang menolong aku dan
meluputkan aku; ya TUHAN, janganlah lambat datang”! Daud mengatakan perkataan
seperti itu, tatkala ia sedang mempersembahkan persembahan kepada Tuhan. Doa
ini dipakai oleh orang Yahudi sebagai doa untuk minta pertolongan kepada Allah.
Tatkala mereka mengetahui bahwa Daud yang menaikkan doa ini, mereka ingin
mengadakan empati dengan Daud yang berdoa seperti ini. Tatkala mereka mengalami
pengalaman dipersatukan dengan orang-orang yang mengalami kesesakan seperti
Daud, maka mereka berharap akan menerima pelepasan sama seperti Daud dilepaskan
Allah dari segala pergumulan hidupnya.
Saluran Kuasa Ilahi
Jika
kita bicara tentang pelayanan, maka pada umumnya kita akan membicarakan metode,
atau cara baru di dalam peningkatan pelayanan kita. Kita akan membicarakan
bagaimana caranya supaya ibadah yang kita laksanakan itu disukai orang. Kita
akan meniru apa yang dikerjakan orang lain. Dengan sebuah asumsi, itulah yang
dikehendaki orang. Dengan disukainya acara itu, kita berharap orang akan
mengalami perubahan melalui acara tersebut. Di sisi lain, Allah tidak tertarik
dengan acara, melainkan Ia tertarik dengan orang! Tuhan menyatakan kepada Nabi
Yehezkiel: “Aku mencari
di tengah-tengah mereka seorang yang hendak mendirikan tembok atau yang
mempertahankan negeri itu di hadapan-Ku, supaya jangan Kumusnahkan, tetapi Aku
tidak menemuinya” Yeh 22:30. Tuhan tidak mencari cara-cara baru,
melainakn orang yang mempertahankan kelompok itu di hadapan Allah! Itu berarti
mempertahankan kelompok itu melalui doa. Demikian juga firman Allah dalam I Taw
16:9 “Karena mata TUHAN
menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang
bersungguh hati terhadap Dia. Dalam hal ini engkau telah berlaku bodoh, oleh
sebab itu mulai sekarang ini engkau akan mengalami peperangan." Allah
mencari satu orang yang bersungguh hati memperjuangkan kelompok itu di dalam
doa.
Paulus
dan Silas adalah orang yang tahu persis apa artinya sebuah doa. Hal itu
dibuktikan dalam peristiwa yang mereka alami di penjara kota Filipi. Dengan
punggung masih berdarah karena dicambuk serdadu Roma, mereka berdoa Kis
16:23-25. Paulus dan Silas, tatkala datang ke kota Tesalonika, orang Yahudi
di kota itu mengatakan: "Orang-orang
yang mengacaukan seluruh dunia telah datang juga ke mari” Kis 17:6. Kata
mengacaukan dalam bahasa Inggris disebut dengan kata: “Turn upside down”. Kata
itu dapat diterjemahkan dengan: menjungkirbalikkan dunia. Orang-orang yang
memahami makna doa, merekalah yang dptmenjungkirbalikkan dunia yang ada di
hadapan mereka.
Orang Besar Dalam Doa
Martin
Luther adalah orang yang besar dalam doa. Ia pernah berkata: “Jikalau saya
gagal mengasingkan waktu selama dua jam di dalam doa setiap pagi, maka iblis
mendapat kemenangan sepanjang hari. sekali pun saya mempunyai banyak sekali
pekerjaan, namun saya tidak memulainya tanpa lebih dulu mengasingkan waktu tiga
jam setiap hari di dalam doa.” Dari Martin Luther kita warisi ungkapan ini “dihorhon tangiang do satonga ni ulaon”.
George
Muller diberitakan orang pernah berlayar dengan kapal uap di sungai Missisippi.
Kapal tidak dapat berjalan karena kabut yang sangat tebal. Ia mendatangi
ruangan kapten kapal untuk bertanya, mengapa kapal itu tidak berjalan.
Kepadanya diberitahukan alasannya ialah: kabut tebal yang menghalangi
pemandangan. Sang kapten menambahkan bahwa keadaan seperti ini bisa berlangsung
beberapa hari. karena itu kita harus bersiap untuk menghadapi keadaan tersebut.
Muller berkata kepada kapten kapal itu: “Besok aku harus berkhotbah di kota
anu. Aku belum pernah terlambat melakukan tugasku selama ini. Oleh karena itu,
marilah kita berdoa agar Tuhan turut campur tangan. Lalu mereka pun berdoa.
Setelah Muller selesai berdoa, kapten kapal itu ingin juga berdoa. Lalu Muller
berkata: tak usah! Kapten kapal itu mengatakan mengapa ia tidak harus berdoa.
Pertama: kau tidak percaya bahwa Allah dapat membuat kabut itu sirna dalam
sekejab. Kedua, hal itu tidak perlu, sebab kabut itu sudah sirna. Jika engkau
tidak percaya. Buka jendelamu dan lihatlah keluar. Kapten itu melakukan apa
yang diminta Muller. Ia melihat kabut itu sudah sirna. Sejak itu kapten kapal
itu bertobat. Dari dia kita mengetahui kisah tersebut.
John
Welch, seorang pendeta Skotlandia yang saleh dan ternama, merasa hatinya sudah
berlalu dengan sia-sia jika ia dk mengasingkan waktunya delapan atau sepuluh
jam untuk berdoa. Mulailah nikmati waktu doa. Sebab doa mengubah hati kita,
juga hari orang yang kita doakan. Jangan pernah bersandar kepada cara atau
metode, doa yang mengubah dunia. Renungkanlah syair dari nyanyian ini: “Di doa ibuku, namaku disebut...”
Seringlah
ini kukenang di masa yang berat,
di kala
hidup mendesak dan nyaris ku sesat;
melintas
gambar ibuku, sewaktu bertelut,
kembali
sayup ku dengar, namaku disebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar