S A H A B A T
Ada pepatah orang Inggris yang mengatakan: “A friend in
need is a friend indeed”. Sahabat dalam duka pada hakekatnya, dialah sahabat
yang sesungguhnya. Seorang teman mengalami dukacita, tatkala orang tuanya
dipanggil Tuhan dari dunia yang fana ini. Kepadaku hal itu diberitahukan. Lalu
dengan bergegas, aku pun mendatangi rumah duka. Lalu seperti biasanya, kita
duduk di kursi yang telah disediakan. Aku membawa buku bacaan, sehingga dapat
melewatkan waktu, tanpa harus gelisah dibuatnya. Aku duduk di ruangan itu
sambil sesekali menengok teman yang sedang berduka. Aku tidak melakukan apa pun
di sana, selain duduk dan menyertai dia di dalam kedukaannya. Waktupun berlalu,
ternyata aku sudah menghabiskan waktu di sana selama lima jam. Setelah itu aku
pun permisi kepada sahabatku itu, mohon pamit pulang ke rumah.
Almarhum meninggal pukul empat pagi hari. aku datang ke
rumah duka pukul delapan pagi. Karena almarhum akan dikuburkan pada esok hari,
maka aku pun datang lagi pada malam harinya. Seperti biasa, aku hanya duduk dan
menyertai dia dalam kedukaannya. Aku pulang dari rumah duka pada pukul sebelas
malam. Besok harinya aku datang lagi jam sepuluh pagi. Di pagi hari itu
dilaksanakan upacara adat sebagaimana biasanya dilaksanakan suku mereka. Aku melihat
semua acara itu dengan rasa empati terhadap temanku yang berduka. Sepatah kata
pun tidak ada keluar dari mulutku. Tetapi hatiku turut merasakan apa yang dia
alami.
Aku menemani sahabatku itu hingga orang tuanya dikuburkan
di Taman Pemakaman Umum (TPU). Setelah acara pemakanan selesai, aku pamitan
dengan sahabatku itu. Lalu ia berkata: “Terima kasih bang, kehadiran abang
selama dua hari ini, sangat menghibur hati kami”. Seperti yang telah aku
katakan di atas, aku tidak berbuat apa-apa di rumah duka. Hanya duduk menyertai
mereka yang berduka. Tetapi ternyata, apa yang aku lakukan punya makna bagi
orang yang berduka. Kehadiran kita untuk duduk bersama dengan orang yang
berduka, menjadi satu penghiburan yang sungguh bermakna dengan mereka.
Tatkala kita berpikir tentang pelayanan, sering kali kita
memahaminya sebuah aktifitas. Jika kita tidak berbuat apa-apa, maka kita merasa
tidak berbuat sesuatu. Seperti contoh yang sudah diutarakan di atas. Jika kita
hadir di rumah duka itu, maka pertanyaan kita ialah: ngapain aku ada di sini.
Dari pada bengong-bengong di sini, maka lebih baik aku berbuat sesuatu. Pada
hal, sekalipun kita hanya bengong di rumah duka itu, kehadiran kita punya makna
bagi orang yang sedang berduka.
Jika kita hadir di rumah duka, kita akan beraktifitas.
Memberikan kata-kata penghiburan. Lalu setelah itu kita pergi mengerjakan
aktifitas yang lain. Kita telah dapat berkata kepada diri sendiri: ‘aku telah
menghibur keluarga itu’. Kita tidak perlu bertanya di dalam hati kita: ‘apa
benar, keluarga yang berduka itu terhibur oleh karena kata-kata penghiburan
yang kita katakan?’ Kita akan mengatakan: ‘itu bukan urusanku, itu adalah
urusan dia!’ Jika demikian adanya, maka pada hakekatnya kita bukan sahabat dari
orang yang berduka.
Sahabat yang sejati, ia turut ambil bagian di dalam
kehidupan sahabatnya. Jika sahabat itu bersukacita, ia turut menikmati sukacita
sahabat tersebut. Jika sahabat itu berdukacita, ia pun turut ambil bagian di
dalam dukacita tersebut. Itulah sebabnya Paulus mengatakan agar kita “menangis
dengan orang yang menangis, tertawa dengan orang yang tertawa”.
Ada lagi pengalaman yang sangat bermakna dalam hidup ini
tentang melayani seseorang. Pada malam yang sudah larut, ponsel saya berdering.
Aku pun meraihnya. Kepada teman-temanku telah kukatakan bahwa mereka dapat
menghubungi aku kapan saja, bahkan bila pun waktu sudah sangat larut malam. Aku
teringat akan perumpamaan Tuhan Yesus tentang seorang sahabat kedatangan tamu
pada malam hari. ia mengetuk pintu rumah sahabatnya pada malam hari itu juga.
Pintu diketok, maka pintu pun dibukakan.
Di seberang terdengar suara yang berat disebabkan hati
yang sesak, oleh karena kesedihan yang dia rasakan. Lalu dia mencoba
menumpahkan isi hatinya kepadaku lewat
ponselnya. Aku mendengarkan keluhannya dengan sabar. Di sana sini aku
memberikan komentar singkat, sehingga ia memahami, bahwa saya peduli dengan apa
yang sedang diperbincangkannya. Kami ngobrol selama dua jam di malam itu.
Setelah bicara selama dua jam, disertai interupsi saya di sana sini, percakapan
pun berakhir.
Ia berkata: “Terima kasih bang, karena sudah sedia
mendengarkan curahan hati yang sedang sesak. Aku sudah menemukan jalan
keluarnya dari percakapan kita tadi!” Aku tidak menasihati dia tentang masalah
yang dia hadapi. Aku hanya bertanya dan bertanya lagi bagaimana pandangan dia
tentang masalah tersebut. Bagaimana seharusnya masalah tersebut dihadapi. Ia
menemukan sendiri jawabannya. Aku hanya mendengarkan isi hatinya dan berempati
dengan masalah yang dihadapinya.
Dalam kisah yang dituturkan itu, aku tidak banyak
berbuat. Tetapi tatkala kita tidak berbuat apa-apa secara fisik, pada
hakekatnya kita berbuat secara kejiwaan. Orang yang menderita membutuhkan teman
yang turut bersama dia mengalami derita itu. Tatkala orang turut ambil bagian di
dalam deritanya, maka derita itu pun berkurang di lubuk hatinya.
Tuhan Yesus pun menerapkan hal yang sama terhadap
orang-orang yang percaya kepada-Nya. Ia mengatakan kepada Saul: “Akulah Yesus
yang engkau aniaya itu!” kita tahu, Saulus tidak pernah menganiaya Yesus secara
fisik. Orang yang percaya kepada Yesus yang dia aniaya. Tetapi Yesus mengatakan
Dialah yang dianiaya oleh Saulus. Yesus empati terhadap setiap orang yang
percaya kepada-Nya.
Tatkala Yesus melayani di dunia ini, Ia sibuk membagikan
diri-Nya menjadi sahabat orang yang terpinggirkan di masyarakat. Ia menjadi
sahabat pemungut cukai dengan orang berdosa. Ia memberikan diri-Nya, waktu-Nya
kepada orang yang terpinggirkan itu. Ia membawa kesembuhan bagi orang yang
terpinggirkan itu. Jika kita menyebut diri sebagai orang Kristen, pengikut
Kristus, maka sudah sangat wajar jika kita memberikan diri kita kepada orang
yang membutuhkannya, sebagaimana Kristus telah melakukannya lebih dulu.
Sayang seribu kali sayang, kita sangat sibuk dengan diri
kita sendiri, sehingga tidak ada lagi waktu untuk orang lain. Jika kita tidak
menjadi pusat perhatian, tatkala kita tidak bisa mengaktualisasi diri kita di
dalam satu acara tertentu, maka acara itu sangat membosankan bagi kita. Masalahnya,
kita sibuk dengan diri kita sendiri! Padahal, kita tidak dapat hidup sendirian
di dunia ini. Bayangkanlah, jika saudara hanya sendirian di dunia ini, bukankah
hal itu satu penderitaan yang amat sangat! Tuhan telah menetapkan bahwa kita
hidup di dunia ini dengan sesama.
Bertobat pada hakekatnya berpaling dari diri sendiri dan
mengarahkannya kepada Yesus. Allah ingin membuat kita sama seperti Yesus. Agar
hal itu dapat terjadi, maka kita harus berpaling dari diri sendiri. Kita bukan
lagi pusat dari segala sesuatu, melainkan orang lain. Di dalam diri orang lain,
aku menemukan Tuhan! Sahabat ada di mana-mana, maka Tuhan pun ada di mana-mana.
Ada satu kisah tukang sepatu dari Rusia yang mengesankan
hati. Dikisahkan Ivan, sang tukang sepatu bermimpi dijumpai Tuhan Yesus di dalam
mimpinya. Tuhan berkata kepada Ivan: “Aku akan mampir di rumahmu esok pagi”. Ia
sangat bersukacita mendengar kabar itu, lalu ia terbangun dari tidurnya. Ia
segera membangunkan isterinya dan mengatakan bahwa Tuhan Yesus akan datang ke
rumah mereka esok pagi.
Isterinya bertanya: “Jam berapa ia datang?” Ivan lupa
bertanya kepada Tuhan tentang hal itu. Lalu mereka mempersiapkan sarapan pagi
yang mewah untuk tamu terhormat tersebut. Tunggu punya tunggu, Tuhan tidak
datang juga. Lalu mereka sepakat mengambil kesimpulan, mungkin pada saat makan
siang. Lalu mereka bergegas untuk mempersiapkan makan siang yang mewah pula.
Tunggu punya tunggu, Tuhan tidak datang juga. Mereka kecewa. Tetapi masih ada
harapan satu lagi. Di saat makan malam tiba, Tuhan akan datang. Bukankah Ia
sudah berjanji! Makan malam yang mewah pun disajikan.
Tetapi Tuhan tetap tidak datang. Lalu dalam kekecewaan
berat, mereka tidur dan didera kelelahan. Setelah tidur nyenyak, kembali Ivan
didatangi Tuhan di dalam mimpi. Tuhan Yesus berkata: “Tiga kali Aku datang tadi
siang ke rumahmu, tetapi engkau menolak Aku” demikian kata Tuhan! Lalu Ivan
membantah dan berkata: “Kapan Tuhan datang dan kami tidak terima. Bukankah kami
sudah menunggu kedatangan Tuhan?”
Yesus berkata: “Aku datang pagi hari dalam diri seorang
anak kecil. Aku meminta makanan yang engkau sediakan itu, tetapi engkau menolak
Aku”. Memang pada pagi hari itu ada seorang anak meminta makanan itu, tetapi
Ivan mengatakan: “Itu untuk Tuhan Yesus. Pergi sana”. Yesus melanjutkan
perkataan-Nya: “Aku datang padamu pada siang hari dalam diri seorang pengemis,
engkau pun menolak Aku. Bahkan demikian juga dalam malam hari. Aku datang dalam
diri seorang yang kemalaman, engkau tetap menolak Aku”.
Ivan tertunduk dan dengan rasa malu ia berkata: “Seandainya
aku tahu, itu adalah Tuhan, aku pasti menyambut-Mu”. Tuhan Yesus pernah
berfirman: “Apa yang engkau perbuat terhadap orang yang paling kecil ini,
engkau perbuat untuk Aku”. Kisah itu menuturkan kepada kita, Tuhan hadir di
dalam kehidupan kita bukan hanya melalui Roh Kudus-Nya yang tinggal di dalam
hati kita. Ia juga hadir di dalam hidup ini melalui teman-teman yang ada di
sekitar kita. Jika kita bersahabat dengan mereka, pada hakekatnya kita sedang
membina persahabatan dengan Tuhan sendiri.
Rasul Paulus pun menerapkan persahabatan dengan semua
orang yang dilayaninya. Ia turut merasakan penderitaan orang yang dia layani.
Hal ini terlihat di dalam suratnya kepada jemaat Korintus, “dan, dengan tidak
menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara
semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa
lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita” II Kor
11:28-29. Paulus meniru Tuhannya. Ia memposisikan diri menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari orang-orang yang ada di dalam kehidupannya, di dalam
pelayanannya.
Tatkala kita memusatkan perhatian kita kepada orang lain,
maka kita akan semakin serupa dengan Kristus. Sebab Kristus juga memusatkan
perhatian-Nya kepada orang lain. Ia sendiri berkata: “Anak manusia datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya bagi banyak
orang”. Perpalingan dari diri sendiri kepada orang lain membuat kita semakin
diubahkan di dalam keserupaan kita dengan Kristus.
Manusia sekarang ini senantiasa mempertanyakan kepada
dirinya sendiri: ‘apa yang akan saya dapatkan melalui kegiatan tersebut’. Di
sisi lain, seorang sahabat senantiasa mempertanyakan dirinya: “Apa yang akan
saya berikan kepada sahabatku”. Saya terkesan dengan apa yang disuarakan oleh
Pelihat Hanani kepada Raja Asa yang dicatat oleh kitab II Taw 16:9 “...mata
TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang
bersungguh hati terhadap Dia”. Aku memahami firman itu dengan pengertian: Tuhan
mencari orang yang ingin dijadikan-Nya sahabat-Nya. Ia adalah kasih. Kasih
senantiasa memerlukan obyek yang dikasihi. Oleh karena itu Allah membutuhkan
manusia untuk dijadikan-Nya sebagai sahabat.
Ia ingin tinggal bersama sahabat-Nya itu. Ia ingin
berjalan bersama dengan sahabat-Nya itu di sepanjang perjalanan hidup yang
diperuntukkan-Nya bagi sang sahabat. Ia ingin menikmati persahabatan itu dalam
artian yang sesungguhnya. Apa yang aku utarakan ini bukanlah isapan jempol
semata-mata. Nyanyian orang percaya di sepanjang zaman mengutarakan hal yang
sama juga.
“Yesus kawan yang sejati, bagi kita yang lemah,
tiap hal boleh dibawa dalam doa pada-Nya.
Oh, betapa kita susah dan percuma berlelah,
bila kurang pasrah diri dalam doa padanya.
Marilah kita menantikan kehadiran Sang Sahabat Yang
Sejati itu di dalam hidup ini. Ia datang bukan dengan kemegahan dan kemuliaan
surgawi-Nya. Itu akan kita lihat dalam hari penghakiman kelak. Sekarang Ia
datang di dalam diri sesama kita yang membutuhkan pertolongan. Lihatlah di
sekelilingmu, siapa tahu Tuhan ada di sana dan sedang menantikan uluran
tanganmu untuk memberikan pertolongan dari hati seorang sahabat.
Mungkin Ia datang di dalam diri orang yang sedang berduka.
Atau juga mungkin datang di dalam diri orang yang sedang bersukacita. Lirik
lagu ini menjadi bermakna bagi jiwa yang menantikan Tuhan:
Open our eyes Lord
we want to see Jesus,
to reach out and touch Him,
and say that we
love Him.
Open our ears Lord
and help us to listen,
open our eyes Lord,
we want to see Jesus.