07/04/11

CONTEMPLASI




CONTEMPLASI

Saya merenungkan pertanyaan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya: ”Menurut kamu siapakah aku ini?” Yesus ingin mengetahui siapa dia menurut orang lain. Tatkala Petrus mengungkapkan pernyataannya, Yesus mengatakan kepada dia, bahwa pernyataannya itu bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan Allah yang mengatakan hal itu melalui dia. Dengan perkataan lain, Petrus mendapat pencerahan dari Allah, sehingga ia mengenal siapakah Yesus itu sebenarnya. Pernyataan ini membuat saya bertanya kepada diri saya sendiri, siapakah saya? Apakah saya dapat mengungkapkan kepada diri saya sendiri, siapakah saya sebenarnya?

Perbedaan manusia dari binatang secara nyata menurut hemat saya ialah: manusia senantiasa bertanya, dan pertanyaan manusia tidak pernah dapat berakhir dengan sempurna. Jawaban yang diberikan akan membuat kita mengajukan pertanyaan lanjutan. Pernahkah saudara mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri, siapakah saudara sebenarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita butuh waktu untuk mengadakan perenungan. Sebab yang mengajukan pertanyaan itu adalah diri sendiri.

Sayang seribu kali sayang, kita tidak punya waktu lagi untuk mengadakan perenungan atas makna kehidupan yang sedang kita jalani sekarang ini. Kita telah terpenjara dengan program yang kita sudah susun sedemikian rupa, sehingga kita lupa terhadap diri kita sendiri. Siapakah kita pada hakekatnya? Yesus saja masih memerlukan informasi tentang dirinya dari orang lain. Karena ia adalah Allah, maka tidak perlu Ia bertanya tentang diri-Nya sendiri, siapakah Dia sebenarnya. Tetapi dengan diri kita sendiri, kita perlu mengenal siapakah diri kita yang sesungguhnya.
Jika kita jujur, betapa banyaknya pun jawaban yang kita berikan terhadap pertanyaan mengenai diri kita, jawaban atas pertanyaan itu senantiasa akan menimbulkan pertanyaan lain dan tidak habis-habisnya. Oleh karena itu, kesimpulan sementara tatkala saya merenungkan siapakah saya, ternyata saya lebih besar dari pada yang saya tahu. Ini adalah kesimpulan yang aneh pada mulanya, tetapi kesimpulan ini adalah sebuah kebenaran. Sebagai sebuah contoh: kita melihat sebuah pemandangan yang membuat kita terpesona. Kemudian kita menceriterakan apa yang kita lihat. 

Bagaimana pun pintarnya kita menceriterakan apa yang kita lihat, pada hakekatnya, pengalaman kita melihat sebuah pemandangan yang membuat kita terpesona, lebih besar dari pada apa yang telah kita ceriterakan. Pengalaman seperti itu lebih besar dari pada pengetahuan.
Pengalaman melihat sesuatu yang amat indah, bukanlah sesuatu yang dapat diproduksi secara otomatis di dalam kehidupan ini. Ada seorang pejabat tinggi pemerintah Amerika Serikat pernah bersaksi di dalam bukunya tentang keindahan taman yang ada di Gedung Putih. Ia melewati taman itu setiap hari kerja selama empat tahun. Tetapi ia tidak pernah memperhatikan keindahan taman tersebut. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di Gedung Putih, satu hari ia masuk ke taman itu. Lalu ia berkata: “Wah, indah benar taman ini! Mengapa saya tidak memperhatikannya selama empat tahun bekerja di sini?” Pada waktu ia bekerja di sana, ia tidak pernah berhenti sebentar untuk melihat taman itu. Ia tidak pernah menyadari taman itu begitu indah selama empat tahun.

Kita pun bisa seperti dia. Kita tidak pernah melihat keajaiban dari ciptaan Allah yang ada di dalam diri kita. Pemazmur di dalam Mzm 139:14 “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya”. Sebelumnya ia mengatakan: “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” Mzm 139:6. Pernahkah kita merenungkan akan siapa kita sebenarnya, sebagaimana pemazmur ini merenungkan siapa dirinya? Sebagai akhir dari perenungannya yang intens atas siapa dirinya, maka ia berkata: “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!”.

Pemazmur tidak lagi melihat dirinya sebagai subyek di dalam hidup ini. Ia tidak lagi menjadi tokoh di dalam hidupnya. Ia tidak berusaha untuk mengenali dirinya sendiri, sebab dirinya dalam totalitasnya tetap tersembunyi bagi dia. Hanya Allah yang tahu siapa dirinya di dalam totalitasnya. Pemazmur berpaling dari tokoh, dari subyek menjadi obyek! Ia adalah seorang pribadi yang akan menjadi sorotan bagi Allah. Ia hanyalah alat, bukan subyek. Tatkala orang berhenti untuk melihat dirinya sendiri, serta membiarkan Allah menyinari dia dengan kemuliaan-Nya yang kata para Serafim di surga, bumi ini penuh dengan kemuliaan Allah. Mata para Serafim itu melihatnya, tetapi mata kita tidak melihat sama sekali kemuliaan Allah yang ada di sekitar kita.

Kembali kepada sipemazmur yang membuat diri bukan lagi tokoh melainkan hanya sebagai alat semata-mata! Marilah kita membandingkan si pemazmur dengan penggubah lagu di bawah ini, sebuah lagu rohani yang populer sekarang di kalangan orang Kristen yang menyukai lagu pop rohani. Penggubah lagu itu memakai kata-kata si pemazmur dalam mazmur yang kita bicarakan, tetapi kesimpulan mereka bagaikan langit dan bumi. Sipemazmur berada di langit, sementara si penggubah lagu ini berada di bumi. Saya kutip dulu syairnya:

Selidiki aku, lihat hatiku apakah ku sungguh mengasihiMu Yesus
Kau yang maha tahu, dan menilai hidupku, tak ada yang tersembunyi bagiMu
T’lah kulihat kebaikanMu yang tak pernah habis dihidupku
Ku berjuang sampai akhirnya Kau dapati aku tetap setia.

Syair lagu di atas mengutip Mzm 13:23. Namun kesimpulan pemazmur dengan penggubah lagu itu sangat berbeda. Di akhir lagu itu, - saya menggarisbawahinya supaya terlihat jelas – penggubah lagu tersebut yang akan berjuang sampai akhirnya Tuhan mendapati dia setia dalam mengikut Tuhan. Penggubah lagu itu tetap membuat dirinya menjadi tokoh. Ia yang berusaha sampai akhirnya tetap setia. Ia tidak membutuhkan kasih karunia Allah. Tidak ada ungkapan seperti itu di dalam lagu yang dia gubah. Ia tokoh, dan Allah hanyalah pengamat kehidupannya. Dan jika ia berhasil setia sampai akhir hidupnya, maka sang pengamat itu akan melimpahi dia dengan pahala.

Iman si pemazmur dengan iman si penggubah lagu sangat berbeda, sekalipun bahasa yang mereka pakai adalah bahasa yang sama. Penggubah lagu itu belum mengenal dirinya sebagaimana si pemazmur mengenal dirinya. Marilah kita mendengar pengalaman pemazmur lainnya, ia mendengar Tuhan berbicara: “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!" Mzm 46:11. Tatkala kita diam di hadapan Allah, tanpa berbuat sesuatu dan membiarkan diri kita disorot Allah. Kita menjadi obyek penelitian Allah, obyek yang akan dipakainya melaksanakan rencana-Nya di dunia ini, maka kita akan tahu, siapakah kita sebenarnya di hadapan Allah.

Tatkala kita tahu siapa kita di hadapan Allah, maka mata hati kita akan dibukakan untuk melihat kemuliaan Allah yang memenuhi bumi ini. Seperti yang sudah diutarakan di atas, malaikat melihatnya. Satu hal yang kita perlukan untuk dapat menemukan apa yang kita bicarakan ini ialah: hati yang diam di hadapan Allah dan merenungkan firman-Nya. Perenungan membuat kita dapat tunduk dan diam serta berada di dalam kekaguman akan Allah yang menciptakan segala sesuatu. Tatkala kita tiba pada pemahaman bahwa kita adalah alat di tangan Allah, maka kita tidak akan pernah lagi membuat diri sendiri berada di nomor urut yang pertama. Kita akan menempatkan diri di nomor urut yang terakhir dalam perjalanan hidup ini. 

Tetapi di sinilah rahasia pekerjaan Allah dalam kemuliaan-Nya. Ia akan menempatkan orang yang pertama menjadi orang yang terakhir, sementara orang yang terakhir menjadi yang pertama. Yesus mengatakan bahwa mereka yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir menjadi yang terdahulu. Kita di dalam posisi sebagai alat di tangan Allah, akan menempatkan segala perkara Allah di depan. Menganggap orang lain lebih utama dari diri kita sendiri. Hal ini disuarakan Paulus dalam Flp 2:1-4. 

Saya masih berjalan tertatih-tatih di jalan yang mulai dirintis karena kasih karunia Tuhan, sehingga aku mengenal siapa diriku dari kaca mata Tuhan. Sudahkah saudara mengenali diri sendiri, di dalam Tuhan? Sudahkah saudara melihat kemuliaan Allah yang memenuhi bumi ini. Jika saudara sudah menemukannya, maukah saudara membagikannya kepada kami supaya kami juga melihat kemuliaan Allah yang saudara lihat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...