Petra
Kota Petra adalah sebuah kota tua yang didirikan orang Nabatean ratusan tahun sebelum Kristus. Zeid berceritera sangat baik tentang kota ini. Kami masuk ke dalam kota itu melalui lorong sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini. Zeid berceritera bahwa air dimasukkan ke dalam kota melalui saluran air yang dipahat di dinding batu karang yang terlihat dalam gambar ini.
Tatkala memasuki celah batu karang itu, Terlintas di dalam hati, pemazmur yang berkata:Tuhan adalah gunung batuku, kota pertahananku Aku tidak goyah. Inilah gunung batu itu. Wah betapa aman berada di gunung batu ini. Lalu, aku menyanyian lagu ini:
Rock of ages cleft for me
let me hide myself ini Thee.
Let the water and the blood,
From Thy wounded side which flowed,
Be of sin the double cure;
Save from wrath and make me pure.
From Thy wounded side which flowed,
Be of sin the double cure;
Save from wrath and make me pure.
Not the labor of my hands
Can fulfill Thy law’s demands;
Could my zeal no respite know,
Could my tears forever flow,
All for sin could not atone;
Thou must save, and Thou alone.
Can fulfill Thy law’s demands;
Could my zeal no respite know,
Could my tears forever flow,
All for sin could not atone;
Thou must save, and Thou alone.
Di lorong gunung batu itu, aku hanya menyanyikan bait pertama, karena itu saja yang dihafal. Bait kedua dituliskan di sini setelah tiba di Jakarta. Gunung batu itu sudah berusia ribuan tahun. Nyanyian itu juga berbicara tentang gunung batu yang ribuan tahun, bahkan kekal, sebab yang dimaksud ialah: Tuhan Yesus sendiri. Aku bersembunyi di dalam gunung batu itu. Hal ini sangat pas dengan keberadaan saya di gunung batu itu. Sambil menyanyikan lagu itu aku berjalan perlahan-lahan menikmati perjalanan.
Zeid berceritera, bahwa di kedua sisi gunung batu itu, orang Nabatean memahat saluran air, yang mengalirkan air ke dalam kota. Saya membayangkan air itu sedang mengalir di sana. Nyanyian itu pun berbicara tentang air dan darah yang mengalir dari luka Tuhan Yesus. Air pun mengikuti orang Israel di padang gurun. Air itu sekarang mengikuti aku dalam perjalanan mengiring Tuhan di sepanjang hidup. Betapa amannya berjalan dengan Tuhan di perjalanan waktu ini. Aku di dalam Tuhan, itu sangat aman.
Saya teringat akan perkataan seorang pengkhotbah di kebangunan rohani yang pernah saya ikuti, :”We are always in danger, but never dangerous”. Di sepanjang lorong itu, aku melihat burung-burung bersarang. Hati ini pun mengingat mazmur yang mengatakan: “Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku!” (Mzm. 84:4). Burung saja punya tempat dalam kasih karunia Allah, apalagi saya. Apa yang dilihat pemazmur, terlihat oleh hati ini.
Tatkala meneruskan perjalanan, aku melihat kuburan di beberapa tempat dalam lorong yang sempit itu. Tatkala melihat prasasti yang menandakan bahwa di sana terdapat kuburan, maka hatiku pun mengingat Surat Ibrani yang mengatakan bahwa kita punya banyak saksi iman bagaikan awan yang mengitari kita. Para saksi iman itu ada di sepanjang lorong waktu yang kita lalui. Kuburan mereka pun ada di sana.
Jika demikian, kuburan Tiur pun ada di sana. Prasastinya itu ditanda tangani oleh Tuhan Yesus sendiri. Prasasti itu seperti prasasti yang terlihat dalam gambar ini. Saya berkata dalam hati, apa kira-kira bunyi tulisan Allah dalam prasasti yang diperuntukkan bagi Tiur. Apa pula bunyinya di prasastiku yang akan dituliskan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih itu? Mungkinkah bunyinya ialah: “Di sini beristirahat dengan tenang hamba-Ku yang setiawan!” mudah-mudahan.
Berjalan terus ke depan, terlihat rombongan kami berkumpul dan menantikan kami yang tercecer di belakang. Kami pun berkumpul dan bersatu kembali. Pembimbing kami mengatakan bahwa kami harus berdoa. Sebelum berdoa, kami diminta untuk menyanyikan lagu pujian: haleluya 12 X. Saya bertanya: apa yang terjadi? Seorang teman mengatakan bahwa ada dua orang dari rombongan kami yang mengatakan bahwa ia melihat orang berpakaian putih berkelebat di depannya. Lalu, pembimbing memutuskan untuk berdoa dan melawan kuasa kegelapan itu dengan doa dan pujian. Saya tidak turut menaikkan nyanyian itu. Sebab aroma batu karang yang teguh itu masih mewarnai hati saya.
Terlintas dalam hati saya, mungkin Tuhan datang menjemput saya di sini. Lalu saya katakan kepada Tuhan, jika aku yang akan Engkau jemput, aku bersedia dan tidak menyesal. Lalu di dalam hati aku berkata, sekali pun aku dikuburkan di sini, tidak jadi apa-apa, biar orang tidak repot mengurus kebutuhan saya. Lalu sebuah nyanyian berkumandang di dalam hati:
S’lamat di tangan Yesus aman pelukan-Nya;
dalam teduh kasih-Nya aku bahagia.
Lagu merdu malaikat, olehku terdengar
dari negri mulia damai sejahtera.
S’lamat di tangan Yesus aman pelukan-Nya
Dalam teduh kasih-Nya, aku bahagia.
Lagu ini terus kunyanyikan hingga pembimbing rohani kami menutup doanya dengan kata amen. Ada hal yang mengundang pertanyaan di dalam hati mengenai seorang teman dalam rombongan ini. Hal ini dituliskan di sini karena berkaitan dengan masalah yang aku hadapi. Teman ini membunyikan terus menerus sebuah trompet yang terbuat dari tanduk kambing. Di dalam Alkitab memang disebutkan ada nafiri. Apa kira-kira makna dari orang ini membunyikan nafirinya? Rasa-rasanya ia meniup nafiri itu dengan rasa. Oleh karena itu pastilah bermakna. Apakah ia juga melihat mahluk berpakaian putih itu? Nanti aku akan tanyakan kepadanya secara pribadi.
Akhirnya kami tiba di pintu utama masuk ke kota Petra kuno. Orang Yordania menyebutnya Treasury. Zeid memberi penjelasan yang sangat berharga mengenai Treasury ini. Adapun tinggi gapura itu adalah 40 meter. Lebarnya tiga puluh meter. Gapura itu dikerjakan selama seratus tahun barulah selesai. Zeid menuturkan bahwa pada mulanya gapura itu merupakan sebuah gunung batu. Lalu dipahat lebih dahulu supaya landai dengan kemiringan tertentu.
Kemudian dipahat mulai dari atas hingga ke bawah. Gapura ini didedikasikan kepada para dewa mereka. Patung yang dipahatkan di sana adalah dewa dari orang Yunani, dewa orang Romawi, juga dewa orang Mesir dan Assyiria. Saya sangat terkesan. Orang di zaman dahulu sangat tinggi dedikasinya kepada para dewa mereka. Gapura itu dibangun selama seratus tahun baru selesai. Alat yang mereka punya sangat sederhana. Tetapi dari sesuatu yang sederhana, mereka dapat mempersembahkan sesuatu yang sangat spektakular bahkan di zaman high tech ini. Aku hanya seorang pria yang sederhana, tetapi hal itu tidak menghalangi aku untuk memberikan sesuatu yang sangat bermakna bagi Tuhanku.
Aku jadi teringat melalui percakapan dengan seorang teman dalam rombongan kami, bagaimana Zinzendorf berdoa semalam-malaman, lalu terjadilah kebangunan rohani yang terkenal dengan nama: gerakan Moravia. Dinegeri ini aku diingatkan untuk melakukan sesuatu yang punya dimensi kekekalan. Jauh lebih baik dari orang Nabatean ini.
Pembimbing rohani kami melarang teman-teman dari rombongannya untuk mengambil berfotoria di depan gapura itu. Saya tidak tahu alasannya. Itu adalah urusan mereka. Mungkin karena gapura itu sendiri adalah merupakan kuburan para raja orang Nabatean. Zeid meneruskan uraiannya tentang kota Petra. Di kota ini orang Byzantian mendirikan biara. Tetapi kami tidak punya waktu untuk melihat biara dan rumah-rumah orang Nabatean yang dipahat di batu karang itu. Bahkan Zeid mengatakan bahwa di kota tua itu ada sebuah amphiteather yang dapat menampung lima ribu orang.
Saya terpesona, karena gedung yang dapat menampung jumlah sebesar itu ada di gunung batu, sungguh sebuah karya yang besar. Tatkala kami menunggu pesawat terbang dari Amman, aku menemukan sebuah buku yang ditaruh di sebuah toko dalam lapangan terbang itu. Dalam buku itu dikatakan bahwa daya tampung amphiteather itu tujuh ribu orang. Di internet aku temukan bahwa daya tampungnya hanya tiga ribu orang. Kira-kirberapa daya tampung amphiteather di atas.
Zeid berceritera bahwa arkeolog telah menemukan lagi di bawah gapura yang terlihat itu, masih ada bagian yang tertanam ke bawah sedalam enam meter lagi. Itu berarti tinggi gapura itu adalah empat puluh enam meter. Luar biasa. Tanah yang kami injak ternyata bukanlah lantai yang diinjak orang Nabatea zaman dahulu.
Aku ingin sekali melihat rumah-rumah pahatan orang Nabatean itu. Aku dapat memuaskan keinginan tersebut dengan jalan searching di internet. Bukankah luar biasa mereka itu? Rumah dipahatkan ke dalam batu karang. Saya telah rasakan rasa sejuk di sepanjang lorong gunung batu tadi. Tentunya terasa juga rasa adem di dalam rumah mereka. Alangkah kontrasnya panas padang gurun di luar sana di bandingkan dengan rumah di dalam kota ini. Namun semuanya pun akan berlalu. Kota yang sangat kokoh ini akhirnya jatuh ke tangan orang Roma. Mereka memindahkan ibukota dari Petra ke kota Damsyik. Akhirnya kejayaan dunia inipun berakhir juga. Orang Nabaetan ini katanya menjadi nenek moyang suku Bedouin di Timur tengah. Aneh ya, nenek moyang mereka lebih civilised dari keturunannya Kembali saya menyanyi sambil pulang ke hotel:
This world is not my home,
i’m just the passing through
my treasure are laid up
some where betond the blue.
The angel backon me
From heaven open door
and I cant feel at home
in this world any more.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar