28/04/11

Holy Land 2


Berkat Terselubung

Rencana semula, kami langsung masuk ke tanah suci, ke tanah Israel. Namun sesuatu terjadi. Pemerintah Israel tidak memberi kami izin untuk masuk ke sana. Perjalanan kami ke sana di undur. Hal itu diberitahukan pimpinan rombongan kepada kami dalam persiapan mau berangkat ke Israel. Ia melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa Dinas Rahasia Israel menunda izin masuk kepada kami, karena di dalam rombongan kami ada dua orang yang dulunya beragama muslim. Luar biasa itu Mossad. Segala seluk beluk dari orang yang akan masuk ke Israel mereka selidiki. Oleh karena kami tidak bisa masuk ke tanah Israel, maka perjalanan pun dialihkan masuk Yordania lebih dahulu, barulah masuk ke Israel. Hal ini menjadi berkat bagi saya secara pribadi, juga bagi teman-teman.

Allah kita itu adalah Tuhan atas sejarah kehidupan manusia. Saya sudah mengatakan di depan, Allahlah yang mengundang saya untuk menikmati perjalanan umat-Nya di tanah perjanjian. Jika kami lebih dulu masuk ke Israel baru kemudian masuk ke Yordania, maka hal itu tidak menapaktilasi perjalanan bangsa Israel. Sebab bukan demikian rute yang mereka jalani. Saya memuji Tuhan untuk berkat terselubung itu. Allah dalam kemahakuasaan-Nya bertindak, agar anak-Nya ini dapat berjalan sebagaimana orang Israel berjalan menuju tanah perjanjian bagi mereka. Allah dapat memakai kelemahan dan keterbatasan manusia di dalam mencapai tujuan-Nya. Alangkah indahnya berjalan dengan Tuhan, sebab dengan jalan demikian, kita dapat menikmati fasilitas kerajaan-Nya di sepanjang perjalanan bersama dengan Dia.

Tatkala bus berangkat, saya duduk sendirian dalam bus. Hatiku mulai sendu. Teman-teman berceritera dengan sesama yang ada di sisi mereka, sementara saya sendirian. Kenangan terhadap Tiur menggeluti hati. Dalam hati saya ada keluhan: “Tiur, seandainya engkau masih hidup, maka engkau akan duduk di sisi ini, lalu bercanda dan berceritera tentang perjalanan ini. Engkau membiarkan aku sendirian di sini”. Air mata pun meleleh di pipi. Saya teringat akan perkataan Tiur kepada saya pada tahun-tahun terakhir ia masih sehat. Saya akan menjalani masa pensiun.

Tiur mengajak kami mengikuti tur wisata. Ia lebih menyukai untuk mengunjungi Negara Yunani dari pada Yerusalem. Ia berkata: “Satu saat, kita akan mengunjungi kotaTesalonika.” Keinginannya itu tidak terkabul. Ia keburu telah dipanggil untuk tinggal di pangkuan Abraham. Hal itu membuat saya bertambar sedih dan berurai air mata. Syukur tidak seorang pun yang tahu akan hal itu.

Sebagai penghilang rasa duka, aku kembali menulis pengalaman ini dalam sebuah kertas catatan. Kembali tidak ada saat teduh pagi yang kami alami. Kami menuju pelabuhan penyeberangan melalui feri di laut merah. Untuk kedua kalinya kami akan menyeberangi laut ini. Penyeberangan yang pertama ialah: dari Cairo menuju Sinai. Kami menyeberang bukan melalui feri tetapi melalui terowongan di bawah terusan Suez. Sekarang untuk kedua kalinya kami menyeberangi laut merah dengan feri. Sebelum menyeberang ke Yordania, kami makan siang lebih dahulu di salah satu hotel di daerah resort teluk Aqaba wilayah Mesir.

Interupsi

Tatkala kami masuk ke pelataran hotel, waktu belum menunjukkan jam untuk makan siang. Oleh karena itu kami menyempatkan diri masuk ke dalam komplek hotel. Di dalam komplek
itu, ada taman yang luas, serta kolam renang yang besar. Ada banyak orang bule yang berjemur di sana sambil membaca. Agak ke arah dalam terlihat hemparan pasir putih dan laut yang berwarna biru. Terlihat di kejauhan orang berpakaian bikini sedang bermain bola voley pantai. Di lubuk hati saya terbersit keinginan untuk menginjakkan kaki ke laut merah tersebut. Oleh karena itu, aku melangkahkan kaki ke arah pantai. Di kejauhan terlihat berjejer kursi malas yang biasa ada di tempat pemandian menghadap ke laut.

Saya tidak melihat ada orang yang sedang tidur-tiduran di sana. Kaki ini pun melangkah ke arah laut merah. Setelah melangkahkan kaki, akhirnya aku pun melewati kursi tidur tersebut. Lalu saya melihat ada orang yang sedang tidur-tiduran di sana sambil membaca buku. Tetapi, wah! Aku sungguh sangat malu! Ternyata orang yang sedang tiduran itu adalah seorang wanita. Ia telanjang dada. Ia telanjang sembilan puluh lima persen! Aku pun balik kanan gerak! Karena dia, aku tidak sempat menginjakkan kaki di laut merah. Celakanya bukan hanya satu orang yang berbuat begitu. Itulah sebuah interupsi dalam menapaktilasi perjalanan Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian mereka.

Untuk mengenang interupsi ini aku meminta agar berfoto bersama dengan seorang ibu di rombongan kami, kebetulan ada di sisi saya. Ibu ini, Ny. Silalahi br Hutabarat. Ia berasal dari Surabaya. Ia ada dalam rombongan kami beserta anaknya laki dan menantunya boru Sirait. Ia juga disertai besannya Ny. Sirait boru Tarihoran, ibunda dari menantu yang menyertai beliau.



Setelah makan siang selesai, kami pun siap-siap masuk kendaraan untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat penyeberangan yang tidak jauh dari tempat tersebut. Ada sebuah catatan di dalam hati ini mengenai makanan yang disajikan dalam perjalanan. Aku tidak suka makanan tersebut. Memang makanan berlimpah. Namun tidak sesuai dengan standard lidah saya. Lalu saya mengatakan kepada diri sendiri: “Hotman, sekarang yang diperlukan bukanlah lidahmu, melainkan perutmu. Oleh karena itu, makanlah apa yang ada”. Itulah sebabnya saya dapat makan, walaupun tidak pernah menikmati makanan itu, hingga hari itu.

Setibanya di tempat penyeberangan, kami menunggu lama proses masuk ke kapal feri. Rupa-rupanya kapal feri itu cuma satu. Itupun sedang menurunkan penumpang. Lagi pula harus melalui pemeriksaan paspor, karena melewati perbatasan negara. Koper pun harus melalui pemeriksaan sinar ‘x’. Sementara menunggu di ruang tunggu yang sederhana, atapnya terbuat dari rumput, saya berbicara dengan orang Kristen Yordania. Ia banyak berceritera tentang orang Kristen Yordania. Di  Yordania tidak susah mendirikan Gereja. Raja sendiri yang memberikan tanah sebagai lahan untuk mendirikan Gereja.

Ada dua rombongan yang mempergunakan feri itu untuk menyeberang ke Yordania. Rombongan kami yang paling banyak. Rombongan yang kedua ialah turis yang berasal dari Jerman. Aku mengabadikan diri dengan jalan berfoto dengan kapal tersebut sebagaimana terlihat di sini. Waktu tempuh perjalanan dengan feri tersebut adalah empat puluh menit. Di sisi kiri kapal terlihat wilayah Israel. Saya merasa seperti mengelilingi danau Toba. Pulau Samosir persis seperti pegunungan yang terlihat di sisi kiri kita. Tatkala hal itu saya utarakan  kepada Pak Sirait, beliau mengiyakan pendapat saya itu.



Yordania

Setelah menjalani pemeriksaan imigrasi, kami dijemput pemandu wisata dari Yordania. Namanya Zeid. Ia seorang yang profesional dan menguasai lahan yang sedang dikerjakannya. Aku mengajukan banyak pertanyaan kepada dia. Ia memuaskan keingintahuan saya dalam waktu yang singkat itu. Perjalanan dari Aqaba menuju kota Petra menempuh beberapa jam. Di sepanjang perjalanan itu, Zeid berceritera tentang Yordania. Kerajaan Wilayah pada zaman Alkitab terdiri tiga kerajaan, yakni Kerajaan Edom. Ia menempati wilayah selatan. Kerajaan yang kedua ialah: kerajaan Ammon, ia menempati wilayah di tengah Yordania. Dari kata itu keluar kata Amman, yang menjadi ibukota Kerajaan Yordania. Sementara kerajaan ketiga ialah: kerajaan Moab, menempati wilayah utara yang lebih subur.

Zeid mengatakan bahwa pada tahun delapan ratusan, terjadi gempa bumi yang dahsyat di tempat itu, memporakporandakan segala yang ada. Wilayah itu ditinggalkan orang selama dua ratus tahun lamanya. Para arkeolog yordania mengatakan bahwa abad itu adalah abad kegelapan untuk Yordania, sebab tidak ada peninggalan sejarah yang ditemukan untuk zaman tersebut. Dengan demikian bangsa Edom, Moab dan Ammon pun punah dengan sendirinya.

 Zeid menolak pendapat saya itu dengan mengatakan bahwa mereka berasimilasi dengan bangsa bangsa di sekitar mereka. Namun, tatkala hal itu saya konfirmasi dengan pak Sagala, soerang Doktor di bidang purbakala, dia menjadi pemandu wisata bagi kami selama di Israel. Beliau mengatakan bahwa tidak ada indikasi dalam bentuk apa pun yang mengatakan bahwa ketiga bangsa itu masih eksis.

Akhirnya kami tiba di hotel penginapan di kota Petra. Hari sudah malam, maka kami menikmati makan malam dan kemudian tidur dengan tenang.




Berpose di depan pintu gerbang kota tua Petra


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...