01/04/11

HUKUM KEENAM

HUKUM KEENAM

Jangan membunuh.

Tuhan Yesus mengutip hukum yang keenam ini, lalu Ia memberikan pengajaran kepada kita tentang makna dari hukum ini menurut Dia. Tuhan berfirman: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas” (Mat 5:21-26).
Tuhan Yesus melihat lebih dalam makna dari hukum yang keenam ini. Yesus melihat tidak hanya apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Bisa saja kita tidak pernah membunuh secara harfiah. Tetapi Yesus mengatakan bahwa sumber dari pembunuhan itu adalah hati manusia yang mengalami kemarahan terhadap orang lain. Jika kita menyimak hakekat dari hukum taurat yang disuarakan Yesus, yakni: kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu… dan hukum yang sama dengan itu ialah: kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri, maka kita mengerti apa yang dimaksud Tuhan Yesus dengan sisi lain dari membunuh. Kemarahan membuat kita tidak berada di dalam relasi yang benar dengan sesama. Itu berarti kita tidak lagi berada di dalam harmoni yang diinginkan oleh Tuhan Allah melalui taurat-Nya.
Yesus menghubungkan kemarahan itu dengan ibadah di Bait Allah. Tatkala kita mempersembahkan korban bakaran kepada Allah, lalu teringat akan sesuatu yang ada di dalam hati saudara kita kepada kita, maka korban bakaran itu harus ditinggalkan lebih dahulu. Kita harus berdamai dengan sesama kita, tatkala kita menikmati persekutuan dengan Allah. Dari sudut pandang ini, bukankah kita semua bersalah di hadapan Allah? Tatkala saya bersekutu dengan Allah melalui ibadah korban bakaran, maka saya pun haruslah berada dalam damai sejahtera dengan sesama. Sebab itulah kegenapan dari hukum taurat. Damai dengan Allah, damai juga dengan sesama.
Hukum ini berbicara dari sudut pandang larangan. Kita sudah melihat sisi itu dari sudut pandang Tuhan Yesus. Sekarang kita melihatnya dari sudut pandang suruhan. Jika dilarang membunuh, maka sisi lainnya ialah: disuruh memberi kehidupan. Membunuh artinya menghilangkan nyawa. Jika kita dilarang menghilangkan nyawa, tentunya suruhannya ialah: memelihara nyawa dari sesama kita. Orang Batak mengatakan: “Roha pangoluhon” – spirit menghidupkan – bukan sebaliknya. Jika kita memiliki roh yang menghidupkan, maka sesama manusia yang ada di sekitar kita pun seyogianya mendapatkan kehidupannya. Saya turut ambil bagian di dalam memelihara kehidupan sesama. Itulah makna dari mengasihi sesama seperti diri sendiri. Bukankah saya ingin hidup? Maka saya pun harus turut ambil bagian di dalam menopang kehidupan orang yang ada di sekitar saya.
Sebuah ceritera dapat menggambarkan apa yang saya maksudkan di dalam renungan ini. Di kota Jakarta ini ada satu keluarga yang punya rumah besar, lalu dijadikan tempat kost bagi para mahasiswa. Kebetulan tempatnya dekat dengan kampus perguruan tinggi terkenal. Di tempat itu ada beberapa orang yang indekost. Lalu nyonya rumah mengupah seorang pembantu untuk mempersiapkan apa yang perlu bagi para penyewa.
Si pembantu itu mendapat upah tambahan dari penyewa, karena di suruh untuk membeli makanan dan apa yang mereka perlukan. Karena ia dimintai tolong. Maka si pembantu dapat tip. Nyonya rumah melihat bahwa ada kesempatan baik, jika ia menyediakan makanan di rumah kostnya. Lalu ditambahkanlah gaji si pembantu karena ia telah membantu memasak di dapur. Si pemilik tambah kaya, tetapi si pembantu itu kehilangan tip dari penyewa.
Orang dapat membenarkan tindakan dari sang nyonya yang menambah pekerjaan pembantu dengan membantu masak. Tetapi ia telah merampok apa yang menjadi bagian dari pendapatannya pada saat itu. Dari perspektif taurat Tuhan, sang nyonya itu telah membunuh! Kita hidup di dunia ini bukan untuk diri kita, melainkan untuk Tuhan. Dari sudut pandang hukum manusia, si nyonya tersebut tidak salah. Tetapi dari sudut pandang taurat Allah, ia telah membunuh. Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Ia tidak lagi mengasihi pembantu itu, melainkan ia telah membuat dia menjadi tambah miskin dari sebelumnya, karena kehilangan tip yang dulu telah dinikmatinya. Ada orang yang mengatakan: gajah lewat semut pada mati. Jika gajah itu Kristen, ia harus hati-hati, supaya semut yang ada di sepanjang jalan dia mau jalan tidak tertindas oleh kakinya yang sangat besar.
Negara kaya yang menguras kekayaan dari negara berkembang juga membunuh manusia secara perlahan-lahan. Kita yang punya negeri, tetapi negara lain yang menguras kekayaan negeri kita. Orang lain menjadi kaya raya karena kekayaan alam kita, sementara penduduk negeri, sengsara miskin dan melarat. Mungkinkah mereka bebas dari penghukuman Allah di akhir zaman?
Demikian juga dengan mereka yang menjadi rentenir! Orang-orang yang menjadi rentenir itu kaya raya, sementara orang yang menjadi korban mereka kehilangan kehidupan yang layak mereka nikmati. Bukankah mereka itu sang pembuhuh darah dingin? Ada orang yang mengatakan: itu kan adalah kesepakatan bersama. Ya, kesepakatan yang dipergunakan di dalam kesempitan. Roh yang ada di dalam diri mereka adalah roh yang membinasakan bukan roh yang menghidupkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...