Hypoglikemia Kedua
Tiur dirawat selama sepuluh hari, setelah itu pulang ke Condet. Setelah satu bulan di rumah, kembali ia mengalami penurunan gula darah seperti tanggal 15 Mei 2005 itu. Waktu itu saya sedang mengikuti sermon parhalado di jalan jambu. Tiba tiba telepon seluler saya berdering dan dapat berita bahwa Tiur kembali pingsan. Saya berkata kepada orang yang memberi kabar itu agar segera membawa Tiur ke rumah sakit. Kembali saya bergumul di dalam hati tentang keberadaannya.
Sambil berjalan kaki dari gereja di jalan jambu ke rumah sakit Cikini, saya bergumul terus di dalam doa. Ada satu penghiburan yang saya dapatkan dari Firman Tuhan yang pernah saya dapat tentang gula darah Tiur. Kisahnya berkaitan dengan keberadaan Daud di padang gurun Zif. Ceritera Daud ini menjadi penghiburan bagi saya dari Tuhan. Saya sedang saat teduh dari nas ini pada tgl 12 Januari 2001. Waktu itu, hati saya sedang risau, karena gula darah Tiur sangat tinggi. Saya membaca nas ini, lalu tiba-tiba, saya merasa bahwa, sama seperti Daud diluputkan Tuhan dari Saul, ia sudah hampir dapat menangkap Daud. Tetapi Tuhan bertindak. Filistin menyerbu Israel, oleh karena itu, Saul harus menarik diri dari Daud, agar ia bisa berhadapan dengan Filistin. Lalu Daud menyebut gunung batu tempat mereka bersembunyi itu, ‘gunung batu keluputan.’
Seperti itulah akan terjadi bagi Tiur. Tuhan akan meluputkan dia dari apa yang saya khawatirkan. Haleluyah”[1]. Karena menyadari Tuhan adalah gunung keluputan bagi Tiur, maka ada satu kepastian di dalam hati, Tuhan akan meluputkannya dari kematian. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada gambaran rumah duka terlintas di dalam hati saya, sama seperti yang saya alami pada waktu pertama kalinya ia mengalami hipoglikemia.
Saya sampai di IGD RS Cikini, Tiur belum tiba. Saya berdoa terus dan meminta agar Tuhan tidak membiarkan Tiur dalam keadaan yang gawat. Setelah menunggu tidak terlalu lama, mereka pun tiba. Ia dalam keadaan pingsan. Setelah dibaringkan di tempat tidur dan gula darahnya di cek, ternyata gula darahnya hanya berada di angka 25. Ada orang mengatakan kepada Tiur, suaminya pada angka seperti itu sudah lewat. Kami bersyukur karena anugereah Tuhan, Tiur masih diberi kesempatan untuk tinggal di dunia ini bersama kami.
Menerima Vonnis
Tatkala pulang dari rumah sakit, Tiur kembali ke rumah. Ia harus kontrol ke dokter sekali dua minggu. Pada pemeriksaan terakhir pada bulan itu, dokter mengatakan satu vonnis bagi kami. Fungsi ginjal Tiur sudah sangat menurun, tinggal lima persen. Sepulangnya dari praktek dokter itu, Tiur menangis. Pikiran saya juga gelap. Karena mengingat beban biaya yang sangat besar dan itu berlangsung untuk seumur hidup. Saya kirim pesan singkat ke beberapa teman, dalam pesan singkat itu, saya meminta teman-teman untuk mendoakan kami. Saya katakan dunia runtuh, tolong kami. Saya tidak tahu kepada siapa saja saya kirim pesan singkat tersebut. Karena memang pikiran sangat gelap. Saya mulai menghitung tabungan kami, lagi pula saya akan pensiun dan tidak ada uang pensiun yang diterima secara bulanan. Lalu saya menghitung berapa lama lagi kami akan hidup di dunia ini. Dari dana yang tersedia di tangan, kami hanya dapat hidup hanya dua tahun saja. Lalu saya katakan kepada Tuhan: “Jika memang hanya dua tahun saja lagi kami hidup, terpujilah nama-Mu”.
Tiur meminta agar kami pergi ke dokter lain untuk mendapatkan second opinion. Kami pergi ke rumah sakit Mitra Internasional, bertemu dengan seorang urolog di sana. Lalu ia meminta hasil laboratorium darah, kami memberikan hasil lab terebut. Dia berkata: jikalau hasil laboratoriumnya seperti ini, maka tidak boleh tidak harus hemodialisis. Tiur tetap tidak percaya. Kami pergi lagi ke dokter lain dan hasilnya tetap sama. Karena itu kami kembali ke dokter Tunggul Situmorang. Namun Tiur tetap berharap akan ada mujizat dari Tuhan, dimana dia tidak jadi mengalami homodialisa. Salah satu yang mendorong dia untuk tetap mengharapkan mujizat itu ialah begitu banyak teman-teman yang berdoa bagi dia untuk kesembuhannya.
Dokter menyarankan agar Simino[2] dipasang lebih dahulu, sebagai persiapan untuk cuci darah. Tiur memerlukan waktu selama satu bulan untuk memutuskan agar memasangnya. Tatkala tiba waktunya untuk memasang alat itu di dalam tubuhnya, ia sangat ketakutan sehingga ia harus menghabiskan waktu satu minggu di rumah sakit hanya untuk pemasangan alat tersebut. Pemasangan Simino itu terjadi pada bulan Oktober, sementara Dia mau di Hemodialisis pada tanggal 27 Januari 2006. ada empat bulan lamanya ia menderita karena darahnya keracunan. Saya memuji Tuhan untuk penyertaan-Nya bagi kami di dalam masa masa yang sulit ini.
Bersedia Menjalani Hemodialisis
Pada satu ketika, waktu itu hari Rabu, tatkala saya datang ke gereja untuk melayani dalam penelahan Alkitab bagi pasutri, seorang teman, yakni St. Arnold Simanjuntak menanyakan keadaan Tiur. Lalu aya katakan kepadanya bahwa keadaan Tiur semakin tidak baik, tubuhnya semakin bengkak. Tetapi ia tetap tidak mau menjalani hemodialisis. Lalu saya meminta agar dia menelepon Tiur dan menyarankan kepadanya agar mau menjalani hemodialisis itu. Kebetulan dia seorang dokter sepelisasinya urolog. Pada waktu itu ia berkata: ”oke nanti saya akan hubungi”. Lalu besoknya isterinya, Loully – kebetulan dia adalah anak bimbing Tiur dalam pemuridan – menelepon Tiur dan mengajak dia makan malam di satu restoran. Tiur dengan senang hati mengiakannya. Maka pada hari Kamis tgl 26 Januari 2006 itu kami makan malam di salah satu restoran. Kami sembilan orang yang makan malam itu.[3]
Pada malam itu mereka semua menyarankan agar Tiur mau menjalani hemodialisis. Mereka juga menasihati saya agar jangan ragu untuk menjalani proses itu. Ada anggapan mungkin di dalam hati mereka, saya juga mendukung putusan Tiur untuk tidak menjalani hemodialisis karena alasan keuangan. Pada malam itu saya bersaksi kepada mereka bahwa bukan saya yang takut untuk menjalani program itu melainkan Tiur. Soalnya setiap kali kami saat teduh bersama pada pagi harinya, saya membujuk dia agar mau menjalani hemodialisis. Namun ia senatiasa marah kepada saya jika mendengar ajakan itu. Teman-teman itu kuatir jangan-jangan Hotman takut menjalani program itu mengingat biayanya yang cukup besar. Mereka mengatakan agar saya jangan takut akan biaya karena bukan hanya Hotman yang akan berpikir tentang hal itu.
Saya mengatakan kepada mereka tentang janji Tuhan kepada saya dari Mazmur 37:25-26. lalu kembali berceritera tentang berkat yang kami terima dari Tuhan, begitu luar biasa. Saya tidak pernah membayangkan akan menerima begitu banyak bantuan. Hati saya terharu melihat kepedulian orang. Bahkan ada seorang anak sekolah minggu memecahkan tabungannya dan memberikan kepada kami tabungan tersebut. Pada mulanya saya sedikit merasa risih untuk menerima pemberian itu. Terbertik di dalam hati, masakan seorang anak kecil harus memberikan sumbangan kepada kami. Gengsi dong! Namun Tuhan menyadarkan kami atas firman-Nya: “terlebih berbahagia memberi dari pada menerima”.
Jika kami tidak menerima pemberiannya itu, pada hal ia telah meniatkan pemberian itu secara tulus. Dengan menerima pemberiannya itu kami telah memberi kebahagiaan bagi anak kecil itu. Saya belajar untuk memberikan kesempatan kepada seorang anak kecil kebahagiaan yang berasal dari Tuhan. untuk kesempatan seperti itu saya diajar untuk mau merendahkan diri. Kami bersyukur untuk kesempatan mendapatkan pengalaman seperti itu. Tatkala menerima pemberian itu saya sampai menangis. Sampai seorang anak kecil perduli dengan kami.
Tatkala mendengar nasihat teman-teman itu, akhirnya Tiur mengatakan ia mau menjalani hemodialisis. Kami seluruh yang hadir pada saat itu merasa senang dengan keputusannya itu. Akhirnya tiba juga saatnya Tiur menjalani program hemodialisis. Setibanya di rumah saya berkata kepada Tiur: ”Kalau mereka yang mengatakan kepadamu agar mau menjalani hemodialisis, engkau mau, tetapi tatkala saya yang memintanya engkau menjalani homodialisis jawabanmu senantiasa ‘tidak mau’. Tiur mengatakan bahwa waktunya saja tidak pas.
Besoknya kami pergi ke dokter dan memberi tahu bahwa Tiur sudah siap untuk menjalani hemodialisis. Dokter langsung memberi surat pengantar untuk rawat inap dan pada malam itu juga menjalani hemodialisis. Mulai saat itu saya bergumul untuk biaya yang harus dikeluarkan. Memang Tuhan telah memberikan berkat yang banyak. Bahkan lebih banyak dari apa yang kami harapkan.
[1] Dikutip dari saat teduh atas kitab I dan II Samuel, Hotman Siahaan
[2] Alat ini dipakai oleh semua orang yang menjalani hemodialisis.
[3] Arnold Simanjuntak isteri, Valentino Simanungkalit dan isteri, Poltak L. Tobing dan isteri dan Ny. Enna Sihombing br Pardede. Mereka ini adalah orang-orang menjadi rekan sekerja saya di dalam melayani penelahan Alkitab bagi naposo bulung di HKBP Menteng tahun tujuh puluhan dan tahun delapan puluhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar