16/04/11

INMEMORIAM VII



Ketakutan

Tatkala Tiur di rawat di ruang Instalasi Rawat Inap (IRI), saya begitu takut terhadap biaya yang akan dikeluarkan untuk pembiayaan di ruang tersebut. Tetapi setelah Tiur pergi meninggalkan saya di dunia ini, saya sedih mengingat ketakutan saya tersebut. Pada waktu itu, saya berpikir, akan habislah seluruh tabungan kami. Soalnya, biaya di ruangan itu bisa mencapai lima juga rupiah perhari. Ada orang yang kami kenal, dirawat di ruangan itu selama enam bulan. Mereka harus menjual rumah untuk menutupi biaya.

Aku tidak tahu berapa lama Tiur akan dirawat di sana. Bantuan dari Pemerintah Daerah dapat diharapkan, tetapi obat yang dapat diberikan adalah obat generik, sementara obat yang diperlukan Tiur mahal harganya. Namun Tidak kata Tiur kepadaku, melalui orang yang menunjukkannya melalui pemberian mereka. Tiur seolah-olah berkata: “Engkau tidak akan susah karena keberadaanku. Aku akan meninggalkan uang yang banyak bagimu“.

Seluruh pembiayaan atas penyakitnya, dari mulai bulan April 2005, hingga ia tutup usia, pembiayaannya bukan dari diri saya pribadi, melainkan disediakan Allah. Pada hal, dana yang dihabiskannya mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan Tiur meninggalkan uang ratusan juta rupiah pula, melalui tangan yang terulur dalam kasih yang tulus. Donasi paling banyak berasal dari tangan-tangan yang terulur itu datang dari teman-teman kami, Persekutuan Para Navigator dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, cq Dinas kesehatan. Ampuni hamba-Mu ini ya Bapa, untuk ketakutan yang tidak beralasan itu.

Pernah saya bersedih hati dan sangat pahit, mengingat uang tersebut. Dalam hati ini ada semacam tuduhan: “Engkau untung dengan kepergian Tiur!“ Kesadaran ini membuat deraan di dalam hati. Aku tidak butuh uang, aku inginkan Tiur! Aku mau seluruh uang yang kami kumpulkan itu habis, tetapi Tiur tetap di sisi ini.

Aku bertanya di dalam hati, juga kepada teman-teman, buat apa uang yang ditinggalkan Tiur itu? Aku dan Tiur sudah lama sadar, bahwa Tuhan tidak menghendaki kami menjadi orang kaya, atau banyak uang! Yohanes Pembabtis mengatakan: “cukupkanlah apa yang ada padamu“. Rasul Paulus belajar untuk mengatakan cukup. Kami pun telah belajar untuk mengatakan cukup. Lalu mengapa Tuhan memberikan uang yang banyak itu? Adikku yang melayani Tuhan sebagai pendeta memberikan pencerahan kepadaku. Ia berkata: “Tuhan mempunyai maksud melalui pemberian itu. Abang harus belajar untuk memahami maksud Tuhan dengan pemberian itu, bukan menangisinya. Aku pun mengiyakannya. Ya Tuhan, ajarlah hamba-Mu ini untuk memahami makna dari semuanya itu, untuk kemuliaan nama-Mu.

Pada hari Rabu tanggal 12 Desember 2007, Tiur dibaringkan di haribaan Ibu Pertiwi dalam anugerah Tuhan, menunggu malaikat Tuhan membunyikan sangkakala, untuk membangkitkan orang mati dan orang yang hidup pada Taman Pemakaman Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

Pemakaman

Tiur dimakamkan dengan memakai tata kebaktian Gereja HKBP. Aku mengikuti acara itu dengan khusuk dan merenungkan makna dari tiap-tiap mata acara. Tatkala peti mati diturunkan, lalu acara dimulai dengan mennyanyikan nyanyian dari Buku Ende:

                       Sonangma modom, ho na martua i.
                       Na maradian sian ulaon i. Na ni ulamu,
                       di hajolmaon, jala na mangihut ho tu surgo.

                       Naung ni apusan do ilu-ilumi,
                       sian matamu dibaen Tuhantai:
                       tangis na jolo mangusung boni,
                       las do rohamu nuaeng manggotil.[1]

Ada pun makna dari lirik nyanyian itu ialah: “tidurlah dengan tenang, dikau yang berbahagia. Yang beristirahat dari segala pekerjaan yang engkau kerjakan dalam kemanusiaan, serta yang mengikut engkau ke surga. Syair ini menggemakan nas dalam kitab Wahyu 14:13. Bait ke dua artinya: air mata telah dihapus dari matamu oleh Tuhan kita. Dahulu menangis membawa benih, sekarang hatimu bersukacita menuai. Syair ini menggemakan nas dalam Mzm 126:6.

Dalam benak saya, terbayang Tiur sedang tidur dalam peti matinya, ia menikmati tidurnya itu di dalam Tuhan. Tiur ada di dalam naungan Allah Yang Maha Kuasa, Penciptanya. Ia beristirahat dari segala pekerjaannya di dunia ini, sebagaimana dikhotbahkan oleh enam orang pendeta HKBP yang sudah diutarakan di atas. Seluruh perbuatan yang dikerjakan Tiur selama ia hidup, akan mengikut dari belakang. Segala air mata telah dihapus dari matanya. Sekarang waktunya ialah menuai!

Setelah nyanyian ini, pendeta menaburkan tanah ke dalam kubur dan mengatakan: “Tiur Seddy Romian boru Nainggolan, engkau berasal dari tanah, dan akan kembali ke tanah. Tetapi Tuhan Allah yang menciptakan engkau, dan Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan engkau dari dosa dan Roh Kudus yang memanggil engkau ke dalam kehidupan yang kekal, itulah yang memelihara debu jasadmu sampai tiba hari penghakiman“. Sekalipun Tiur menjadi debu karena kembali ke tanah, tetapi debu jasadnya tidak akan ada yang hilang. Hal itu disebabkan Allah Tri Tunggal akan memelihara dia hingga hari kemuliaan, yakni hari penghakiman. Itulah yang disuarakan pendeta pada saat ia menaburkan tanah ke dalam kubur itu.

Setelah pendea menaburkan tanah, kepada kami diberikan kesempatan untuk menaburkan bunga, sebagai tanda perpisahan sementara dengan Tiur. Saya mengatakan kepada Tuhan: „Tuhan, Tiur tidak lagi dapat mendengar apa yang saya katakan kepadanya, sebab ia sudah berada di alam yang berbeda dengan alam kami di dunia ini. Tetapi, Engkau dapat menyampaikan kepada dia, apa yang ada di dalam hati ini. Selamat jalan kekasihku, sampai bertemu kembali di hadapan tahta Tuhan!“  aku pun menaburkan bunga yang telah disediakan sebelumnya. Setelah itu peti jenazah itu pun diuruk dengan tanah. Kami kembali menyanyikan lagu yang sangat indah:

                       Hehe do muse pamatanghon
sian tanoman on
                       Bahenon ni Tuhanku
                       Haleluya, haleluya.[2]

Di hati ini, seolah-olah Tiur sendiri yang mengatakannya perkataan seperti ini: suatu masa, tubuhku ini akan bangkit dari tanah ini, karena Tuhanku, haleluya, haleluya. Sungguh, apa yang disuarakan ibadah itu sangat indah? Berdasarkan liturgi HKBP itu, hati saya menyadari bahwa Tiur tidak hilang. Ia aman bersama dengan Tuhannya dan Tuhanku!

Kebaktian sederhana, namun bermakna itu ditutup dengan doa Bapa kami. Lalu sebagai tanda perpisahan dengan Tiur yang aman di tangan Tuhan, kami bernyanyi nyanyian perpisahan:

                       Sai masipaidaan do na porsea i
                       dung sahat be langkana
                       tu hasonangan i, tu hasonangan i.[3]

Akan tiba saatnya orang percaya akan bertemu kembali, setelah tiba langkahnya ke dalam kebahagiaan. Lalu kami pun pulang ke rumah. Betapa indahnya ibadah penguburan yang dilakukan Gereja HKBP. Ibadah itu menggambarkan apa yang diimani oleh Gereja HKBP tentang setiap orang yang mereka hantar ke dalam kubur! Selamat jalan kekasihku!

Di atas batu nisannya, aku menorehkan ayat yang bergema di dalam hati ini, tatkala bergumul di rumah sakit, menggumulkan keberadaannya yang sudah koma. Ayat itu adalah :

“Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan,
 dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan.
Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan“

Roma 14:8



[1] Buku Ende HKBP Nomor 336:1-2
[2] Buku Ende HKBP Nomor 338:1
[3] Buku Ende HKBP Nomor 347:1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...