05/04/11

Hukum Kesembilan



Hukum Kesembilan
Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.
Kita sering memahami hukum yang kesembilan ini adalah larangan untuk berdusta. Namun jika teliti lebih dalam, maknanya lebih dari sekedar dusta. Di zaman Musa, pengadilan dilaksanakan bukan dengan cara seperti yang dilakukan sekarang ini. Unsur yang menentukan seseorang bersalah atau tidak di zaman dahulu sangat sederhana. Tidak ada polisi, tidak ada jaksa dan tidak ada pengadilan yang lebih tinggi. Perkara diadili bukan di tempat pengadilan, melainkan di pintu gerbang perkemahan atau permukiman. Ada dua orang berperkara. Maka ia akan membawa perkaranya itu kepada tua-tua dari sukunya. Perkara itu disidangkan di pentu gerbang, karena orang banyak lewat dari sana. Kepala suku yang bertindak sebagai hakim akan menanyakan kebenaran dari tuduhan orang yang menuduh. Jika ada dua orang yang menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan si penuduh terhadap tertuduh, maka kepala suku itu akan menyatakan dia bersalah. Hal itu sanat jelas dikatakan Musa di dalam kitab Ulangan 17:6 “ Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati”. Hanya untuk tuduhan yang hukumannya hukuman mati, maka dibutuhkan kesaksian atas dua orang. Fakta ini terus dijalankan orang Yahudi, bahkan Tuhan Yesus sendiri yang mengatakannya, “Dan dalam kitab Tauratmu ada tertulis, bahwa kesaksian dua orang adalah sah” Yoh 8:17.
Kesimpulan kita tentang bersaksi dusta, ada kaitannya dengan pengadilan. Hal itu dapat kita lihat di dalam ayat-ayat berikut ini:

"Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong; janganlah engkau membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar. Janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang melakukan kejahatan, dan dalam memberikan kesaksian mengenai sesuatu perkara janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang membelokkan hukum”. Keluaran 23:1-2
“Apabila seseorang berbuat dosa, yakni jika ia mendengar seorang mengutuki, dan ia dapat naik saksi karena ia melihat atau mengetahuinya, tetapi ia tidak mau memberi keterangan, maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri”. Im 5:1
“Dan laki-laki lain tidur dan bersetubuh dengan perempuan itu, dengan tidak diketahui suaminya, karena tinggal rahasia bahwa perempuan itu mencemarkan dirinya, tidak ada saksi terhadap dia, dia tidak kedapatan” Bil 5:13
“Setiap orang yang telah membunuh seseorang haruslah dibunuh sebagai pembunuh menurut keterangan saksi-saksi, tetapi kalau hanya satu orang saksi saja tidak cukup untuk memberi keterangan terhadap seseorang dalam perkara hukuman mati” Bil 35:30
“Maka aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu habis binasa dengan segera dari negeri ke mana kamu menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya; tidak akan lanjut umurmu di sana, tetapi pastilah kamu punah” Ul 4:26.
“Atas keterangan dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang dihukum mati; atas keterangan satu orang saksi saja janganlah ia dihukum mati” “Saksi-saksi itulah yang pertama-tama menggerakkan tangan mereka untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu" Ul 17:7
"Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai perkara kesalahan apa pun atau dosa apa pun yang mungkin dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi perkara itu tidak disangsikan” 19:15.
“Apabila seorang saksi jahat menggugat seseorang untuk menuduh dia mengenai suatu pelanggaran Ul 19:6.

Ada begitu banyak ayat yang berbicara tentang bersaksi dusta yang dihubungkan dengan pengadilan. Jadi kita dapat dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa hukum ini berbicara tentang keadilan hukum. Hukum ini pertama-tama tidaklah berbicara tentang berbohong di dalam kehidupan sehari-hari. Kita akan membicarakan hal itu, tatkala kita tiba pada point dimana Paulus juga mengelaborasi hukum ini di dalam konteks persekutuan orang beriman kepada Kristus Yesus Tuhan kita. Sekarang kita melihatnya dalam konteks keadilan. Orang Israel yang telah dimerdekakan Allah dari perbudakan di Mesir, mereka diwajibkan untuk menegakkan keadilan. Itulah sisi positif dari larangan ini.
Jika hukum ini berbicara tentang keadilan, maka orang percaya kepada Kristus pun diwajibkan untuk menegakkan keadilan. Orang Kristen tidak diperkenankan Allah turut ambil bagian di dalam membelokkan hukum. Celakanya sekarang ini, orang Kristen pun turut ambil bagian di dalam pembelokan hukum. Dari mass media kita tahu bahwa ada banyak orang Kristen yang tertuduh menjadi koruptor dan manipulator hukum. Pada hal, Yesus menegaskan kepada kita, tugas kita di dunia ini ialah: menjadi terang bagi bangsa-bangsa. Menjadi garam bagi dunia ini.
Kata adil dalam bahasa Ibrani – tsidiq – mempunyai  makna ganda. Kata itu juga dapat diterjemahkan: benar. Kata keadilan dalam bahasa Ibrani menjadi tsadaqah. Kita sering mendengar kata sedekah di dalam bahasa Arab, tetapi telah diserap dalam bahasa Indonesia. Kata itu memiliki akar makna yang sama. Kata tsadaqah tidak dapat dilepaskan dengan keselamatan. Demikian kata Marie-Claire Barth dalam tafsirannya atas kitab Yesaya, dalam Yes45:24.1 Allah menghendaki kita bertidak menegakkan keadilan. Itu berarti, kita diminta bertindak menyelamatkan orang lain. Bangsa Israel, oleh karena keadilan – tsadaqah – Allah, telah diselamatkan dari perbudakan di Mesir. Karena itu, bangsa ini diminta juga untuk menyelamatkan orang dari penghukuman di pengadilan. Menyelamatkan orang di dalam kehidupan sehari-hari, melalui tindakan nyata.
Jika kita berbicara tentang keadilan, maksudnya bukanlah hanya di dalam sisi keadilan di pengadilan. Ada juga sisi lain dari keadilan itu yang tidak dibicarakan di dalam sidang pengadilan, namun sangat diperlukan oleh masyarakat luas, yakni keadilan sosial. Pancasila dasar dari republik ini menyuarakannya. Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Jauh sebelum Pancasila menyuarakannya, Musa telah menyuarakannya kepada bangsa Israel ribuan tahun yang lalu. Keadilan sosial itu telah dirumuskan Musa di dalam hukum yang diberikan kepada bangsa Israel di gunung Sinai salah satunya ialah: perpuluhan. Orang Israel mendapat pembagian tanah di Kanaan. Dengan tanah itu mereka hidup. Sementara itu orang Lewi tidak diberikan tanah. Tugas mereka ialah: memelihara Kemah Pertemuan/Bait Allah. Dari mana mereka hidup, Allah menetapkan mereka akan hidup dari perpuluhan orang Israel. Jadi, segenap bangsa itu dapat hidup. Itulah bentuk yang sederhana dari keadilan sosial yang diatur oleh Musa.
Untuk orang asing yang tidak mendapatkan pembagian tanah. Mereka pun diberikan Tuhan kesempatan untuk mendapat perpuluhan orang Israel. Demikian juga semua orang miskin yang ada di persekutuan bangsa itu. Semua orang berhak untuk hidup. Para budak yang berkerja di rumah tuannya pun mendapat keadilan dengan jalan beristirahat pada hari ketujuh. Sekalipun budak, mereka harus diperlakukan secara manusiawi. Bukan hanya budak, binatang yang bekerja pun mendapat hak untuk beristirahat di hari Sabat. Inilah cakupan yang lebih luas dari keadilan sosial yang diatur oleh Musa. Bukan hanya budak, binatang yang menikmati dampak dari keadilan sosial itu. Tanah pun turut menikmatinya. Sebab ada tahun Sabat. Dimana pada tahun itu, tanah tidak diperbolehkan untuk ditanami, sebab tanah itu pun akan menikmati tahun sabatnya. Hal ini sangat diperlukan di dalam memelihara kesuburan tanah.
Alangkah luasnya dampak dari keadilan sosial yang diterapkan manusia. Keadilan sosial itu tidak hanya diterapkan di dalam aras kehidupan masyarakat, tetapi juga di dalam aras kehidupan lingkungan. Jika perhatikan dari sudut pandang tersebut, betapa berdosanya kita, karena tidak memelihara keadilan sosial di dalam lingkungan hidup kita. Ketamakan orang akan harta sekarang ini telah merusak lingkungan hidup. Ketamakan orang sekarang ini telah mengeksploitasi tenaga kerja. Kita sudah mengutip perkataan Paulus di atas tentang memberangus mulut lembu[1]. Dimana Paulus menekankan betapa para pekerja diwajibkan turut ambil bagian di dalam apa yang dikerjakannya. Lembu itu harus turut makan dari apa yang dikerjakannya. Paulus menekankan bukan lembu yang diperhatikan Allah, melainkan kita. Oleh karena itu, firman itu ditujukan kepada kita, agar kita memberi kesempatan kepada setiap karyawan yang kita pekerjakan agar mereka juga menikmati hidupnya sama seperti kita menikmati hidup kita. Itulah keadilan sosial. Itulah salah satu dari sisi hukum yang kesembilan ini.
Tetapi kita melihat orang Kristen memperlakukan para pembantu rumah tangga mereka seperti seorang budak. Apa lagi bahasa Indonesia membuka kesempatan akan hal itu, yakni kata ‘babu’. Sekarang memang sudah sangat jarang kata itu dipakai. Kata yang dipakai sekarang ialah: ‘pembantu rumah tangga’. Namun mereka tidak menikmati hidup yang layak dari gaji yang diterima mereka. Mereka tidak punya jam kerja, mereka tidak punya hari libur. Mereka tidak punya jaminan hari tua. Ada keadilan sosial di dalam pekerjaan menjadi pembantu rumah tangga? Untuk mereka yang tidak terlalu mampu, kita mengerti. Tetapi bagaimana dengan mereka yang kaya raya? Pembantu mereka pun tidak menikmati keadilan sosial.
Bagaimana dengan lingkungan? Rasa-rasanya orang yang kita sebut sebagai orang penyembah berhala lebih peduli lingkungan hidup dari pada orang Kristen. Tekanan ekonomi membuat ikan’ ihan’ jenis ikan yang hanya ditemui di tanah Batak di Nusantara ini mungkin sudah sirna. Pengrusakan lingkungan hidup sangat parah. Ada orang yang mengatakan bahwa kita tidak adil terhadap generasi kita yang akan datang. Kita pada hakekatnya meminjam dari mereka apa yang kita habiskan sekarang. Pada hal, apa yang kita habiskan itu tidak dapat di daur ulang kembali. Ini pun berbicara tentang keadilan sosial. Aneh, tetapi sangat nyata, orang yang beribadah kepada nenek moyang mereka,  jauh lebih peduli dengan lingkungan ketimbang orang yang menyembah Allah yang esa!
Kembali kita menyoroti makna bersaksi dusta sebagaimana dielaborasi Rasul Paulus di dalam Ef 4:25 “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota”. Paulus melihat persekutuan Kristen itu adalah satu persekutuan yang bersifat organis. Jemaat adalah tubuh Kristus. Tiap-tiap anggota memiliki keterikatan yang organis dengan sesama anggota tubuh. Jadi, jika saya adalah bagian dari tubuh Kristus, maka memberi kesaksian dusta, atau berbohong kepada sesama Kristen, akan menimbulkan kerugian terhadap tubuh itu sendiri. Jika tubuh rugi, maka saya sebagai bagian yang terpisahkan dari tubuh akan mengalami kerugian pula. Itulah sebabnya kita tidak patut mendustai sesama, karena kita adalah sesama anggota tubuh!
Paulus memakai kedua sisi yang kita bicarakan di atas di dalam nasihatnya kepada jemaat di Efesus. Sisi negatif harus dibuang, yakni berdusta. Sisi positifnya ditambahkan, yakni berkata benar seorang terhadap yang lain. Argumennya pun sekaligus diberikan, yakni kita adalah sesama anggota. Sayang seribu kali sayang, kita tidak lagi dalam pemahaman bahwa kita adalah sesama anggota. Sekalipun kita memiliki pemahaman sesama anggota, namun bukan di dalam pengertian seperti yang dimaksud Paulus. Roh individualisme yang begitu kental di dalam hati kita, telah menggerogoti makna sesama anggota seperti yang dimaksud Alkitab.
Kita memahami sesama anggota dalam konteks sebuah organisasi sosial. Keanggotaan di organisasi seperti itu begitu longgar. Seorang dapat saja keluar dari keanggotaan, jika ia tidak suka lagi terhadap organisasi tersebut. Sesama anggota yang dimaksud oleh Paulus tidaklah seperti demikian. Analogi yang dipakai Paulus ialah tubuh manusia. Dengan analogi itu kita tahu bahwa satu anggota tidak dapat dengan sekehendak hatinya untuk melepaskan diri dari keanggotaan di dalam tubuh. Bukan hanya tidak dimungkinkan melepaskan diri, juga tidak dimungkinkan untuk bertumbuh sendirian.
Jika ada anggota tubuh yang bertumbuh sendirian, tanpa peduli dengan anggota yang lain, maka kita dapat dengan yakin berkata: itu adalah kanker. Pertumbuhan dari anggota tubuh yang tidak memikirkan anggota tubuh yang lain, itu berarti ia membunuh anggota tubuh yang lain. Di dalam persekutuan iman Kristen, tidak ada ruang untuk berdiri sendiri, atau roh individualisme.
Paulus mengatakan bahwa tatkala kita percaya kepada Yesus Kristus, kita dipersatukan dengan sesama orang percaya yang lain. Setiap orang percaya itu, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Tuhan. “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup (Rom 14:8-9).
Perobahan persepsi tentang kehidupan yang kita sedang jalani ini, sangat diperlukan agar kita dapat melihat kemuliaan Allah di dalam persekutuan kita. Bayangkan bilamana semua orang percaya tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Tuhan. Tuhan sebagai kepala memimpin seluruh perjalanan umat-Nya. Di sisi lain umat tersebut saling berkata benar satu sama lain. Tidak ada dusta di antara kita, karena kita sesama saudara. Alangkah indahnya!
Jika kita bicara benar satu sama lain, maka orang akan melihat persekutuan yang begitu indah tadi. Tidak ada seorang manusia pun yang tidak menyukai keindahan. Marilah kita mendemonstrasikan keindahan persekutuan orang beriman di dunia ini, sehingga mereka yang tidak percaya melihat keindahan tersebut. Mungkin mereka akan percaya bahwa Tuhan ada di antara kita dan turut bersama kita menyembah Dia yang memimpin kita ke dalam keselamatan.


1 BPK, 1983, hal 204
[1] Halaman 7 paragraf dua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...