HUKUM KETUJUH
Jangan berzinah.
Hukum yang ketujuh ini ditafsirkan ulang oleh Tuhan Yesus di dalam Khotbah di Bukit, yang dicatat penginjil Matius. Yesus mengatakan: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka” (Mat 5:27-30).
Kembali kita diperhadapkan kepada masalah hati. Hati yang mengasihi sesama seperti diri sendiri, tidak mungkin menginginkan perempuan yang sudah milik orang lain. Kata menginginkan di sana adalah satu kata yang bersifat negatif. Tidak salah, jika kita menginginkan orang tersebut menjadi isteri kita. Tetapi, Yesus memakai kata negatif untuk menggambarkan sesuatu yang asal dari keinginan itu adalah dosa itu sendiri.
Dunia kita sekarang adalah dunia yang dipenuhi dengan pandangan yang sangat mengekspouse masalah sensual. Para perancang mode yang menentukan pola berpakaian dari manusia modern. Mereka menentukan bahwa pakaian wanita harus menonjolkan sisi sensual dari wanita. Celakanya, mereka menampakkan sisi negatif, bukan sisi yang positif. Akibatnya, kita melihat sekarang kaum wanita dimana-mana, termasuk di dalam kebaktian sekalipun, cara berpakaiannya menonjolkan sisi sensualnya. Mereka berpakaian ketat, sehingga terlihat seluruh lekuk-lekuk dari tubuhnya. Mereka datang ke hadapan Tuhan dengan cara seperti itu. Bukankah hal seperti itu menimbulkan hasrat di hati orang lain?
Paulus mengatakan di dalam suratnya kepada Jemaat Korintus: “…supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku” (I Kor 8:13). Dunia entertainment sekarang ini sangat menonjolkan kebebasan berbusana. Hal ini mendorong perzinahan di kalangan masyarakat. Seks adalah sesuatu yang sangat kudus di dalam pemahaman Alkitab. Seks dijadikan Alkitab untuk menggambarkan relasi antara Allah dan manusia. Allah adalah suami dan Gereja adalah isteri Allah. Persekutuan antara suami dan isteri yang paling intim ialah: persetubuhan. Ini adalah gambaran dari persekutuan antara Allah dan umat-Nya dalam keintiman yang intens. Sekarang, seks telah diumbar secara bebas.
Penulis pernah mendengar ungkapan dari anak remaja yang sedang kumpul-kumpul berkata: “Hari gini bicara perawan, kuno!”. Orang dewasa ini telah mencampakkan sesuatu yang kudus, dan menggantikannya dengan sesuatu yang najis. Celakanya, orang menyukai yang najis tersebut.
Kita akan soroti lagi hukum ini dari sisi suruhan. Jika kita dilarang berzinah, maka apakah yang harus dilakukan sebagai kosok bali dari larangan tersebut? Alkitab mengatakan bahwa sex adalah lambang persatuan laki-laki dengan perempuan yang dilandasi perjanjian. Segala sesuatu yang dilakukan tanpa landasan seperti yang kita bicarakan di atas dinyatakan sebagai perzinahan. Jika demikian adanya, maka adalah tugas saya untuk memelihara perjanjian yang kudus antara satu orang perempuan dengan laki-laki, juga sebaliknya, agar perjanjian itu tetap dalam keutuhannya. Saya juga punya peran untuk memelihara apa yang ada di dalam diri orang lain, supaya tetap ada sebagaimana adanya. Oleh karena itu, bukan hanya saya tidak memperbolehkan diri sendiri terlibat di dalam perzinahan, tetapi juga harus terlibat di dalam memelihara persekutuan kita tidak dinodai oleh orang-orang yang melakukan perzinahan.
Kita membuat analogi persekutuan itu seperti perkemahan orang Israel di padang gurun. Barang siapa di antara orang Israel yang kena kepada benda-benda yang najis, maka orang itu akan dikeluarkan dari perkemahan. Ia bisa memasuki perkemahan jika matahari telah terbenam. Jika saya sebagai anggota dari persekutuan, melihat orang lain rasa-rasanya akan menyentuh benda yang najis, maka saya harus memperingatkan dia supaya tidak menyentuh benda tersebut, karena hal itu akan menajiskan dia dan juga menajiskan perkemahan. Hal seperti itu juga terjadi di dalam persekutuan kita di zaman modern ini. Kita harus menolong sesama kita untuk tidak melangkah masuk ke dalam perzinahan. Minimal melalui penampilan kita.
Sayang seribu kali sayang, orang modern sekarang ini sudah sangat terkontaminasi dengan roh individualisme yang sangat kental, sehingga orang tidak diperkenankan lagi untuk turut ambil bagian di dalam masalah pribadi orang lain. Namun bagi kita orang percaya, hukum Tuhan tetap berlaku hingga akhir zaman.
Perzinahan dipandang Alkitab sebagai satu pelanggaran yang harus dihukum mati, khususnya dalam PL. Mengapa? Hal itu disebabkan perkawinan adalah sebagai lambang dari persekutuan antara manusia dengan Allah. Perzinahan adalah sebuah bentuk dari satu ketidaksetiaan atas perjanjian. Hal ini sangat dimurkai Allah. Itulah sebabnya hukuman bagi pezinah di dalam PL ialah dihukum mati dengan jalan dirajam.
Satu hal yang perlu disoroti ialah: sex adalah satu hal yang kudus. Sebagaimana kita telah ketahui, kudus artinya ialah: tersendiri atau terpisah. Sex di dalam dunia binatang hanya dinikmati di musim kawin. Itu pun dilaksanakan di dalam rangka meneruskan kelangsungan spesies binatang tersebut. Di dunia binatang, tidak dikenal homoseksual. Binatang menjalani hubungan sex dalam kekudusan yang diberikan Tuhan kepada binatang itu sendiri. Bukankah kita lebih dari binatang? Sex harus dinikmati di dalam kekudusan, sebagaimana dikaruniakan Allah kepada kita. Sementara di satu sisi, perzinahan adalah penyimpangan perilaku terhadap sex sebagaimana ditetapkan oleh Allah.
Apalagi dihubungkan dengan elaborasi yang dibuat Tuhan Yesus terhadap hukum yang ketujuh ini. Yesus melihat jauh lebih ke dalam hati manusia. Hati kita harus dipelihara di dalam kekudusan dalam hal sex. Itulah inti yang paling dalam dari hukum yang ketujuh. Bukankah dengan jalan demikian hukum ini sangat relevan bagi kita orang yang hidup di abad kedua puluh satu ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar